Ketukan berulang kali pada jendela mobil membangunkan Arga dari tidurnya. Ia mendongak, bingung sejenak, sebelum menyadari bahwa matahari telah naik cukup tinggi. Seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan menatapnya dari luar, ketukan pelan terus terdengar dari jari-jari tuanya yang menempel di kaca jendela.
Arga membuka pintu mobilnya dengan malas. “Ada apa, Pak?”
Pria tua itu, yang ternyata seorang penduduk desa, menatapnya dengan tajam. Matanya sayu namun tajam, bibirnya menyempit, seolah kata-kata yang ingin keluar terhalang di tenggorokannya. Dia mengenakan baju tradisional dengan sarung yang sudah lusuh, dan dari posturnya, pria ini tidak lebih dari sekadar petani sederhana.
“Kalian dari kota, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.
Arga mengangguk, sambil melirik ke arah Bram yang masih terlelap di kursi penumpang. “Iya, Pak. Saya Arga, arsitek yang ditugaskan untuk merenovasi rumah tua di ujung desa.”
Pria tua itu menggeleng pelan, tapi Arga tidak bisa mengartikan ekspresi di wajahnya. “Rumah itu... sebaiknya kalian tidak terlalu lama di sana. Banyak yang tidak baik, Nak. Banyak yang sudah mencoba dan tidak pernah kembali.”
Arga tertawa kecil, berusaha menepis suasana aneh yang tiba-tiba melingkupi percakapan ini. “Saya mengerti, Pak. Tapi saya di sini untuk bekerja. Pasti semua akan baik-baik saja.”
“Bukan cuma cerita, Nak. Itu peringatan.” Pria itu menambahkan dengan nada rendah, penuh dengan rasa prihatin yang tersirat. Namun, sebelum Arga bisa merespon, pria tua itu sudah membalikkan badan dan pergi, langkahnya lamban tapi tetap tegas, meninggalkan Arga dalam kebingungan.
Arga menghela napas panjang dan menatap rumah tua di kejauhan. Hari ini adalah hari pertama mereka memulai pekerjaan. Dan jika suasana desa ini tidak membantu, maka rumah itu akan menjadi tantangan lebih besar dari yang ia kira.
Mereka berjalan pelan menuju rumah tua itu, kali ini ditemani sinar matahari yang menyinari bagian-bagian rumah yang sebelumnya tersembunyi dalam kegelapan. Rumah itu tetap sama menyeramkannya, bahkan di bawah terang siang hari. Dindingnya yang penuh retakan terlihat lebih jelas, dan kesan rumah yang terabaikan semakin kuat.
Setibanya di depan pintu, Arga membuka kunci yang semalam dia pasang. “Ayo, mulai sekarang. Kita periksa lagi setiap ruangan.”
Namun, langkah pertama Arga ke dalam rumah membuatnya merasa ada sesuatu yang berbeda. Bau lembap yang kemarin tercium semakin menyengat. Dan entah mengapa, rumah ini terasa... lebih dingin.
“Udah siang, tapi masih berasa kayak subuh di sini,” komentar Bram sambil menggigil kecil. Ia menarik kerah jaketnya lebih tinggi, mencoba melawan hawa dingin yang tidak biasa di dalam rumah itu. Matanya menatap ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa dijadikan lelucon, tapi kali ini tidak ada yang terasa lucu. Bahkan, Bram yang biasanya riang mulai merasa ada yang salah dengan tempat ini.
“Ada perasaan kayak... berat di sini, Ga.” Bram berhenti di depan salah satu kamar yang pintunya setengah terbuka. “Lo ngerasa nggak?”
Arga tidak menjawab, meskipun jauh di dalam hatinya, dia setuju. Ada sesuatu di sini yang terasa salah. Terlalu salah. Namun, alih-alih membiarkan rasa takut merayap masuk, Arga lebih memilih untuk tetap berfokus pada pekerjaannya. Pekerjaan ini harus selesai, dan tidak ada ruang bagi perasaan tak masuk akal seperti ini.
Mereka kembali berkeliling rumah, memeriksa beberapa bagian yang kemarin terlewat. Saat mereka mencapai bagian belakang rumah, Arga menemukan pintu kayu besar yang tertutup rapat di sudut paling dalam. Ini bukan pintu biasa, pikirnya. Pintu itu tampak lebih baru dibandingkan dengan bagian lain dari rumah. Seseorang jelas-jelas ingin menyembunyikan sesuatu di baliknya.
“Ayo, kita lihat apa yang ada di balik sini,” kata Arga sambil meraih gagang pintu dan mencoba membukanya. Tapi pintu itu tidak bergeming.
Bram mendekat, wajahnya tampak semakin tidak nyaman. “Eh, lo yakin mau buka ini, Ga? Kayaknya ada alasan kenapa pintu ini dikunci rapat begini.”
Arga mendesah. “Bram, kalau kita nggak buka ini, bagaimana kita bisa tahu apa yang harus diperbaiki? Lagipula, ini cuma pintu. Nggak ada yang aneh.”
Namun, meskipun Arga mencoba menarik dan mendorong sekuat tenaga, pintu itu tetap tidak bisa dibuka. Sepertinya terkunci dari dalam, atau mungkin sudah lama tidak digunakan sehingga kayunya mengembang dan terjebak. Ia menyerah setelah beberapa kali mencoba.
“Besok gue minta bantuan dari tukang. Mungkin kita perlu congkel ini,” ujarnya akhirnya.
Namun, saat mereka berjalan menjauh dari pintu itu, suara samar terdengar. Seperti suara berderak pelan... atau langkah kaki. Arga berhenti, menatap Bram.
“Lo dengar nggak?”
Bram menelan ludah, matanya melebar. “Dengar. Kayak ada yang... jalan di dalam.”
Mereka saling berpandangan, lalu kembali menatap pintu yang kini terasa lebih mengancam dari sebelumnya. Tidak ada angin, tidak ada gerakan. Hanya kesunyian yang terasa semakin menekan, seperti dinding-dinding rumah ini semakin mendekat ke arah mereka.
Namun, Arga menepis ketakutannya lagi, memaksakan dirinya untuk berpikir logis. “Mungkin itu tikus besar. Rumah tua pasti penuh binatang.”
Bram tidak tampak yakin, tapi dia tidak membantah. Mereka kembali memeriksa beberapa ruangan lain, meskipun hati mereka mulai dipenuhi oleh perasaan was-was yang tidak jelas.
Menjelang sore, mereka akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah. Kaki Bram terasa berat setiap kali melangkah, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba menahannya di dalam. Saat mereka menutup pintu rumah untuk hari itu, suara ketukan pelan terdengar dari dalam. Hanya tiga ketukan, lambat dan berirama, seakan ada seseorang yang ingin keluar. Mereka berdua terdiam di depan pintu, tubuh membeku di tempat.
“Lo denger itu, kan?” Bram berbisik, wajahnya pucat pasi.
Arga menatap pintu kayu itu dengan rahang mengatup. “Gue denger,” jawabnya, kali ini tanpa mencoba menyembunyikan ketakutannya.
Keduanya saling berpandangan, lalu tanpa berkata-kata lagi, mereka berjalan cepat menuju mobil. Bram mengemudi dalam diam, wajahnya tampak tidak nyaman. Jalanan desa terasa semakin sunyi, tidak ada lagi penduduk yang tampak di luar rumah.
“Gue nggak suka ini, Ga,” akhirnya Bram berkata, memecah keheningan yang memekat di dalam mobil. “Rumah itu... kita harus lebih hati-hati. Gue nggak peduli lo percaya atau nggak, tapi gue yakin ada sesuatu di sana.”
Arga hanya diam. Kali ini, meskipun dia masih berusaha berpikir logis, hatinya mulai terbebani oleh pertanyaan yang semakin lama semakin sulit diabaikan. Rumah itu memang tampak biasa di luar, tapi apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya? Dan yang lebih penting... siapa yang mengetuk dari dalam tadi?
Mobil melaju melewati jalan utama desa, membawa mereka menjauh dari rumah tua itu. Tapi rasa dingin dan ketakutan yang menggantung di udara tetap mengikuti mereka, seolah rumah itu tidak ingin melepaskan mereka begitu saja.
Di kejauhan, dari jendela rumah yang sudah tertutup rapat, sebuah siluet samar terlihat berdiri di balik tirai kotor. Mata kosongnya mengawasi mereka, memancarkan kegelapan yang perlahan-lahan mulai merayapi hidup Arga.
Arga berdiri di halaman depan rumah tua itu, membiarkan angin sore menyentuh kulitnya yang terasa panas. Di depannya, rumah tersebut menjulang seperti raksasa yang diam, dingin, dan menunggu. Bram, yang berdiri di sampingnya, memandangi bangunan itu dengan ekspresi resah. Tidak ada lagi gurauan, tidak ada lagi canda ringan seperti biasanya. Sejak ketukan dari balik pintu kemarin, atmosfer di antara mereka terasa berubah."Lo yakin kita harus lanjut, Ga?" Bram bertanya pelan, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya sudah pasti. Arga, dengan segala sikap keras kepala dan logikanya, tentu tidak akan mundur.Arga menarik napas dalam-dalam. "Bram, kita udah di sini, udah mulai. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya sia-sia. Lagipula, nggak ada yang aneh di sini. Semuanya hanya perasaan."Bram melirik sekilas ke arah pintu depan yang sekarang tertutup rapat. Ia masih bisa mendengar suara ketukan pelan itu, meskipun mungkin hanya imajinasinya. Namun, bagian terdalam dari dirinya tahu, a
Malam itu, ketika langit sudah sepenuhnya gelap dan kabut tipis semakin tebal di luar jendela, Arga dan Bram memutuskan untuk bermalam di rumah yang mereka sewa di tepi desa. Rumah sederhana itu berjarak beberapa kilometer dari rumah tua yang mereka renovasi, cukup jauh untuk membuat mereka merasa aman... setidaknya untuk sementara.Bram tampak gelisah. Dia duduk di sofa kecil di ruang tamu, pandangannya lurus ke luar jendela yang menampilkan pemandangan suram desa Sinarjati. Angin malam berhembus pelan, membuat tirai jendela sedikit berkibar.“Kita nggak bisa terus kayak gini, Ga,” kata Bram tiba-tiba, suaranya pecah di tengah keheningan yang mencekam. “Rumah itu—apa pun yang ada di sana—gue yakin ada sesuatu. Gue ngerasa ada yang ngeliatin kita. Terutama dari cermin itu. Lo tau kan apa yang gue maksud?”Arga, yang sedang menulis catatan di laptopnya, menoleh. Matanya beralih ke Bram yang kini tampak lebih pucat daripada biasanya. Pikirannya melayang ke peristiwa sore tadi. Bayangan y
Pagi itu, setelah malam yang dipenuhi ketakutan, Arga duduk di beranda rumah sewaan mereka dengan tatapan kosong. Cahaya matahari yang lembut menyinari desa Sinarjati, namun rasanya kehangatan pagi itu tidak bisa menghapuskan rasa dingin yang merayap di balik pikirannya.Di dalam rumah, Bram akhirnya muncul, terlihat kelelahan namun tidak tampak cemas seperti yang Arga harapkan. "Pagi, Ga," sapanya sambil menggeliat malas.Arga langsung bangkit dari kursi. "Bram! Lo di mana semalam? Gue nyariin lo ke mana-mana."Bram berhenti, menatap Arga dengan bingung. "Gue tidur di mobil, bro. Gue nggak bisa tidur di rumah, suasananya terlalu creepy. Gue bilang sama lo tadi malem, tapi mungkin lo udah ketiduran duluan."Arga mengernyit, mencoba mengingat. Dia tidak ingat Bram memberitahunya hal itu. Bahkan, Bram jelas-jelas menghilang dari kamar semalam, dan ketukan serta bisikan-bisikan itu... Namun, melihat Bram di depannya dengan ekspresi biasa saja, ia mulai merasa apa yang terjadi semalam mung
Hari berikutnya, Arga dan Bram berdiri di depan rumah tua itu lagi. Matahari yang mulai terbenam melukis langit dengan warna oranye dan merah, namun rumah tua itu tampak tidak terpengaruh oleh cahaya yang indah. Bangunan itu tetap berdiri dengan angkuh, diliputi aura dingin dan suram yang tidak bisa dijelaskan.Bram menarik napas panjang, kemudian melepaskannya dengan berat. "Gue nggak percaya kita balik lagi ke sini setelah apa yang kita dengar dari Pak Kusuma."Arga menatap Bram sebentar, sebelum akhirnya berkata, "Kita harus selesaikan ini, Bram. Mungkin sekarang kita bisa lebih hati-hati setelah tahu lebih banyak. Kita punya perlindungan dari Pak Kusuma. Kita selesaikan renovasi ini, lalu kita pergi dari sini."Bram mengangguk setuju, meskipun wajahnya masih diliputi keraguan. Perlindungan dari Pak Kusuma—jimat kecil yang diberikan kepada mereka pagi itu—terasa ringan di dalam saku mereka. Pak Kusuma memperingatkan mereka untuk selalu membawa jimat itu ke mana pun mereka pergi di d
Malam telah turun, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa Sinarjati. Di luar rumah sewaan mereka, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di antara pepohonan, seolah-olah desa itu sendiri sedang bernafas. Suasana yang biasanya tenang kini terasa mencekam, apalagi setelah apa yang terjadi di rumah tua tadi siang.Arga dan Bram duduk di ruang tamu, diam dalam ketegangan yang terasa menggantung di udara. Masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Bram tampak gelisah, sesekali melirik ke arah pintu seolah-olah takut sesuatu akan masuk kapan saja. Sementara Arga masih memegang jimat dari Pak Kusuma, mengenggamnya dengan erat.“Kita harus cabut dari sini, Ga,” Bram akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan gemetar. “Ini nggak bisa diterusin. Gue nggak peduli soal kontrak atau proyek ini. Ada sesuatu yang jahat di sana, dan kita nggak bisa ngelawan.”Arga mendengus pelan, meskipun hatinya mengatakan hal yang sama. Sebagai arsitek, ia terbiasa menghadapi tantangan fisik, se
Arga berdiri terpaku di ambang pintu kamar Bram yang kosong. Kamar itu terlalu sunyi, terlalu rapi, seolah tidak pernah ada orang yang tinggal di sana. Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bram hilang—lagi. Tapi kali ini, sesuatu terasa lebih salah."Bram?" Arga memanggil sekali lagi, namun jawabannya hanya keheningan yang semakin berat. Perasaan hampa yang menyelimuti ruangan itu membuat dadanya terasa semakin sesak.Arga berjalan masuk, memeriksa setiap sudut kamar dengan napas tersengal-sengal. Tempat tidur masih rapi, tidak ada tanda-tanda kekacauan atau perlawanan. Tas Bram masih ada di sudut ruangan, namun jaketnya tidak terlihat. Arga membuka lemari, memeriksa setiap celah, tapi tidak ada yang aneh selain fakta bahwa sahabatnya lenyap begitu saja.Setelah beberapa saat memeriksa, Arga berhenti. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat terancam—bukan sekadar hilangnya Bram, tetapi kesadaran bahwa mereka sedang diawasi. Rumah
Arga berdiri di depan rumah tua itu sekali lagi. Kali ini, perasaannya berbeda. Dia tidak hanya merasa terintimidasi oleh rumah itu—dia merasa ditelan olehnya. Bayangan pepohonan yang menjulang di sekitar rumah seperti jari-jari raksasa yang siap merengkuh, seakan alam sekitar pun memperingatkannya untuk tidak melangkah lebih jauh.Liontin pemberian Pak Kusuma menggantung di lehernya, terasa dingin di kulitnya meskipun udara di luar tidak terlalu dingin. Arga menggenggam liontin itu erat, seolah-olah benda kecil ini adalah satu-satunya yang mampu menjaganya dari kegelapan yang akan dia hadapi. Keheningan menyelimuti rumah, namun ada perasaan yang terus mengganjal di hati Arga—perasaan bahwa dia tidak sendiri.Dia menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit, seperti mengundang masuk. Ini bukan lagi sekadar rumah yang rusak, penuh dengan mitos dan cerita rakyat. Rumah ini adalah perangkap, sebuah jerat yang dipasang dengan rapi untuk menjerat siapa pun yang berani memasuki wilayahnya.Arg
Arga duduk terdiam di lantai ruang tamu, napasnya masih tersengal-sengal. Matanya terus memandang ke arah pintu kecil di ujung lorong yang baru saja dia tutup dengan keras. Pikiran-pikiran berkecamuk dalam kepalanya, namun yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa Bram masih belum ditemukan. Setiap detik di rumah ini terasa semakin mencekam, dan perasaan bahwa waktu mereka semakin menipis terus menghantuinya.Liontin di lehernya, yang tadi bersinar untuk melindunginya dari sosok di ruang bawah tanah, kini terasa berat. Arga menggenggam liontin itu, merasakan sedikit kehangatan dari benda itu, namun kelegaan yang diberikannya hanyalah sementara. Dia tahu bahwa perlindungan dari Pak Kusuma tidak akan bertahan selamanya.Arga bangkit perlahan, meski tubuhnya terasa lemah. Dia tahu dia tidak bisa tinggal diam. Dia harus menemukan Bram dan mengakhiri semua ini. Dia memandang sekeliling ruang tamu dengan tatapan kosong, sampai akhirnya matanya tertuju pada cermin besar di sudut ruangan.Ce