Share

Bab 3 - Rumah yang Terlupakan

Arga berdiri di halaman depan rumah tua itu, membiarkan angin sore menyentuh kulitnya yang terasa panas. Di depannya, rumah tersebut menjulang seperti raksasa yang diam, dingin, dan menunggu. Bram, yang berdiri di sampingnya, memandangi bangunan itu dengan ekspresi resah. Tidak ada lagi gurauan, tidak ada lagi canda ringan seperti biasanya. Sejak ketukan dari balik pintu kemarin, atmosfer di antara mereka terasa berubah.

"Lo yakin kita harus lanjut, Ga?" Bram bertanya pelan, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya sudah pasti. Arga, dengan segala sikap keras kepala dan logikanya, tentu tidak akan mundur.

Arga menarik napas dalam-dalam. "Bram, kita udah di sini, udah mulai. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya sia-sia. Lagipula, nggak ada yang aneh di sini. Semuanya hanya perasaan."

Bram melirik sekilas ke arah pintu depan yang sekarang tertutup rapat. Ia masih bisa mendengar suara ketukan pelan itu, meskipun mungkin hanya imajinasinya. Namun, bagian terdalam dari dirinya tahu, ada sesuatu di rumah ini yang berbeda.

"Mungkin lo bener," kata Bram pelan, meski suaranya terdengar tidak yakin. "Tapi gue tetep nggak suka. Perasaan gue nggak enak sejak kita pertama kali masuk."

Arga mengabaikan komentar Bram dan berjalan menuju pintu, mengeluarkan kunci yang sudah dia pegang sejak tadi. Dengan gerakan cepat, dia membuka kunci pintu itu dan menekan gagangnya. Suara engsel yang berderit menyambut mereka, seolah rumah itu merespon kehadiran mereka lagi.

Saat mereka melangkah masuk, Arga menyalakan senter di tangannya, meskipun sinar matahari dari luar masih cukup terang. Dalam beberapa detik, udara di dalam rumah terasa berubah—lebih dingin, lebih lembab, dan sekali lagi, perasaan berat yang tidak terlihat mengelilingi mereka.

Hari ini, mereka berencana untuk memulai renovasi di lantai atas. Namun, saat mendekati tangga kayu yang berderit, suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari atas, meskipun tidak ada siapa-siapa di sana. Arga menghentikan langkahnya, dan Bram langsung berhenti di belakangnya, wajahnya memucat.

"Tolong bilang lo juga denger itu," gumam Bram pelan, hampir seperti berharap itu hanya imajinasinya.

Arga menggigit bibir bawahnya, menahan napas. "Gue denger. Tapi mungkin kayunya lapuk. Lantai atas kan udah lama nggak dipakai."

Namun, meskipun Arga berusaha menyangkal, langkah-langkah itu terdengar terlalu jelas, terlalu nyata. Seolah-olah ada seseorang—atau sesuatu—yang berjalan dengan tenang di lantai atas, menunggu mereka.

Mereka akhirnya mencapai puncak tangga, dan di sanalah, segala hal mulai terasa lebih menekan. Udara lebih dingin, dan ada bau aneh yang menyengat di sekitar mereka. Bukan sekadar bau lembab biasa, tapi sesuatu yang lebih tajam, seperti bau logam dan tanah basah.

Ruangan pertama di lantai atas adalah kamar tidur utama, sebuah kamar besar dengan jendela menghadap ke halaman belakang. Arga mendorong pintu kamar itu perlahan, dan langsung disambut oleh pemandangan yang tak terduga. Sebuah ranjang tua berdiri di tengah ruangan, kainnya sudah robek dan dipenuhi debu. Namun, yang paling mencolok adalah cermin besar di sudut ruangan, cermin yang hampir identik dengan yang ada di lantai bawah. Permukaannya bersih, sekali lagi, anehnya bersih, tanpa sedikit pun jejak debu.

“Gue nggak suka cermin ini,” bisik Bram, matanya terpaku pada pantulan dirinya di permukaan cermin. “Serius deh, Ga. Ini udah terlalu aneh.”

Arga menatap cermin itu dengan penuh perhatian. Sesuatu tentang cermin itu membuat punggungnya merinding, meskipun dia tidak tahu apa. Ada perasaan tak nyaman yang merayap masuk, seperti sepasang mata yang mengintai dari balik kaca.

“Kita di sini buat renovasi, Bram. Fokus aja pada pekerjaan,” kata Arga, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. Dia berbalik dan mulai memeriksa dinding, mencoba mencari retakan atau bagian yang perlu diperbaiki. Bram, meskipun masih tampak tidak nyaman, mengikuti Arga dengan canggung.

Namun, belum beberapa menit mereka berada di dalam ruangan itu, sesuatu terjadi.

Sebuah suara. Bukan lagi suara langkah kaki atau kayu berderit. Kali ini, suara tawa pelan terdengar dari sudut ruangan. Suara itu dingin, menembus kesunyian, dan seakan berasal dari balik cermin.

Bram mundur dengan cepat, wajahnya pucat pasi. “Ga… lo denger itu kan? Tolong bilang lo denger…”

Arga membeku. Dia mendengar tawa itu. Pelan, hampir seperti bisikan, namun jelas. Tawa itu terdengar dekat—terlalu dekat.

“Kayaknya kita perlu keluar dulu dari sini,” ucap Arga akhirnya, meskipun ada sedikit getar di suaranya yang tidak bisa ia sembunyikan.

Tanpa berpikir dua kali, Bram setuju. Mereka berdua berbalik, siap meninggalkan ruangan, namun sebelum mereka sempat melangkah, pintu kamar menutup dengan sendirinya. Bukan tertutup perlahan—melainkan menutup dengan keras, seolah seseorang dengan marah membantingnya dari luar.

"Astaga!" Bram berteriak panik, berlari ke arah pintu dan mencoba membukanya, namun pintu itu terkunci rapat. “Ga! Ini nggak lucu! Ini serius!”

Arga mendekat, mencoba menarik gagang pintu dengan sekuat tenaga, tapi pintu itu seakan enggan terbuka. Sesaat, dia menoleh ke arah cermin, dan jantungnya berhenti sejenak. Di dalam cermin, mereka berdua terlihat jelas, namun... ada sesuatu yang salah.

Di belakang mereka, sebuah bayangan gelap bergerak pelan. Bukan bayangan mereka, tetapi sesuatu yang lain, lebih besar, dan bergerak mendekat dengan langkah lambat, seolah menikmati ketakutan mereka.

“Buka pintunya, Ga! Cepat!” Bram berteriak lagi, panik semakin menguasai dirinya. Arga, yang kini juga merasakan ketakutan yang nyata, menarik gagang pintu dengan sekuat tenaga.

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, pintu itu terbuka dengan tiba-tiba, membuat Bram hampir terjatuh. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua langsung keluar dari kamar itu, menuruni tangga dengan cepat, napas terengah-engah.

Begitu mereka mencapai lantai bawah, mereka berhenti, berusaha mengatur napas. Jantung Arga masih berdetak kencang, tapi dia tidak ingin terlihat terlalu takut di hadapan Bram. Namun, di dalam hatinya, dia tahu sesuatu di rumah ini sedang bermain-main dengan mereka.

“Lo liat tadi? Di cermin… ada sesuatu di belakang kita,” kata Bram dengan suara gemetar. “Gue nggak tau itu apa, tapi kita harus keluar dari sini.”

Arga terdiam. Dia memang melihatnya. Sebuah bayangan besar, gelap, yang bergerak mendekat dari belakang mereka. Tapi apakah itu nyata? Atau hanya permainan cahaya?

“Kita nggak bisa keluar sekarang, Bram,” kata Arga akhirnya, mencoba terdengar tegas. “Kita harus selesaikan pekerjaan ini.”

Bram menatapnya dengan tak percaya. “Lo masih mau lanjut?!”

“Tentu saja. Tapi kita harus hati-hati. Gue nggak tahu apa yang ada di rumah ini, tapi kita nggak bisa mundur sekarang.”

Meskipun kata-kata itu terdengar tegas, Arga tahu dalam hati bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan lagi. Sesuatu di rumah ini sedang membangkitkan rasa takut yang paling dalam dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan logika.

Sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, pintu rumah tiba-tiba terbuka perlahan, mengeluarkan suara derit panjang yang menakutkan. Bram dan Arga menatap pintu itu dengan ngeri, seolah-olah rumah itu sendiri sedang mengundang mereka masuk kembali.

Di luar, langit mulai berubah kelabu, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa. Hawa dingin kembali mengalir masuk ke dalam rumah, seolah mengingatkan mereka bahwa apa pun yang terjadi di dalam rumah ini belum selesai.

Mereka belum selesai. Dan rumah itu... belum selesai dengan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status