"Astaga!" Refleks, Evelyn menutup mulutnya mendengar penuturan pria muda di depannya. Suaranya bergetar seperti dawai yang tersentuh lembut angin senja."Ah, maafkan aku, Anda pasti kesulitan," ucapnya, nadanya mengambang di udara seolah-olah terperangkap dalam keraguan.Pria itu menggeleng kecil lalu terkekeh, suara tawanya renyah bak dedaunan kering yang diinjak pelan. "Tidak apa-apa, Nona Alisha lebih menyenangkan saat ia mabuk."Evelyn mengangkat alisnya, ketidaktahuan berputar-putar dalam benaknya seperti kupu-kupu yang tersesat dalam cahaya lilin.Melihat wanita di depannya terlihat bingung, Neuro segera mengibaskan tangannya, seolah hendak menghalau kebisuan yang mulai menebal di antara mereka. "Lupakan saja, saya hanya bercanda.""Oh begitu." Evelyn mengangguk pelan, meski dalam hatinya pernyataan itu tetap menggantung, seperti bayangan yang enggan sirna."Di mana saya bisa menempatkan Nona Alisha? Saya akan memapahnya ke kamar. Akan sulit jika Anda dan putri Anda yang melakuk
Sekali lagi, Evelyn mendaratkan pukulannya ke punggungnya. Rasa nyeri membakar, tapi tak lebih menyengat dibanding rasa malu yang mulai merayap naik ke pipinya."Dia tampan, Kak. Lebih tampan dari Kak Rean," suara kecil Zehra tiba-tiba muncul, suaranya lembut seperti embusan angin di antara bunga-bunga yang sedang merekah."Nah, kau dengar itu? Kau memberikan pengaruh buruk pada Zehra!" Evelyn kembali menghardik, seakan Alisha adalah badai yang menyerbu tanpa ampun.Alisha hanya bisa menyeringai lebar, matanya berbinar dengan kepolosan yang disengaja. Ya, mau bagaimana lagi? Ia tak sadar telah melakukan itu."Tapi, selingkuhan itu apa, Kak? Aku tidak mengerti," tanya Zehra polos, matanya yang bening memancarkan ketulusan yang membuat Alisha sedikit tersentak."Ah, selingkuhan itu teman, teman baik pria," kilah Alisha asal, suaranya meluncur seperti air yang mengalir di atas batu-batu licin. "Tapi Zehra tidak boleh mengatakan hal itu pada temanmu, oke?"Evelyn terlihat geram, namun akh
Rean tersentak saat sorot mata Alisha, tajam dan berkilat benci, menembus tubuhnya laksana belati berlumur racun.Udara di sekelilingnya terasa membeku, menggumpal dalam kesunyian yang mendadak mencekik.Tubuhnya melemas saat menyadari kebenaran yang tak bisa ia sangkal—Alisha telah mengetahui segalanya.Gea pasti telah menebarkan bisikan-bisikan beracun ke telinga istrinya, mencabik-cabik ilusi yang selama ini berusaha ia pertahankan.Rean menggeleng kecil, kepanikan menjalari nadinya seperti ular berbisa yang melata di dalam darahnya. Tidak.Ia harus menyangkal, harus merajut kebohongan yang lebih indah daripada kebenaran yang menyesakkan."Sudah kubilang, Sayang, kamu salah paham. Gea itu...""Aku melihatnya."Ucapannya terputus. Kata-kata Alisha menggema di dalam kepalanya, menyusup ke dalam jiwanya seperti pisau dingin yang menorehkan luka tak kasat mata.Apa? Apa yang telah Alisha lihat hingga kini ia menatapnya dengan begitu jijik, seolah Rean bukan lagi manusia, melainkan makh
"Bagaimana bisa kamu melewati ini sendirian, Sayang? Bagaimana bisa kamu tidak memberitahu Tante?" suara Evelyn bergetar, menggambarkan betapa hancurnya hatinya melihat keadaan Alisha.Alisha terdiam. Bahu Evelyn bergetar, tanda bahwa wanita itu tengah menangis. Dari sekian banyak keluarga yang ia miliki, hanya Evelyn yang selalu memperhatikannya sejak orang tuanya meninggal.Hubungan mereka bukan lagi sekadar bibi dan keponakan, melainkan seperti ibu dan putri kandung. Wajar jika sekarang wanita paruh baya itu begitu khawatir."Tidak apa-apa, Tante. Aku baik-baik saja. Aku bisa mengatasinya," ujar Alisha, mencoba menenangkan.Evelyn menarik bahu Alisha, matanya menelusuri wajah keponakannya dengan penuh ketidakpercayaan. "Kamu yakin?"Alisha mengangguk kecil. "Ya. Belum sepenuhnya baik, tapi aku sedang berusaha."Evelyn menghela napas panjang, memilih untuk tidak menggali lebih dalam. Membahas luka itu lagi hanya akan membuat Alisha semakin terpuruk.Lebih baik alihkan pembicaraan ke
Sebelum jalang licik itu menyelesaikan perkataannya, dengan cepat Alisha menutup teleponnya. Ia memegang kepalanya yang terasa sakit setelah mendengar ocehan Gea.Dalam satu sentakan Alisha melempar kontak Gea ke daftar kontak pemblokiran. Ini lebih baik, untuk sementara telinganya harus terbebas dari suara jalang licik itu.Namun rupanya, hari-hari tenang Alisha tidak terwujud karena esoknya Rean sudah berada di kediaman Tante Evelyn pagi sekali.Pria itu berdiri di tengah ruang tamu, matanya dipenuhi kehampaan, tangannya terlipat di depan dada dengan napas yang terdengar berat."Dia kemari lagi?" desah Alisha ke arah Evelyn yang tadi menerima Rean masuk."Ya, Sayang. Bagaimana? Kamu mau Tante mengusirnya?" tanya Evelyn, suaranya dipenuhi simpati.Alisha menghela napas panjang lalu menggeleng kecil. Setidaknya ia harus tahu dulu apa yang hendak dikatakan pria brengsek itu sekarang."Biar aku menemuinya, Tante," putusnya lalu melangkah ke arah ruang tamu, langkahnya mantap namun dipen
“Sedang apa kau di sini?" Tanya Rean sinis, suaranya mengiris udara seperti pisau tajam.Matanya yang membara tertuju pada tangan lentik Alisha yang dengan lembut menyentuh pria itu, jemarinya seolah-olah menari di atas kulit Neuro, meninggalkan jejak tak kasatmata yang membakar dada Rean.Napasnya memburu, seolah oksigen di ruangan itu telah dirampas oleh amarah yang menggelegak. Bisakah Alisha berhenti?Tidakkah dia tahu bahwa hatinya terasa seperti reruntuhan yang dilalap api setiap kali melihat jemari halusnya menyusuri setiap inci tubuh pria lain?"Kenapa kau marah-marah pada tamuku, Rean?" Suara Alisha terdengar seperti angin yang berembus melewati dedaunan, lembut namun menyimpan ketegasan yang membuat dada Rean semakin sesak.Matanya menelusuri wajah perempuan itu, mencari celah untuk menemukan jawaban, namun yang ia temukan hanyalah dinding kokoh ketidakpedulian.Tangan Alisha kini berpaling, mendarat dengan ringan di lengan kekar Neuro. Sebuah gestur sederhana, namun bagi Re
Ia terus menahan gerak Rean, mencoba menghalangi setiap gerakan pria itu saat memasukkan pakaiannya ke dalam koper.Situasi semakin kacau, pakaian berhamburan ke lantai, menciptakan kekacauan yang mencerminkan keputusasaan dalam hatinya."Jangan membuat ini semakin sulit, Gea! Tidak bisakah kau menurut saja?" suara Rean menekan, keras seperti batu karang yang diterpa gelombang."Bagaimana bisa aku diam saja saat kau berpikir untuk membuangku, Kak? Apa Kakak lupa seluruh janji kita? Kakak bilang Kakak mencintaiku?" suara Gea penuh kepedihan, tangannya mencengkram lengan Rean dengan erat, seolah takut kehilangan.Rean mendengus, sinis. "Dasar naif, kau percaya semua perkataanku? Aku melakukan itu hanya karena godaan nafsu sesaat. Dibandingkan dengan Alisha yang telah kucintai bertahun-tahun, kau tidak ada apa-apanya."Dada Gea bergemuruh, matanya memerah oleh air mata yang enggan jatuh. "Brengsek! Jadi itu cara Kakak membalas semua ketulusanku? Aku sangat mencintai Kakak, kenapa Kakak b
Rean terpaku, pikirannya berkecamuk hebat, seakan ditarik oleh dua kutub yang berlawanan. Jika membiarkan Gea menggugurkan bayi ini, ia akan menjadi pembunuh darah dagingnya sendiri.Namun, jika ia bertanggung jawab, ia tahu Alisha akan membencinya lebih dari yang pernah ia bayangkan.Bahu Gea bergetar hebat saat melihat Rean tetap diam, bibirnya mengeluarkan isakan kecil yang terdengar memilukan. Air matanya bergulir perlahan, jatuh ke pipinya yang pucat."Jadi Kakak tetap ingin aku pergi dari sini?" Suaranya bergetar, memantulkan kekecewaan yang terlalu dalam untuk disembunyikan.Helaan napas panjang keluar dari bibir Gea, ia menatap Rean dengan sorot mata yang telah kehilangan harapan."Baik, aku akan pergi. Tenang saja, aku juga akan mencari tempat aborsi yang aman agar tidak ada siapapun yang mengetahui ini. Kakak tidak perlu khawatir."Rean membeku di tempatnya, merasa seperti tenggelam dalam lautan yang tak berujung. Setiap detik yang berlalu terasa seperti pisau yang mengiris
Rean mendesah panjang, namun kemudian ia menegakkan tubuhnya. "Baik, ada apa?""Sepertinya Robert Corporation menarik kerja samanya dengan kita.""Apa?" Kepala Rean terasa sakit mendengar ucapan Mona."Kenapa? Kenapa mereka ingin menarik kerja sama dengan kita?" tanya Rean berang."Mereka tidak menjelaskan secara spesifik, tapi mereka hanya berkata bahwa produk kita tidak memiliki kualisifikasi yang memenuhi untuk masuk pasar internasional.”Rean memijat kepalanya yang semakin pening mendengar penuturan Mona. Tidak bisa, ia tidak bisa kehilangan kerja sama ini.la sudah bekerja sangat keras untuk mencapai kesepakatan ini. Bagaimana bisa mereka membatalkannya setelah kesuksesannya di depan mata?"Aku akan pergi menemui Tuan Robert," Rean segera bangkit berdiri.la mengambil kunci mobilnya yang berada di atas meja kerjanya lalu bergegas pergi ke perusahaan Robert Corporation. Tuan Robert harus bisa menjelaskan alasannya membatalkan kerja sama ini."Kenapa aku tidak bisa menemuinya?" Rea
Saat mendengar nama Alisha, Riana ikut bergegas ke arah pintu. Darahnya seketika naik melihat menantu yang ia benci berdiri disana tanpa takut."Mau apa kau ke sini?" Riana bertanya dengan nada sinis, dadanya terlihat naik turun menahan segala desakan gejolak amarah yang ia rasakan saat bertemu kembali dengan Alisha.Gara-gara Alisha, hubungannya dengan Hendriawan mengalami perang dingin. Hendriawan bahkan memilih pergi dari rumah untuk menghindari ia dan Gea sekarang."Mau apa lagi kau dari kami? Mau mengacaukan hari tenang dan kebahagiaan baru kami di rumah ini, begitu?" Tanya Gea dengan berkacak pinggang.Alisha tersenyum miring melihat tingkah Gea, "Wah Gea, sekarang setelah menjadi istri Rean, tingkat percaya dirimu semakin bertambah. Kau bahkan melupakan nada bicara sopanmu padaku.”Gea mendengus keras. "Untuk apa lagi aku bersikap sopan padamu? Hubungan kekerabatan kita sudah usai. Aku tidak memiliki kewajiban untuk memanggilmu Kakak seperti biasa.”"Ah, kau benar, setelah semu
Netra Alisha melebar mendengar ucapan Neuro. Sebelum Alisha dapat mencegahnya, Neuro sudah merangsek masuk ke dalam kamar mandi."Aku benar-benar hanya akan mandi, depresiku tidak mungkin muncul lagi pagi ini," kilah Alisha sambil mengibaskan tangan mengusir Neuro."Tidak mau!” Neuro bersikeras lalu menghampiri Alisha.Alisha menelan ludah, lagi-lagi godaan tubuh polos Neuro kembali menggodanya, membuat hormon dopaminnya naik seketika. Sial.Netra Alisha mengerjap tidak ingin semakin larut dalam godaan indah itu. la memutuskan mendorong tubuh Neuro untuk menjauh, namun perbandingan kekuatan yang cukup jauh diantara mereka membuat tubuh mereka malah semakin menempel. Shit!Alisha merutuk saat tonjolan-tonjolan di dada Neuro menyentuh kulitnya yang basah."Nona...."Suara serak yang terdengar dari mulut Neuro membuat Alisha kembali merasakan gelenyar aneh di tubuhnya.Alisha hanya bisa menunduk, mengalihkan pandangannya kemana pun asal jangan ke arah Neuro.Dalam hati ia kembali merutuk
Neuro bangkit, membuka lemarinya lalu mencari-cari sesuatu yang bisa Alisha pakai. Neuro menemukan kemeja putih yang sepertinya akan cocok di badan Alisha yang mungil lalu menariknya keluar.la kembali menghampiri Alisha yang kini terduduk diam. Neuro mulai membuka resleting gaun Alisha. Gerakan tangannya tiba-tiba terhenti saat Alisha mengecup bibirnya lembut.Netra Neuro melebar sempurna saat bibir gadis itu mulai menyapu area bibirnya beberapa kali.Neuro mulai mengatur pemikirannya lagi, memberikan pengarahan pada tubuhnya agar membuat gadis itu merasa nyaman.Neuro mulai mengikuti permainan yang Alisha lakukan. Namun, permainan kali ini Neuro membuat ritmenya lebih lembut dan teratur agar kenyamanan Alisha tidak terusik.Tidak banyak yang bisa mereka katakan, hanya sorot mata yang berbicara betapa dalamnya perasaan yang tengah Neuro salurkan.Alisha harus tahu bahwa ia sungguh-sungguh dalam setiap tindakannya, ia sungguh-sungguh akan mengangkat gadis itu ke dasar melupakan seluru
"Kau tidak keberatan jika aku membawamu ke sini?" tanya Neuro saat mereka telah sampai di depan pintu apartemennya.Alisha terlihat mengangguk lemah. Tatapan nanar dan raut wajah putus asanya tidak juga berubah sejak mereka meninggalkan area pesta pernikahan.Alisha terlihat seperti mayat hidup yang berjalan tak tahu arah. Raganya mungkin ada disini, namun jiwanya melayang entah kemana.Neuro hanya bisa mendesah melihat pemandangan menyakitkan ini. Kesakitan Alisha hari ini pasti terlalu berat untuk gadis itu terima.Alisha berubah menjadi sangat pendiam, dia bahkan tidak protes saat Neuro mengajaknya ke apartemen pribadinya. Atau mungkin Alisha bahkan tidak sadar kemana Neuro sudah membawanya.Melihat keadaan Alisha yang kacau seperti ini membuat Neuro tidak bisa meninggalkan gadis itu sendirian.Dengan keadaannya yang seperti ini, Alisha pasti tidak akan pergi ke rumah Tante Evelyn karena tidak ingin membuatnya khawatir.Neuro memilih hal ini karena ini satu-satunya cara ia bisa mem
Tubuh Gea bergetar. Bibirnya ingin mengatakan sesuatu, ingin membela diri, tetapi tidak ada suara yang keluar.Matanya memanas, penglihatannya mulai kabur oleh air mata yang menggenang. Ini bukan yang ia bayangkan. Ini bukan pernikahan yang ia impikan.Melihat Gea menangis dan Rean yang terluka, Riana segera pasang badan. Ia maju selangkah, berdiri di antara suami dan anaknya. Matanya menyala dengan perlawanan."Pa, cukup!" suaranya menggema, berusaha menandingi kemarahan Hendriawan."Apa Papa tahu semua ini tidak akan terjadi jika Alisha tidak menyebarluaskan video itu? Mama yakin, ini pasti ada sangkut pautnya dengan Alisha! Seharusnya Papa menyalahkan Alisha, bukan Rean atau Gea! Mereka hanya menikah!"Hendriawan mendengus sinis. "Mama benar-benar buta dengan kebencian Mama sendiri," katanya dengan suara dingin yang mampu membekukan darah."Ini tidak akan terjadi jika Rean menjaga kesetiaannya. Dan lebih dari itu, ini tidak akan terjadi jika Mama tidak ikut campur dalam urusan anak
"Astaga, jadi kau menyalahkan aku atas semua perbuatanmu? Begitu, Gea?""Diam!"Rean dan Gea seketika berhenti lalu menatap Riana yang datang dengan wajah murka."Seharusnya kalian bahagia saat ini, kenapa malah berdebat dan saling melempar kesalahan?"Tangisan Gea membuncah, seketika ia berlari ke arah Riana lalu memeluknya erat."Seharusnya kamu tunjukkan kepada Alisha bahwa kamu bahagia dengan pilihanmu ini, Rean. Kenapa kamu malah memarahi Gea?""Tapi Ma, aku tidak mau kehilangan Alisha. Aku tidak rela melihatnya pergi dan berpaling kepada Neuro. Alisha itu istriku, dia adalah wanita yang paling aku cintai,""Dia sudah membuangmu, Rean. Sadarlah!" ucap Riana dengan penekanan yang kuat.Rean hanya bisa terduduk pasrah mendengar ucapan Riana. Ucapan ibunya memang benar—dia telah dibuang oleh Alisha.Dia telah menghina kita hari ini. Acara kita menjadi bahan perbincangan di sepanjang pesta, menjadi gunjingan di antara para tamu yang menatap kita dengan sorot mata penuh ejekan.Mama m
Air mata haru menggenang di sudut matanya. Ini adalah momen yang telah ia tunggu-tunggu. Tuhan telah menjawab doanya.Namun, kebahagiaan yang baru saja ia genggam seketika terhenti ketika sebuah suara menggelegar dari sudut ruangan."Kenapa kalian tidak mengundang istri pertama ke pernikahan ini? Wah, aku tidak menyangka jika suamiku telah berhasil direbut olehmu, Gea."Suasana di aula berubah seketika. Desas-desus memenuhi udara, membentuk gelombang kebingungan dan keterkejutan. Gea membeku di tempatnya.Matanya membelalak saat sosok yang dikenalnya berdiri di bawah panggung dengan senyum menantang.Alisha.Dengan gaun putih mewah yang membalut tubuhnya, serta wajahnya yang dipoles riasan lembut, ia terlihat tak kalah anggun.Para tamu yang awalnya terfokus pada Gea dan Rean kini mengalihkan perhatian mereka ke sosok Alisha, yang berdiri tegak dengan aura yang begitu kuat.Senyum yang ia layangkan bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh makna, seolah ia adalah badai yang siap me
Alisha mencoba mempertahankan raut wajah datarnya lalu mengembalikan ponsel Rean.Jemarinya yang ramping melayang sejenak sebelum benar-benar melepaskan benda itu, seakan ingin mengabadikan sensasi dingin logam di kulitnya—sebuah kemenangan kecil yang hanya ia sendiri yang tahu.Di dalam dada, sebuah kepuasan mekar, semanis racun yang perlahan-lahan menjalar ke seluruh tubuh. Ia telah berhasil memasang aplikasi pelacak tanpa dicurigai. Siapa sangka kecemburuan Rean terhadap Neuro justru menjadi senjatanya?"Kenapa kau diam saja? Bagaimana? Sekarang kau percaya perkataanku bahwa hubunganku dengan Gea sudah berakhir, bukan?" Suara Rean bergetar, mengandung harapan yang nyaris putus asa.Alisha menggeleng perlahan, seperti angin musim gugur yang dengan lembut menolak jatuhnya daun terakhir. "Tidak."Tatapan Rean menegang. Sejenak, mata itu memancarkan keputusasaan sebelum kembali tajam, mencoba membaca sesuatu di wajah Alisha. "Apa? Memangnya ada hal aneh di dalam ponselku itu?""Tidak a