Tiara duduk di dalam mobil sewaan, mengenakan gamis dan cadar untuk menyembunyikan identitasnya. Hatinya berdebar saat mendekati panti asuhan tempat Shara tinggal.Sudah beberapa minggu sejak terakhir kali dia menjenguk Shara secara langsung. Meskipun mereka sering video call, rasanya tidak cukup untuk mengobati kerinduan sebagai seorang ibu.Sesampainya di panti, Tiara turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk. Bu Dewi, segera menyambutnya dengan senyum hangat.“Assalamu'alaikum, Bu,” sapa Tiara dengan suara lembut.“Wa'alaikumussalam. Lama kamu gak datang?” Bu Dewi tersenyum, mengenali Tiara meski tertutup cadar.Tiara tersenyum kecil di balik cadarnya. “Alhamdulillah, baik. Saya kangen sekali sama Shara. Dia gimana?”“Shara baik-baik saja, tapi dia sering bertanya kapan mama datang lagi. Dia pasti kangen kamu,” jawab Bu Dewi sambil berjalan bersama Tiara ke ruang bermain.Saat memasuki ruangan, Tiara melihat Shara sedang bermain dengan mainan-mainan kecilnya di sudut ruangan.
Arya duduk di ruangan kantornya yang sepi untuk menunggu Tiara. Lelaki itu membeli sebuah ruko mewah di kota untuk memperlebar bisnisnya. Pabrik dan penggilingan padi diserahkan kepada beberapa paman. Namun, dia tetap mengontrol dengan rutin.Pertemuan mereka hari ini bukan sekadar pertemuan biasa. Arya telah memikirkan ide ini selama beberapa waktu. Hari ini Arya berencana menawarkan kerja sama bisnis, yang akan membuat mereka semakin dekat. Meskipun hubungannya dengan Tiara diawali dengan ketertarikan pribadi, Arya merasa ini adalah kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih erat di dunia bisnis.Tak lama kemudian, Tiara masuk dengan anggun, mengenakan blazer berwarna krem yang menambah pesonanya. Dia membawa aura percaya diri, seperti seorang wanita yang tahu apa yang diinginkan dan bagaimana mencapainya."Sudah lama menunggu?" Tiara menyapa dengan senyum tipis, lalu duduk di hadapan Arya."Ah, nggak terlalu lama kok," jawab Arya sambil tersenyum lebar. "Aku selalu senang menun
"Kau gemetaran," bisik Arya saat meraih pinggang Tiara agar semakin merapat. "Kalau begitu, kau saja yang memulai."Dan Arya menyentuh Tiara dengan lembut, lalu menghayutkan semua hasratnya dalam sentuhan yang memabukkan.***"Stop, Arya. Cukup," bisik Tiara saat lelaki itu mulai bermain di kancing kemejanya. Wanita itu merasakan ketakutan yang luar biasa. Tiara kembali terbayang akan malam itu. Akan perlakuan kasar Arya pada dirinya. Namun, saat ini lagi-lagi dia membuktikan bahwa lelaki itu memang buas. "Kau memancingku. Jangan harap lepas."Arya menolak dan tetap melanjutkan perbuatannya. Tangan lelaki itu bahkan mulai bekerja, menyentuh bagian yang disukainya. "Aku nggak mau begini."Setetes air mata Tiara yang jatuh ke pipi Arya membuat lelaki itu tersentak. Lelaki itu tersadar akan apa yang dilakukannya barusan."Maaf, Sofia," ucapnya sembari mengusap pipi Tiara yang basah. "Aku memang ingin dekat denganmu. Tapi bukan secepat ini. Aku merasa seperti.... wanita murahan."Ary
Clarisa duduk di ruang tamu rumah sembari memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Hatinya terasa berat setiap kali Arya mengatakan akan kembali ke kota.Sudah beberapa bulan terakhir ini Arya lebih sering berada di kota, dengan alasan pekerjaan. Suaminya semakin jarang menghabiskan waktu bersama Clarisa dan anak mereka di rumah.Hari ini, Clarisa merasa sudah waktunya untuk bicara. Arya harus tahu bagaimana perasaannya.Saat Arya masuk ke ruang tamu dengan handphone di tangan, Clarisa menyapanya dengan lembut. Wanita itu mencoba untuk tidak menyinggung perasaannya dari awal."Mas Arya," kata Clarisa pelan, suaranya penuh kehati-hatian. "Kita bisa ngobrol sebentar?"Arya yang sedang mengetik pesan di ponsel, mengangguk tanpa menoleh. "Iya, sebentar. Aku lagi urus kerjaan ini."Clarisa menarik napas dalam, merasa bahwa ini sudah menjadi pola yang terlalu sering. Arya selalu sibuk, bahkan ketika berada di rumah.Beberapa menit kemudian, Arya akhirnya duduk di sofa. "Apa yang mau
Saat restoran kerjasama antara Arya dan Tiara akhirnya resmi dibuka, suasana langsung meriah. Tamu-tamu mulai berdatangan, menyapa tuan rumah sambil mengagumi interior restoran yang elegan, tetapi tetap menyajikan suasana nyaman. Arya menyambut tamu-tamu penting dengan ramah. Sedangkan Tiara sibuk memastikan semua berjalan lancar. Mulai dari para staf, hidangan, hingga dekorasi yang ia rancang dengan hati-hati.Di sudut ruangan, Reyhan tampak membantu Tiara. Merekaberlihat akrab dan sesekali melontarkan candaan yang membuat Tiara tertawa.Arya, yang melihat kedekatan mereka, mulai merasa panas di dadanya. Tatapannya tak lepas dari Tiara yang tersenyum cerah setiap kali Reyhan berbisik sesuatu. Meski acara berlangsung lancar, pandangannya terus mengawasi gerak-gerik Reyhan yang menurutnya terlalu dekat dengan Tiara.“Reyhan, bisa sini sebentar?” Arya berusaha menahan nada cemburu dalam suaranya sambil melambaikan tangan pada Reyhan.Reyhan menghampiri dengan senyum santai. “Ada apa, A
"Selamat pagi, Bu Tiara," sapa salah satu karyawan ketika Tiara memasuki restoran.Tiara tersenyum dan menyapa balik sambil memeriksa ruangan. Restorannya sudah mulai ramai dikunjungi pelanggan. Dia tidak bisa menahan rasa puas melihat bisnis ini berjalan lancar. Namun, jauh di dalam hati, dia tetap fokus pada tujuannya."Gimana? Laporan keuangan sudah siap, kan?" tanya Tiara pada Reyhan yang sibuk mencatat di meja kasir.Reyhan mengangguk. "Sudah, aku tinggal print aja, kok. Omzet kita bagus banget minggu ini."Tiara mengangguk puas, matanya berbinar saat memandang sekeliling. "Memang Arya itu pebisnis yang hebat. Nggak nyangka, setiap trik yang dia ajarin selalu tepat sasaran.""Kamu benar-benar kagum sama Arya, ya?" Reyhan melirik Tiara sambil tersenyum kecil. "Biasanya kamu nggak gampang mengagumi orang."Tiara tertawa kecil. "Kagum, iya. Tapi nggak sepenuhnya percaya. Malah karena dia pintar itulah aku harus lebih hati-hati."Reyhan mengangkat alis, tatapannya tertarik. "Kamu s
“Aku sudah tahu ada yang janggal dengan laporan keuanganmu, Sofia.” Arya mengawali percakapan dengan nada marah saat memasuki apartemen Tiara.Tiara berusaha tenang meski jantungnya berdebar kencang. “Arya, aku bisa menjelaskan—”“Menjelaskan apa? Bahwa kamu telah memanipulasi semua angka di laporan? Apakah kamu benar-benar mengira aku akan percaya semua ini?” Arya memotong pembicaraan, melangkah lebih dekat ke arahnya dengan tatapan tajam.Tiara berusaha mencari kata-kata yang tepat.“Arya, itu semua nggak seperti yang kamu bayangkan. Aku melakukan ini untuk restoran kita, agar semua berjalan lancar—”“Restoran kita?!” Arya terpaksa tertawa sinis. “Jadi kamu pikir dengan memanipulasi angka, semua ini akan baik-baik saja? Kamu membuatku merasa seolah-olah aku dipermainkan.”Tiara merasa terpojok. “Arya, aku tahu ini salah. Tapi aku berusaha menyelamatkan bisnis kita. Jika kita mengalami kerugian, kita semua yang akan merasakannya.”“Aku nggak peduli dengan alasanmu! Aku merasa tert
Di ruangan kunjungan penjara yang suram dan sepi, Tiara duduk menunggu dengan gelisah. Sudah bertahun-tahun ia tak bertemu ibunya, Darsih. Sejak ia diculik Arya dan akhinrya meninggalkan Indonesia untuk mencari kehidupan baru. Ketika sosok wanita yang tampak lelah dan jauh lebih tua dari ingatannya berjalan masuk, Tiara menahan napas. Darsih tampak terkejut melihat Tiara. Matanya menyipit seakan mencoba mengenali wajah di depannya.“Ibu,” sapa Tiara pelan.Darsih mengangguk, ragu-ragu. “Kamu siapa ya?”Tiara tersenyum kecil, berusaha menahan emosi yang meluap-luap di dadanya. “Bu, ini aku… Tiara. Anak Ibu.”Darsih menatapnya lekat-lekat, wajahnya dipenuhi kebingungan. “Ndak mungkin… Tiara anakku? Kamu… bukan Tiara.”Darsih memindai sosok di depannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tiara putrinya bertubuh mungil dengan wajah ayu. Wanita yang ada di depannya ini lebih berisi, dewasa dan berambut cokelat. “Iya, Bu. Aku banyak berubah,” jawab Tiara, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku