Suara Alisha terdengar serak dan berapi-api, seolah luka lama yang mengendap di jiwanya kini menyeruak ke permukaan.Neuro menepuk dahinya keras saat mendengar racauan itu. Ia segera bangkit ketika Alisha mulai berjalan menjauh dari meja mereka dengan langkah sempoyongan.Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat wanita itu mulai mengganggu pengunjung lain di sana.Astaga! Apa ajakannya untuk berpesta kepada Alisha adalah sebuah kesalahan besar?"Aku akan menghancurkan mereka! Kalian harus tahu itu! Mereka pasti bisa kuhancurkan!"Neuro merasakan gelombang panik menyergap dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia segera merengkuh Alisha, mendekap tubuh mungilnya untuk menghentikan gerakannya yang liar.Dengan menundukkan kepala, Neuro meminta pengertian dari para pengunjung yang mulai menatap mereka dengan keheranan dan sedikit ketakutan."Maafkan rekan saya, dia mabuk berat," katanya, suaranya terdengar menenangkan namun penuh kewaspadaan.Namun, Alisha tampaknya tak ingin diam begitu saja
"Astaga!" Refleks, Evelyn menutup mulutnya mendengar penuturan pria muda di depannya. Suaranya bergetar seperti dawai yang tersentuh lembut angin senja."Ah, maafkan aku, Anda pasti kesulitan," ucapnya, nadanya mengambang di udara seolah-olah terperangkap dalam keraguan.Pria itu menggeleng kecil lalu terkekeh, suara tawanya renyah bak dedaunan kering yang diinjak pelan. "Tidak apa-apa, Nona Alisha lebih menyenangkan saat ia mabuk."Evelyn mengangkat alisnya, ketidaktahuan berputar-putar dalam benaknya seperti kupu-kupu yang tersesat dalam cahaya lilin.Melihat wanita di depannya terlihat bingung, Neuro segera mengibaskan tangannya, seolah hendak menghalau kebisuan yang mulai menebal di antara mereka. "Lupakan saja, saya hanya bercanda.""Oh begitu." Evelyn mengangguk pelan, meski dalam hatinya pernyataan itu tetap menggantung, seperti bayangan yang enggan sirna."Di mana saya bisa menempatkan Nona Alisha? Saya akan memapahnya ke kamar. Akan sulit jika Anda dan putri Anda yang melakuk
Sekali lagi, Evelyn mendaratkan pukulannya ke punggungnya. Rasa nyeri membakar, tapi tak lebih menyengat dibanding rasa malu yang mulai merayap naik ke pipinya."Dia tampan, Kak. Lebih tampan dari Kak Rean," suara kecil Zehra tiba-tiba muncul, suaranya lembut seperti embusan angin di antara bunga-bunga yang sedang merekah."Nah, kau dengar itu? Kau memberikan pengaruh buruk pada Zehra!" Evelyn kembali menghardik, seakan Alisha adalah badai yang menyerbu tanpa ampun.Alisha hanya bisa menyeringai lebar, matanya berbinar dengan kepolosan yang disengaja. Ya, mau bagaimana lagi? Ia tak sadar telah melakukan itu."Tapi, selingkuhan itu apa, Kak? Aku tidak mengerti," tanya Zehra polos, matanya yang bening memancarkan ketulusan yang membuat Alisha sedikit tersentak."Ah, selingkuhan itu teman, teman baik pria," kilah Alisha asal, suaranya meluncur seperti air yang mengalir di atas batu-batu licin. "Tapi Zehra tidak boleh mengatakan hal itu pada temanmu, oke?"Evelyn terlihat geram, namun akh
Rean tersentak saat sorot mata Alisha, tajam dan berkilat benci, menembus tubuhnya laksana belati berlumur racun.Udara di sekelilingnya terasa membeku, menggumpal dalam kesunyian yang mendadak mencekik.Tubuhnya melemas saat menyadari kebenaran yang tak bisa ia sangkal—Alisha telah mengetahui segalanya.Gea pasti telah menebarkan bisikan-bisikan beracun ke telinga istrinya, mencabik-cabik ilusi yang selama ini berusaha ia pertahankan.Rean menggeleng kecil, kepanikan menjalari nadinya seperti ular berbisa yang melata di dalam darahnya. Tidak.Ia harus menyangkal, harus merajut kebohongan yang lebih indah daripada kebenaran yang menyesakkan."Sudah kubilang, Sayang, kamu salah paham. Gea itu...""Aku melihatnya."Ucapannya terputus. Kata-kata Alisha menggema di dalam kepalanya, menyusup ke dalam jiwanya seperti pisau dingin yang menorehkan luka tak kasat mata.Apa? Apa yang telah Alisha lihat hingga kini ia menatapnya dengan begitu jijik, seolah Rean bukan lagi manusia, melainkan makh
"Bagaimana bisa kamu melewati ini sendirian, Sayang? Bagaimana bisa kamu tidak memberitahu Tante?" suara Evelyn bergetar, menggambarkan betapa hancurnya hatinya melihat keadaan Alisha.Alisha terdiam. Bahu Evelyn bergetar, tanda bahwa wanita itu tengah menangis. Dari sekian banyak keluarga yang ia miliki, hanya Evelyn yang selalu memperhatikannya sejak orang tuanya meninggal.Hubungan mereka bukan lagi sekadar bibi dan keponakan, melainkan seperti ibu dan putri kandung. Wajar jika sekarang wanita paruh baya itu begitu khawatir."Tidak apa-apa, Tante. Aku baik-baik saja. Aku bisa mengatasinya," ujar Alisha, mencoba menenangkan.Evelyn menarik bahu Alisha, matanya menelusuri wajah keponakannya dengan penuh ketidakpercayaan. "Kamu yakin?"Alisha mengangguk kecil. "Ya. Belum sepenuhnya baik, tapi aku sedang berusaha."Evelyn menghela napas panjang, memilih untuk tidak menggali lebih dalam. Membahas luka itu lagi hanya akan membuat Alisha semakin terpuruk.Lebih baik alihkan pembicaraan ke
Sebelum jalang licik itu menyelesaikan perkataannya, dengan cepat Alisha menutup teleponnya. Ia memegang kepalanya yang terasa sakit setelah mendengar ocehan Gea.Dalam satu sentakan Alisha melempar kontak Gea ke daftar kontak pemblokiran. Ini lebih baik, untuk sementara telinganya harus terbebas dari suara jalang licik itu.Namun rupanya, hari-hari tenang Alisha tidak terwujud karena esoknya Rean sudah berada di kediaman Tante Evelyn pagi sekali.Pria itu berdiri di tengah ruang tamu, matanya dipenuhi kehampaan, tangannya terlipat di depan dada dengan napas yang terdengar berat."Dia kemari lagi?" desah Alisha ke arah Evelyn yang tadi menerima Rean masuk."Ya, Sayang. Bagaimana? Kamu mau Tante mengusirnya?" tanya Evelyn, suaranya dipenuhi simpati.Alisha menghela napas panjang lalu menggeleng kecil. Setidaknya ia harus tahu dulu apa yang hendak dikatakan pria brengsek itu sekarang."Biar aku menemuinya, Tante," putusnya lalu melangkah ke arah ruang tamu, langkahnya mantap namun dipen
“Sedang apa kau di sini?" Tanya Rean sinis, suaranya mengiris udara seperti pisau tajam.Matanya yang membara tertuju pada tangan lentik Alisha yang dengan lembut menyentuh pria itu, jemarinya seolah-olah menari di atas kulit Neuro, meninggalkan jejak tak kasatmata yang membakar dada Rean.Napasnya memburu, seolah oksigen di ruangan itu telah dirampas oleh amarah yang menggelegak. Bisakah Alisha berhenti?Tidakkah dia tahu bahwa hatinya terasa seperti reruntuhan yang dilalap api setiap kali melihat jemari halusnya menyusuri setiap inci tubuh pria lain?"Kenapa kau marah-marah pada tamuku, Rean?" Suara Alisha terdengar seperti angin yang berembus melewati dedaunan, lembut namun menyimpan ketegasan yang membuat dada Rean semakin sesak.Matanya menelusuri wajah perempuan itu, mencari celah untuk menemukan jawaban, namun yang ia temukan hanyalah dinding kokoh ketidakpedulian.Tangan Alisha kini berpaling, mendarat dengan ringan di lengan kekar Neuro. Sebuah gestur sederhana, namun bagi Re
Ia terus menahan gerak Rean, mencoba menghalangi setiap gerakan pria itu saat memasukkan pakaiannya ke dalam koper.Situasi semakin kacau, pakaian berhamburan ke lantai, menciptakan kekacauan yang mencerminkan keputusasaan dalam hatinya."Jangan membuat ini semakin sulit, Gea! Tidak bisakah kau menurut saja?" suara Rean menekan, keras seperti batu karang yang diterpa gelombang."Bagaimana bisa aku diam saja saat kau berpikir untuk membuangku, Kak? Apa Kakak lupa seluruh janji kita? Kakak bilang Kakak mencintaiku?" suara Gea penuh kepedihan, tangannya mencengkram lengan Rean dengan erat, seolah takut kehilangan.Rean mendengus, sinis. "Dasar naif, kau percaya semua perkataanku? Aku melakukan itu hanya karena godaan nafsu sesaat. Dibandingkan dengan Alisha yang telah kucintai bertahun-tahun, kau tidak ada apa-apanya."Dada Gea bergemuruh, matanya memerah oleh air mata yang enggan jatuh. "Brengsek! Jadi itu cara Kakak membalas semua ketulusanku? Aku sangat mencintai Kakak, kenapa Kakak b
Kelly hanya bisa meremas foto-foto itu dengan kesal. Mustahil, bagaimana bisa Alisha menemukan jejak dirinya saat menjadi wanita penghibur beberapa tahun yang lalu.Hanya sebentar ia berada disana untuk bekerja, bagaimana mungkin Alisha bisa menemukan jejaknya?Apa Alisha memiliki orang handal yang pintar mencari informasi? Tidak mungkin. Perusahaan Alisha bukanlah perusahaan besar yang memiliki sumber daya manusia yang luar biasa."Bagaimana Kelly? Kau ingin aku mengirimnya pada Andrew?" ujar Alisha dengan senyuman miring."Atau bagaimana jika aku membeberkan hal ini ke media? Beritamu pasti akan besar seperti halnya beritaku. Bahkan aku bisa membuatnya lebih besar lagi," sambung Alisha kembali.Kelly mulai terlihat pucat pasi mendengar ucapan Alisha. Rahangnya bergemretak menahan amarah melihat Alisha yang tersenyum penuh arti. "Apa maumu?""Ha, tidak seru! Kenapa kau masih saja searogan itu saat kartu matimu ada di tanganku. Memohonlah padaku, Kelly Anderson! Baru aku akan memperca
Awalnya Alisha pikir Gea akan terbawa amarah saat ia lagi-lagi kalah darinya. Namun kali ini berbeda, Alisha terperangah saat melihat Gea malah mengangkat bibirnya membentuk sebuah senyuman. Senyuman licik nan berbahaya. Kedua tangannya ia lipat di depan lalu berkata, "Tidak apa-apa, Kelly. Aku memang sengaja kalah dari Kak Lisha,"Alisha mengangkat alis mendengar ucapan ambigu yang dilontarkan oleh Gea. Apa yang jalang ini maksud sebenarnya?"Sengaja kalah? Kenapa memangnya, Gea?" Kelly terlihat mulai memancing.Semua orang terlihat mencondongkan tubuh mereka, sama-sama ingin tahu jawaban yang akan Gea utarakan."Aku sudah mengambil semuanya dari Kak Lisha, hal ini tidak seberapa dengan pengorbanannya untukku. Dia sungguh berhati mulia mau memberikan suami tercintanya.”"Astaga, malangnya.""Kasihan sekali.""Dia tidak pandai menjaga suaminya."Alisha hanya bisa ternganga mendengar jawaban Gea. Semua orang kembali terkikik geli. Sialan, mereka sengaja menjadikan aib rumah tanggany
Alisha mengangkat wajahnya melihat ke arah depan. Matanya melebar sempurna melihat bayangan wanita itu. Raut wajah Alisha seketika mengeras melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar. Gea melangkahkan kakinya ke arah meja mereka dengan langkah mengayun. Alisha hanya bisa mengatupkan rahangnya kuat melihat penampilan Gea yang mewah malam ini. Sedang apa wanita jalang ini di sini?"Selamat malam, Kak Lisha. Akhirnya kita bertemu lagi hari ini."Melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar membuat amarah Alisha seketika bangkit. la refleks berdiri, menatap tajam ke arah Gea yang masih memasang senyum lebarnya."Apa-apaan ini, Kelly? Kenapa jalang ini ada di sini?" ujar Alisha sinis.Kelly terlihat mengangkat bahu. "Maafkan aku Alisha Sayang, tapi aku menerima semua orang yang menurutku memiliki derajat tinggi. Sekarang Gea adalah istri Rean Hadiyatma, salah satu perusahaan besar di kota ini,""Apa kalian tahu siapa dia?" Tanya Alisha sambil menunjuk Gea dengan telunjuknya."T
Dalam hati Gea bersorak mendengar ucapan Riana. Rencananya lebih lancar dari yang seharusnya berjalan. Kematian Hendriawan benar-benar menguntungkan baginya. Lihat orang-orang bodoh ini, mereka tidak tahu jika ia telah menyuntikan racun ke dalam infusan Hendriawan. Sebenarnya langkahnya untuk melenyapkan bukan bagian dari rencana, hanya saja mengingat pria tua itu bisa menjadi batu sandungan untuknya, Gea terpaksa melakukannya.Racun yang ia suntikan memang tidak dapat terdeteksi sebagai penyebab kematian, siapa yang menyangka jika pekerjaan ayahnya sebagai anggota preman cukup membantunya mengetahui informasi ini. Gea mengulas senyuman tipis. Kebencian Riana terhadap Alisha semakin membesar karena satu dua kebohongan yang ia lontarkan. la akan menjadikan Riana sebagai alat untuk menghancurkan Alisha. Tidak ada senjata yang lebih baik dibanding dari mereka yang dipenuhi dendam dan juga amarah.Dengan penuh yakin Gea mengangguk, menuruti apapun arahan Riana selanjutnya."Baik Ma, G
Suasana duka menyelimuti kediaman rumah Keluarga Hadiyatma ketika Alisha menginjakkan kakinya di sini.Semua orang berpakaian penuh hitam ikut menggambarkan betapa kelamnya hari panjang ini bagi mereka.Alisha hanya bisa menatap rumah duka itu dengan tatapan nanar. Suasana hatinya tak jua berbeda dengan suasana hati yang ditujukkan Rean dan Riana hari ini. Sedih dan putus asa.Riana terlihat masih menjerit histeris menggoncang tubuh suaminya yang terbujur kaku sementara Rean terlihat menahan lengan sang ibu untuk menguatkan hatinya yang ditinggal belahan jiwanya.Pemandangan ini sungguh memilukan membuat beberapa pelayat ikut menutup wajah, menyembunyikan tangisnya.Kedatangan Alisha dan raut wajah sedihnya nyatanya tak dapat menyentuh hati Riana sedikit pun.Melihat kedatangan Alisha yang tidak diharapkan membuat pandangan Riana berubah waspada.Wajah putus asanya seketika mengeras melihat Alisha menghampiri jasad Hendriawan. Berani sekali! Berani sekali orang yang menyebabkan kemala
Telinga Riana seolah berdenging mendengar ucapan dokter di depannya."Apa maksudnya dokter? Jangan main-main. Saya mau menemui suami saya, tadi dia masih baik-baik saja. Mana mungkin suami saya meninggal," ujar Riana menolak fakta yang baru saja dikatakan dokter di depannya."Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha namun Tuhan berkehendak lain. Nyawa suami Ibu tidak dapat kami selamatkan.”Tubuh Riana seketika melemas mendengar perkataan dokter di depannya. Tidak mungkin, tidak mungkin suaminya meninggalkannya sekarang.Dengan daya yang tersisa tinggal sedikit, Riana menghampiri ruangan Hendriawan.Tatapannya berubah nanar saat melihat tubuh kaku Hendriawan dengan wajahnya yang sudah memucat."Papa baik-baik saja kan, Pa? Papa pasti bohong kan sama Mama? Papa tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian, bukan?"Meski Riana sudah mengguncang tubuh Hendriawan berkali-kali dengan daya yang cukup keras, Hendriawan tetap tidak merespon apapun yang sudah ia lakukan."Papa jangan bercanda begini
Gea menarik nafasnya yang seketika menjadi berat lalu kembali memfokuskan pendengarannya saat Hendriawan kembali membuka suara.Hendriawan terlihat menarik tangan Alisha lembut. Melihat tatapan penuh makna yang diberikan mertuanya pada Alisha, Gea merasa ada sesuatu yang penting hendak dibicarakan oleh Hendriawan."Papa punya permintaan untuk kamu, Alisha.”"Apa itu, Pa?”"Sayang, Papa ingin kamu membatalkan gugatan kamu pada Rean, Papa mohon Sayang, tetaplah jadi menantu Papa. Kamu mau kan?"Seketika jantung Gea berhenti mendengar permohonan Hendriawan pada Alisha. Apa ia tidak salah dengar? Apa Hendriawan baru saja melarang Alisha untuk bercerai dengan Rean?Tanpa sadar Gea mengepalkan tangannya hingga kuku jari jemarinya memutih. Emosinya seketika bangkit mendengar permintaan Hendriawan yang tidak masuk akal.Tidak cukup dengan mengabaikan kehadirannya sebagai istri Rean, Hendriawan sepertinya ingin mengembalikan keadaan pernikahan Rean dan Alisha kembali seperti semula.Nafas Gea
Alisha mengerjap mendengar permintaan Hendriawan yang mendadak kepadanya. la terdiam, terlalu bingung untuk memberi jawaban kepada Hendriawan.Sebenarnya Alisha mau saja, tapi mengingat ia harus sering bertemu dengan Riana dan Gea membuat Alisha merasa enggan."Sayang? Papa mohon, kamu mau ya?"Permohonan yang sangat yang diucapkan oleh Hendriawan membuat Alisha menjadi tidak tega. la melirik ke arah Rean yang sepertinya ikut menunggu jawaban darinya.Alisha menghela nafasnya berat lalu mengangguk. Meski ia enggan, tidak mungkin ia menolak permintaan Hendriawan secara terang-terangan seperti ini."Aku akan berusaha, Pa," jawabnya tidak yakin.Hendriawan mengulas senyuman kembali saat mendengar jawaban Alisha. Netra Hendriawan yang terlihat semakin sayu membuat Alisha memintanya untuk kembali beristirahat."Sebaiknya Papa istirahat sekarang. Jangan memikirkan banyak hal yang tidak perlu."Hendriawan mengangguk lalu mulai memejamkan mata. Alisha segera menarik selimutnya lalu menaikkann
Alisha terlonjak mendengar ucapan Rean. "Papa sakit? Tunggu, apa penyakitnya kambuh lagi?""Begitulah. Jadi Alisha, bisa kau bantu aku dan segera datang kemari? Kita lupakan sejenak permasalahan yang tengah kita hadapi. Alisha, Papa membutuhkan dukungan kita sekarang. Kau bisa melakukannya?"Alisha menghela nafasnya panjang mendengar permintaan Rean. Bagaimana bisa ia menolak permintaan Rean saat Hendriawan membutuhkannya? la memijat keningnya sejenak lalu kemudian mengangguk kecil. Benar, untuk sementara lupakan dulu permasalahannya dengan para manusia brengsek ini. la harus membantu Hendriawan pulih dari sakitnya."Baiklah, dimana Papa dirawat?" Tanya Alisha cepat, tidak ingin berbasa basi hal yang tidak perlu dengan Rean."Ah, Rumah Sakit Kencana, dekat rumah kita.”"Rumahmu dengan Gea," ralat Alisha cepat."Ya ya, terserah. Jadi kau bisa kemari? Kau mau aku jemput?"Kening Alisha berkerut tidak senang mendengar ucapan Rean, "Menurutmu setelah apa yang kau lakukan tadi aku masih i