Share

Belenggu Rumah Darah
Belenggu Rumah Darah
Author: Rizki Adinda

Bab 1: Tugas yang Tak Terduga

Arga meremas setir mobilnya dengan satu tangan, pandangannya lurus ke depan menembus jalanan aspal yang memanjang seperti garis lurus tak berujung. Matahari siang menyengat di atas kepala, namun sejuknya AC mobil membuatnya merasa nyaman. Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

“Jadi, kamu benar-benar terima pekerjaan itu?” - Mira.

Arga tersenyum tipis, jari-jarinya bergerak cepat membalas.

“Ya, kenapa nggak? Ini proyek besar.”

Mira membalas lagi, lebih cepat dari yang dia perkirakan.

“Tapi itu rumah tua, Ga. Katanya angker. Banyak cerita buruk soal rumah itu.”

Seketika Arga menghela napas panjang. “Cerita buruk” adalah hal terakhir yang ingin dia dengar. Sebagai arsitek muda yang baru mulai meraih perhatian di dunia konstruksi, Arga merasa proyek ini adalah batu loncatan besar. Rumah tua di desa terpencil itu menawarkan tantangan arsitektural yang tak biasa, dan jika berhasil, namanya akan semakin dikenal.

“Iya, tapi itu cuma omong kosong. Aku nggak percaya yang begituan,” balas Arga dengan nada yang menunjukkan betapa santainya dia.

Namun, ada sedikit ketegangan dalam pikirannya. Dia sudah mendengar gosip yang beredar dari mulut ke mulut tentang rumah tua itu. Rumor yang aneh dan beragam: beberapa menyebutnya rumah setan, lainnya bilang tempat itu pernah menjadi lokasi pembantaian massal pada masa penjajahan. Tapi baginya, semua itu hanya mitos yang diciptakan oleh ketakutan dan imajinasi orang-orang desa.


Malam itu, saat Arga sedang mengecek kembali blueprint rumah yang akan direnovasi, Bram, sahabatnya yang juga akan membantunya dalam proyek ini, masuk dengan langkah malas ke dalam ruangan. Wajahnya kusut, ekspresi gelisah terlihat jelas.

“Ga, lo yakin mau ngambil proyek ini?” tanya Bram tanpa basa-basi.

Arga menatapnya sebentar, lalu melanjutkan memeriksa gambar-gambar arsitektural di depannya.

“Kenapa sih, lo sama Mira kompak banget? Udah, nggak usah dipikirin. Ini proyek besar, Bram. Nggak ada yang perlu dikhawatirin.”

Bram menggeleng-gelengkan kepala. “Gue dengar cerita dari penduduk desa. Rumah itu katanya pernah jadi tempat persembunyian pasukan zaman dulu. Banyak yang nggak balik dari sana, Ga. Penduduk bilang rumah itu punya... semacam aura buruk.”

Arga meletakkan pena yang sedari tadi dia pegang, lalu menatap langsung ke arah Bram.

“Gue nggak peduli sama cerita itu, Bram. Gue cuma mau selesaikan renovasi ini, dapat bayaran, dan pulang. Kita profesional. Udah gitu aja.”

Bram membuka mulutnya, seakan ingin membantah lagi, tapi ia tahu percuma. Arga selalu begini, keras kepala, terutama soal hal-hal yang berbau mistis. Bram sendiri bukan tipe yang gampang takut, tapi cerita-cerita yang dia dengar dari penduduk desa membuat punggungnya merinding. Namun, alih-alih berdebat, dia hanya mendengus pelan dan membiarkan topik itu berlalu.


Esok harinya, di bawah langit yang berangsur gelap, mobil Arga dan Bram memasuki Desa Sinarjati. Suasana desa yang tenang dan sepi menyambut mereka, seolah waktu di tempat itu bergerak lebih lambat. Hanya ada beberapa orang yang tampak di pinggir jalan, menatap mobil mereka dengan tatapan aneh.

“Desa ini... terlalu sepi ya?” Bram bergumam, memperhatikan penduduk desa yang hanya berdiri dan melihat mereka tanpa senyuman. Arga tidak menanggapi. Fokusnya tertuju pada rumah di ujung jalan desa, yang sebentar lagi akan menjadi proyeknya.

Begitu mobil berhenti di depan rumah itu, kesan pertama yang mereka dapatkan jauh lebih buruk dari yang dibayangkan. Bangunan itu berdiri tinggi, dengan dinding kusam yang penuh retakan. Rumput liar tumbuh subur di halaman, dan jendela-jendela kayu tampak seperti sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Langit mendung yang menggantung di atas rumah semakin mempertegas suasana suram.

“Seram juga ya...” Bram bergumam pelan sambil menggaruk tengkuknya.

Arga menepis perasaan aneh yang sempat muncul di hatinya. Ini hanya rumah tua, pikirnya. Tidak lebih, tidak kurang. Tapi ada sesuatu yang membuat langkah kakinya terasa lebih berat saat berjalan menuju pintu utama.

Begitu dia membuka pintu, suara engsel yang berderit panjang terdengar, menggetarkan udara di sekitar mereka. Di dalam, bau lembab langsung menyeruak, menyergap penciuman mereka. Arga mengerutkan kening, melihat sekeliling. Ruangan utama rumah itu gelap, meskipun cahaya dari luar masih berusaha masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup debu. Lantainya dipenuhi kayu lapuk dan perabotan tua yang berserakan.

“Ada yang tinggal di sini, kayaknya enggak, ya?” ujar Bram, setengah bercanda.

“Ya, jelas lah. Rumah ini udah ditinggalin lama,” jawab Arga acuh tak acuh, meski pikirannya diam-diam terpengaruh oleh suasana rumah itu. Ada sesuatu yang tidak beres. Udara terasa berat, seolah mengancam.

Mereka mulai memeriksa setiap sudut rumah. Arga dengan seksama mencatat apa saja yang perlu diperbaiki, sementara Bram sibuk membolak-balik benda-benda tua yang tertinggal di sana. Di salah satu kamar yang paling dalam, mereka menemukan cermin besar dengan bingkai kayu berukir rumit. Cermin itu tampak bersih, meski dikelilingi oleh debu yang tebal di sekitarnya.

“Aneh,” Bram menggumam sambil mengelap permukaannya.

“Apa?” tanya Arga tanpa mengalihkan pandangan dari catatan renovasinya.

“Cermin ini. Bersih. Kayak... ada yang baru ngelap.”

Arga berhenti menulis. Dia mendekati Bram dan menatap cermin itu dengan seksama. Kilauan permukaannya yang hampir sempurna terasa kontras dengan keadaan rumah yang lain. Dia mendekat, memeriksa ukirannya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tapi dia tak tahu apa itu.

Bram tiba-tiba tersentak mundur. “Eh, tadi... gue ngeliat sesuatu di sana!” teriaknya, menunjuk ke cermin dengan mata terbelalak.

Arga menatapnya sinis. “Sesuatu apaan?”

“Gue serius, Ga! Tadi ada bayangan di balik gue. Gue ngeliatnya di cermin. Kayak ada yang lewat di belakang!”

Arga mendesah, lalu memeriksa sekitar mereka. “Nggak ada siapa-siapa, Bram. Mungkin bayangan lo sendiri.”

Bram masih terlihat gelisah, tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Namun, saat mereka meninggalkan ruangan itu, perasaan bahwa mereka sedang diawasi tak juga hilang.

Sebelum mereka menutup pintu rumah itu untuk malam itu, Arga sempat melihat sesuatu yang membuat hatinya berhenti sejenak. Sebuah jejak kaki... basah, muncul di lantai kayu yang kering. Dia berkedip, memastikan penglihatannya, namun jejak itu hilang dalam sekejap.

Arga mengguncang kepalanya, mencoba menepis perasaan itu. Dia terlalu lelah, pikirnya. Besok akan menjadi hari yang panjang, dan dia tidak punya waktu untuk hal-hal yang tak masuk akal.

Tetapi, jauh di dalam pikirannya, pertanyaan mulai merayap masuk: Apa yang sebenarnya dia masuki?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status