Arga meremas setir mobilnya dengan satu tangan, pandangannya lurus ke depan menembus jalanan aspal yang memanjang seperti garis lurus tak berujung. Matahari siang menyengat di atas kepala, namun sejuknya AC mobil membuatnya merasa nyaman. Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
“Jadi, kamu benar-benar terima pekerjaan itu?” - Mira.
Arga tersenyum tipis, jari-jarinya bergerak cepat membalas.
“Ya, kenapa nggak? Ini proyek besar.”
Mira membalas lagi, lebih cepat dari yang dia perkirakan.
“Tapi itu rumah tua, Ga. Katanya angker. Banyak cerita buruk soal rumah itu.”
Seketika Arga menghela napas panjang. “Cerita buruk” adalah hal terakhir yang ingin dia dengar. Sebagai arsitek muda yang baru mulai meraih perhatian di dunia konstruksi, Arga merasa proyek ini adalah batu loncatan besar. Rumah tua di desa terpencil itu menawarkan tantangan arsitektural yang tak biasa, dan jika berhasil, namanya akan semakin dikenal.
“Iya, tapi itu cuma omong kosong. Aku nggak percaya yang begituan,” balas Arga dengan nada yang menunjukkan betapa santainya dia.
Namun, ada sedikit ketegangan dalam pikirannya. Dia sudah mendengar gosip yang beredar dari mulut ke mulut tentang rumah tua itu. Rumor yang aneh dan beragam: beberapa menyebutnya rumah setan, lainnya bilang tempat itu pernah menjadi lokasi pembantaian massal pada masa penjajahan. Tapi baginya, semua itu hanya mitos yang diciptakan oleh ketakutan dan imajinasi orang-orang desa.
Malam itu, saat Arga sedang mengecek kembali blueprint rumah yang akan direnovasi, Bram, sahabatnya yang juga akan membantunya dalam proyek ini, masuk dengan langkah malas ke dalam ruangan. Wajahnya kusut, ekspresi gelisah terlihat jelas.
“Ga, lo yakin mau ngambil proyek ini?” tanya Bram tanpa basa-basi.
Arga menatapnya sebentar, lalu melanjutkan memeriksa gambar-gambar arsitektural di depannya.
“Kenapa sih, lo sama Mira kompak banget? Udah, nggak usah dipikirin. Ini proyek besar, Bram. Nggak ada yang perlu dikhawatirin.”
Bram menggeleng-gelengkan kepala. “Gue dengar cerita dari penduduk desa. Rumah itu katanya pernah jadi tempat persembunyian pasukan zaman dulu. Banyak yang nggak balik dari sana, Ga. Penduduk bilang rumah itu punya... semacam aura buruk.”
Arga meletakkan pena yang sedari tadi dia pegang, lalu menatap langsung ke arah Bram.
“Gue nggak peduli sama cerita itu, Bram. Gue cuma mau selesaikan renovasi ini, dapat bayaran, dan pulang. Kita profesional. Udah gitu aja.”
Bram membuka mulutnya, seakan ingin membantah lagi, tapi ia tahu percuma. Arga selalu begini, keras kepala, terutama soal hal-hal yang berbau mistis. Bram sendiri bukan tipe yang gampang takut, tapi cerita-cerita yang dia dengar dari penduduk desa membuat punggungnya merinding. Namun, alih-alih berdebat, dia hanya mendengus pelan dan membiarkan topik itu berlalu.
Esok harinya, di bawah langit yang berangsur gelap, mobil Arga dan Bram memasuki Desa Sinarjati. Suasana desa yang tenang dan sepi menyambut mereka, seolah waktu di tempat itu bergerak lebih lambat. Hanya ada beberapa orang yang tampak di pinggir jalan, menatap mobil mereka dengan tatapan aneh.
“Desa ini... terlalu sepi ya?” Bram bergumam, memperhatikan penduduk desa yang hanya berdiri dan melihat mereka tanpa senyuman. Arga tidak menanggapi. Fokusnya tertuju pada rumah di ujung jalan desa, yang sebentar lagi akan menjadi proyeknya.
Begitu mobil berhenti di depan rumah itu, kesan pertama yang mereka dapatkan jauh lebih buruk dari yang dibayangkan. Bangunan itu berdiri tinggi, dengan dinding kusam yang penuh retakan. Rumput liar tumbuh subur di halaman, dan jendela-jendela kayu tampak seperti sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Langit mendung yang menggantung di atas rumah semakin mempertegas suasana suram.
“Seram juga ya...” Bram bergumam pelan sambil menggaruk tengkuknya.
Arga menepis perasaan aneh yang sempat muncul di hatinya. Ini hanya rumah tua, pikirnya. Tidak lebih, tidak kurang. Tapi ada sesuatu yang membuat langkah kakinya terasa lebih berat saat berjalan menuju pintu utama.
Begitu dia membuka pintu, suara engsel yang berderit panjang terdengar, menggetarkan udara di sekitar mereka. Di dalam, bau lembab langsung menyeruak, menyergap penciuman mereka. Arga mengerutkan kening, melihat sekeliling. Ruangan utama rumah itu gelap, meskipun cahaya dari luar masih berusaha masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup debu. Lantainya dipenuhi kayu lapuk dan perabotan tua yang berserakan.
“Ada yang tinggal di sini, kayaknya enggak, ya?” ujar Bram, setengah bercanda.
“Ya, jelas lah. Rumah ini udah ditinggalin lama,” jawab Arga acuh tak acuh, meski pikirannya diam-diam terpengaruh oleh suasana rumah itu. Ada sesuatu yang tidak beres. Udara terasa berat, seolah mengancam.
Mereka mulai memeriksa setiap sudut rumah. Arga dengan seksama mencatat apa saja yang perlu diperbaiki, sementara Bram sibuk membolak-balik benda-benda tua yang tertinggal di sana. Di salah satu kamar yang paling dalam, mereka menemukan cermin besar dengan bingkai kayu berukir rumit. Cermin itu tampak bersih, meski dikelilingi oleh debu yang tebal di sekitarnya.
“Aneh,” Bram menggumam sambil mengelap permukaannya.
“Apa?” tanya Arga tanpa mengalihkan pandangan dari catatan renovasinya.
“Cermin ini. Bersih. Kayak... ada yang baru ngelap.”
Arga berhenti menulis. Dia mendekati Bram dan menatap cermin itu dengan seksama. Kilauan permukaannya yang hampir sempurna terasa kontras dengan keadaan rumah yang lain. Dia mendekat, memeriksa ukirannya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tapi dia tak tahu apa itu.
Bram tiba-tiba tersentak mundur. “Eh, tadi... gue ngeliat sesuatu di sana!” teriaknya, menunjuk ke cermin dengan mata terbelalak.
Arga menatapnya sinis. “Sesuatu apaan?”
“Gue serius, Ga! Tadi ada bayangan di balik gue. Gue ngeliatnya di cermin. Kayak ada yang lewat di belakang!”
Arga mendesah, lalu memeriksa sekitar mereka. “Nggak ada siapa-siapa, Bram. Mungkin bayangan lo sendiri.”
Bram masih terlihat gelisah, tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Namun, saat mereka meninggalkan ruangan itu, perasaan bahwa mereka sedang diawasi tak juga hilang.
Sebelum mereka menutup pintu rumah itu untuk malam itu, Arga sempat melihat sesuatu yang membuat hatinya berhenti sejenak. Sebuah jejak kaki... basah, muncul di lantai kayu yang kering. Dia berkedip, memastikan penglihatannya, namun jejak itu hilang dalam sekejap.
Arga mengguncang kepalanya, mencoba menepis perasaan itu. Dia terlalu lelah, pikirnya. Besok akan menjadi hari yang panjang, dan dia tidak punya waktu untuk hal-hal yang tak masuk akal.
Tetapi, jauh di dalam pikirannya, pertanyaan mulai merayap masuk: Apa yang sebenarnya dia masuki?
Ketukan berulang kali pada jendela mobil membangunkan Arga dari tidurnya. Ia mendongak, bingung sejenak, sebelum menyadari bahwa matahari telah naik cukup tinggi. Seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan menatapnya dari luar, ketukan pelan terus terdengar dari jari-jari tuanya yang menempel di kaca jendela.Arga membuka pintu mobilnya dengan malas. “Ada apa, Pak?”Pria tua itu, yang ternyata seorang penduduk desa, menatapnya dengan tajam. Matanya sayu namun tajam, bibirnya menyempit, seolah kata-kata yang ingin keluar terhalang di tenggorokannya. Dia mengenakan baju tradisional dengan sarung yang sudah lusuh, dan dari posturnya, pria ini tidak lebih dari sekadar petani sederhana.“Kalian dari kota, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.Arga mengangguk, sambil melirik ke arah Bram yang masih terlelap di kursi penumpang. “Iya, Pak. Saya Arga, arsitek yang ditugaskan untuk merenovasi rumah tua di ujung desa.”Pria tua itu menggeleng pelan, tapi Arga tidak bisa mengartikan ekspresi di wajahnya
Arga berdiri di halaman depan rumah tua itu, membiarkan angin sore menyentuh kulitnya yang terasa panas. Di depannya, rumah tersebut menjulang seperti raksasa yang diam, dingin, dan menunggu. Bram, yang berdiri di sampingnya, memandangi bangunan itu dengan ekspresi resah. Tidak ada lagi gurauan, tidak ada lagi canda ringan seperti biasanya. Sejak ketukan dari balik pintu kemarin, atmosfer di antara mereka terasa berubah."Lo yakin kita harus lanjut, Ga?" Bram bertanya pelan, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya sudah pasti. Arga, dengan segala sikap keras kepala dan logikanya, tentu tidak akan mundur.Arga menarik napas dalam-dalam. "Bram, kita udah di sini, udah mulai. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya sia-sia. Lagipula, nggak ada yang aneh di sini. Semuanya hanya perasaan."Bram melirik sekilas ke arah pintu depan yang sekarang tertutup rapat. Ia masih bisa mendengar suara ketukan pelan itu, meskipun mungkin hanya imajinasinya. Namun, bagian terdalam dari dirinya tahu, a
Malam itu, ketika langit sudah sepenuhnya gelap dan kabut tipis semakin tebal di luar jendela, Arga dan Bram memutuskan untuk bermalam di rumah yang mereka sewa di tepi desa. Rumah sederhana itu berjarak beberapa kilometer dari rumah tua yang mereka renovasi, cukup jauh untuk membuat mereka merasa aman... setidaknya untuk sementara.Bram tampak gelisah. Dia duduk di sofa kecil di ruang tamu, pandangannya lurus ke luar jendela yang menampilkan pemandangan suram desa Sinarjati. Angin malam berhembus pelan, membuat tirai jendela sedikit berkibar.“Kita nggak bisa terus kayak gini, Ga,” kata Bram tiba-tiba, suaranya pecah di tengah keheningan yang mencekam. “Rumah itu—apa pun yang ada di sana—gue yakin ada sesuatu. Gue ngerasa ada yang ngeliatin kita. Terutama dari cermin itu. Lo tau kan apa yang gue maksud?”Arga, yang sedang menulis catatan di laptopnya, menoleh. Matanya beralih ke Bram yang kini tampak lebih pucat daripada biasanya. Pikirannya melayang ke peristiwa sore tadi. Bayangan y
Pagi itu, setelah malam yang dipenuhi ketakutan, Arga duduk di beranda rumah sewaan mereka dengan tatapan kosong. Cahaya matahari yang lembut menyinari desa Sinarjati, namun rasanya kehangatan pagi itu tidak bisa menghapuskan rasa dingin yang merayap di balik pikirannya.Di dalam rumah, Bram akhirnya muncul, terlihat kelelahan namun tidak tampak cemas seperti yang Arga harapkan. "Pagi, Ga," sapanya sambil menggeliat malas.Arga langsung bangkit dari kursi. "Bram! Lo di mana semalam? Gue nyariin lo ke mana-mana."Bram berhenti, menatap Arga dengan bingung. "Gue tidur di mobil, bro. Gue nggak bisa tidur di rumah, suasananya terlalu creepy. Gue bilang sama lo tadi malem, tapi mungkin lo udah ketiduran duluan."Arga mengernyit, mencoba mengingat. Dia tidak ingat Bram memberitahunya hal itu. Bahkan, Bram jelas-jelas menghilang dari kamar semalam, dan ketukan serta bisikan-bisikan itu... Namun, melihat Bram di depannya dengan ekspresi biasa saja, ia mulai merasa apa yang terjadi semalam mung
Hari berikutnya, Arga dan Bram berdiri di depan rumah tua itu lagi. Matahari yang mulai terbenam melukis langit dengan warna oranye dan merah, namun rumah tua itu tampak tidak terpengaruh oleh cahaya yang indah. Bangunan itu tetap berdiri dengan angkuh, diliputi aura dingin dan suram yang tidak bisa dijelaskan.Bram menarik napas panjang, kemudian melepaskannya dengan berat. "Gue nggak percaya kita balik lagi ke sini setelah apa yang kita dengar dari Pak Kusuma."Arga menatap Bram sebentar, sebelum akhirnya berkata, "Kita harus selesaikan ini, Bram. Mungkin sekarang kita bisa lebih hati-hati setelah tahu lebih banyak. Kita punya perlindungan dari Pak Kusuma. Kita selesaikan renovasi ini, lalu kita pergi dari sini."Bram mengangguk setuju, meskipun wajahnya masih diliputi keraguan. Perlindungan dari Pak Kusuma—jimat kecil yang diberikan kepada mereka pagi itu—terasa ringan di dalam saku mereka. Pak Kusuma memperingatkan mereka untuk selalu membawa jimat itu ke mana pun mereka pergi di d
Malam telah turun, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa Sinarjati. Di luar rumah sewaan mereka, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di antara pepohonan, seolah-olah desa itu sendiri sedang bernafas. Suasana yang biasanya tenang kini terasa mencekam, apalagi setelah apa yang terjadi di rumah tua tadi siang.Arga dan Bram duduk di ruang tamu, diam dalam ketegangan yang terasa menggantung di udara. Masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Bram tampak gelisah, sesekali melirik ke arah pintu seolah-olah takut sesuatu akan masuk kapan saja. Sementara Arga masih memegang jimat dari Pak Kusuma, mengenggamnya dengan erat.“Kita harus cabut dari sini, Ga,” Bram akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan gemetar. “Ini nggak bisa diterusin. Gue nggak peduli soal kontrak atau proyek ini. Ada sesuatu yang jahat di sana, dan kita nggak bisa ngelawan.”Arga mendengus pelan, meskipun hatinya mengatakan hal yang sama. Sebagai arsitek, ia terbiasa menghadapi tantangan fisik, se
Arga berdiri terpaku di ambang pintu kamar Bram yang kosong. Kamar itu terlalu sunyi, terlalu rapi, seolah tidak pernah ada orang yang tinggal di sana. Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bram hilang—lagi. Tapi kali ini, sesuatu terasa lebih salah."Bram?" Arga memanggil sekali lagi, namun jawabannya hanya keheningan yang semakin berat. Perasaan hampa yang menyelimuti ruangan itu membuat dadanya terasa semakin sesak.Arga berjalan masuk, memeriksa setiap sudut kamar dengan napas tersengal-sengal. Tempat tidur masih rapi, tidak ada tanda-tanda kekacauan atau perlawanan. Tas Bram masih ada di sudut ruangan, namun jaketnya tidak terlihat. Arga membuka lemari, memeriksa setiap celah, tapi tidak ada yang aneh selain fakta bahwa sahabatnya lenyap begitu saja.Setelah beberapa saat memeriksa, Arga berhenti. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat terancam—bukan sekadar hilangnya Bram, tetapi kesadaran bahwa mereka sedang diawasi. Rumah
Arga berdiri di depan rumah tua itu sekali lagi. Kali ini, perasaannya berbeda. Dia tidak hanya merasa terintimidasi oleh rumah itu—dia merasa ditelan olehnya. Bayangan pepohonan yang menjulang di sekitar rumah seperti jari-jari raksasa yang siap merengkuh, seakan alam sekitar pun memperingatkannya untuk tidak melangkah lebih jauh.Liontin pemberian Pak Kusuma menggantung di lehernya, terasa dingin di kulitnya meskipun udara di luar tidak terlalu dingin. Arga menggenggam liontin itu erat, seolah-olah benda kecil ini adalah satu-satunya yang mampu menjaganya dari kegelapan yang akan dia hadapi. Keheningan menyelimuti rumah, namun ada perasaan yang terus mengganjal di hati Arga—perasaan bahwa dia tidak sendiri.Dia menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit, seperti mengundang masuk. Ini bukan lagi sekadar rumah yang rusak, penuh dengan mitos dan cerita rakyat. Rumah ini adalah perangkap, sebuah jerat yang dipasang dengan rapi untuk menjerat siapa pun yang berani memasuki wilayahnya.Arg
Desa Sinarjati, yang dulu begitu sunyi dan dipenuhi ketakutan, kini mulai berangsur kembali hidup setelah rumah tua terkutuk itu hancur. Penduduk yang selama bertahun-tahun hidup di bawah bayang-bayang kegelapan, akhirnya bisa merasakan kelegaan yang telah lama mereka rindukan. Matahari yang bersinar di atas ladang dan pepohonan tampak lebih hangat, lebih terang, seolah-olah alam itu sendiri sedang merayakan berakhirnya kutukan yang selama ini membelenggu desa.Di pasar kecil desa, para pedagang kembali dengan senyum di wajah mereka, menawarkan dagangan dengan lebih ceria daripada sebelumnya. Anak-anak mulai berlarian di jalan-jalan yang dulu sunyi, tidak lagi takut untuk mendekati area yang dulu dikenal sebagai tanah terkutuk. Suasana penuh harapan tampak mengisi setiap sudut desa, membawa angin segar yang sebelumnya tertahan oleh kegelapan.Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama.Desas-desus mulai menyebar di antara penduduk. Seiring berjalannya hari, bebe
Malam di kota seharusnya membawa keheningan yang menenangkan, namun bagi Mira, setiap malam justru terasa semakin menakutkan. Keheningan yang menyelimuti apartemennya kini bukan lagi tanda kedamaian, melainkan awal dari sesuatu yang mengerikan. Malam demi malam, kehadiran yang tak terlihat semakin kuat, membayangi setiap gerakan dan napasnya. Suara-suara yang awalnya samar kini semakin jelas, seperti sesuatu yang tak kasat mata berusaha mendekatinya.Mira berdiri di jendela apartemennya, memandangi jalanan kota yang sepi. Tirai di sebelahnya berkibar pelan, meskipun tidak ada angin yang masuk dari jendela tertutup. Dia menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan cemas yang semakin menekan dadanya. Tapi dia tahu, di dalam hatinya, bahwa apa yang dia rasakan bukanlah imajinasi semata. Sesuatu telah berubah, dan kehadiran itu semakin nyata, semakin sulit untuk diabaikan.Langkah-langkah kecil terdengar samar dari koridor apartemen, seperti seseorang sedang berjalan pelan,
Pagi itu, matahari terbit seperti biasa di luar jendela apartemen Mira, memancarkan sinar hangat yang lembut ke dalam ruang tamunya yang tenang. Hari yang cerah seharusnya membawa perasaan damai, namun bagi Mira, keheningan ini terasa tidak wajar—terlalu sunyi, terlalu kosong. Dia telah mencoba menenangkan pikirannya sejak mimpi buruk yang semakin sering menghantuinya, namun rasa cemas itu tetap melekat, merayap di sudut pikirannya.Dengan setengah sadar, Mira berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang masih lelah akibat malam tanpa tidur. Saat dia membuka keran, air dingin mengalir, memercikkan kesegaran yang sejenak menghilangkan rasa kantuk. Namun, ketika dia mengangkat wajah untuk menatap cermin, sesuatu yang aneh terjadi—sesuatu yang membuat tubuhnya membeku seketika.Di balik bayangannya sendiri di cermin, Mira melihat sekilas sosok lain, seseorang yang begitu dikenalnya. Arga. Dia berdiri di belakangnya, tersenyum samar, seperti bayanga
Mira duduk di depan meja kerjanya, menatap layar komputer yang dipenuhi dengan laporan-laporan jurnalistik yang harus dia selesaikan. Di sekitar kantor, suara ketikan cepat dan obrolan singkat antar rekan kerjanya menggema, menciptakan suasana sibuk yang biasa di tempat itu. Namun, bagi Mira, hiruk-pikuk itu tidak bisa menutupi kegelisahan yang terus menghantui pikirannya. Setiap detik terasa berat, dan di balik setiap kasus aneh yang dia tangani, ada bayangan yang selalu mengintip dari masa lalu—dari rumah tua di Desa Sinarjati.Sudah beberapa minggu sejak Mira kembali ke kota, mencoba menjalani hidupnya seperti biasa. Dia kembali bekerja sebagai jurnalis, meliput berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kota. Namun, meskipun tangannya sibuk mengetik, pikirannya terus melayang kembali ke desa, ke kegelapan yang pernah menyelimutinya, ke rumah tua yang kini hanya tinggal reruntuhan. Setiap kasus misterius yang dia tangani seolah mengingatkan pada sesuatu yang lebih be
Malam di kota besar tampak tenang, namun dalam keheningan itu, Mira tidak bisa merasa benar-benar damai. Sejak kembali dari Desa Sinarjati, rasa lega yang semula ia rasakan mulai memudar, digantikan oleh kecemasan yang kian hari kian membesar. Meskipun dia tahu rumah tua itu telah hancur, meskipun kutukan itu telah dipatahkan, ada sesuatu yang terus menghantuinya—bayangan kegelapan yang seolah-olah tidak mau pergi.Setiap malam, Mira terbangun dengan jantung berdetak kencang, peluh dingin membasahi tubuhnya, dan mimpi buruk yang selalu sama menghantuinya. Dalam mimpi itu, dia berdiri di depan rumah tua yang tak lagi ada. Kegelapan pekat menyelimuti sekeliling, dan meskipun rumah itu telah runtuh, ia merasakan kehadiran sesuatu yang lebih kuat, lebih jahat. Bayangan hitam tanpa wajah terus mendekatinya, menyeretnya ke dalam kegelapan, dan setiap kali dia mencoba melarikan diri, kakinya terbenam di tanah yang basah dan berat, seperti lumpur yang menahannya.Mira te
Matahari baru saja terbit ketika Mira menginjakkan kaki di stasiun kereta kota. Udara pagi di kota besar terasa berbeda—segar, penuh kehidupan, dan jauh dari suasana mencekam yang selama ini menyelimuti Desa Sinarjati. Suara deru kendaraan dan aktivitas pagi hari mulai menggema, menciptakan simfoni perkotaan yang dinamis. Bagi sebagian besar orang, itu hanyalah pagi yang biasa, namun bagi Mira, hari ini menandai awal yang baru, sebuah kebebasan yang baru dia rasakan.Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar masuk ke paru-parunya, merasa beban berat di pundaknya yang selama ini menghantuinya mulai terasa lebih ringan. Ketika dia meninggalkan desa, dia tahu bahwa dia tidak meninggalkan masa lalu sepenuhnya—jejak kutukan yang pernah merantai hidupnya tidak akan sepenuhnya hilang. Namun, kini dia menyadari bahwa kutukan itu bukan lagi sesuatu yang membebani atau mengurungnya. Itu hanyalah bagian dari sejarah dirinya, dan dia telah belajar menerima itu.Mira be
Pagi di Desa Sinarjati akhirnya terasa lebih tenang dari biasanya. Matahari memancarkan sinar lembutnya, menyinari desa yang selama ini dikelilingi oleh kegelapan dan ketakutan. Burung-burung berkicau di atas pepohonan, dan angin lembut membawa aroma tanah basah yang baru saja disiram embun pagi. Bagi kebanyakan orang, pagi ini terasa berbeda—seolah-olah ada beban besar yang terangkat, meskipun masih ada rasa cemas yang menyelip di antara kehidupan sehari-hari.Penduduk desa perlahan-lahan kembali ke rutinitas mereka. Pasar kecil yang dulunya sepi karena ketakutan mulai ramai lagi dengan aktivitas. Orang-orang berbincang pelan sambil melakukan pekerjaan mereka, dan anak-anak berlarian di jalan-jalan desa, meskipun kali ini mereka berhati-hati untuk tidak terlalu mendekati area bekas rumah tua yang kini telah hilang dari pandangan.Mira, yang tinggal di desa untuk sementara waktu, berjalan di antara penduduk dengan tatapan kosong namun penuh pengamatan. Meskipun r
Pagi di Desa Sinarjati membawa udara yang berbeda. Setelah pengorbanan Laras, suasana yang selama ini terasa berat dan penuh ketegangan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa hening yang mendalam. Namun, di tengah ketenangan itu, ada sesuatu yang terjadi di tengah reruntuhan rumah tua—sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah terlibat dalam kutukan yang selama ini menjerat desa.Mira berdiri diam di pinggir reruntuhan, hatinya masih dipenuhi oleh keharuan dan kesedihan setelah melihat Laras mengorbankan dirinya demi kedamaian. Pengorbanan itu, yang dilakukan dengan kesadaran penuh, membawa perasaan lega yang begitu besar. Namun, saat itu juga, Mira merasakan getaran aneh di tanah di bawah kakinya. Tanah yang selama ini terasa diam dan menyimpan energi kegelapan, kini mulai bergerak, seolah-olah sedang bersiap untuk melepaskan sesuatu.Suara gemeretak kayu yang patah terdengar di kejauhan, mengalir dari arah sisa-sisa rumah tua yang tampak lebih
Udara pagi di Desa Sinarjati terasa berat, diselimuti ketenangan yang aneh setelah malam yang penuh teror. Sinar matahari yang biasanya membawa harapan, tampak terhalang oleh sisa-sisa energi gelap yang masih mengendap di udara, seolah-olah desa itu belum benar-benar terbebas dari cengkeraman kutukan yang telah menghancurkan banyak hidup. Di tengah keheningan itu, Laras berdiri di reruntuhan rumah tua, tatapannya tegas namun penuh dengan kesedihan yang dalam. Dia tahu bahwa saat ini adalah titik akhir—satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan ini selamanya.Mira, yang baru saja mengucapkan selamat tinggal kepada Arga, berdiri di samping Laras. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik tetapi juga emosional. Namun, di tengah semua kelelahan itu, ada tekad yang tidak bisa disangkal. Mereka berdua tahu bahwa masih ada satu hal yang harus dilakukan. Kutukan ini tidak akan berhenti hanya dengan menutup portal atau menghancurkan rumah tua. Kegelapan ini membutuhkan sesuatu