“Ah, brengsek kalian! Brengsek!” suara Alisha meledak seperti petir di langit yang kelam. Jemarinya mencengkeram erat setir mobil, sementara air matanya berjatuhan, membasahi pipinya yang telah lama kehilangan cahaya.
Ia hanya ingin pergi. Pergi jauh dari segalanya—dari rasa sakit yang mengguncang setiap serat keberadaannya, dari bayangan kebahagiaan palsu yang kini tampak seperti lelucon kejam.
Kehidupan rumah tangga yang selama ini ia banggakan, seolah mahkota berlian di kepala, runtuh menjadi debu oleh ulah pengkhianatan.
Dan tidak sembarang pengkhianatan; yang menusuk hatinya adalah darah dagingnya sendiri, sepupunya selingkuh dan bermain gila dengan suaminya. Ini benar-benar menyakitkan!
Akhirnya, mobil itu berhenti dengan derit menyakitkan di depan sebuah bar malam. Alisha turun, melemparkan kunci mobil kepada penjaga tanpa sepatah kata, dan melangkah masuk dengan langkah yang tegas namun rapuh.
“Nona, Anda baik-baik saja? Sebenarnya Anda mau ke mana?” tanya seorang pria yang tiba-tiba menghampirinya dengan suara yang dalam dan bergetar lembut, seperti alunan cello yang menghentikan badai.
Alisha tersenyum, senyum yang lebih mirip luka terbuka daripada kebahagiaan. “Kau tampan,” gumamnya, nyaris seperti desahan.
Jemarinya, seolah digerakkan oleh sesuatu di luar kendalinya, menyentuh bibir pria itu. Lalu, seperti petir yang menyambar tanpa aba-aba, ia mendekat.
Cup!
Ciuman itu mendarat dengan kelembutan yang tak terduga. Pria itu terpaku, matanya melebar, sementara Alisha tersenyum samar. “Tampan,” bisiknya, suaranya seperti angin yang berbisik di telinga. “Kau mau jadi selingkuhanku?”
Kata-kata itu meluncur dari bibirnya seperti racun yang manis. Pria itu menatapnya dengan mata penuh kebingungan dan keterkejutan.
Ia tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini. Selingkuhan? Konsep itu seperti tanah asing baginya, namun ada sesuatu yang menarik—sesuatu yang gelap, menggoda, dan tidak terjelaskan.
“Kau menantangku?” suaranya menggema seperti denting baja, memastikan niat di balik kata-kata penuh keberanian itu.
Wanita di depannya hanya mengangguk, lalu tertawa—tawa yang memancarkan aura seperti racun manis yang mengundang bahaya.
Senyumnya memperlihatkan deretan gigi putih sempurna, namun di balik keindahan itu ada sesuatu yang liar, tak terkendali. “Ya,” jawabnya, dengan nada yang setenang badai yang baru saja mereda.
“Kau mau? Bagaimana jika kita memulainya dengan... tidur bersama?” katanya, dengan keberanian yang membakar udara di antara mereka.
Seperti percikan api yang menyentuh tumpukan jerami kering, hasrat Neuro yang hampir terkubur oleh akal sehat kembali menyala.
Matanya menyapu wanita itu, menghafal setiap lekuk wajahnya, setiap tatapan tajam yang menghujam.
Ia tak salah dengar, wanita ini yang lebih dulu mengundangnya ke permainan berbahaya ini. Jika ia menolak, tidakkah itu akan menghancurkan serpihan terakhir dari harga diri wanita ini?
“Baiklah. Kita pergi,” katanya singkat namun tegas, menggenggam tangan wanita itu dengan hangat yang bercampur bara.
Ia memimpin langkahnya ke ruangan VIP di lantai atas, tempat yang diselimuti keintiman dan gelapnya rahasia.
“Siapa namamu, pria tampan?” tanyanya dengan suara lembutnya.
“Neuro.”
“Um! Nama yang indah.”
Namun sebelum pintu terbuka, wanita itu telah menyerangnya lebih dulu. Bibirnya yang lembut mendarat di bibir Neuro dengan kelaparan yang menggetarkan.
Neuro terkesiap, tapi segera membalas ciuman itu dengan gairah yang sama ganasnya. Nafas mereka bertaut, saling mencuri oksigen, sementara tubuh mereka semakin tenggelam dalam tarian panas yang tak terhindarkan.
Wanita itu jauh dari apa yang Neuro bayangkan. Tidak ada jejak rasa malu, hanya keberanian mentah yang mengalir dalam setiap gerakannya.
Lidah mereka menari, liar dan tak terkendali, menyapu setiap sudut rongga mulut dengan keserakahan yang tak terpuaskan.
Neuro merasa dirinya terombang-ambing dalam badai, dikuasai oleh wanita yang tampaknya memahami setiap sisi gelap hasratnya.
Ia mengerang saat bibir wanita itu mulai menelusuri kulitnya, meninggalkan jejak panas di sepanjang leher hingga dadanya. Sensasi itu seperti aliran listrik yang menjalar di setiap sarafnya, membuat pikirannya kabur.
“Wanita ini terlalu berani,” pikir Neuro, tetapi ia tahu ia menyukai setiap detiknya.
Perannya terbalik—biasanya, ia yang menjadi penguasa permainan ini, tetapi kini ia merasa tunduk pada dominasi wanita ini.
Siapa sebenarnya dia? Bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu mahir menaklukkan dirinya dalam waktu sesingkat ini?
Namun pertanyaan-pertanyaan itu hilang begitu saja ketika Neuro memutuskan untuk mengambil alih.
Ia meraih gaunnya dengan gerakan liar, menariknya hingga robek separuh, memperlihatkan tubuhnya yang bagai pahatan seni hidup.
Neuro menelan ludah. Tubuh wanita itu seperti porselen, halus tanpa cela, memantulkan kilauan samar dari cahaya lampu.
Tanpa berkata-kata, Neuro memeluk wanita itu dan melemparkannya ke ranjang, membiarkan dirinya hanyut dalam kenikmatan yang baru saja dimulai.
Permainan mereka baru saja dimulai, dan malam ini, Neuro tahu, tidak ada ruang untuk menyesal.
Neuro menggeram pelan, meminta agar benda itu terdiam. Sabar dia harus sabar, wanita ini bukan wanita yang akan ia tiduri secara sembarangan.
la akan memanjakannya, menyesap seluruh inchi di tubuh indah itu sampai seluruh dahaganya tersalurkan.
“Aku tidak tahan lagi, ah…” suara itu meluncur dari bibir wanita itu, seperti bisikan lembut di tengah badai yang membara.
Neuro tahu persis apa arti dari kata-kata itu. Ia tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Dengan gerakan yang penuh naluri, ia menyingkap rok wanita itu, membiarkan kain itu melayang ke udara sebelum mendarat entah di mana.Namun, ketika ia hendak menanggalkan pakaian itu sepenuhnya, tangannya dihentikan oleh jemari lentik wanita itu.“Lakukan seperti ini saja. Aku… sudah tidak tahan,” ucapnya, dengan nada lembut yang penuh getaran, seperti alunan biola yang menyayat hati.Neuro mendesah, setengah kecewa, setengah terpesona. Ia menginginkan lebih, tetapi ia tidak ingin merusak suasana panas yang kini seperti bara api yang membakar di antara mereka.Ia menurut, membiarkan dirinya menjelajah, membiarkan tubuhnya mencari tempat di mana ia bisa menambatkan seluruh hasrat yang telah lama ia tahan.Ketika akhirnya ia menemukan tempat berlabuh, Neuro menggeram rendah, suara yang dalam dan penuh gairah.Gadis di bawahnya memekik pelan, suaranya seperti simfoni malam yang hanya bisa dinikmati sek
“Kau terlambat. Haruskah kau terlambat di hari penting ini, Neuro?”Suara dingin itu memotong suasana seperti pedang tipis yang menusuk tanpa ampun. Neuro menghentikan langkahnya, napasnya tercekat sejenak sebelum perlahan ia membalikkan tubuhnya.Suara itu, tegas dan penuh nada mengejek, datang dari arah Daniel, kakak keduanya, yang kini berdiri dengan tangan terlipat, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian yang telah ia kenal sejak kecil.Astaga! Apa lagi ini?Neuro menarik napas panjang, menahan rasa malas yang mulai menguasai pikirannya. Hubungannya dengan Daniel selalu buruk—tidak, lebih dari buruk.Sejak ia ingat, Daniel memperlakukannya seolah ia adalah noda yang tak diinginkan di kehidupan keluarga mereka.“Kenapa aku harus peduli pada hari penting ini?” batinnya, meskipun ia tahu ia tidak bisa melontarkan itu secara langsung.Daniel, seperti biasanya, berdiri dengan postur arogan yang mencerminkan kepribadiannya yang keras. “Kebahagiaanku lenyap sejak kau lahir,” itulah ma
"Ya pernah, kami bertemu satu kali,"Rean segera mengalihkan tatapannya ke arah Alisha, meminta penjelasan sedangkan Alisha hanya berdiri dengan bingung, sama sekali tidak ingat pernah melihat pria bernama Neuro ini.la menggeleng memberikan jawabannya kepada Rean. Tatapan mata Neuro memang terlihat tidak asing, tapi dimana ia pernah melihatnya?"Istri Anda tidak akan ingat, kami hanya tidak sengaja berpapasan. Sepertinya dia sangat setia dengan pasangannya. Dia tidak menoleh bahkan ketika saya menyapanya lembut,"Alisha dapat merasakan lengan Rean yang menyentuh bahunya terasa makin kuat.la menatap wajah Rean yang mengeras, kecemburuan pria itu selalu berlebihan, "Kenapa Anda menyapa istri saya?" Tanya Rean dingin.Neuro yang sepertinya tidak menyadari tatapan dingin Rean hanya mengangkat bahunya santai, "Hanya ingin saja karena istri Anda sangat cantik, saya tidak tahu jika dia sudah menikah,"Alisha yang mulai merasakan ketegangan dari arah sampingnya tiba-tiba mengangkat suara, "
Neuro tersenyum menyeringai saat ingatan Alisha mulai terbuka ketika ia menyebutkan bar malam itu. la mencondongkan wajahnya ke arah Alisha lalu berbisik pelan, "Ya itu aku, aku selingkuhan tampanmu, Sayang.""Tidak mungkin!" Alisha bergumam tidak jelas saat mendengar ucapan Neuro.la tidak menyangka jika pria yang pernah bermalam dengannya adalah Neuro Edenvile, putera bungsu Tuan Robert.Alisha memijat kepalanya yang terasa berputar, kenapa ia harus dipertemukan kembali dengan pria itu sekarang?"Akhirnya sekarang kau ingat.” Neuro tersenyum tenang sementara Alisha menatapnya cemas, "Bagaimana kau bisa setenang itu setelah meninggalkanku pagi itu, Nona? Aku merasa sangat sedih," sambung Neuro lagi ringan.Seringaian Neuro di wajah tampannya terlihat sangat menyebalkan di mata Alisha. Hah, pantas saja netra biru Neuro terlihat tidak asing, ternyata dia adalah pria malam itu.Meski Alisha merasa lega karena ternyata ia tidak tidur dengan seorang pria dengan tampang asal, tapi ia tidak
"Kau harus datang atau aku akan memberitahu suamimu!"Alisha kembali berbalik, memberikan tatapan sengitnya saat mendengar teriakan Neuro. la melirik ke arah sekeliling dengan panik Pria itu! Bagaimana jika ada yang mendengar pembicaraan mereka?Kemarahan Alisha semakin bertambah saat melihat Neuro hanya tersenyum menyeringai. Neuro sepertinya menikmati waktu dimana ia merasa dipermainkan.Alisha memilih kembali melanjutkan langkah lebar sambil merutuk dalam hatinya, menyumpahi Neuro setengah mati, "Dasar pria gila!"Alisha segera mencari keberadaan Rean, mereka harus pergi dari sini sebelum Neuro kembali membuat ulah.Namun saat langkahnya baru mencapai beberapa langkah, Alisha terhenti saat melihat Gea yang tengah tersenyum dengan Rean.Mereka tertawa lalu terlibat pembicaraan seru dengan rekan kerja Rean yang lain. Tangan Alisha terkepal, baru ditinggalkan beberapa menit saja, Rean dan Gea sudah terlihat bersama di sana."Wah, wah sepertinya selingkuhanmu mulai mengambil alih suami
"Astaga! Kau membuatku pusing, Neuro. Kau boleh mengejar siapa pun yang kau inginkan, tapi—dengan istri orang lain? Ayahmu pasti akan menggantungku di depan kantor jika tahu," ujarnya, suaranya pecah di antara putus asa dan marah.Neuro hanya tersenyum, senyum yang penuh dengan kesombongan yang lembut namun berbahaya. "Tenanglah, John. Ayah tidak akan tahu!" katanya dengan nada santai, seperti berbicara tentang cuaca, bukan tentang skandal yang bisa menghancurkan reputasi keluarga mereka.John memandang Neuro dengan tatapan nanar, matanya melebar seakan ingin keluar dari rongganya. "Aku akan mencari wanita lajang yang tiga kali lipat lebih cantik darinya," tawarnya, mencoba merayu Neuro untuk keluar dari permainan api ini."Tidak," jawab Neuro dengan tenang, nadanya datar namun penuh ketegasan."Lima kali lipat?" sergah John, kali ini suaranya lebih tinggi, nyaris seperti memohon."Tidak," ulang Neuro, senyumnya makin melebar. Matanya memicing, seperti serigala yang menemukan mangsa d
"Jadi pria yang bersamamu saat itu adalah Neuro Edenvile? Astaga, Alisha, dia itu tampan sekali, seperti sebuah karya seni yang diukir oleh dewa-dewa langit dengan telaten! Kau benar-benar beruntung," seru Jeselyn, matanya berbinar seperti menemukan berlian di antara pasir gurun.Alisha hanya bisa berdecak kesal mendengar jawaban Jeselyn. Alih-alih memberikan saran, temannya itu malah sibuk mengagumi Neuro, seolah pria itu bukan manusia biasa, melainkan pangeran dari negeri dongeng yang mempesona dengan senyum mautnya."Demi Tuhan, Jeselyn! Dia itu benar-benar menyebalkan! Bagaimana bisa kau memujinya seperti itu?" Alisha mengembuskan napas kasar, wajahnya memerah seperti matahari senja yang marah."Kau harus membantuku mengurus belut licin itu. Dia bahkan meneror ponselku!" Dengan nada yang semakin panik, ia berseru, "Bagaimana jika Rean tahu semua ini?"Jeselyn hampir saja tertawa terbahak mendengar ungkapan Alisha. Belut licin? Mana ada belut yang begitu memikat hingga bisa membuat
"Rupanya kau sangat ingin menyelesaikan ini, Nona. Apa kau tidak merindukan selingkuhanmu ini?" jawab Neuro, suaranya berlapis nada meledek yang membuat Alisha semakin ingin menampar pria itu.Tatapan Alisha tajam seperti panah, menusuk langsung ke arah Neuro. Ia sangat tidak menyukai nada suara itu—nada yang meremehkan lawan bicaranya, seolah ia adalah mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati."Jangan macam-macam! Kau tahu aku tidak suka berada di sini. Sekarang katakan saja, kau mau apa dariku? Uang? Kesepakatan bisnis? Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, asal semuanya cepat selesai!"Neuro berdecak, menggeleng perlahan, lalu tersenyum tipis. "Jangan galak begitu. Sudah kubilang, aku punya penawaran menarik untukmu."Alisha menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi yang semakin sulit dikendalikan.Di kepalanya, bayangan untuk menampar pria ini terasa sangat menggoda, namun ia tahu, mengamuk di bar yang ramai bukanlah ide yang bijak."Baiklah. Apa penawaran menarik it
Neuro kemudian mengalihkan pandangannya kepada Alisha, ekspresinya berubah lebih lembut, hampir... menyesal."Saya juga ingin meminta maaf kepada Nona Alisha beserta keluarganya yang telah merasa terganggu akibat pemberitaan ini," ucapnya dengan nada penuh ketulusan.Alisha menundukkan kepalanya sedikit, memberikan jawaban diam untuk Neuro. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak untuk berbicara.Ia melirik Neuro sekilas, memberi isyarat dengan matanya. Neuro, yang tampaknya sudah memahami keinginannya, menyerahkan pengeras suara dengan anggukan halus.Alisha menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya sebelum menghembuskannya dalam satu hembusan kasar."Sekali lagi, saya tekankan bahwa saya tidak berselingkuh dengan Tuan Neuro Edenvile. Terima kasih," ucapnya tegas, suaranya tak bergetar sedikit pun.Tanpa membuang waktu, mereka turun dari podium. Kerumunan wartawan langsung bergerak maju, melontarkan berbagai pertanyaan dengan suara-suara yang beradu
Pagi datang dengan cahaya yang terlalu tajam, menusuk kelopak matanya yang masih berat. Layar ponselnya berkedip, memantulkan cahaya redup ke langit-langit kamarnya yang sepi. Suara yang teramat familiar memenuhi ruang sunyi."Kau mengirimkan pesan padaku tengah malam kemarin, Nona? Kenapa? Apa kau merindukanku?"Alisha mengangguk kecil, meski tahu Neuro tak akan melihatnya. Suaranya yang penuh antusiasme membuat pagi ini terasa kurang menyakitkan.Ia terkekeh pelan, seperti angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. "Bagaimana menurutmu?""Kau ingin aku menjemputmu sekarang? Kita bisa ke tempat konferensi pers bersama-sama."Alisha menatap langit biru di balik jendela kaca, perasaan aneh menggelitik hatinya. "Tidak perlu, aku bisa..."Tut... Tut... Tut...Alisnya bertaut, menatap layar ponselnya yang kini hanya menampilkan panggilan berakhir. Apa? Neuro memutus panggilan mereka begitu saja? Tanpa sepatah kata pun?Alisha mengangkat bahu. Mungkin ini pertanda bahwa badai yang lebih
"Alisha!"Suara Riana menggelegar dari seberang telepon, mengguncang malam yang seharusnya tenang. Alisha tersentak, jantungnya berdetak tak beraturan.Matanya mengerjap dalam gelap, mencoba memahami apakah ini kenyataan atau sekadar mimpi buruk yang lain.Kilasan cahaya dari layar ponselnya menusuk kelopak matanya yang masih berat. Waktu menunjukkan pukul satu pagi.Dengan gerakan lamban, ia memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Kepalanya terasa bagai dihantam ribuan jarum tajam.Tuhan, ia baru saja terlelap setengah jam lalu setelah larut dalam kekacauan pikirannya, namun kini tidur pun tak sudi berpihak padanya."Ya, Ma? Mama baik?" sapanya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Ada kelelahan, ada kejengkelan yang ia tahan sekuat tenaga.Namun, bukannya jawaban, yang ia terima justru tajamnya suara penuh kebencian dari Riana."Tidak usah berbasa-basi dengan Mama!"Nada itu menusuk seperti belati dingin yang mengiris kulitnya. Alisha menutup mata sejenak, menarik napas dalam se
Suara di ujung telepon membuat Rean terlonjak. Seketika kantuknya buyar, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengerjapkan matanya dengan susah payah. Suara ini..."Ma...?"Riana. Ibundanya.Ia menegakkan tubuhnya perlahan, kepalanya berdenyut nyeri akibat alkohol yang masih mengalir dalam sistemnya.Pantas saja ada yang meneleponnya di tengah malam seperti ini—di Amerika, waktu masih menunjukkan pukul satu siang."Ma, apa Mama lupa kalau di sini sudah hampir tengah malam?" keluhnya setengah kesal, suaranya serak akibat kantuk yang masih menggantung.Di seberang sana, Riana terdengar mendesah berat. "Ya, Mama tahu. Tapi ini penting," tukasnya terburu-buru, nada suaranya terdengar tegang.Rean menarik napas panjang, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut. Efek dari alkohol masih begitu kuat di tubuhnya, membuat kepalanya berputar.Saat perlahan-lahan kesadarannya kembali, ia menyadari sesuatu—ia tak lagi terbaring di lantai. Kini, tubuhnya berada di sofa ruang tamu.
Jadi, pria ini hancur karena berita perselingkuhan Alisha dengan Neuro? Matanya menatap wajah Rean dengan perasaan yang tak menentu. Ada sesuatu yang mencubit hatinya, sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Apa ini? Apa Rean masih mencintai Alisha hingga ia begitu terpukul seperti ini?"Sudahlah, Kak. Tidak usah dipikirkan, aku ada untukmu," ujar Gea, suaranya sarat dengan keyakinan yang dipaksakan.Rean mengerjap, lalu terkekeh kecil, seolah baru menyadari keberadaan Gea. "Ah... Gea! Benar, kau Gea!""Ya, aku. Tidak usah bersedih karena Kak Lisha. Aku ada untukmu, Kak Rean. Aku yang akan selalu menemanimu," lanjut Gea, suaranya bergetar oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar simpati.Helaan napas panjang terdengar dari mulut Rean, pria itu mengangkat tangannya, menyentuh wajah Gea dengan kelembutan yang membuat dada Gea bergejolak. Jemari hangat itu membelai pipinya, namun di balik sentuhan itu, Gea bisa merasakan kehampaan."Kenapa kita harus bert
Alisha segera mengalihkan pandangannya yang sedang betah menatap Neuro. Tidak, Alisha. Apa yang ia pikirkan? Mata pria itu terlalu berbahaya, bagaikan pusaran misterius yang bisa menyeretnya ke dalam ilusi manis yang tak seharusnya ia cicipi. Neuro berbuat baik padanya hanya karena sebuah keharusan, bukan karena ketulusan yang ingin ia percayai begitu saja.Melihatnya berjalan sempoyongan tadi pasti membuat hati kecil Neuro merasa iba. Alisha menggeleng kecil, mencoba mengusir pemikiran konyol bahwa Neuro menyukainya. Seperti yang sudah ia bilang, itu mustahil. Dia hanyalah wanita yang memiliki banyak permasalahan dalam hidupnya—badai yang tak kunjung reda, kepingan mozaik yang tak kunjung utuh."Bagaimana? Sudah lebih baik?" suara Neuro menyelinap ke dalam benaknya, seakan menariknya kembali dari lautan pikiran yang berkecamuk.Alisha segera menengadah, menatap Neuro yang kini tengah mengamati dirinya dengan mata penuh sorotan lembut."Ya, lumayan," balasnya ringan, meski hatinya m
Alisha terlihat mengerjap melihat Neuro ada di hadapannya. Matanya melebar sempurna, terlalu terkejut dengan kedatangan Neuro yang mendadak.Tatapan mereka bertaut, seperti pertemuan dua arus sungai yang bertubrukan dalam derasnya aliran takdir."Neuro? Sedang apa kau di sini?" tukasnya setengah berteriak.Tadinya aku ingin menemuimu dan membahas pekerjaan kita, tapi sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat," ujar Neuro beralasan, suaranya setenang angin yang berbisik di antara dedaunan senja."Ya, aku merasa lelah hari ini, kau bisa kembali besok," balas Alisha lemah, suaranya bagai embusan napas terakhir sebelum malam menyelimuti dunia.Matanya berkabut, seolah menyimpan gelombang pasang yang siap meluluhlantakkan segala ketegaran."Apa kau ada masalah? Rean tadi menemuiku, apa dia juga ke sini?" Tanya Neuro dengan nada yang berpura-pura datar, meski matanya menyelidik tajam, mencari serpihan rahasia di wajah Alisha."Ya, dia ke sini. Aku benar-benar lelah hari ini, Neuro. Kurasa
Jesselyn menatap sahabatnya dengan penuh pemahaman, tidak ada sedikit pun keberatan dalam tatapannya. "Baiklah, serahkan semua padaku. Pulang dan istirahatlah. Tapi, tanda tangani dulu berkas ini, setelah itu kau bisa pergi."Alisha mengangguk, merasa sedikit lebih tenang karena memiliki seseorang yang selalu mendukungnya. "Aku akan pulang setelah mempelajari dan menandatangani ini. Maaf jika aku merepotkanmu.""Tidak, tidak apa-apa. Take your time."Namun, meskipun Jesselyn berkata begitu, matanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang terus mengendap di dalam benaknya.Alisha menghela napas panjang, lalu mulai membuka lembaran-lembaran berkas yang diberikan Jesselyn.Matanya menelusuri baris demi baris tulisan di atas kertas, namun pikirannya masih terus terbayang oleh peristiwa yang terjadi sebelumnya.Kata-kata Rean masih menggema di telinganya, seolah-olah menghujamnya berulang kali tanpa ampun.Setelah semua ini selesai, ia hanya ingin pulang. Berbaring. Dan melupakan segal
Suara Alisha meledak di dalam ruangan, menggema bagaikan gelegar petir di tengah langit kelam. Tangannya terangkat, telunjuknya lurus menuding ke arah pintu, seperti pedang yang menghunus jantung Rean.Matanya berkilat penuh luka dan kemarahan, suaranya pecah oleh kepedihan yang tak mampu lagi ia bendung.Rean berdiri terpaku sejenak, napasnya memburu, dadanya naik turun menahan gejolak emosinya sendiri.Rahangnya mengeras, matanya menyipit, namun bukan hanya karena amarah—ada sesuatu yang lain di sana, sesuatu yang ia sendiri tidak bisa pahami.Harga dirinya berteriak agar ia tetap di tempat, membalas kata-kata Alisha dengan lebih kejam lagi, namun entah mengapa, ia tahu bahwa tak ada gunanya.Dengan wajah yang merah padam, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, dan dengan gerakan kasar, ia berbalik.Langkahnya menghentak lantai dengan keras, meninggalkan ruangan dengan sisa kemarahan yang masih membara.Begitu Rean menghilang di balik pintu, sesuatu dalam diri Alisha runtuh.Seluruh p