"Jadi pria yang bersamamu saat itu adalah Neuro Edenvile? Astaga, Alisha, dia itu tampan sekali, seperti sebuah karya seni yang diukir oleh dewa-dewa langit dengan telaten! Kau benar-benar beruntung," seru Jeselyn, matanya berbinar seperti menemukan berlian di antara pasir gurun.
Alisha hanya bisa berdecak kesal mendengar jawaban Jeselyn. Alih-alih memberikan saran, temannya itu malah sibuk mengagumi Neuro, seolah pria itu bukan manusia biasa, melainkan pangeran dari negeri dongeng yang mempesona dengan senyum mautnya.
"Demi Tuhan, Jeselyn! Dia itu benar-benar menyebalkan! Bagaimana bisa kau memujinya seperti itu?" Alisha mengembuskan napas kasar, wajahnya memerah seperti matahari senja yang marah.
"Kau harus membantuku mengurus belut licin itu. Dia bahkan meneror ponselku!" Dengan nada yang semakin panik, ia berseru, "Bagaimana jika Rean tahu semua ini?"
Jeselyn hampir saja tertawa terbahak mendengar ungkapan Alisha. Belut licin? Mana ada belut yang begitu memikat hingga bisa membuat wanita mana pun lupa cara bernapas?
Jika ada belut semacam itu di dunia ini, Jeselyn tak akan ragu memelihara beberapa ekor di dalam kamarnya, hanya untuk memeluknya setiap hari.
Namun, melihat wajah Alisha yang gusar, Jeselyn menghapus senyum dari bibirnya, lalu menautkan kedua tangannya di depan dada seperti tengah mencoba menahan diri untuk tidak tertawa lebih keras.
"Aneh sekali. Kenapa dia berusaha menerormu? Apa seleranya sudah berubah?" tukasnya, dengan nada sedikit heran.
Jeselyn melirik Alisha yang berdiri dengan cemas. Wanita itu, dengan rambut hitam sehalus sutra dan mata cokelat yang berkilau seperti batu permata, memang memiliki daya tariknya sendiri.
Tapi penampilannya yang formal dan sikapnya yang kaku tampaknya bertolak belakang dengan kepribadian Neuro yang bebas seperti angin yang menari di atas lautan.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" suara Alisha memecah lamunan Jeselyn.
Jeselyn segera mengalihkan pandangan, takut-takut, seperti seorang anak kecil yang baru saja tertangkap basah mengintip permen di dalam toples. "Tidak!" jawabnya cepat, mencoba menutupi pikirannya yang melayang-layang.
Alisha kembali berdecak, kali ini lebih keras, dan menyilangkan tangan di depan dada. "Pembicaraan ini sama sekali tidak membantu! Teman macam apa yang berkata seolah-olah aku ini tidak punya daya tarik untuk pria?"
Nada suaranya terdengar semakin tinggi, nyaris menyerupai petir yang menggelegar di langit mendung. "Lebih baik aku pergi!"
"Eh, tunggu sebentar! Maafkan aku!" Jeselyn menahan Alisha dengan cepat, wajahnya menampilkan ekspresi penuh penyesalan yang terlalu dramatis untuk dilewatkan begitu saja.
Dengan enggan, Alisha kembali duduk, tapi wajahnya masih terlipat seperti kain yang belum disetrika.
"Jadi, dia meminta bertemu?" tanya Jeselyn akhirnya, mencoba mengarahkan pembicaraan kembali ke pokok permasalahan.
Alisha mengangguk pelan, lalu mengembuskan napas panjang. "Begitulah."
"Kalau begitu, temui saja. Kau harus tahu apa yang dia inginkan, bukan? Tidak mungkin dia mau bermain-main dengan seorang wanita bersuami. Mungkin dia hanya ingin membicarakan sesuatu yang penting."
"Tapi kesepakatan apa?" Alisha menatap Jeselyn dengan sorot mata penuh pertanyaan. "Perusahaannya berbisnis dengan perusahaan Rean. Kenapa dia malah ingin bertemu denganku?"
"Maka dari itu, kau harus menemuinya agar kau tahu apa keinginannya," jawab Jeselyn dengan nada tenang, mencoba menjadi suara kebijaksanaan di tengah kebingungan Alisha.
Alisha menarik napas panjang, lalu mengembuskannya seperti seseorang yang berusaha mengangkat beban berat dari pundaknya. "Hah, kau benar. Baiklah, aku akan menemuinya."
"Tapi jangan minum alkohol," sahut Jeselyn cepat, mengangkat satu jari untuk menegaskan peringatannya.
Alisha meringis kecil, lalu mengangguk. Alkohol memang barang terlarang baginya sementara ini, seperti racun manis yang bisa membawanya pada kehancuran.
Melihat Alisha yang mulai tenang, Jeselyn tersenyum, lalu membuka beberapa file kerja mereka. "Nah, sekarang sudah siap bekerja dan membahas produk baru kita?"
Alisha menutup mulutnya dengan tangan, baru teringat bahwa mereka sudah membuang waktu selama setengah jam hanya untuk membahas Neuro pagi ini. "Astaga. Maafkan aku. Baiklah, sekarang aku siap."
Jeselyn tersenyum, dengan nada lega yang hampir menguap di udara. "Bagus!"
**
Untuk kesekian kalinya, Alisha menarik napas panjang, seolah berusaha menyedot seluruh keberanian dari udara malam yang dingin menusuk kulit.
Tangannya ia kepalkan di samping tubuh, meminta kekuatan dari semesta agar ia mampu menghadapi belut licin itu—pria yang sama licinnya dengan kata-kata manis yang ia semburkan seperti racun mematikan.
Matanya menatap bar malam yang dimaksudkan oleh Neuro dengan cemas. Lampu neon yang berkelap-kelip tampak seperti mata-mata tajam yang mengawasinya dari kejauhan, menelanjangi keraguannya.
Alisha menggigit bibirnya kuat, hingga hampir merasakan rasa logam dari darah yang nyaris muncul. Sudahlah, pikirnya, ia sudah sampai sejauh ini. Mundur hanya akan menjadi tanda kelemahan.
Kaki jenjangnya melangkah perlahan, irama dari heels tinggi yang ia kenakan bergema lembut di trotoar.
Setiap langkahnya terasa seperti denting jam, menghitung detik-detik hingga ia bertemu pria itu. Kita lihat, apa yang sebenarnya diinginkan pria gila itu dariku, pikirnya dengan dingin.
Dari salah satu meja bundar, Neuro terlihat melambai, senyumnya lebar seperti seorang anak nakal yang baru saja menemukan mainan baru.
Wajahnya tampak tanpa dosa, namun di balik mata abu-abu itu, Alisha bisa melihat kilatan licik, seperti serigala yang mengintai mangsa.
Alisha memasang wajah dingin, seolah menutupi badai yang berkecamuk di dalam dirinya, lalu berjalan menghampiri pria itu.
"Mau minum?" tawar Neuro, suaranya halus seperti madu yang mengalir, namun dengan sengatan racun di ujungnya.
Alisha mengangkat sebelah tangannya, gerakan anggun yang penuh ketegasan. "Tidak, terima kasih," jawabnya datar.
Neuro melipat bibir, berpura-pura kecewa, lalu mendesah pelan. "Sayang sekali. Padahal kau lebih terlihat menyenangkan saat mabuk," katanya dengan nada menggoda yang membuat darah Alisha berdesir, bukan karena terpesona, melainkan karena amarah yang mulai membara.
"Jangan berbasa-basi lagi di depanku. Katakan padaku, sebenarnya apa maumu? Dan darimana kau bisa tahu nomor ponselku?" tanya Alisha dengan tatapan sengit, suaranya tajam seperti ujung belati.
Neuro menyandarkan tubuhnya ke kursi, gerakannya santai seperti seseorang yang menikmati permainan. "Mudah. Aku tinggal masuk ke dalam website perusahaanmu dan taraaaa," katanya sambil menjentikkan jari.
“Semua informasi tentangmu ada di sana. Aku bahkan tahu makanan favoritmu." Ia mengerling jahil, senyumnya penuh kemenangan.
Tanpa sadar, Alisha menancapkan kuku-kukunya ke telapak tangannya sendiri, rasa sakit kecil itu menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap tenang.
Bodoh! makinya dalam hati. Ia seharusnya mengganti nomor itu dengan nomor telepon kantor, bukan nomor pribadinya. Bagaimana bisa ia begitu ceroboh?
"Lalu sekarang apa maumu?" tanya Alisha kembali, suaranya kini terdengar lebih tajam.
"Rupanya kau sangat ingin menyelesaikan ini, Nona. Apa kau tidak merindukan selingkuhanmu ini?" jawab Neuro, suaranya berlapis nada meledek yang membuat Alisha semakin ingin menampar pria itu.Tatapan Alisha tajam seperti panah, menusuk langsung ke arah Neuro. Ia sangat tidak menyukai nada suara itu—nada yang meremehkan lawan bicaranya, seolah ia adalah mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati."Jangan macam-macam! Kau tahu aku tidak suka berada di sini. Sekarang katakan saja, kau mau apa dariku? Uang? Kesepakatan bisnis? Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, asal semuanya cepat selesai!"Neuro berdecak, menggeleng perlahan, lalu tersenyum tipis. "Jangan galak begitu. Sudah kubilang, aku punya penawaran menarik untukmu."Alisha menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi yang semakin sulit dikendalikan.Di kepalanya, bayangan untuk menampar pria ini terasa sangat menggoda, namun ia tahu, mengamuk di bar yang ramai bukanlah ide yang bijak."Baiklah. Apa penawaran menarik it
"Dengarkan aku, Neuro Edenvile. Penawaranmu itu sama sekali tidak menarik," kata Alisha, suaranya penuh ketegasan, seperti bilah pedang yang diayunkan dengan presisi."Apa?" jawab Neuro, alisnya terangkat, dan senyumnya memudar seolah tak percaya mendengar penolakan yang begitu telak."Itu hanyalah permainan bodoh anak-anak," lanjut Alisha, suaranya kini terdengar lebih dingin, bagaikan angin beku di puncak gunung. "Bagaimana bisa aku membalas perselingkuhan dengan berselingkuh kembali? Tidak, aku tidak mau merendahkan diri seperti mereka."Ia berhenti sejenak, matanya menelusuri Neuro dari ujung rambutnya yang sempurna tertata hingga sepatu kulit mahal yang berkilauan di bawah lampu.Tatapannya begitu tajam, seperti pisau yang menelanjangi egonya hingga ke akar. "Lagipula kau sama sekali bukan tipeku."Cekalan Neuro di tangan Alisha terlepas begitu saja. Ia berdiri membatu, tubuhnya kaku seperti patung, sementara kata-kata Alisha bergaung di dalam pikirannya, mengguncang setiap pilar
Setibanya di Perusahaan Joy Deluxe, Neuro melangkah masuk seperti seorang penakluk yang baru saja tiba di tanah musuh.Nama belakangnya, Edenvile, adalah kunci emas yang membuka pintu-pintu yang biasanya terkunci rapat.Semua mata memandangnya, beberapa dengan rasa ingin tahu, yang lain dengan rasa kagum.Tanpa ragu, Neuro langsung menuju ruangan Rean. Ia hampir tidak memberi waktu bagi resepsionis untuk memperkenalkan kedatangannya.Langkahnya tegas, tiap hentakan sepatu di lantai marmer terdengar seperti ketukan palu penghakiman.Pintu ruangan Rean terbuka, dan pria itu mendongak dari meja kerjanya dengan ekspresi kaget yang tidak bisa ia sembunyikan.Alisnya berkerut samar, menunjukkan kebingungan yang perlahan berubah menjadi kewaspadaan."Anda?" tanya Rean, suaranya terdengar datar namun penuh pertanyaan.Neuro hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak menjawab namun malah mengundang lebih banyak pertanyaan."Neuro Edenvile, jika Anda lupa," ujarnya, nada suaranya seperti angin se
Alisha mendengus, suara kecil itu terdengar seperti geraman hewan buas yang sedang terkunci di kandang. Tatapannya tajam, seolah mampu menembus tembok tebal yang memisahkannya dari Rean dan Neuro."Mona," katanya pelan namun penuh ancaman. "Apa kamu ingin ini menjadi masalah? Apa kamu ingin aku bilang pada Rean bahwa kamu baru saja mengusir istri bosnya?"Mona terdiam. Wajahnya memucat, dan ia menunduk dengan gemetar. "Tidak, Bu," jawabnya lemah."Kalau begitu, minggir!"Tanpa menunggu, Alisha mendorong tubuh Mona ke samping dan membuka pintu ruangan Rean dengan keras, hampir seperti pintu itu adalah musuh yang harus ia kalahkan."Sayang?" Rean yang sedang berbicara dengan Neuro mendongak dengan kaget. Wajahnya penuh dengan pertanyaan, sementara tatapan dingin Alisha hanya fokus pada Neuro."Wah, diskusi kita jadi lebih menyenangkan karena Nona Alisha sudah ada di sini," ucap Neuro dengan nada santai, seolah keberadaan Alisha hanyalah tambahan yang menyegarkan suasana.Alisha menatap
Tubuh Alisha melemas mendengar ucapan Rean. Apa ini? pikirnya, dadanya terasa seperti diremas oleh tangan tak terlihat.Bukankah tadi Rean baik-baik saja? Kenapa nada suaranya kini terdengar seperti melodi pahit yang mengingatkan pada malam kelam itu?Ia meremas tangannya dengan kuat, jari-jarinya hampir menusuk telapak tangan yang basah oleh keringat dingin. Sudahlah, sandiwara ini memang harus berakhir. Pikirannya terus memutar kemungkinan terburuk.Pernikahan yang selama ini ia pertahankan bagai istana pasir kini terasa runtuh, tak mampu melawan gelombang.Alisha hanya bisa menyayangkan satu hal: pembalasan dendam yang telah ia susun rapi harus berakhir sekarang juga.Bayangan masa depan buruk menyergapnya, seperti angin dingin yang merayap di kulit. Jika mereka bercerai, ia bisa melihat dengan jelas Rean dan Gea berdiri bersama, tersenyum penuh kemenangan, mengolok-oloknya tanpa belas kasihan."Sial," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Alisha menghela napas panjang, men
Neuro tertawa kecil, sebuah suara rendah yang menggema seperti gema di lorong gelap. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatap Alisha dengan tatapan yang sulit dibaca.“Bagaimana jika kubilang bahwa kau membuatku tertarik?”Alisha mendengus keras, matanya melotot tajam. “Apa begini caramu menggoda para wanita bodoh itu untuk tidur denganmu?” tanyanya sinis, suaranya menggigit seperti belati yang menyayat daging.Neuro masih mempertahankan senyumnya, senyum itu seperti jaring laba-laba yang penuh dengan kelicikan, siap menangkap mangsanya kapan saja."Tapi dalam kasus ini, kau yang menarikku ke tempat tidur, Nona. Apa ingatanmu masih bermasalah?" ucapnya dengan nada menggoda, seperti racun yang dibalut madu.Alisha merutuk dalam hati, mengumpati betapa lincahnya lidah Neuro Edenvile dalam memutarbalikkan fakta.Ia benci setiap kata yang keluar dari mulut pria itu, benci setiap detik yang ia habiskan untuk mendengarkan kebohongan dan ejekan Neuro.'Kenapa aku harus berurusan denga
Alisha menekuk wajahnya, semburat lelah tampak di matanya yang redup. Ia baru saja selesai bertemu dengan Neuro, pria dengan senyum penuh teka-teki dan sikap yang tak pernah berhenti memprovokasi.Entah bagaimana kelanjutan kesepakatan ini nanti, pikirnya, kepalanya serasa dihantam oleh gelombang pasang pikiran yang berputar tanpa henti. Aku sudah cukup lelah menghadapi pria gila itu hari ini, desahnya dalam hati.Dengan gerakan lesu, bahunya merosot ke sandaran kursi ruang kerjanya. Pikirannya berkelana, mengulang semua kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini.Perselingkuhan Rean adalah pukulan pertama, dan kini Neuro Edenvile hadir sebagai badai berikutnya, menghancurkan apa pun yang tersisa dari kewarasanku.Sebuah denyut tajam menjalari kepalanya, seolah-olah otaknya ingin memberontak terhadap semua ini."Kau harus lihat pekerjaan selingkuhanmu itu!"Alisha mendongak, matanya yang lelah bertemu dengan sosok Jeselyn yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tak sabar.Beberapa pr
"Aku tidak mengerti, Kak. Sungguh, Kak Jeselyn tidak berkata apa-apa padaku tadi, Kak. Sepertinya Kakak salah paham. Dari awal Kak Jeselyn memang terlihat tidak suka sejak aku pindah ke sini. Hiks!" ucapnya, suara tangisnya terdengar seperti nada-nada patah yang dipaksakan, menggantung di udara dengan kejanggalan yang mencolok.Alisha memijit pelipisnya, rasa sakit yang menekan di kepalanya kini terasa seperti badai kecil yang bergemuruh.Di luar dugaan, Gea malah menyalahkan Jeselyn atas kesalahan yang jelas-jelas ia buat sendiri. Apakah ini cara Gea bertahan di dunia ini?Dengan menampilkan kepolosan yang dibuat-buat, meneteskan air mata palsu untuk memanipulasi orang-orang di sekitarnya?Tentu saja, Alisha tidak termakan oleh sandiwara itu. Ia mengenal Jeselyn hampir seumur hidupnya.Jeselyn bukan tipe orang yang akan bertindak sepicik itu hanya karena ketidaksukaan. Sedangkan Gea... Gea adalah cerita lain.Gadis ini telah menunjukkan wajahnya yang sebenarnya, berlapis-lapis sepert
"Aku tidak mengerti, Kak. Sungguh, Kak Jeselyn tidak berkata apa-apa padaku tadi, Kak. Sepertinya Kakak salah paham. Dari awal Kak Jeselyn memang terlihat tidak suka sejak aku pindah ke sini. Hiks!" ucapnya, suara tangisnya terdengar seperti nada-nada patah yang dipaksakan, menggantung di udara dengan kejanggalan yang mencolok.Alisha memijit pelipisnya, rasa sakit yang menekan di kepalanya kini terasa seperti badai kecil yang bergemuruh.Di luar dugaan, Gea malah menyalahkan Jeselyn atas kesalahan yang jelas-jelas ia buat sendiri. Apakah ini cara Gea bertahan di dunia ini?Dengan menampilkan kepolosan yang dibuat-buat, meneteskan air mata palsu untuk memanipulasi orang-orang di sekitarnya?Tentu saja, Alisha tidak termakan oleh sandiwara itu. Ia mengenal Jeselyn hampir seumur hidupnya.Jeselyn bukan tipe orang yang akan bertindak sepicik itu hanya karena ketidaksukaan. Sedangkan Gea... Gea adalah cerita lain.Gadis ini telah menunjukkan wajahnya yang sebenarnya, berlapis-lapis sepert
Alisha menekuk wajahnya, semburat lelah tampak di matanya yang redup. Ia baru saja selesai bertemu dengan Neuro, pria dengan senyum penuh teka-teki dan sikap yang tak pernah berhenti memprovokasi.Entah bagaimana kelanjutan kesepakatan ini nanti, pikirnya, kepalanya serasa dihantam oleh gelombang pasang pikiran yang berputar tanpa henti. Aku sudah cukup lelah menghadapi pria gila itu hari ini, desahnya dalam hati.Dengan gerakan lesu, bahunya merosot ke sandaran kursi ruang kerjanya. Pikirannya berkelana, mengulang semua kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini.Perselingkuhan Rean adalah pukulan pertama, dan kini Neuro Edenvile hadir sebagai badai berikutnya, menghancurkan apa pun yang tersisa dari kewarasanku.Sebuah denyut tajam menjalari kepalanya, seolah-olah otaknya ingin memberontak terhadap semua ini."Kau harus lihat pekerjaan selingkuhanmu itu!"Alisha mendongak, matanya yang lelah bertemu dengan sosok Jeselyn yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tak sabar.Beberapa pr
Neuro tertawa kecil, sebuah suara rendah yang menggema seperti gema di lorong gelap. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatap Alisha dengan tatapan yang sulit dibaca.“Bagaimana jika kubilang bahwa kau membuatku tertarik?”Alisha mendengus keras, matanya melotot tajam. “Apa begini caramu menggoda para wanita bodoh itu untuk tidur denganmu?” tanyanya sinis, suaranya menggigit seperti belati yang menyayat daging.Neuro masih mempertahankan senyumnya, senyum itu seperti jaring laba-laba yang penuh dengan kelicikan, siap menangkap mangsanya kapan saja."Tapi dalam kasus ini, kau yang menarikku ke tempat tidur, Nona. Apa ingatanmu masih bermasalah?" ucapnya dengan nada menggoda, seperti racun yang dibalut madu.Alisha merutuk dalam hati, mengumpati betapa lincahnya lidah Neuro Edenvile dalam memutarbalikkan fakta.Ia benci setiap kata yang keluar dari mulut pria itu, benci setiap detik yang ia habiskan untuk mendengarkan kebohongan dan ejekan Neuro.'Kenapa aku harus berurusan denga
Tubuh Alisha melemas mendengar ucapan Rean. Apa ini? pikirnya, dadanya terasa seperti diremas oleh tangan tak terlihat.Bukankah tadi Rean baik-baik saja? Kenapa nada suaranya kini terdengar seperti melodi pahit yang mengingatkan pada malam kelam itu?Ia meremas tangannya dengan kuat, jari-jarinya hampir menusuk telapak tangan yang basah oleh keringat dingin. Sudahlah, sandiwara ini memang harus berakhir. Pikirannya terus memutar kemungkinan terburuk.Pernikahan yang selama ini ia pertahankan bagai istana pasir kini terasa runtuh, tak mampu melawan gelombang.Alisha hanya bisa menyayangkan satu hal: pembalasan dendam yang telah ia susun rapi harus berakhir sekarang juga.Bayangan masa depan buruk menyergapnya, seperti angin dingin yang merayap di kulit. Jika mereka bercerai, ia bisa melihat dengan jelas Rean dan Gea berdiri bersama, tersenyum penuh kemenangan, mengolok-oloknya tanpa belas kasihan."Sial," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Alisha menghela napas panjang, men
Alisha mendengus, suara kecil itu terdengar seperti geraman hewan buas yang sedang terkunci di kandang. Tatapannya tajam, seolah mampu menembus tembok tebal yang memisahkannya dari Rean dan Neuro."Mona," katanya pelan namun penuh ancaman. "Apa kamu ingin ini menjadi masalah? Apa kamu ingin aku bilang pada Rean bahwa kamu baru saja mengusir istri bosnya?"Mona terdiam. Wajahnya memucat, dan ia menunduk dengan gemetar. "Tidak, Bu," jawabnya lemah."Kalau begitu, minggir!"Tanpa menunggu, Alisha mendorong tubuh Mona ke samping dan membuka pintu ruangan Rean dengan keras, hampir seperti pintu itu adalah musuh yang harus ia kalahkan."Sayang?" Rean yang sedang berbicara dengan Neuro mendongak dengan kaget. Wajahnya penuh dengan pertanyaan, sementara tatapan dingin Alisha hanya fokus pada Neuro."Wah, diskusi kita jadi lebih menyenangkan karena Nona Alisha sudah ada di sini," ucap Neuro dengan nada santai, seolah keberadaan Alisha hanyalah tambahan yang menyegarkan suasana.Alisha menatap
Setibanya di Perusahaan Joy Deluxe, Neuro melangkah masuk seperti seorang penakluk yang baru saja tiba di tanah musuh.Nama belakangnya, Edenvile, adalah kunci emas yang membuka pintu-pintu yang biasanya terkunci rapat.Semua mata memandangnya, beberapa dengan rasa ingin tahu, yang lain dengan rasa kagum.Tanpa ragu, Neuro langsung menuju ruangan Rean. Ia hampir tidak memberi waktu bagi resepsionis untuk memperkenalkan kedatangannya.Langkahnya tegas, tiap hentakan sepatu di lantai marmer terdengar seperti ketukan palu penghakiman.Pintu ruangan Rean terbuka, dan pria itu mendongak dari meja kerjanya dengan ekspresi kaget yang tidak bisa ia sembunyikan.Alisnya berkerut samar, menunjukkan kebingungan yang perlahan berubah menjadi kewaspadaan."Anda?" tanya Rean, suaranya terdengar datar namun penuh pertanyaan.Neuro hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak menjawab namun malah mengundang lebih banyak pertanyaan."Neuro Edenvile, jika Anda lupa," ujarnya, nada suaranya seperti angin se
"Dengarkan aku, Neuro Edenvile. Penawaranmu itu sama sekali tidak menarik," kata Alisha, suaranya penuh ketegasan, seperti bilah pedang yang diayunkan dengan presisi."Apa?" jawab Neuro, alisnya terangkat, dan senyumnya memudar seolah tak percaya mendengar penolakan yang begitu telak."Itu hanyalah permainan bodoh anak-anak," lanjut Alisha, suaranya kini terdengar lebih dingin, bagaikan angin beku di puncak gunung. "Bagaimana bisa aku membalas perselingkuhan dengan berselingkuh kembali? Tidak, aku tidak mau merendahkan diri seperti mereka."Ia berhenti sejenak, matanya menelusuri Neuro dari ujung rambutnya yang sempurna tertata hingga sepatu kulit mahal yang berkilauan di bawah lampu.Tatapannya begitu tajam, seperti pisau yang menelanjangi egonya hingga ke akar. "Lagipula kau sama sekali bukan tipeku."Cekalan Neuro di tangan Alisha terlepas begitu saja. Ia berdiri membatu, tubuhnya kaku seperti patung, sementara kata-kata Alisha bergaung di dalam pikirannya, mengguncang setiap pilar
"Rupanya kau sangat ingin menyelesaikan ini, Nona. Apa kau tidak merindukan selingkuhanmu ini?" jawab Neuro, suaranya berlapis nada meledek yang membuat Alisha semakin ingin menampar pria itu.Tatapan Alisha tajam seperti panah, menusuk langsung ke arah Neuro. Ia sangat tidak menyukai nada suara itu—nada yang meremehkan lawan bicaranya, seolah ia adalah mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati."Jangan macam-macam! Kau tahu aku tidak suka berada di sini. Sekarang katakan saja, kau mau apa dariku? Uang? Kesepakatan bisnis? Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, asal semuanya cepat selesai!"Neuro berdecak, menggeleng perlahan, lalu tersenyum tipis. "Jangan galak begitu. Sudah kubilang, aku punya penawaran menarik untukmu."Alisha menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi yang semakin sulit dikendalikan.Di kepalanya, bayangan untuk menampar pria ini terasa sangat menggoda, namun ia tahu, mengamuk di bar yang ramai bukanlah ide yang bijak."Baiklah. Apa penawaran menarik it
"Jadi pria yang bersamamu saat itu adalah Neuro Edenvile? Astaga, Alisha, dia itu tampan sekali, seperti sebuah karya seni yang diukir oleh dewa-dewa langit dengan telaten! Kau benar-benar beruntung," seru Jeselyn, matanya berbinar seperti menemukan berlian di antara pasir gurun.Alisha hanya bisa berdecak kesal mendengar jawaban Jeselyn. Alih-alih memberikan saran, temannya itu malah sibuk mengagumi Neuro, seolah pria itu bukan manusia biasa, melainkan pangeran dari negeri dongeng yang mempesona dengan senyum mautnya."Demi Tuhan, Jeselyn! Dia itu benar-benar menyebalkan! Bagaimana bisa kau memujinya seperti itu?" Alisha mengembuskan napas kasar, wajahnya memerah seperti matahari senja yang marah."Kau harus membantuku mengurus belut licin itu. Dia bahkan meneror ponselku!" Dengan nada yang semakin panik, ia berseru, "Bagaimana jika Rean tahu semua ini?"Jeselyn hampir saja tertawa terbahak mendengar ungkapan Alisha. Belut licin? Mana ada belut yang begitu memikat hingga bisa membuat