Arga meremas setir mobilnya dengan satu tangan, pandangannya lurus ke depan menembus jalanan aspal yang memanjang seperti garis lurus tak berujung. Matahari siang menyengat di atas kepala, namun sejuknya AC mobil membuatnya merasa nyaman. Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
“Jadi, kamu benar-benar terima pekerjaan itu?” - Mira.
Arga tersenyum tipis, jari-jarinya bergerak cepat membalas.
“Ya, kenapa nggak? Ini proyek besar.”
Mira membalas lagi, lebih cepat dari yang dia perkirakan.
“Tapi itu rumah tua, Ga. Katanya angker. Banyak cerita buruk soal rumah itu.”
Seketika Arga menghela napas panjang. “Cerita buruk” adalah hal terakhir yang ingin dia dengar. Sebagai arsitek muda yang baru mulai meraih perhatian di dunia konstruksi, Arga merasa proyek ini adalah batu loncatan besar. Rumah tua di desa terpencil itu menawarkan tantangan arsitektural yang tak biasa, dan jika berhasil, namanya akan semakin dikenal.
“Iya, tapi itu cuma omong kosong. Aku nggak percaya yang begituan,” balas Arga dengan nada yang menunjukkan betapa santainya dia.
Namun, ada sedikit ketegangan dalam pikirannya. Dia sudah mendengar gosip yang beredar dari mulut ke mulut tentang rumah tua itu. Rumor yang aneh dan beragam: beberapa menyebutnya rumah setan, lainnya bilang tempat itu pernah menjadi lokasi pembantaian massal pada masa penjajahan. Tapi baginya, semua itu hanya mitos yang diciptakan oleh ketakutan dan imajinasi orang-orang desa.
Malam itu, saat Arga sedang mengecek kembali blueprint rumah yang akan direnovasi, Bram, sahabatnya yang juga akan membantunya dalam proyek ini, masuk dengan langkah malas ke dalam ruangan. Wajahnya kusut, ekspresi gelisah terlihat jelas.
“Ga, lo yakin mau ngambil proyek ini?” tanya Bram tanpa basa-basi.
Arga menatapnya sebentar, lalu melanjutkan memeriksa gambar-gambar arsitektural di depannya.
“Kenapa sih, lo sama Mira kompak banget? Udah, nggak usah dipikirin. Ini proyek besar, Bram. Nggak ada yang perlu dikhawatirin.”
Bram menggeleng-gelengkan kepala. “Gue dengar cerita dari penduduk desa. Rumah itu katanya pernah jadi tempat persembunyian pasukan zaman dulu. Banyak yang nggak balik dari sana, Ga. Penduduk bilang rumah itu punya... semacam aura buruk.”
Arga meletakkan pena yang sedari tadi dia pegang, lalu menatap langsung ke arah Bram.
“Gue nggak peduli sama cerita itu, Bram. Gue cuma mau selesaikan renovasi ini, dapat bayaran, dan pulang. Kita profesional. Udah gitu aja.”
Bram membuka mulutnya, seakan ingin membantah lagi, tapi ia tahu percuma. Arga selalu begini, keras kepala, terutama soal hal-hal yang berbau mistis. Bram sendiri bukan tipe yang gampang takut, tapi cerita-cerita yang dia dengar dari penduduk desa membuat punggungnya merinding. Namun, alih-alih berdebat, dia hanya mendengus pelan dan membiarkan topik itu berlalu.
Esok harinya, di bawah langit yang berangsur gelap, mobil Arga dan Bram memasuki Desa Sinarjati. Suasana desa yang tenang dan sepi menyambut mereka, seolah waktu di tempat itu bergerak lebih lambat. Hanya ada beberapa orang yang tampak di pinggir jalan, menatap mobil mereka dengan tatapan aneh.
“Desa ini... terlalu sepi ya?” Bram bergumam, memperhatikan penduduk desa yang hanya berdiri dan melihat mereka tanpa senyuman. Arga tidak menanggapi. Fokusnya tertuju pada rumah di ujung jalan desa, yang sebentar lagi akan menjadi proyeknya.
Begitu mobil berhenti di depan rumah itu, kesan pertama yang mereka dapatkan jauh lebih buruk dari yang dibayangkan. Bangunan itu berdiri tinggi, dengan dinding kusam yang penuh retakan. Rumput liar tumbuh subur di halaman, dan jendela-jendela kayu tampak seperti sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Langit mendung yang menggantung di atas rumah semakin mempertegas suasana suram.
“Seram juga ya...” Bram bergumam pelan sambil menggaruk tengkuknya.
Arga menepis perasaan aneh yang sempat muncul di hatinya. Ini hanya rumah tua, pikirnya. Tidak lebih, tidak kurang. Tapi ada sesuatu yang membuat langkah kakinya terasa lebih berat saat berjalan menuju pintu utama.
Begitu dia membuka pintu, suara engsel yang berderit panjang terdengar, menggetarkan udara di sekitar mereka. Di dalam, bau lembab langsung menyeruak, menyergap penciuman mereka. Arga mengerutkan kening, melihat sekeliling. Ruangan utama rumah itu gelap, meskipun cahaya dari luar masih berusaha masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup debu. Lantainya dipenuhi kayu lapuk dan perabotan tua yang berserakan.
“Ada yang tinggal di sini, kayaknya enggak, ya?” ujar Bram, setengah bercanda.
“Ya, jelas lah. Rumah ini udah ditinggalin lama,” jawab Arga acuh tak acuh, meski pikirannya diam-diam terpengaruh oleh suasana rumah itu. Ada sesuatu yang tidak beres. Udara terasa berat, seolah mengancam.
Mereka mulai memeriksa setiap sudut rumah. Arga dengan seksama mencatat apa saja yang perlu diperbaiki, sementara Bram sibuk membolak-balik benda-benda tua yang tertinggal di sana. Di salah satu kamar yang paling dalam, mereka menemukan cermin besar dengan bingkai kayu berukir rumit. Cermin itu tampak bersih, meski dikelilingi oleh debu yang tebal di sekitarnya.
“Aneh,” Bram menggumam sambil mengelap permukaannya.
“Apa?” tanya Arga tanpa mengalihkan pandangan dari catatan renovasinya.
“Cermin ini. Bersih. Kayak... ada yang baru ngelap.”
Arga berhenti menulis. Dia mendekati Bram dan menatap cermin itu dengan seksama. Kilauan permukaannya yang hampir sempurna terasa kontras dengan keadaan rumah yang lain. Dia mendekat, memeriksa ukirannya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tapi dia tak tahu apa itu.
Bram tiba-tiba tersentak mundur. “Eh, tadi... gue ngeliat sesuatu di sana!” teriaknya, menunjuk ke cermin dengan mata terbelalak.
Arga menatapnya sinis. “Sesuatu apaan?”
“Gue serius, Ga! Tadi ada bayangan di balik gue. Gue ngeliatnya di cermin. Kayak ada yang lewat di belakang!”
Arga mendesah, lalu memeriksa sekitar mereka. “Nggak ada siapa-siapa, Bram. Mungkin bayangan lo sendiri.”
Bram masih terlihat gelisah, tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Namun, saat mereka meninggalkan ruangan itu, perasaan bahwa mereka sedang diawasi tak juga hilang.
Sebelum mereka menutup pintu rumah itu untuk malam itu, Arga sempat melihat sesuatu yang membuat hatinya berhenti sejenak. Sebuah jejak kaki... basah, muncul di lantai kayu yang kering. Dia berkedip, memastikan penglihatannya, namun jejak itu hilang dalam sekejap.
Arga mengguncang kepalanya, mencoba menepis perasaan itu. Dia terlalu lelah, pikirnya. Besok akan menjadi hari yang panjang, dan dia tidak punya waktu untuk hal-hal yang tak masuk akal.
Tetapi, jauh di dalam pikirannya, pertanyaan mulai merayap masuk: Apa yang sebenarnya dia masuki?
Ketukan berulang kali pada jendela mobil membangunkan Arga dari tidurnya. Ia mendongak, bingung sejenak, sebelum menyadari bahwa matahari telah naik cukup tinggi. Seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan menatapnya dari luar, ketukan pelan terus terdengar dari jari-jari tuanya yang menempel di kaca jendela.Arga membuka pintu mobilnya dengan malas. “Ada apa, Pak?”Pria tua itu, yang ternyata seorang penduduk desa, menatapnya dengan tajam. Matanya sayu namun tajam, bibirnya menyempit, seolah kata-kata yang ingin keluar terhalang di tenggorokannya. Dia mengenakan baju tradisional dengan sarung yang sudah lusuh, dan dari posturnya, pria ini tidak lebih dari sekadar petani sederhana.“Kalian dari kota, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.Arga mengangguk, sambil melirik ke arah Bram yang masih terlelap di kursi penumpang. “Iya, Pak. Saya Arga, arsitek yang ditugaskan untuk merenovasi rumah tua di ujung desa.”Pria tua itu menggeleng pelan, tapi Arga tidak bisa mengartikan ekspresi di wajahnya
Arga berdiri di halaman depan rumah tua itu, membiarkan angin sore menyentuh kulitnya yang terasa panas. Di depannya, rumah tersebut menjulang seperti raksasa yang diam, dingin, dan menunggu. Bram, yang berdiri di sampingnya, memandangi bangunan itu dengan ekspresi resah. Tidak ada lagi gurauan, tidak ada lagi canda ringan seperti biasanya. Sejak ketukan dari balik pintu kemarin, atmosfer di antara mereka terasa berubah."Lo yakin kita harus lanjut, Ga?" Bram bertanya pelan, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya sudah pasti. Arga, dengan segala sikap keras kepala dan logikanya, tentu tidak akan mundur.Arga menarik napas dalam-dalam. "Bram, kita udah di sini, udah mulai. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya sia-sia. Lagipula, nggak ada yang aneh di sini. Semuanya hanya perasaan."Bram melirik sekilas ke arah pintu depan yang sekarang tertutup rapat. Ia masih bisa mendengar suara ketukan pelan itu, meskipun mungkin hanya imajinasinya. Namun, bagian terdalam dari dirinya tahu, a
Malam itu, ketika langit sudah sepenuhnya gelap dan kabut tipis semakin tebal di luar jendela, Arga dan Bram memutuskan untuk bermalam di rumah yang mereka sewa di tepi desa. Rumah sederhana itu berjarak beberapa kilometer dari rumah tua yang mereka renovasi, cukup jauh untuk membuat mereka merasa aman... setidaknya untuk sementara.Bram tampak gelisah. Dia duduk di sofa kecil di ruang tamu, pandangannya lurus ke luar jendela yang menampilkan pemandangan suram desa Sinarjati. Angin malam berhembus pelan, membuat tirai jendela sedikit berkibar.“Kita nggak bisa terus kayak gini, Ga,” kata Bram tiba-tiba, suaranya pecah di tengah keheningan yang mencekam. “Rumah itu—apa pun yang ada di sana—gue yakin ada sesuatu. Gue ngerasa ada yang ngeliatin kita. Terutama dari cermin itu. Lo tau kan apa yang gue maksud?”Arga, yang sedang menulis catatan di laptopnya, menoleh. Matanya beralih ke Bram yang kini tampak lebih pucat daripada biasanya. Pikirannya melayang ke peristiwa sore tadi. Bayangan y
Pagi itu, setelah malam yang dipenuhi ketakutan, Arga duduk di beranda rumah sewaan mereka dengan tatapan kosong. Cahaya matahari yang lembut menyinari desa Sinarjati, namun rasanya kehangatan pagi itu tidak bisa menghapuskan rasa dingin yang merayap di balik pikirannya.Di dalam rumah, Bram akhirnya muncul, terlihat kelelahan namun tidak tampak cemas seperti yang Arga harapkan. "Pagi, Ga," sapanya sambil menggeliat malas.Arga langsung bangkit dari kursi. "Bram! Lo di mana semalam? Gue nyariin lo ke mana-mana."Bram berhenti, menatap Arga dengan bingung. "Gue tidur di mobil, bro. Gue nggak bisa tidur di rumah, suasananya terlalu creepy. Gue bilang sama lo tadi malem, tapi mungkin lo udah ketiduran duluan."Arga mengernyit, mencoba mengingat. Dia tidak ingat Bram memberitahunya hal itu. Bahkan, Bram jelas-jelas menghilang dari kamar semalam, dan ketukan serta bisikan-bisikan itu... Namun, melihat Bram di depannya dengan ekspresi biasa saja, ia mulai merasa apa yang terjadi semalam mung
Hari berikutnya, Arga dan Bram berdiri di depan rumah tua itu lagi. Matahari yang mulai terbenam melukis langit dengan warna oranye dan merah, namun rumah tua itu tampak tidak terpengaruh oleh cahaya yang indah. Bangunan itu tetap berdiri dengan angkuh, diliputi aura dingin dan suram yang tidak bisa dijelaskan.Bram menarik napas panjang, kemudian melepaskannya dengan berat. "Gue nggak percaya kita balik lagi ke sini setelah apa yang kita dengar dari Pak Kusuma."Arga menatap Bram sebentar, sebelum akhirnya berkata, "Kita harus selesaikan ini, Bram. Mungkin sekarang kita bisa lebih hati-hati setelah tahu lebih banyak. Kita punya perlindungan dari Pak Kusuma. Kita selesaikan renovasi ini, lalu kita pergi dari sini."Bram mengangguk setuju, meskipun wajahnya masih diliputi keraguan. Perlindungan dari Pak Kusuma—jimat kecil yang diberikan kepada mereka pagi itu—terasa ringan di dalam saku mereka. Pak Kusuma memperingatkan mereka untuk selalu membawa jimat itu ke mana pun mereka pergi di d
Malam telah turun, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa Sinarjati. Di luar rumah sewaan mereka, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di antara pepohonan, seolah-olah desa itu sendiri sedang bernafas. Suasana yang biasanya tenang kini terasa mencekam, apalagi setelah apa yang terjadi di rumah tua tadi siang.Arga dan Bram duduk di ruang tamu, diam dalam ketegangan yang terasa menggantung di udara. Masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Bram tampak gelisah, sesekali melirik ke arah pintu seolah-olah takut sesuatu akan masuk kapan saja. Sementara Arga masih memegang jimat dari Pak Kusuma, mengenggamnya dengan erat.“Kita harus cabut dari sini, Ga,” Bram akhirnya memecah keheningan, suaranya serak dan gemetar. “Ini nggak bisa diterusin. Gue nggak peduli soal kontrak atau proyek ini. Ada sesuatu yang jahat di sana, dan kita nggak bisa ngelawan.”Arga mendengus pelan, meskipun hatinya mengatakan hal yang sama. Sebagai arsitek, ia terbiasa menghadapi tantangan fisik, se
Arga berdiri terpaku di ambang pintu kamar Bram yang kosong. Kamar itu terlalu sunyi, terlalu rapi, seolah tidak pernah ada orang yang tinggal di sana. Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bram hilang—lagi. Tapi kali ini, sesuatu terasa lebih salah."Bram?" Arga memanggil sekali lagi, namun jawabannya hanya keheningan yang semakin berat. Perasaan hampa yang menyelimuti ruangan itu membuat dadanya terasa semakin sesak.Arga berjalan masuk, memeriksa setiap sudut kamar dengan napas tersengal-sengal. Tempat tidur masih rapi, tidak ada tanda-tanda kekacauan atau perlawanan. Tas Bram masih ada di sudut ruangan, namun jaketnya tidak terlihat. Arga membuka lemari, memeriksa setiap celah, tapi tidak ada yang aneh selain fakta bahwa sahabatnya lenyap begitu saja.Setelah beberapa saat memeriksa, Arga berhenti. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat terancam—bukan sekadar hilangnya Bram, tetapi kesadaran bahwa mereka sedang diawasi. Rumah
Arga berdiri di depan rumah tua itu sekali lagi. Kali ini, perasaannya berbeda. Dia tidak hanya merasa terintimidasi oleh rumah itu—dia merasa ditelan olehnya. Bayangan pepohonan yang menjulang di sekitar rumah seperti jari-jari raksasa yang siap merengkuh, seakan alam sekitar pun memperingatkannya untuk tidak melangkah lebih jauh.Liontin pemberian Pak Kusuma menggantung di lehernya, terasa dingin di kulitnya meskipun udara di luar tidak terlalu dingin. Arga menggenggam liontin itu erat, seolah-olah benda kecil ini adalah satu-satunya yang mampu menjaganya dari kegelapan yang akan dia hadapi. Keheningan menyelimuti rumah, namun ada perasaan yang terus mengganjal di hati Arga—perasaan bahwa dia tidak sendiri.Dia menoleh ke arah pintu yang terbuka sedikit, seperti mengundang masuk. Ini bukan lagi sekadar rumah yang rusak, penuh dengan mitos dan cerita rakyat. Rumah ini adalah perangkap, sebuah jerat yang dipasang dengan rapi untuk menjerat siapa pun yang berani memasuki wilayahnya.Arg