Arga berdiri di halaman depan rumah tua itu, membiarkan angin sore menyentuh kulitnya yang terasa panas. Di depannya, rumah tersebut menjulang seperti raksasa yang diam, dingin, dan menunggu. Bram, yang berdiri di sampingnya, memandangi bangunan itu dengan ekspresi resah. Tidak ada lagi gurauan, tidak ada lagi canda ringan seperti biasanya. Sejak ketukan dari balik pintu kemarin, atmosfer di antara mereka terasa berubah.
"Lo yakin kita harus lanjut, Ga?" Bram bertanya pelan, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya sudah pasti. Arga, dengan segala sikap keras kepala dan logikanya, tentu tidak akan mundur.
Arga menarik napas dalam-dalam. "Bram, kita udah di sini, udah mulai. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya sia-sia. Lagipula, nggak ada yang aneh di sini. Semuanya hanya perasaan."
Bram melirik sekilas ke arah pintu depan yang sekarang tertutup rapat. Ia masih bisa mendengar suara ketukan pelan itu, meskipun mungkin hanya imajinasinya. Namun, bagian terdalam dari dirinya tahu, ada sesuatu di rumah ini yang berbeda.
"Mungkin lo bener," kata Bram pelan, meski suaranya terdengar tidak yakin. "Tapi gue tetep nggak suka. Perasaan gue nggak enak sejak kita pertama kali masuk."
Arga mengabaikan komentar Bram dan berjalan menuju pintu, mengeluarkan kunci yang sudah dia pegang sejak tadi. Dengan gerakan cepat, dia membuka kunci pintu itu dan menekan gagangnya. Suara engsel yang berderit menyambut mereka, seolah rumah itu merespon kehadiran mereka lagi.
Saat mereka melangkah masuk, Arga menyalakan senter di tangannya, meskipun sinar matahari dari luar masih cukup terang. Dalam beberapa detik, udara di dalam rumah terasa berubah—lebih dingin, lebih lembab, dan sekali lagi, perasaan berat yang tidak terlihat mengelilingi mereka.
Hari ini, mereka berencana untuk memulai renovasi di lantai atas. Namun, saat mendekati tangga kayu yang berderit, suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari atas, meskipun tidak ada siapa-siapa di sana. Arga menghentikan langkahnya, dan Bram langsung berhenti di belakangnya, wajahnya memucat.
"Tolong bilang lo juga denger itu," gumam Bram pelan, hampir seperti berharap itu hanya imajinasinya.
Arga menggigit bibir bawahnya, menahan napas. "Gue denger. Tapi mungkin kayunya lapuk. Lantai atas kan udah lama nggak dipakai."
Namun, meskipun Arga berusaha menyangkal, langkah-langkah itu terdengar terlalu jelas, terlalu nyata. Seolah-olah ada seseorang—atau sesuatu—yang berjalan dengan tenang di lantai atas, menunggu mereka.
Mereka akhirnya mencapai puncak tangga, dan di sanalah, segala hal mulai terasa lebih menekan. Udara lebih dingin, dan ada bau aneh yang menyengat di sekitar mereka. Bukan sekadar bau lembab biasa, tapi sesuatu yang lebih tajam, seperti bau logam dan tanah basah.
Ruangan pertama di lantai atas adalah kamar tidur utama, sebuah kamar besar dengan jendela menghadap ke halaman belakang. Arga mendorong pintu kamar itu perlahan, dan langsung disambut oleh pemandangan yang tak terduga. Sebuah ranjang tua berdiri di tengah ruangan, kainnya sudah robek dan dipenuhi debu. Namun, yang paling mencolok adalah cermin besar di sudut ruangan, cermin yang hampir identik dengan yang ada di lantai bawah. Permukaannya bersih, sekali lagi, anehnya bersih, tanpa sedikit pun jejak debu.
“Gue nggak suka cermin ini,” bisik Bram, matanya terpaku pada pantulan dirinya di permukaan cermin. “Serius deh, Ga. Ini udah terlalu aneh.”
Arga menatap cermin itu dengan penuh perhatian. Sesuatu tentang cermin itu membuat punggungnya merinding, meskipun dia tidak tahu apa. Ada perasaan tak nyaman yang merayap masuk, seperti sepasang mata yang mengintai dari balik kaca.
“Kita di sini buat renovasi, Bram. Fokus aja pada pekerjaan,” kata Arga, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. Dia berbalik dan mulai memeriksa dinding, mencoba mencari retakan atau bagian yang perlu diperbaiki. Bram, meskipun masih tampak tidak nyaman, mengikuti Arga dengan canggung.
Namun, belum beberapa menit mereka berada di dalam ruangan itu, sesuatu terjadi.
Sebuah suara. Bukan lagi suara langkah kaki atau kayu berderit. Kali ini, suara tawa pelan terdengar dari sudut ruangan. Suara itu dingin, menembus kesunyian, dan seakan berasal dari balik cermin.
Bram mundur dengan cepat, wajahnya pucat pasi. “Ga… lo denger itu kan? Tolong bilang lo denger…”
Arga membeku. Dia mendengar tawa itu. Pelan, hampir seperti bisikan, namun jelas. Tawa itu terdengar dekat—terlalu dekat.
“Kayaknya kita perlu keluar dulu dari sini,” ucap Arga akhirnya, meskipun ada sedikit getar di suaranya yang tidak bisa ia sembunyikan.
Tanpa berpikir dua kali, Bram setuju. Mereka berdua berbalik, siap meninggalkan ruangan, namun sebelum mereka sempat melangkah, pintu kamar menutup dengan sendirinya. Bukan tertutup perlahan—melainkan menutup dengan keras, seolah seseorang dengan marah membantingnya dari luar.
"Astaga!" Bram berteriak panik, berlari ke arah pintu dan mencoba membukanya, namun pintu itu terkunci rapat. “Ga! Ini nggak lucu! Ini serius!”
Arga mendekat, mencoba menarik gagang pintu dengan sekuat tenaga, tapi pintu itu seakan enggan terbuka. Sesaat, dia menoleh ke arah cermin, dan jantungnya berhenti sejenak. Di dalam cermin, mereka berdua terlihat jelas, namun... ada sesuatu yang salah.
Di belakang mereka, sebuah bayangan gelap bergerak pelan. Bukan bayangan mereka, tetapi sesuatu yang lain, lebih besar, dan bergerak mendekat dengan langkah lambat, seolah menikmati ketakutan mereka.
“Buka pintunya, Ga! Cepat!” Bram berteriak lagi, panik semakin menguasai dirinya. Arga, yang kini juga merasakan ketakutan yang nyata, menarik gagang pintu dengan sekuat tenaga.
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, pintu itu terbuka dengan tiba-tiba, membuat Bram hampir terjatuh. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua langsung keluar dari kamar itu, menuruni tangga dengan cepat, napas terengah-engah.
Begitu mereka mencapai lantai bawah, mereka berhenti, berusaha mengatur napas. Jantung Arga masih berdetak kencang, tapi dia tidak ingin terlihat terlalu takut di hadapan Bram. Namun, di dalam hatinya, dia tahu sesuatu di rumah ini sedang bermain-main dengan mereka.
“Lo liat tadi? Di cermin… ada sesuatu di belakang kita,” kata Bram dengan suara gemetar. “Gue nggak tau itu apa, tapi kita harus keluar dari sini.”
Arga terdiam. Dia memang melihatnya. Sebuah bayangan besar, gelap, yang bergerak mendekat dari belakang mereka. Tapi apakah itu nyata? Atau hanya permainan cahaya?
“Kita nggak bisa keluar sekarang, Bram,” kata Arga akhirnya, mencoba terdengar tegas. “Kita harus selesaikan pekerjaan ini.”
Bram menatapnya dengan tak percaya. “Lo masih mau lanjut?!”
“Tentu saja. Tapi kita harus hati-hati. Gue nggak tahu apa yang ada di rumah ini, tapi kita nggak bisa mundur sekarang.”
Meskipun kata-kata itu terdengar tegas, Arga tahu dalam hati bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan lagi. Sesuatu di rumah ini sedang membangkitkan rasa takut yang paling dalam dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan logika.
Sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, pintu rumah tiba-tiba terbuka perlahan, mengeluarkan suara derit panjang yang menakutkan. Bram dan Arga menatap pintu itu dengan ngeri, seolah-olah rumah itu sendiri sedang mengundang mereka masuk kembali.
Di luar, langit mulai berubah kelabu, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa. Hawa dingin kembali mengalir masuk ke dalam rumah, seolah mengingatkan mereka bahwa apa pun yang terjadi di dalam rumah ini belum selesai.
Mereka belum selesai. Dan rumah itu... belum selesai dengan mereka.
Malam itu, ketika langit sudah sepenuhnya gelap dan kabut tipis semakin tebal di luar jendela, Arga dan Bram memutuskan untuk bermalam di rumah yang mereka sewa di tepi desa. Rumah sederhana itu berjarak beberapa kilometer dari rumah tua yang mereka renovasi, cukup jauh untuk membuat mereka merasa aman... setidaknya untuk sementara.Bram tampak gelisah. Dia duduk di sofa kecil di ruang tamu, pandangannya lurus ke luar jendela yang menampilkan pemandangan suram desa Sinarjati. Angin malam berhembus pelan, membuat tirai jendela sedikit berkibar.“Kita nggak bisa terus kayak gini, Ga,” kata Bram tiba-tiba, suaranya pecah di tengah keheningan yang mencekam. “Rumah itu—apa pun yang ada di sana—gue yakin ada sesuatu. Gue ngerasa ada yang ngeliatin kita. Terutama dari cermin itu. Lo tau kan apa yang gue maksud?”Arga, yang sedang menulis catatan di laptopnya, menoleh. Matanya beralih ke Bram yang kini tampak lebih pucat daripada biasanya. Pikirannya melayang ke peristiwa sore tadi. Bayangan y
Pagi itu, setelah malam yang dipenuhi ketakutan, Arga duduk di beranda rumah sewaan mereka dengan tatapan kosong. Cahaya matahari yang lembut menyinari desa Sinarjati, namun rasanya kehangatan pagi itu tidak bisa menghapuskan rasa dingin yang merayap di balik pikirannya.Di dalam rumah, Bram akhirnya muncul, terlihat kelelahan namun tidak tampak cemas seperti yang Arga harapkan. "Pagi, Ga," sapanya sambil menggeliat malas.Arga langsung bangkit dari kursi. "Bram! Lo di mana semalam? Gue nyariin lo ke mana-mana."Bram berhenti, menatap Arga dengan bingung. "Gue tidur di mobil, bro. Gue nggak bisa tidur di rumah, suasananya terlalu creepy. Gue bilang sama lo tadi malem, tapi mungkin lo udah ketiduran duluan."Arga mengernyit, mencoba mengingat. Dia tidak ingat Bram memberitahunya hal itu. Bahkan, Bram jelas-jelas menghilang dari kamar semalam, dan ketukan serta bisikan-bisikan itu... Namun, melihat Bram di depannya dengan ekspresi biasa saja, ia mulai merasa apa yang terjadi semalam mung
Hari berikutnya, Arga dan Bram berdiri di depan rumah tua itu lagi. Matahari yang mulai terbenam melukis langit dengan warna oranye dan merah, namun rumah tua itu tampak tidak terpengaruh oleh cahaya yang indah. Bangunan itu tetap berdiri dengan angkuh, diliputi aura dingin dan suram yang tidak bisa dijelaskan.Bram menarik napas panjang, kemudian melepaskannya dengan berat. "Gue nggak percaya kita balik lagi ke sini setelah apa yang kita dengar dari Pak Kusuma."Arga menatap Bram sebentar, sebelum akhirnya berkata, "Kita harus selesaikan ini, Bram. Mungkin sekarang kita bisa lebih hati-hati setelah tahu lebih banyak. Kita punya perlindungan dari Pak Kusuma. Kita selesaikan renovasi ini, lalu kita pergi dari sini."Bram mengangguk setuju, meskipun wajahnya masih diliputi keraguan. Perlindungan dari Pak Kusuma—jimat kecil yang diberikan kepada mereka pagi itu—terasa ringan di dalam saku mereka. Pak Kusuma memperingatkan mereka untuk selalu membawa jimat itu ke mana pun mereka pergi di d
Malam telah turun, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa Sinarjati. Di luar rumah sewaan mereka, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di antara pepohonan, seolah-olah desa itu sendiri sedang bernafas. Suasana yang biasanya tenang kini terasa mencekam, apalagi setelah apa yang terjadi di rumah tua tadi siang.Arga dan Bram duduk di ruang tamu, diam dalam ketegangan yang terasa menggantung di udara. Masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Bram tampak gelisah, sesekali melirik ke arah pintu seolah-olah takut sesuatu akan masuk kapan saja. Sementara Arga masih memegang jimat dari Pak Kusuma, mengenggamnya dengan erat.“Kita harus cabut dari sini, Ga,” Bram akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan gemetar. “Ini nggak bisa diterusin. Gue nggak peduli soal kontrak atau proyek ini. Ada sesuatu yang jahat di sana, dan kita nggak bisa ngelawan.”Arga mendengus pelan, meskipun hatinya mengatakan hal yang sama. Sebagai arsitek, ia terbiasa menghadapi tantangan fisik, se
Arga berdiri terpaku di ambang pintu kamar Bram yang kosong. Kamar itu terlalu sunyi, terlalu rapi, seolah tidak pernah ada orang yang tinggal di sana. Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bram hilang—lagi. Tapi kali ini, sesuatu terasa lebih salah."Bram?" Arga memanggil sekali lagi, namun jawabannya hanya keheningan yang semakin berat. Perasaan hampa yang menyelimuti ruangan itu membuat dadanya terasa semakin sesak.Arga berjalan masuk, memeriksa setiap sudut kamar dengan napas tersengal-sengal. Tempat tidur masih rapi, tidak ada tanda-tanda kekacauan atau perlawanan. Tas Bram masih ada di sudut ruangan, namun jaketnya tidak terlihat. Arga membuka lemari, memeriksa setiap celah, tapi tidak ada yang aneh selain fakta bahwa sahabatnya lenyap begitu saja.Setelah beberapa saat memeriksa, Arga berhenti. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat terancam—bukan sekadar hilangnya Bram, tetapi kesadaran bahwa mereka sedang diawasi. Rumah
Arga berdiri di depan rumah tua itu sekali lagi. Kali ini, perasaannya berbeda. Dia tidak hanya merasa terintimidasi oleh rumah itu—dia merasa ditelan olehnya. Bayangan pepohonan yang menjulang di sekitar rumah seperti jari-jari raksasa yang siap merengkuh, seakan alam sekitar pun memperingatkannya untuk tidak melangkah lebih jauh.Liontin pemberian Pak Kusuma menggantung di lehernya, terasa dingin di kulitnya meskipun udara di luar tidak terlalu dingin. Arga menggenggam liontin itu erat, seolah-olah benda kecil ini adalah satu-satunya yang mampu menjaganya dari kegelapan yang akan dia hadapi. Keheningan menyelimuti rumah, namun ada perasaan yang terus mengganjal di hati Arga—perasaan bahwa dia tidak sendiri.Dia menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit, seperti mengundang masuk. Ini bukan lagi sekadar rumah yang rusak, penuh dengan mitos dan cerita rakyat. Rumah ini adalah perangkap, sebuah jerat yang dipasang dengan rapi untuk menjerat siapa pun yang berani memasuki wilayahnya.Arg
Arga duduk terdiam di lantai ruang tamu, napasnya masih tersengal-sengal. Matanya terus memandang ke arah pintu kecil di ujung lorong yang baru saja dia tutup dengan keras. Pikiran-pikiran berkecamuk dalam kepalanya, namun yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa Bram masih belum ditemukan. Setiap detik di rumah ini terasa semakin mencekam, dan perasaan bahwa waktu mereka semakin menipis terus menghantuinya.Liontin di lehernya, yang tadi bersinar untuk melindunginya dari sosok di ruang bawah tanah, kini terasa berat. Arga menggenggam liontin itu, merasakan sedikit kehangatan dari benda itu, namun kelegaan yang diberikannya hanyalah sementara. Dia tahu bahwa perlindungan dari Pak Kusuma tidak akan bertahan selamanya.Arga bangkit perlahan, meski tubuhnya terasa lemah. Dia tahu dia tidak bisa tinggal diam. Dia harus menemukan Bram dan mengakhiri semua ini. Dia memandang sekeliling ruang tamu dengan tatapan kosong, sampai akhirnya matanya tertuju pada cermin besar di sudut ruangan.Ce
Arga terbangun dengan keringat dingin mengalir di wajahnya, napasnya tersengal-sengal. Malam sebelumnya masih terngiang jelas di pikirannya—sosok Bram yang terbaring tak berdaya, bayangan hitam yang terus mengejar mereka di ruang bawah tanah, dan perasaan bahwa dia hampir kehilangan sahabatnya selamanya. Di sampingnya, Bram masih terbaring di sofa, tidak sadar tapi bernapas pelan dan teratur.Arga berdiri perlahan, menggenggam liontin pemberian Pak Kusuma yang tergantung di lehernya. Perasaan bahwa waktu semakin menipis terus menghantui pikirannya, terutama dengan bayangan yang terus mengikuti mereka di rumah tua itu. Dia tahu dia belum selesai dengan semua ini—tidak sampai dia benar-benar menemukan cara untuk menghentikan kekuatan gelap yang menguasai rumah tersebut.Dengan langkah hati-hati, Arga berjalan ke halaman belakang rumah. Udara pagi terasa lebih segar, tapi keheningan di sekitarnya tetap tidak nyaman. Semak belukar di sekitar rumah tampak tumbuh liar, seolah-olah tidak pern