Clarisa duduk di ruang tamu rumah sembari memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Hatinya terasa berat setiap kali Arya mengatakan akan kembali ke kota.Sudah beberapa bulan terakhir ini Arya lebih sering berada di kota, dengan alasan pekerjaan. Suaminya semakin jarang menghabiskan waktu bersama Clarisa dan anak mereka di rumah.Hari ini, Clarisa merasa sudah waktunya untuk bicara. Arya harus tahu bagaimana perasaannya.Saat Arya masuk ke ruang tamu dengan handphone di tangan, Clarisa menyapanya dengan lembut. Wanita itu mencoba untuk tidak menyinggung perasaannya dari awal."Mas Arya," kata Clarisa pelan, suaranya penuh kehati-hatian. "Kita bisa ngobrol sebentar?"Arya yang sedang mengetik pesan di ponsel, mengangguk tanpa menoleh. "Iya, sebentar. Aku lagi urus kerjaan ini."Clarisa menarik napas dalam, merasa bahwa ini sudah menjadi pola yang terlalu sering. Arya selalu sibuk, bahkan ketika berada di rumah.Beberapa menit kemudian, Arya akhirnya duduk di sofa. "Apa yang mau
Saat restoran kerjasama antara Arya dan Tiara akhirnya resmi dibuka, suasana langsung meriah. Tamu-tamu mulai berdatangan, menyapa tuan rumah sambil mengagumi interior restoran yang elegan, tetapi tetap menyajikan suasana nyaman. Arya menyambut tamu-tamu penting dengan ramah. Sedangkan Tiara sibuk memastikan semua berjalan lancar. Mulai dari para staf, hidangan, hingga dekorasi yang ia rancang dengan hati-hati.Di sudut ruangan, Reyhan tampak membantu Tiara. Merekaberlihat akrab dan sesekali melontarkan candaan yang membuat Tiara tertawa.Arya, yang melihat kedekatan mereka, mulai merasa panas di dadanya. Tatapannya tak lepas dari Tiara yang tersenyum cerah setiap kali Reyhan berbisik sesuatu. Meski acara berlangsung lancar, pandangannya terus mengawasi gerak-gerik Reyhan yang menurutnya terlalu dekat dengan Tiara.“Reyhan, bisa sini sebentar?” Arya berusaha menahan nada cemburu dalam suaranya sambil melambaikan tangan pada Reyhan.Reyhan menghampiri dengan senyum santai. “Ada apa, A
"Selamat pagi, Bu Tiara," sapa salah satu karyawan ketika Tiara memasuki restoran.Tiara tersenyum dan menyapa balik sambil memeriksa ruangan. Restorannya sudah mulai ramai dikunjungi pelanggan. Dia tidak bisa menahan rasa puas melihat bisnis ini berjalan lancar. Namun, jauh di dalam hati, dia tetap fokus pada tujuannya."Gimana? Laporan keuangan sudah siap, kan?" tanya Tiara pada Reyhan yang sibuk mencatat di meja kasir.Reyhan mengangguk. "Sudah, aku tinggal print aja, kok. Omzet kita bagus banget minggu ini."Tiara mengangguk puas, matanya berbinar saat memandang sekeliling. "Memang Arya itu pebisnis yang hebat. Nggak nyangka, setiap trik yang dia ajarin selalu tepat sasaran.""Kamu benar-benar kagum sama Arya, ya?" Reyhan melirik Tiara sambil tersenyum kecil. "Biasanya kamu nggak gampang mengagumi orang."Tiara tertawa kecil. "Kagum, iya. Tapi nggak sepenuhnya percaya. Malah karena dia pintar itulah aku harus lebih hati-hati."Reyhan mengangkat alis, tatapannya tertarik. "Kamu s
“Aku sudah tahu ada yang janggal dengan laporan keuanganmu, Sofia.” Arya mengawali percakapan dengan nada marah saat memasuki apartemen Tiara.Tiara berusaha tenang meski jantungnya berdebar kencang. “Arya, aku bisa menjelaskan—”“Menjelaskan apa? Bahwa kamu telah memanipulasi semua angka di laporan? Apakah kamu benar-benar mengira aku akan percaya semua ini?” Arya memotong pembicaraan, melangkah lebih dekat ke arahnya dengan tatapan tajam.Tiara berusaha mencari kata-kata yang tepat.“Arya, itu semua nggak seperti yang kamu bayangkan. Aku melakukan ini untuk restoran kita, agar semua berjalan lancar—”“Restoran kita?!” Arya terpaksa tertawa sinis. “Jadi kamu pikir dengan memanipulasi angka, semua ini akan baik-baik saja? Kamu membuatku merasa seolah-olah aku dipermainkan.”Tiara merasa terpojok. “Arya, aku tahu ini salah. Tapi aku berusaha menyelamatkan bisnis kita. Jika kita mengalami kerugian, kita semua yang akan merasakannya.”“Aku nggak peduli dengan alasanmu! Aku merasa tert
Di ruangan kunjungan penjara yang suram dan sepi, Tiara duduk menunggu dengan gelisah. Sudah bertahun-tahun ia tak bertemu ibunya, Darsih. Sejak ia diculik Arya dan akhinrya meninggalkan Indonesia untuk mencari kehidupan baru. Ketika sosok wanita yang tampak lelah dan jauh lebih tua dari ingatannya berjalan masuk, Tiara menahan napas. Darsih tampak terkejut melihat Tiara. Matanya menyipit seakan mencoba mengenali wajah di depannya.“Ibu,” sapa Tiara pelan.Darsih mengangguk, ragu-ragu. “Kamu siapa ya?”Tiara tersenyum kecil, berusaha menahan emosi yang meluap-luap di dadanya. “Bu, ini aku… Tiara. Anak Ibu.”Darsih menatapnya lekat-lekat, wajahnya dipenuhi kebingungan. “Ndak mungkin… Tiara anakku? Kamu… bukan Tiara.”Darsih memindai sosok di depannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tiara putrinya bertubuh mungil dengan wajah ayu. Wanita yang ada di depannya ini lebih berisi, dewasa dan berambut cokelat. “Iya, Bu. Aku banyak berubah,” jawab Tiara, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku
Di ruang kantor yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen, Arya berdiri di tengah ruangan dengan wajah merah padam, mengamuk. Dharma berada di sudut ruangan dengan wajah cemas, berusaha memahami situasi yang semakin memburuk.“Aku nggak mengerti gimana bisa Tiara membawa Shara pergi tanpa sepengetahuanku?!” teriak Arya dengan suara yang bergetar. Ia merasa marah dan frustrasi, hatinya dipenuhi kekhawatiran."Aku bahkan tak tahu hiak dia sudah kembali. Aku benar-benar lengah," tutuk Arya. Darma berusaha menenangkan Arya. “Tenang, Den Arya. Kita bisa mencarinya. Mungkin ada cara untuk melacak Tiara dan Shara.”“Cara? Cara seperti apa?” Arya memotong. “Tiara telah membawa kabur anakku. Dan kita nggak tahu ke mana mereka pergi! Ini semua nggak masuk akal!”Darma mencoba mengingatkan. “Kita juga harus memikirkan masalah lain yang lebih penting. Uang restoran yang dibawa kabur oleh Sofia. Juga kasus Tuan Baskoro yang sedang ditinjau ulang.”Arya berjalan mondar-mandir, tidak bisa mena
Dharma masuk ke ruang kerja tuannya dengan langkah tegas dan raut wajah serius. Arya, yang sedang memandangi laporan keuangan, langsung mengangkat wajahnya begitu anak buahnya datang."Permisi, Den.""Ada apa, Dharma? Kau punya kabar terbaru?" Arya bertanya dengan nada dingin tetapi penuh harap.Dharma menatap Arya dengan tenang. "Iya, Den. Saya baru mendapat kabar dari orang-orang kita di kampung. Mereka mengatakan bahwa Tiara ada di sini."Arya terdiam, mengepalkan tangannya di atas meja. “Tiara? Kau yakin dia ada di kampung ini?”Dharma mengangguk mantap. "Ya, Den. Tiara kembali ke kampung ini, kabarnya untuk mengurus peninjauan kembali kasus ibunya."Arya tertawa kecil, tapi terdengar lebih seperti ejekan. “Jadi dia kembali untuk Darsih? Setelah bertahun-tahun, dia pikir bisa menyelesaikan semuanya seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa? Sungguh wanita yang berani.”Dharma menatap Arya sejenak sebelum berkata, “Dia sudah mengambil langkah besar, Den. Mengurus peninjauan kemba
Arya melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah mantap. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada sosok yang berdiri di tengah ruangan, yang memakai selendang menutupi rambutnya. Saat melihat wajah Tiara dengan lebih jelas, Arya mulai bertepuk tangan perlahan dengan senyum sinis."Bagus sekali."Arya berjalan mendekati Tiara dengan ucapan mengejek. "Jadi… Sofia, atau harus aku panggil Tiara?" ucap Arya, suaranya rendah tapi penuh ejekan. "Wow, ternyata wanita yang selama ini aku cari-cari ada di depan mataku, berkedok identitas lain."Tiara memandang Arya tanpa gentar, meski di dalam hatinya berdebar kencang. ""Panggil saja aku apa pun yang kau mau, Arya," balas Tiara tenang. "Aku memang kembali bukan untuk sembunyi lagi."Arya tersenyum miring, matanya menyiratkan kemarahan yang tertahan. "Luar biasa. Jadi selama ini kau mempermainkanku dengan berpura-pura sebagai Sofia. Apa yang sebenarnya kau inginkan, huh?"Tiara menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosi. "Tentu sa
Malam di Taiwan itu begitu indah, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang. Seakan memberikan cahaya pada perjalanan baru Tiara dan Reyhan sebagai pasangan suami istri. Suasana kota yang ramai di siang hari kini berubah menjadi tenang dan damai. Dengan suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di sepanjang jalan.Di sebelah mereka, Shara berjalan dengan ceria, menggandeng tangan Tiara. Sementara Darsih, berjalan di samping mereka."Aku nggak percaya kita akhirnya bisa liburan bareng kayak begini," kata Tiara sambil tersenyum lebar ke arah Reyhan. "Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan."Reyhan tersenyum dan merangkul bahu Tiara, "Aku juga merasa begitu. Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai di titik ini, Tiara. Ini saat yang tepat untuk menikmati hidup."Mereka berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi dengan lampu-lampu warna-warni, menciptakan suasana yang romantis dan hangat.Shara terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar melihat lampu-lampu di sepa
Malam itu, suasana rumah Tiara begitu berbeda. Lampu-lampu kecil berbinar lembut di sepanjang taman belakang, memancarkan nuansa hangat dan romantis.Meja makan yang dihiasi lilin serta kelopak bunga mawar merah menjadi pusat perhatian. Reyhan telah merencanakan semuanya dengan sempurna.Ketika Tiara turun dari tangga, mengenakan gaun panjang berwarna biru lembut, Reyhan menatapnya tanpa berkedip. "Kamu cantik sekali malam ini," ucap Reyhan tulus, berdiri dan meraih tangan Tiara.Tiara tersenyum kecil, menyembunyikan kegugupannya. "Dan kamu selalu tampan," balasnya sambil tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana.Reyhan menarik kursi untuk Tiara. “Silakan, istriku.”Tiara duduk dengan anggun. Reyhan mengisi gelas untuk mereka berdua. Hidangan makan malam pun dimulai dengan suasana hangat. Mereka menikmati makanan favorit Tiara. Ternyata Reyhan sendiri pesan secara khusus dari restoran ternama.“Ini terlalu sempurna,” ucap Tiara setelah menyantap hidangan utamanya.Mata Tiara berb
Tiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan. Gaun itu tidak terlalu mencolok, tapi sangat pas dengan konsep intimate wedding yang mereka rencanakan. Di belakangnya, Shara berdiri memandangi sang mama dengan mata berbinar."Mama cantik sekali," ucap Shara penuh kekaguman.Tiara tersenyum, lalu membungkuk untuk memeluk Shara. "Makasih, Sayang. Kamu juga cantik dengan gaun kecilmu itu."Terdengar ketukan di pintu, lalu Reyhan masuk, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat santai tapi tetap berkelas. "Apa aku boleh melihat calon istriku?" tanyanya sambil tersenyum.Tiara menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu datang terlalu cepat. Kita belum mulai acaranya.""Kalau begitu, aku akan menunggu di luar. Tapi aku harus bilang, kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tiara," Reyhan berkata sambil menatapnya penuh cinta.Saat Tiara hendak menjawab, salah satu panitia kecil mereka datang memanggil. "Semua sudah siap. Kita bisa mulai kapan saja."Tiara dan Reyha
Acara pertunangan Tiara dan Reyhan digelar sederhana namun penuh kehangatan di sebuah restoran yang disewa khusus. Dekorasi ruangan yang didominasi warna pastel dengan lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis. Keluarga dan sahabat terdekat hadir, menyaksikan momen penting itu. Tiara, yang mengenakan dress anggun berwarna peach, tampak menawan. Sementara Reyhan tampil gagah dengan setelan jas abu-abu.Reyhan berdiri di depan semua tamu, mengambil mikrofon, dan mulai berbicara. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara yang sangat spesial ini. Hari ini, saya ingin mengungkapkan rasa syukur karena bisa berdiri di sini. Di samping wanita yang luar biasa, Tiara. Dia adalah alasan aku ingin menjadi pria yang lebih baik setiap hari.”Tiara tersipu, menundukkan wajahnya sambil tersenyum malu-malu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu. Termasuk Shara yang duduk di meja depan bersama Darsih, ibu Arya.Setelah pidato singkat Reyhan, seorang pela
Reyhan berdiri di tengah ruangan yang sudah dihias dengan indah untuk opening kedua usaha Tiara, yaitu monuman boba. Tempat itu dipenuhi dengan teman, keluarga, dan rekan bisnis yang datang untuk memberikan dukungan. Bu Dewi dan Rina juga datang. Bahkan anak-anak panti semua ikut serta dan diberikan seragam. Karena usaha yang ini letaknya di ruko dengan halaman luas, Tiara mengundang semua orang yang dikenalnya. Tiara mengenakan gaun simpel berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun. Ia sibuk menyambut tamu, mengobrol dengan beberapa mitra, dan memastikan semuanya berjalan lancar.Saat acara berjalan, Reyhan tampak lebih tenang dari biasanya, meski ada sesuatu yang mengganjal di wajahnya. Ia sering melirik Tiara, menunggu momen yang tepat."Reyhan, kenapa melamun? Semua sudah siap?" tanya Tiara saat menghampirinya dengan segelas minuman di tangan.Reyhan tersenyum. "Iya, semuanya sudah siap. Kamu tenang saja. Hari ini akan berjalan sempurna."Tiara mengangguk sambil membenahi r
Arya duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Langit mendung seperti hatinya. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Bayangan Tiara yang dingin, pelukan Shara yang erat, dan kenangan pahit masa lalu. Ia merasa seperti orang yang kehilangan arah.Arya bergumam pelan."Apa semua ini salahku? Kalau aku dulu tidak gegabah bersikap… mungkin Tiara masih di sisiku. Tapi apa? Aku malah menghancurkan semua."Supir, yang mendengar gumaman itu, bertanya hati-hati."Den Arya, apa Anda baik-baik saja? Perlu kita berhenti sebentar?"Arya menggeleng sambil memaksakan senyum kecil. "Lanjutkan saja, Pak. Kita harus cepat sampai."Tiba-tiba, ponsel Arya bergetar. Ia merogoh benda itu dari saku jas. Nama Raka, salah satu polisi yang menyrlidiki kasus bapaknya, tertera di layar. Dengan cepat, Arya menjawab."Halo, Pak. Ada apa?" tanya Arya sedikit cemas.Suara di ujung telepon terdengar serius. "Mas Arya, kami punya perkembangan penting soal kasus kematian Tuan Baskoro. Kalau memungkinka
Arya memberhentikan mobilnya di depan lokasi yang Tiara kirimkan melalui pesan singkat. Sebuah rumah sederhana tapi nyaman terlihat dari luar. Shara, yang duduk di kursi belakang, tampak murung. Arya mematikan mesin mobil lalu menoleh ke putrinya, dan tersenyum lembut.“Shara, ayo turun. Papa antar kamu ke Mama,” katanya dengan suara penuh kasih.Shara menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak mau, Papa. Aku masih mau sama Papa.”Arya menelan ludah, hatinya mencelos melihat ekspresi Shara. “Sayang, Papa nggak akan pergi jauh kok. Papa selalu ada buat kamu, meskipun kita nggak tinggal bareng.”Shara tetap terdiam, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Arya mencoba membujuknya lagi. “Gimana kalau Papa janji nanti kita jalan-jalan lagi? Kamu suka, kan, jalan-jalan sama Papa?”Shara akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih muram. Arya keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Shara. Sambil menggandeng tangan putrinya, lelaki itu melangkah ke pintu depan rumah.
Opening usaha baru Tiara berlangsung meriah di dalam sebuah mall yang ramai pengunjung. Dekorasi minimalis dengan balon berwarna pastel menghiasi booth miliknya. Sementara staf berseragam rapi dan casual menyambut tamu-tamu yang datang. Tiara mengenakan seragam yang sama, berdiri di depan booth dengan Reyhan yang setia di sisinya. Mereka tersenyum pada setiap tamu yang datang memberikan ucapan selamat."Semangat, Cantik," ujar Reyhan sambil merapikan rambut Tiara yang sedikit terjatuh di wajahnya. "Ini adalah langkah besar untuk kita."Tiara mengangguk, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Beberapa hari terkahir ini, Reyhan kerap menyentuhnya tanpa sungkan. "Semoga semuanya berjalan lancar. Aku sedikit gugup."Reyhan merangkul Tiara dengan lembut. "Kamu pasti bisa. Semua ini hasil kerja kerasmu."Namun, kegugupan Tiara bertambah ketika dia melihat Arya tiba-tiba berdiri di antara kerumunan tamu yang memadati area sekitar booth. Arya mengenakan kemeja putih polos dan celana jean
Tiara dan Reyhan duduk berseberangan di sebuah meja kafe kecil di pinggir jalan, katalog franchise berserakan di atas meja. Tiara mengambil salah satu brosur dan membaca dengan serius. "Rey, ini kelihatannya menarik," katanya sambil menunjukkan brosur tentang franchise makanan penutup premium. "Mereka punya banyak pilihan menu yang unik. Dan tren dessert seperti ini sedang naik daun."Reyhan mengangguk, mengambil brosur itu dan membacanya. "Memang bagus. Konsepnya modern, dan kalau kita bisa dapat lokasi strategis, pasti ramai. Tapi lihat ini," ujarnya sambil mengambil brosur lain. "Franchise minuman boba ini juga menarik. Brand-nya sudah terkenal. Dan mereka punya konsep drive-thru yang jarang ada di Indonesia."Tiara tertawa kecil, lalu menggeleng. "Aku suka, tapi aku lebih tertarik sama yang dessert. Lebih cocok sama gaya dan seleraku."Reyhan tersenyum, meletakkan brosur boba itu kembali di meja. "Oke, jadi kita shortlist dua ini ya? Dessert premium dan boba. Selanjutnya kit