Neuro tahu persis apa arti dari kata-kata itu. Ia tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Dengan gerakan yang penuh naluri, ia menyingkap rok wanita itu, membiarkan kain itu melayang ke udara sebelum mendarat entah di mana.
Namun, ketika ia hendak menanggalkan pakaian itu sepenuhnya, tangannya dihentikan oleh jemari lentik wanita itu.
“Lakukan seperti ini saja. Aku… sudah tidak tahan,” ucapnya, dengan nada lembut yang penuh getaran, seperti alunan biola yang menyayat hati.
Neuro mendesah, setengah kecewa, setengah terpesona. Ia menginginkan lebih, tetapi ia tidak ingin merusak suasana panas yang kini seperti bara api yang membakar di antara mereka.
Ia menurut, membiarkan dirinya menjelajah, membiarkan tubuhnya mencari tempat di mana ia bisa menambatkan seluruh hasrat yang telah lama ia tahan.
Ketika akhirnya ia menemukan tempat berlabuh, Neuro menggeram rendah, suara yang dalam dan penuh gairah.
Gadis di bawahnya memekik pelan, suaranya seperti simfoni malam yang hanya bisa dinikmati sekali dalam seumur hidup.
“Luar biasa…” pikir Neuro. Tubuh wanita ini, meskipun ia tahu ia bukan yang pertama, terasa begitu sempit, begitu pas, seperti diciptakan hanya untuknya.
Sensasinya menggigit dan memeluk, membuat setiap saraf di tubuhnya seolah tersengat listrik.
Ia mulai bergerak, perlahan pada awalnya, menciptakan ritme yang menenangkan namun menggoda, sebelum akhirnya mempercepat langkahnya.
Desahan dan erangan mereka berpadu, memenuhi kamar dengan melodi panas yang tidak bisa diabaikan.
Keringat mulai mengalir di sepanjang tubuh Neuro, mengilap dalam cahaya remang-remang, sementara pikirannya sepenuhnya dikuasai oleh kenikmatan yang membara.
Ini bukan pertama kalinya ia bercinta, tapi malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang magis, sesuatu yang membuat tubuhnya terasa lebih hidup daripada sebelumnya.
Ia merasa tenggelam dalam lautan hasrat, terhipnotis oleh tubuh wanita ini yang seolah memiliki kendali penuh atas dirinya.
Ketika akhirnya mereka mencapai puncak, Neuro menggeram dalam-dalam, suaranya berat dan penuh kepuasan.
Gadis di bawahnya menjerit, jeritan yang lebih nyaring daripada sebelumnya, penuh intensitas dan pelepasan yang sempurna.
Namun, ketika Neuro mengira semuanya telah selesai, ketika ia memindahkan tubuhnya ke samping dan merasa dirinya melayang di atas awan kenikmatan, wanita itu melakukan sesuatu yang mengejutkan.
Wanita itu bangkit, tubuhnya yang indah dan mempesona kini berada di atas Neuro, seperti ratu yang siap menuntut takhta. Mata Neuro terbelalak, terkejut oleh keberaniannya. Bibir wanita itu mendekat ke telinganya, napasnya hangat, hampir seperti belaian.
“Mau ronde kedua?” bisiknya, suaranya seperti madu yang menetes, menggoda dan memikat.
**
Alisha mengerang pelan, rasa sakit merayapi tubuhnya seperti bekas luka yang belum sembuh sepenuhnya.
Setiap otot terasa tegang, setiap sendi seolah berteriak. Ia mengerjapkan mata yang masih berat, lalu mendapati dirinya menatap langit-langit kamar yang asing.
Desain atap itu—berpola ukiran klasik dengan warna keemasan yang mewah—jauh berbeda dari kamarnya yang sederhana.
Keningnya berkerut saat ia mencoba memahami situasinya. Napasnya tertahan ketika ia menoleh ke sekeliling kamar.
Tirai satin merah menjuntai anggun di dekat jendela, sementara cahaya matahari siang menembus sela-sela, memantulkan kehangatan yang terasa begitu kontras dengan dinginnya rasa bersalah yang perlahan menyelimutinya.
Ia bangkit dari tempat tidur, selimut satin bergeser, mengungkapkan tubuhnya yang... polos.
Tubuhnya tanpa sehelai benang pun, seperti kanvas kosong yang penuh tanda kemerahan—jejak-jejak yang mencolok di sepanjang kulitnya.
Alisha tercekat. Matanya membelalak, lalu ia menutupi dadanya dengan kedua tangan, seolah itu bisa menyembunyikan kenyataan yang terpampang jelas.
“Astaga... Apa-apaan ini?” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar, seakan takut kenyataan akan semakin nyata jika ia berbicara lebih keras.
Apa yang telah ia lakukan?
Tangannya meremas rambut kusutnya, mencoba meredam rasa panik yang perlahan mendominasi.
Napasnya terengah-engah ketika ia memandangi kamar yang kacau—seprai yang terpelintir, pakaian yang berserakan di lantai seperti serpihan ingatan yang berusaha ia rangkai.
Kepalanya berdenyut keras, tapi tidak ada jawaban yang muncul, hanya pertanyaan yang semakin menyesakkan.
“Apakah aku telah berselingkuh?”
Kengerian melintas di pikirannya, seperti badai yang tak berkesudahan. Samar-samar, ia mendengar suara air mengalir dari arah kamar mandi.
Shower itu berderai seperti hujan yang tidak diundang, menghantui kesadarannya.
Pria itu… Dia pasti di sana.
Alisha memejamkan mata erat-erat, tubuhnya gemetar. Bagaimana bisa ia melakukan hal semacam ini? Dengan siapa ia tidur semalam?
Bayangan buruk melintas di benaknya—bagaimana jika pria itu seseorang yang lebih tua, seorang maniak, atau bahkan lebih buruk… pria hidung belang yang entah membawa bahaya apa?
“Oh Tuhan…” desahnya, suaranya parau. Berapa banyak alkohol yang telah ia tenggak hingga ia kehilangan kendali seperti ini?
Hingga ingatannya kosong, dan kini ia terjebak dalam situasi yang tak ia pahami?
Pikirannya kacau, tetapi ia tahu satu hal: ia harus pergi dari sini. Ia tidak punya waktu untuk mengorek lebih dalam. Saat ini, yang penting adalah melarikan diri sebelum pria di kamar mandi itu keluar.
Matanya terpaku pada jam tangan di atas nakas. Pukul 1 siang. Alisha menelan ludah, dadanya berdebar keras. Semalam ia tidak pulang, tidak ada kabar.
Rean pasti mencarinya. Pikirannya terasa penuh dengan jerat, tetapi ia memaksa dirinya untuk bergerak.
Ia meraih dress yang tergeletak di lantai, tetapi duka baru menamparnya begitu ia mencoba mengenakannya.
Dress itu robek tidak karuan, seperti korban dari hasrat liar yang ia tak ingat telah terjadi. Alisha membeku, kedua tangannya mencengkeram kain itu dengan gemetar.
Ini gila. Semua ini terlalu gila.
Ketika suara shower berhenti tiba-tiba, jantung Alisha seolah berhenti. Ia harus pergi—sekarang, atau ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kau terlambat. Haruskah kau terlambat di hari penting ini, Neuro?”Suara dingin itu memotong suasana seperti pedang tipis yang menusuk tanpa ampun. Neuro menghentikan langkahnya, napasnya tercekat sejenak sebelum perlahan ia membalikkan tubuhnya.Suara itu, tegas dan penuh nada mengejek, datang dari arah Daniel, kakak keduanya, yang kini berdiri dengan tangan terlipat, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian yang telah ia kenal sejak kecil.Astaga! Apa lagi ini?Neuro menarik napas panjang, menahan rasa malas yang mulai menguasai pikirannya. Hubungannya dengan Daniel selalu buruk—tidak, lebih dari buruk.Sejak ia ingat, Daniel memperlakukannya seolah ia adalah noda yang tak diinginkan di kehidupan keluarga mereka.“Kenapa aku harus peduli pada hari penting ini?” batinnya, meskipun ia tahu ia tidak bisa melontarkan itu secara langsung.Daniel, seperti biasanya, berdiri dengan postur arogan yang mencerminkan kepribadiannya yang keras. “Kebahagiaanku lenyap sejak kau lahir,” itulah ma
"Ya pernah, kami bertemu satu kali,"Rean segera mengalihkan tatapannya ke arah Alisha, meminta penjelasan sedangkan Alisha hanya berdiri dengan bingung, sama sekali tidak ingat pernah melihat pria bernama Neuro ini.la menggeleng memberikan jawabannya kepada Rean. Tatapan mata Neuro memang terlihat tidak asing, tapi dimana ia pernah melihatnya?"Istri Anda tidak akan ingat, kami hanya tidak sengaja berpapasan. Sepertinya dia sangat setia dengan pasangannya. Dia tidak menoleh bahkan ketika saya menyapanya lembut,"Alisha dapat merasakan lengan Rean yang menyentuh bahunya terasa makin kuat.la menatap wajah Rean yang mengeras, kecemburuan pria itu selalu berlebihan, "Kenapa Anda menyapa istri saya?" Tanya Rean dingin.Neuro yang sepertinya tidak menyadari tatapan dingin Rean hanya mengangkat bahunya santai, "Hanya ingin saja karena istri Anda sangat cantik, saya tidak tahu jika dia sudah menikah,"Alisha yang mulai merasakan ketegangan dari arah sampingnya tiba-tiba mengangkat suara, "
Neuro tersenyum menyeringai saat ingatan Alisha mulai terbuka ketika ia menyebutkan bar malam itu. la mencondongkan wajahnya ke arah Alisha lalu berbisik pelan, "Ya itu aku, aku selingkuhan tampanmu, Sayang.""Tidak mungkin!" Alisha bergumam tidak jelas saat mendengar ucapan Neuro.la tidak menyangka jika pria yang pernah bermalam dengannya adalah Neuro Edenvile, putera bungsu Tuan Robert.Alisha memijat kepalanya yang terasa berputar, kenapa ia harus dipertemukan kembali dengan pria itu sekarang?"Akhirnya sekarang kau ingat.” Neuro tersenyum tenang sementara Alisha menatapnya cemas, "Bagaimana kau bisa setenang itu setelah meninggalkanku pagi itu, Nona? Aku merasa sangat sedih," sambung Neuro lagi ringan.Seringaian Neuro di wajah tampannya terlihat sangat menyebalkan di mata Alisha. Hah, pantas saja netra biru Neuro terlihat tidak asing, ternyata dia adalah pria malam itu.Meski Alisha merasa lega karena ternyata ia tidak tidur dengan seorang pria dengan tampang asal, tapi ia tidak
"Kau harus datang atau aku akan memberitahu suamimu!"Alisha kembali berbalik, memberikan tatapan sengitnya saat mendengar teriakan Neuro. la melirik ke arah sekeliling dengan panik Pria itu! Bagaimana jika ada yang mendengar pembicaraan mereka?Kemarahan Alisha semakin bertambah saat melihat Neuro hanya tersenyum menyeringai. Neuro sepertinya menikmati waktu dimana ia merasa dipermainkan.Alisha memilih kembali melanjutkan langkah lebar sambil merutuk dalam hatinya, menyumpahi Neuro setengah mati, "Dasar pria gila!"Alisha segera mencari keberadaan Rean, mereka harus pergi dari sini sebelum Neuro kembali membuat ulah.Namun saat langkahnya baru mencapai beberapa langkah, Alisha terhenti saat melihat Gea yang tengah tersenyum dengan Rean.Mereka tertawa lalu terlibat pembicaraan seru dengan rekan kerja Rean yang lain. Tangan Alisha terkepal, baru ditinggalkan beberapa menit saja, Rean dan Gea sudah terlihat bersama di sana."Wah, wah sepertinya selingkuhanmu mulai mengambil alih suami
"Astaga! Kau membuatku pusing, Neuro. Kau boleh mengejar siapa pun yang kau inginkan, tapi—dengan istri orang lain? Ayahmu pasti akan menggantungku di depan kantor jika tahu," ujarnya, suaranya pecah di antara putus asa dan marah.Neuro hanya tersenyum, senyum yang penuh dengan kesombongan yang lembut namun berbahaya. "Tenanglah, John. Ayah tidak akan tahu!" katanya dengan nada santai, seperti berbicara tentang cuaca, bukan tentang skandal yang bisa menghancurkan reputasi keluarga mereka.John memandang Neuro dengan tatapan nanar, matanya melebar seakan ingin keluar dari rongganya. "Aku akan mencari wanita lajang yang tiga kali lipat lebih cantik darinya," tawarnya, mencoba merayu Neuro untuk keluar dari permainan api ini."Tidak," jawab Neuro dengan tenang, nadanya datar namun penuh ketegasan."Lima kali lipat?" sergah John, kali ini suaranya lebih tinggi, nyaris seperti memohon."Tidak," ulang Neuro, senyumnya makin melebar. Matanya memicing, seperti serigala yang menemukan mangsa d
"Jadi pria yang bersamamu saat itu adalah Neuro Edenvile? Astaga, Alisha, dia itu tampan sekali, seperti sebuah karya seni yang diukir oleh dewa-dewa langit dengan telaten! Kau benar-benar beruntung," seru Jeselyn, matanya berbinar seperti menemukan berlian di antara pasir gurun.Alisha hanya bisa berdecak kesal mendengar jawaban Jeselyn. Alih-alih memberikan saran, temannya itu malah sibuk mengagumi Neuro, seolah pria itu bukan manusia biasa, melainkan pangeran dari negeri dongeng yang mempesona dengan senyum mautnya."Demi Tuhan, Jeselyn! Dia itu benar-benar menyebalkan! Bagaimana bisa kau memujinya seperti itu?" Alisha mengembuskan napas kasar, wajahnya memerah seperti matahari senja yang marah."Kau harus membantuku mengurus belut licin itu. Dia bahkan meneror ponselku!" Dengan nada yang semakin panik, ia berseru, "Bagaimana jika Rean tahu semua ini?"Jeselyn hampir saja tertawa terbahak mendengar ungkapan Alisha. Belut licin? Mana ada belut yang begitu memikat hingga bisa membuat
"Rupanya kau sangat ingin menyelesaikan ini, Nona. Apa kau tidak merindukan selingkuhanmu ini?" jawab Neuro, suaranya berlapis nada meledek yang membuat Alisha semakin ingin menampar pria itu.Tatapan Alisha tajam seperti panah, menusuk langsung ke arah Neuro. Ia sangat tidak menyukai nada suara itu—nada yang meremehkan lawan bicaranya, seolah ia adalah mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati."Jangan macam-macam! Kau tahu aku tidak suka berada di sini. Sekarang katakan saja, kau mau apa dariku? Uang? Kesepakatan bisnis? Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, asal semuanya cepat selesai!"Neuro berdecak, menggeleng perlahan, lalu tersenyum tipis. "Jangan galak begitu. Sudah kubilang, aku punya penawaran menarik untukmu."Alisha menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi yang semakin sulit dikendalikan.Di kepalanya, bayangan untuk menampar pria ini terasa sangat menggoda, namun ia tahu, mengamuk di bar yang ramai bukanlah ide yang bijak."Baiklah. Apa penawaran menarik it
"Dengarkan aku, Neuro Edenvile. Penawaranmu itu sama sekali tidak menarik," kata Alisha, suaranya penuh ketegasan, seperti bilah pedang yang diayunkan dengan presisi."Apa?" jawab Neuro, alisnya terangkat, dan senyumnya memudar seolah tak percaya mendengar penolakan yang begitu telak."Itu hanyalah permainan bodoh anak-anak," lanjut Alisha, suaranya kini terdengar lebih dingin, bagaikan angin beku di puncak gunung. "Bagaimana bisa aku membalas perselingkuhan dengan berselingkuh kembali? Tidak, aku tidak mau merendahkan diri seperti mereka."Ia berhenti sejenak, matanya menelusuri Neuro dari ujung rambutnya yang sempurna tertata hingga sepatu kulit mahal yang berkilauan di bawah lampu.Tatapannya begitu tajam, seperti pisau yang menelanjangi egonya hingga ke akar. "Lagipula kau sama sekali bukan tipeku."Cekalan Neuro di tangan Alisha terlepas begitu saja. Ia berdiri membatu, tubuhnya kaku seperti patung, sementara kata-kata Alisha bergaung di dalam pikirannya, mengguncang setiap pilar
Kelly hanya bisa meremas foto-foto itu dengan kesal. Mustahil, bagaimana bisa Alisha menemukan jejak dirinya saat menjadi wanita penghibur beberapa tahun yang lalu.Hanya sebentar ia berada disana untuk bekerja, bagaimana mungkin Alisha bisa menemukan jejaknya?Apa Alisha memiliki orang handal yang pintar mencari informasi? Tidak mungkin. Perusahaan Alisha bukanlah perusahaan besar yang memiliki sumber daya manusia yang luar biasa."Bagaimana Kelly? Kau ingin aku mengirimnya pada Andrew?" ujar Alisha dengan senyuman miring."Atau bagaimana jika aku membeberkan hal ini ke media? Beritamu pasti akan besar seperti halnya beritaku. Bahkan aku bisa membuatnya lebih besar lagi," sambung Alisha kembali.Kelly mulai terlihat pucat pasi mendengar ucapan Alisha. Rahangnya bergemretak menahan amarah melihat Alisha yang tersenyum penuh arti. "Apa maumu?""Ha, tidak seru! Kenapa kau masih saja searogan itu saat kartu matimu ada di tanganku. Memohonlah padaku, Kelly Anderson! Baru aku akan memperca
Awalnya Alisha pikir Gea akan terbawa amarah saat ia lagi-lagi kalah darinya. Namun kali ini berbeda, Alisha terperangah saat melihat Gea malah mengangkat bibirnya membentuk sebuah senyuman. Senyuman licik nan berbahaya. Kedua tangannya ia lipat di depan lalu berkata, "Tidak apa-apa, Kelly. Aku memang sengaja kalah dari Kak Lisha,"Alisha mengangkat alis mendengar ucapan ambigu yang dilontarkan oleh Gea. Apa yang jalang ini maksud sebenarnya?"Sengaja kalah? Kenapa memangnya, Gea?" Kelly terlihat mulai memancing.Semua orang terlihat mencondongkan tubuh mereka, sama-sama ingin tahu jawaban yang akan Gea utarakan."Aku sudah mengambil semuanya dari Kak Lisha, hal ini tidak seberapa dengan pengorbanannya untukku. Dia sungguh berhati mulia mau memberikan suami tercintanya.”"Astaga, malangnya.""Kasihan sekali.""Dia tidak pandai menjaga suaminya."Alisha hanya bisa ternganga mendengar jawaban Gea. Semua orang kembali terkikik geli. Sialan, mereka sengaja menjadikan aib rumah tanggany
Alisha mengangkat wajahnya melihat ke arah depan. Matanya melebar sempurna melihat bayangan wanita itu. Raut wajah Alisha seketika mengeras melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar. Gea melangkahkan kakinya ke arah meja mereka dengan langkah mengayun. Alisha hanya bisa mengatupkan rahangnya kuat melihat penampilan Gea yang mewah malam ini. Sedang apa wanita jalang ini di sini?"Selamat malam, Kak Lisha. Akhirnya kita bertemu lagi hari ini."Melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar membuat amarah Alisha seketika bangkit. la refleks berdiri, menatap tajam ke arah Gea yang masih memasang senyum lebarnya."Apa-apaan ini, Kelly? Kenapa jalang ini ada di sini?" ujar Alisha sinis.Kelly terlihat mengangkat bahu. "Maafkan aku Alisha Sayang, tapi aku menerima semua orang yang menurutku memiliki derajat tinggi. Sekarang Gea adalah istri Rean Hadiyatma, salah satu perusahaan besar di kota ini,""Apa kalian tahu siapa dia?" Tanya Alisha sambil menunjuk Gea dengan telunjuknya."T
Dalam hati Gea bersorak mendengar ucapan Riana. Rencananya lebih lancar dari yang seharusnya berjalan. Kematian Hendriawan benar-benar menguntungkan baginya. Lihat orang-orang bodoh ini, mereka tidak tahu jika ia telah menyuntikan racun ke dalam infusan Hendriawan. Sebenarnya langkahnya untuk melenyapkan bukan bagian dari rencana, hanya saja mengingat pria tua itu bisa menjadi batu sandungan untuknya, Gea terpaksa melakukannya.Racun yang ia suntikan memang tidak dapat terdeteksi sebagai penyebab kematian, siapa yang menyangka jika pekerjaan ayahnya sebagai anggota preman cukup membantunya mengetahui informasi ini. Gea mengulas senyuman tipis. Kebencian Riana terhadap Alisha semakin membesar karena satu dua kebohongan yang ia lontarkan. la akan menjadikan Riana sebagai alat untuk menghancurkan Alisha. Tidak ada senjata yang lebih baik dibanding dari mereka yang dipenuhi dendam dan juga amarah.Dengan penuh yakin Gea mengangguk, menuruti apapun arahan Riana selanjutnya."Baik Ma, G
Suasana duka menyelimuti kediaman rumah Keluarga Hadiyatma ketika Alisha menginjakkan kakinya di sini.Semua orang berpakaian penuh hitam ikut menggambarkan betapa kelamnya hari panjang ini bagi mereka.Alisha hanya bisa menatap rumah duka itu dengan tatapan nanar. Suasana hatinya tak jua berbeda dengan suasana hati yang ditujukkan Rean dan Riana hari ini. Sedih dan putus asa.Riana terlihat masih menjerit histeris menggoncang tubuh suaminya yang terbujur kaku sementara Rean terlihat menahan lengan sang ibu untuk menguatkan hatinya yang ditinggal belahan jiwanya.Pemandangan ini sungguh memilukan membuat beberapa pelayat ikut menutup wajah, menyembunyikan tangisnya.Kedatangan Alisha dan raut wajah sedihnya nyatanya tak dapat menyentuh hati Riana sedikit pun.Melihat kedatangan Alisha yang tidak diharapkan membuat pandangan Riana berubah waspada.Wajah putus asanya seketika mengeras melihat Alisha menghampiri jasad Hendriawan. Berani sekali! Berani sekali orang yang menyebabkan kemala
Telinga Riana seolah berdenging mendengar ucapan dokter di depannya."Apa maksudnya dokter? Jangan main-main. Saya mau menemui suami saya, tadi dia masih baik-baik saja. Mana mungkin suami saya meninggal," ujar Riana menolak fakta yang baru saja dikatakan dokter di depannya."Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha namun Tuhan berkehendak lain. Nyawa suami Ibu tidak dapat kami selamatkan.”Tubuh Riana seketika melemas mendengar perkataan dokter di depannya. Tidak mungkin, tidak mungkin suaminya meninggalkannya sekarang.Dengan daya yang tersisa tinggal sedikit, Riana menghampiri ruangan Hendriawan.Tatapannya berubah nanar saat melihat tubuh kaku Hendriawan dengan wajahnya yang sudah memucat."Papa baik-baik saja kan, Pa? Papa pasti bohong kan sama Mama? Papa tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian, bukan?"Meski Riana sudah mengguncang tubuh Hendriawan berkali-kali dengan daya yang cukup keras, Hendriawan tetap tidak merespon apapun yang sudah ia lakukan."Papa jangan bercanda begini
Gea menarik nafasnya yang seketika menjadi berat lalu kembali memfokuskan pendengarannya saat Hendriawan kembali membuka suara.Hendriawan terlihat menarik tangan Alisha lembut. Melihat tatapan penuh makna yang diberikan mertuanya pada Alisha, Gea merasa ada sesuatu yang penting hendak dibicarakan oleh Hendriawan."Papa punya permintaan untuk kamu, Alisha.”"Apa itu, Pa?”"Sayang, Papa ingin kamu membatalkan gugatan kamu pada Rean, Papa mohon Sayang, tetaplah jadi menantu Papa. Kamu mau kan?"Seketika jantung Gea berhenti mendengar permohonan Hendriawan pada Alisha. Apa ia tidak salah dengar? Apa Hendriawan baru saja melarang Alisha untuk bercerai dengan Rean?Tanpa sadar Gea mengepalkan tangannya hingga kuku jari jemarinya memutih. Emosinya seketika bangkit mendengar permintaan Hendriawan yang tidak masuk akal.Tidak cukup dengan mengabaikan kehadirannya sebagai istri Rean, Hendriawan sepertinya ingin mengembalikan keadaan pernikahan Rean dan Alisha kembali seperti semula.Nafas Gea
Alisha mengerjap mendengar permintaan Hendriawan yang mendadak kepadanya. la terdiam, terlalu bingung untuk memberi jawaban kepada Hendriawan.Sebenarnya Alisha mau saja, tapi mengingat ia harus sering bertemu dengan Riana dan Gea membuat Alisha merasa enggan."Sayang? Papa mohon, kamu mau ya?"Permohonan yang sangat yang diucapkan oleh Hendriawan membuat Alisha menjadi tidak tega. la melirik ke arah Rean yang sepertinya ikut menunggu jawaban darinya.Alisha menghela nafasnya berat lalu mengangguk. Meski ia enggan, tidak mungkin ia menolak permintaan Hendriawan secara terang-terangan seperti ini."Aku akan berusaha, Pa," jawabnya tidak yakin.Hendriawan mengulas senyuman kembali saat mendengar jawaban Alisha. Netra Hendriawan yang terlihat semakin sayu membuat Alisha memintanya untuk kembali beristirahat."Sebaiknya Papa istirahat sekarang. Jangan memikirkan banyak hal yang tidak perlu."Hendriawan mengangguk lalu mulai memejamkan mata. Alisha segera menarik selimutnya lalu menaikkann
Alisha terlonjak mendengar ucapan Rean. "Papa sakit? Tunggu, apa penyakitnya kambuh lagi?""Begitulah. Jadi Alisha, bisa kau bantu aku dan segera datang kemari? Kita lupakan sejenak permasalahan yang tengah kita hadapi. Alisha, Papa membutuhkan dukungan kita sekarang. Kau bisa melakukannya?"Alisha menghela nafasnya panjang mendengar permintaan Rean. Bagaimana bisa ia menolak permintaan Rean saat Hendriawan membutuhkannya? la memijat keningnya sejenak lalu kemudian mengangguk kecil. Benar, untuk sementara lupakan dulu permasalahannya dengan para manusia brengsek ini. la harus membantu Hendriawan pulih dari sakitnya."Baiklah, dimana Papa dirawat?" Tanya Alisha cepat, tidak ingin berbasa basi hal yang tidak perlu dengan Rean."Ah, Rumah Sakit Kencana, dekat rumah kita.”"Rumahmu dengan Gea," ralat Alisha cepat."Ya ya, terserah. Jadi kau bisa kemari? Kau mau aku jemput?"Kening Alisha berkerut tidak senang mendengar ucapan Rean, "Menurutmu setelah apa yang kau lakukan tadi aku masih i