Share

Bab 2: Desa Sinarjati yang Tenang

Ketukan berulang kali pada jendela mobil membangunkan Arga dari tidurnya. Ia mendongak, bingung sejenak, sebelum menyadari bahwa matahari telah naik cukup tinggi. Seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan menatapnya dari luar, ketukan pelan terus terdengar dari jari-jari tuanya yang menempel di kaca jendela.

Arga membuka pintu mobilnya dengan malas. “Ada apa, Pak?”

Pria tua itu, yang ternyata seorang penduduk desa, menatapnya dengan tajam. Matanya sayu namun tajam, bibirnya menyempit, seolah kata-kata yang ingin keluar terhalang di tenggorokannya. Dia mengenakan baju tradisional dengan sarung yang sudah lusuh, dan dari posturnya, pria ini tidak lebih dari sekadar petani sederhana.

“Kalian dari kota, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.

Arga mengangguk, sambil melirik ke arah Bram yang masih terlelap di kursi penumpang. “Iya, Pak. Saya Arga, arsitek yang ditugaskan untuk merenovasi rumah tua di ujung desa.”

Pria tua itu menggeleng pelan, tapi Arga tidak bisa mengartikan ekspresi di wajahnya. “Rumah itu... sebaiknya kalian tidak terlalu lama di sana. Banyak yang tidak baik, Nak. Banyak yang sudah mencoba dan tidak pernah kembali.”

Arga tertawa kecil, berusaha menepis suasana aneh yang tiba-tiba melingkupi percakapan ini. “Saya mengerti, Pak. Tapi saya di sini untuk bekerja. Pasti semua akan baik-baik saja.”

“Bukan cuma cerita, Nak. Itu peringatan.” Pria itu menambahkan dengan nada rendah, penuh dengan rasa prihatin yang tersirat. Namun, sebelum Arga bisa merespon, pria tua itu sudah membalikkan badan dan pergi, langkahnya lamban tapi tetap tegas, meninggalkan Arga dalam kebingungan.

Arga menghela napas panjang dan menatap rumah tua di kejauhan. Hari ini adalah hari pertama mereka memulai pekerjaan. Dan jika suasana desa ini tidak membantu, maka rumah itu akan menjadi tantangan lebih besar dari yang ia kira.


Mereka berjalan pelan menuju rumah tua itu, kali ini ditemani sinar matahari yang menyinari bagian-bagian rumah yang sebelumnya tersembunyi dalam kegelapan. Rumah itu tetap sama menyeramkannya, bahkan di bawah terang siang hari. Dindingnya yang penuh retakan terlihat lebih jelas, dan kesan rumah yang terabaikan semakin kuat.

Setibanya di depan pintu, Arga membuka kunci yang semalam dia pasang. “Ayo, mulai sekarang. Kita periksa lagi setiap ruangan.”

Namun, langkah pertama Arga ke dalam rumah membuatnya merasa ada sesuatu yang berbeda. Bau lembap yang kemarin tercium semakin menyengat. Dan entah mengapa, rumah ini terasa... lebih dingin.

“Udah siang, tapi masih berasa kayak subuh di sini,” komentar Bram sambil menggigil kecil. Ia menarik kerah jaketnya lebih tinggi, mencoba melawan hawa dingin yang tidak biasa di dalam rumah itu. Matanya menatap ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa dijadikan lelucon, tapi kali ini tidak ada yang terasa lucu. Bahkan, Bram yang biasanya riang mulai merasa ada yang salah dengan tempat ini.

“Ada perasaan kayak... berat di sini, Ga.” Bram berhenti di depan salah satu kamar yang pintunya setengah terbuka. “Lo ngerasa nggak?”

Arga tidak menjawab, meskipun jauh di dalam hatinya, dia setuju. Ada sesuatu di sini yang terasa salah. Terlalu salah. Namun, alih-alih membiarkan rasa takut merayap masuk, Arga lebih memilih untuk tetap berfokus pada pekerjaannya. Pekerjaan ini harus selesai, dan tidak ada ruang bagi perasaan tak masuk akal seperti ini.

Mereka kembali berkeliling rumah, memeriksa beberapa bagian yang kemarin terlewat. Saat mereka mencapai bagian belakang rumah, Arga menemukan pintu kayu besar yang tertutup rapat di sudut paling dalam. Ini bukan pintu biasa, pikirnya. Pintu itu tampak lebih baru dibandingkan dengan bagian lain dari rumah. Seseorang jelas-jelas ingin menyembunyikan sesuatu di baliknya.

“Ayo, kita lihat apa yang ada di balik sini,” kata Arga sambil meraih gagang pintu dan mencoba membukanya. Tapi pintu itu tidak bergeming.

Bram mendekat, wajahnya tampak semakin tidak nyaman. “Eh, lo yakin mau buka ini, Ga? Kayaknya ada alasan kenapa pintu ini dikunci rapat begini.”

Arga mendesah. “Bram, kalau kita nggak buka ini, bagaimana kita bisa tahu apa yang harus diperbaiki? Lagipula, ini cuma pintu. Nggak ada yang aneh.”

Namun, meskipun Arga mencoba menarik dan mendorong sekuat tenaga, pintu itu tetap tidak bisa dibuka. Sepertinya terkunci dari dalam, atau mungkin sudah lama tidak digunakan sehingga kayunya mengembang dan terjebak. Ia menyerah setelah beberapa kali mencoba.

“Besok gue minta bantuan dari tukang. Mungkin kita perlu congkel ini,” ujarnya akhirnya.

Namun, saat mereka berjalan menjauh dari pintu itu, suara samar terdengar. Seperti suara berderak pelan... atau langkah kaki. Arga berhenti, menatap Bram.

“Lo dengar nggak?”

Bram menelan ludah, matanya melebar. “Dengar. Kayak ada yang... jalan di dalam.”

Mereka saling berpandangan, lalu kembali menatap pintu yang kini terasa lebih mengancam dari sebelumnya. Tidak ada angin, tidak ada gerakan. Hanya kesunyian yang terasa semakin menekan, seperti dinding-dinding rumah ini semakin mendekat ke arah mereka.

Namun, Arga menepis ketakutannya lagi, memaksakan dirinya untuk berpikir logis. “Mungkin itu tikus besar. Rumah tua pasti penuh binatang.”

Bram tidak tampak yakin, tapi dia tidak membantah. Mereka kembali memeriksa beberapa ruangan lain, meskipun hati mereka mulai dipenuhi oleh perasaan was-was yang tidak jelas.


Menjelang sore, mereka akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah. Kaki Bram terasa berat setiap kali melangkah, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba menahannya di dalam. Saat mereka menutup pintu rumah untuk hari itu, suara ketukan pelan terdengar dari dalam. Hanya tiga ketukan, lambat dan berirama, seakan ada seseorang yang ingin keluar. Mereka berdua terdiam di depan pintu, tubuh membeku di tempat.

“Lo denger itu, kan?” Bram berbisik, wajahnya pucat pasi.

Arga menatap pintu kayu itu dengan rahang mengatup. “Gue denger,” jawabnya, kali ini tanpa mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Keduanya saling berpandangan, lalu tanpa berkata-kata lagi, mereka berjalan cepat menuju mobil. Bram mengemudi dalam diam, wajahnya tampak tidak nyaman. Jalanan desa terasa semakin sunyi, tidak ada lagi penduduk yang tampak di luar rumah.

“Gue nggak suka ini, Ga,” akhirnya Bram berkata, memecah keheningan yang memekat di dalam mobil. “Rumah itu... kita harus lebih hati-hati. Gue nggak peduli lo percaya atau nggak, tapi gue yakin ada sesuatu di sana.”

Arga hanya diam. Kali ini, meskipun dia masih berusaha berpikir logis, hatinya mulai terbebani oleh pertanyaan yang semakin lama semakin sulit diabaikan. Rumah itu memang tampak biasa di luar, tapi apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya? Dan yang lebih penting... siapa yang mengetuk dari dalam tadi?

Mobil melaju melewati jalan utama desa, membawa mereka menjauh dari rumah tua itu. Tapi rasa dingin dan ketakutan yang menggantung di udara tetap mengikuti mereka, seolah rumah itu tidak ingin melepaskan mereka begitu saja.

Di kejauhan, dari jendela rumah yang sudah tertutup rapat, sebuah siluet samar terlihat berdiri di balik tirai kotor. Mata kosongnya mengawasi mereka, memancarkan kegelapan yang perlahan-lahan mulai merayapi hidup Arga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status