Alisha menekuk wajahnya, semburat lelah tampak di matanya yang redup. Ia baru saja selesai bertemu dengan Neuro, pria dengan senyum penuh teka-teki dan sikap yang tak pernah berhenti memprovokasi.Entah bagaimana kelanjutan kesepakatan ini nanti, pikirnya, kepalanya serasa dihantam oleh gelombang pasang pikiran yang berputar tanpa henti. Aku sudah cukup lelah menghadapi pria gila itu hari ini, desahnya dalam hati.Dengan gerakan lesu, bahunya merosot ke sandaran kursi ruang kerjanya. Pikirannya berkelana, mengulang semua kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini.Perselingkuhan Rean adalah pukulan pertama, dan kini Neuro Edenvile hadir sebagai badai berikutnya, menghancurkan apa pun yang tersisa dari kewarasanku.Sebuah denyut tajam menjalari kepalanya, seolah-olah otaknya ingin memberontak terhadap semua ini."Kau harus lihat pekerjaan selingkuhanmu itu!"Alisha mendongak, matanya yang lelah bertemu dengan sosok Jeselyn yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tak sabar.Beberapa pr
"Aku tidak mengerti, Kak. Sungguh, Kak Jeselyn tidak berkata apa-apa padaku tadi, Kak. Sepertinya Kakak salah paham. Dari awal Kak Jeselyn memang terlihat tidak suka sejak aku pindah ke sini. Hiks!" ucapnya, suara tangisnya terdengar seperti nada-nada patah yang dipaksakan, menggantung di udara dengan kejanggalan yang mencolok.Alisha memijit pelipisnya, rasa sakit yang menekan di kepalanya kini terasa seperti badai kecil yang bergemuruh.Di luar dugaan, Gea malah menyalahkan Jeselyn atas kesalahan yang jelas-jelas ia buat sendiri. Apakah ini cara Gea bertahan di dunia ini?Dengan menampilkan kepolosan yang dibuat-buat, meneteskan air mata palsu untuk memanipulasi orang-orang di sekitarnya?Tentu saja, Alisha tidak termakan oleh sandiwara itu. Ia mengenal Jeselyn hampir seumur hidupnya.Jeselyn bukan tipe orang yang akan bertindak sepicik itu hanya karena ketidaksukaan. Sedangkan Gea... Gea adalah cerita lain.Gadis ini telah menunjukkan wajahnya yang sebenarnya, berlapis-lapis sepert
Rean mengangkat alisnya saat layar ponselnya menampilkan nama Gea. Sebuah panggilan di tengah jam kerja.Ia mendecak keras, perasaan kesal menguap seketika. Apa sebenarnya yang dipikirkan Gea? Panggilan seperti ini terlalu berisiko.Apakah gadis itu tidak khawatir perselingkuhan mereka terbongkar begitu saja di depan Alisha?Rean menekan tanda hijau dengan gerakan cepat, nyaris kasar. Sebelum amarahnya tumpah, ia ingin tahu alasan Gea mengganggunya di saat yang tidak tepat seperti ini."Apa kamu sudah gila? Kenapa menelepon di jam seperti ini? Alisha pasti..."Kalimatnya terputus tiba-tiba. Di seberang sana, suara isak tangis pecah, menyeruak melalui ponsel seperti belati yang menusuk langsung ke dadanya.Napas Rean tercekat; suara itu, tangisan itu—lemah dan penuh luka—menghantam benteng emosinya. Rasa bersalah dan simpati mengalir deras, melunturkan kemarahannya."Ada apa, Gea? Kenapa kamu menangis?" tanyanya, nadanya berangsur menjadi lembut, hampir seperti belaian.Gea terisak di
Rean mendesah kasar, tangannya secara refleks mengusap wajahnya dengan gerakan lelah. Baru saja ia merasa sedikit tenang setelah bertemu Gea, kini Alisha kembali memperkeruh suasana hatinya."Suami baru tiba, kenapa sudah mengajak untuk berdebat? Bukankah seorang istri yang baik seharusnya mempersiapkan keperluan suaminya saat ini?" balasnya dengan nada dingin, matanya menatap lurus ke arah Alisha.Alisha bersedekap di depan dada, sorot matanya tajam seperti duri mawar yang menyakitkan."Aku sudah melakukan semuanya. Kamu bisa mengeceknya jika penasaran. Makanan, pakaian, juga air hangat sudah tersedia.“Tapi karena kamu lagi-lagi pulang terlambat, makanan dan air hangat itu sudah dingin. Sebenarnya kamu ke mana?" tanyanya dengan nada curiga yang mencuat seperti panah yang mengarah langsung ke hati Rean.Biasanya, tatapan penuh intimidasi dari Alisha akan membuat Rean terdiam. Tapi tidak kali ini. Ia menghela napas panjang, tatapannya mencerminkan rasa lelah bercampur kejengkelan yang
Sementara itu, Gea melangkah masuk ke kantor dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, senyum yang menyiratkan kemenangan kecilnya.Hari ini begitu indah. pikirnya. Rean telah mengabari bahwa ia menasihati Alisha atas sikap kasarnya kemarin. Bahkan, Rean berkata akan selalu menjadi benteng pelindungku.Hatinya terasa melayang, seperti kupu-kupu yang bebas menari di tengah taman bunga. Aku selangkah lebih maju menuju tujuanku, pikirnya sambil melirik ke arah ruangan Alisha.Ruang kaca itu memperlihatkan sosok Alisha yang tenggelam di balik tumpukan file di mejanya.Gea tersenyum kecil. Lihatlah, wanita itu berusaha terlihat baik-baik saja, padahal badai sedang melanda rumah tangganya.Namun, senyumnya menghilang saat Vania dan Jesselyn menghampiri mejanya dengan langkah cepat."Saya harus mengambil semua berkasnya, Bu?" tanya Vania, matanya menunjuk ke arah meja Gea.Gea mengerutkan kening, kebingungan. Ada apa ini sebenarnya?Jesselyn, dengan nada datar namun tegas, mengangguk. "Ya
Alisha menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gerakan perlahan, menatap Gea dengan mata yang tajam namun datar, seperti raja yang sedang mengadili rakyatnya."Bukankah sudah jelas bahwa kau tidak ingin dikritik, Gea? Kau bahkan mengadu pada Rean karena aku memarahimu," ucapnya, nada bicaranya datar namun membawa bobot yang membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat.Gea menggeleng cepat, ekspresi wajahnya berubah menjadi cerminan kesedihan yang dibuat-buat."Kakak salah paham! Aku tidak mengadu. Kebetulan saja Kak Rean menelepon untuk menanyakan kabarku di kantor ini. Tapi karena terlalu sedih Kak Lisha marah padaku, aku menangis di telepon.“Jadi mau tidak mau aku menceritakannya pada Kak Rean. Maafkan aku, Kak!" katanya, suaranya lirih namun penuh dengan nada memohon yang terlatih sempurna.Ia menatap Alisha dengan mata yang mulai berkilauan, seolah-olah air mata sudah di ambang jatuh.Namun, Alisha tetap bergeming, tak ada secercah simpati di wajahnya. Gea merasa darahnya mendi
Ketiga perempuan itu pergi, meninggalkan Gea sendiri di toilet. Namun, bukannya lega, Gea justru merasa dadanya semakin sesak.Ia mengepalkan tangannya, menyalahkan situasi ini pada Alisha. Sial, ini semua gara-gara Alisha! pikirnya, geram.Ia berjalan ke wastafel, membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa meredakan amarah yang membakar dirinya.Namun, saat ia kembali ke mejanya, sesuatu menarik perhatiannya. Kursinya telah dikucuri noda berwarna merah, seperti darah.Saat ia berdiri untuk mengambil kopi, suara bisik-bisik mulai terdengar dari rekan kerjanya yang lain. Gea menyipitkan mata, mencoba menangkap percakapan mereka."Ih, jorok sekali!""Hei, bukannya dia tadi baru pulang dari toilet? Kenapa tidak ganti saja tadi?"Bisikan-bisikan itu semakin ramai, seperti sekumpulan lebah yang berdengung tanpa henti. Setiap kata yang terucap membawa nada jijik, membuat atmosfer ruangan terasa menyesakkan."Lihat, darahnya b
Gea terpaku, bagai terpaku oleh waktu yang tiba-tiba berhenti. Kata-kata Alisha tadi masih bergema di pikirannya.Bukti? Sial, apakah penderitaannya tidak cukup jelas untuk dilihat? Apakah noda darah dan tikus mati di dalam tasnya tidak cukup menjadi bukti nyata?Mengapa Alisha malah mempertanyakan hal itu seolah-olah Gea adalah terdakwa, bukan korban?"Gea, jangan bilang kamu tidak memiliki buktinya," suara Alisha terdengar lebih dingin dari angin musim dingin yang menggigit tulang.Gea menelan ludah, merasakan rasa getir menyusuri tenggorokannya. Puluhan pasang mata kini tertuju padanya, penuh sorot tajam yang memaksa pengakuan.Tekanan itu bagaikan ribuan jarum yang menusuk kulitnya, menyakitkan dan tak terhindarkan. Tatapan intimidasi dari Alisha membuat tubuhnya seolah menyusut, kehilangan kekuatan untuk melawan.Bukti? Tentu saja ia tidak memilikinya. Gea mengutuk dirinya dalam hati, menyadari bahwa tadi ia telah menuduh Lolita hanya bermodalkan emosi.Namun tiba-tiba, sebuah id
Neuro bangkit, membuka lemarinya lalu mencari-cari sesuatu yang bisa Alisha pakai. Neuro menemukan kemeja putih yang sepertinya akan cocok di badan Alisha yang mungil lalu menariknya keluar.la kembali menghampiri Alisha yang kini terduduk diam. Neuro mulai membuka resleting gaun Alisha. Gerakan tangannya tiba-tiba terhenti saat Alisha mengecup bibirnya lembut.Netra Neuro melebar sempurna saat bibir gadis itu mulai menyapu area bibirnya beberapa kali.Neuro mulai mengatur pemikirannya lagi, memberikan pengarahan pada tubuhnya agar membuat gadis itu merasa nyaman.Neuro mulai mengikuti permainan yang Alisha lakukan. Namun, permainan kali ini Neuro membuat ritmenya lebih lembut dan teratur agar kenyamanan Alisha tidak terusik.Tidak banyak yang bisa mereka katakan, hanya sorot mata yang berbicara betapa dalamnya perasaan yang tengah Neuro salurkan.Alisha harus tahu bahwa ia sungguh-sungguh dalam setiap tindakannya, ia sungguh-sungguh akan mengangkat gadis itu ke dasar melupakan seluru
"Kau tidak keberatan jika aku membawamu ke sini?" tanya Neuro saat mereka telah sampai di depan pintu apartemennya.Alisha terlihat mengangguk lemah. Tatapan nanar dan raut wajah putus asanya tidak juga berubah sejak mereka meninggalkan area pesta pernikahan.Alisha terlihat seperti mayat hidup yang berjalan tak tahu arah. Raganya mungkin ada disini, namun jiwanya melayang entah kemana.Neuro hanya bisa mendesah melihat pemandangan menyakitkan ini. Kesakitan Alisha hari ini pasti terlalu berat untuk gadis itu terima.Alisha berubah menjadi sangat pendiam, dia bahkan tidak protes saat Neuro mengajaknya ke apartemen pribadinya. Atau mungkin Alisha bahkan tidak sadar kemana Neuro sudah membawanya.Melihat keadaan Alisha yang kacau seperti ini membuat Neuro tidak bisa meninggalkan gadis itu sendirian.Dengan keadaannya yang seperti ini, Alisha pasti tidak akan pergi ke rumah Tante Evelyn karena tidak ingin membuatnya khawatir.Neuro memilih hal ini karena ini satu-satunya cara ia bisa mem
Tubuh Gea bergetar. Bibirnya ingin mengatakan sesuatu, ingin membela diri, tetapi tidak ada suara yang keluar.Matanya memanas, penglihatannya mulai kabur oleh air mata yang menggenang. Ini bukan yang ia bayangkan. Ini bukan pernikahan yang ia impikan.Melihat Gea menangis dan Rean yang terluka, Riana segera pasang badan. Ia maju selangkah, berdiri di antara suami dan anaknya. Matanya menyala dengan perlawanan."Pa, cukup!" suaranya menggema, berusaha menandingi kemarahan Hendriawan."Apa Papa tahu semua ini tidak akan terjadi jika Alisha tidak menyebarluaskan video itu? Mama yakin, ini pasti ada sangkut pautnya dengan Alisha! Seharusnya Papa menyalahkan Alisha, bukan Rean atau Gea! Mereka hanya menikah!"Hendriawan mendengus sinis. "Mama benar-benar buta dengan kebencian Mama sendiri," katanya dengan suara dingin yang mampu membekukan darah."Ini tidak akan terjadi jika Rean menjaga kesetiaannya. Dan lebih dari itu, ini tidak akan terjadi jika Mama tidak ikut campur dalam urusan anak
"Astaga, jadi kau menyalahkan aku atas semua perbuatanmu? Begitu, Gea?""Diam!"Rean dan Gea seketika berhenti lalu menatap Riana yang datang dengan wajah murka."Seharusnya kalian bahagia saat ini, kenapa malah berdebat dan saling melempar kesalahan?"Tangisan Gea membuncah, seketika ia berlari ke arah Riana lalu memeluknya erat."Seharusnya kamu tunjukkan kepada Alisha bahwa kamu bahagia dengan pilihanmu ini, Rean. Kenapa kamu malah memarahi Gea?""Tapi Ma, aku tidak mau kehilangan Alisha. Aku tidak rela melihatnya pergi dan berpaling kepada Neuro. Alisha itu istriku, dia adalah wanita yang paling aku cintai,""Dia sudah membuangmu, Rean. Sadarlah!" ucap Riana dengan penekanan yang kuat.Rean hanya bisa terduduk pasrah mendengar ucapan Riana. Ucapan ibunya memang benar—dia telah dibuang oleh Alisha.Dia telah menghina kita hari ini. Acara kita menjadi bahan perbincangan di sepanjang pesta, menjadi gunjingan di antara para tamu yang menatap kita dengan sorot mata penuh ejekan.Mama m
Air mata haru menggenang di sudut matanya. Ini adalah momen yang telah ia tunggu-tunggu. Tuhan telah menjawab doanya.Namun, kebahagiaan yang baru saja ia genggam seketika terhenti ketika sebuah suara menggelegar dari sudut ruangan."Kenapa kalian tidak mengundang istri pertama ke pernikahan ini? Wah, aku tidak menyangka jika suamiku telah berhasil direbut olehmu, Gea."Suasana di aula berubah seketika. Desas-desus memenuhi udara, membentuk gelombang kebingungan dan keterkejutan. Gea membeku di tempatnya.Matanya membelalak saat sosok yang dikenalnya berdiri di bawah panggung dengan senyum menantang.Alisha.Dengan gaun putih mewah yang membalut tubuhnya, serta wajahnya yang dipoles riasan lembut, ia terlihat tak kalah anggun.Para tamu yang awalnya terfokus pada Gea dan Rean kini mengalihkan perhatian mereka ke sosok Alisha, yang berdiri tegak dengan aura yang begitu kuat.Senyum yang ia layangkan bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh makna, seolah ia adalah badai yang siap me
Alisha mencoba mempertahankan raut wajah datarnya lalu mengembalikan ponsel Rean.Jemarinya yang ramping melayang sejenak sebelum benar-benar melepaskan benda itu, seakan ingin mengabadikan sensasi dingin logam di kulitnya—sebuah kemenangan kecil yang hanya ia sendiri yang tahu.Di dalam dada, sebuah kepuasan mekar, semanis racun yang perlahan-lahan menjalar ke seluruh tubuh. Ia telah berhasil memasang aplikasi pelacak tanpa dicurigai. Siapa sangka kecemburuan Rean terhadap Neuro justru menjadi senjatanya?"Kenapa kau diam saja? Bagaimana? Sekarang kau percaya perkataanku bahwa hubunganku dengan Gea sudah berakhir, bukan?" Suara Rean bergetar, mengandung harapan yang nyaris putus asa.Alisha menggeleng perlahan, seperti angin musim gugur yang dengan lembut menolak jatuhnya daun terakhir. "Tidak."Tatapan Rean menegang. Sejenak, mata itu memancarkan keputusasaan sebelum kembali tajam, mencoba membaca sesuatu di wajah Alisha. "Apa? Memangnya ada hal aneh di dalam ponselku itu?""Tidak a
"Jaga bicaramu, Alisha. Gea ini sedang menemani Mama berbelanja. Dia ini jauh berbeda dari kamu yang tidak pernah perhatian terhadap Mama," Riana membalas dengan nada angkuh, seolah-olah Gea adalah malaikat penyelamat yang diutus khusus untuk dirinya.Alisha mengangkat alisnya, mengejek tanpa kata. "Wah, rupanya kalian semakin cocok. Maafkan menantumu ini karena tidak memiliki waktu untuk berfoya-foya, Mama," balasnya menohok, memastikan setiap kata yang diucapkannya mengenai sasaran.Wajah Riana langsung memerah, emosinya tersulut dalam sekejap. "Mulut kamu ini semakin lama semakin tidak terpelajar," geramnya, suaranya bergetar menahan amarah."Ma, sudahlah jangan emosi. Lebih baik kita cari tempat lain saja. Tidak enak jika bertengkar di tempat umum seperti ini,"Gea berusaha menarik lengan Riana, berpura-pura menjadi pihak yang bijak. Namun, ada kilatan kemenangan di matanya yang tidak bisa ia sembunyikan."Kamu benar, Sayang. Kita cuma buang-buang waktu berada di sini," sahut Rian
Hati Rean terasa mencengkeram dadanya erat-erat. "Kau benar-benar marah padaku karena kedatangan Gea hari ini? Aku benar-benar tidak tahu jika Gea akan melakukan itu, sungguh," ucapnya, ada kesungguhan yang hampir putus asa di sana.Namun, hati Alisha seolah telah membeku. Ia mendengus, lalu berkata dengan nada yang lebih tajam dari pecahan kaca, "Bukankah kau senang jika dia dekat dengan Mama? Mereka terlihat cocok satu sama lain."Rean menggeleng kecil, matanya memohon sesuatu yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata."Aku mohon Sayang, jangan seperti ini. Aku benar-benar tidak menginginkan itu. Kamu adalah istriku, dan tidak ada yang akan menggantikanmu menjadi menantu Mama."Tawa sinis Alisha memenuhi udara, mengiris harapan tipis di hati Rean. "Jangan bicara lagi jika kau masih mempertahankan jalang itu di sini.""Kami sudah putus, maksudku Gea dan aku," suara Rean terdengar hampir putus asa, memohon pengertian yang tak kunjung ia dapatkan. "Tapi Gea tidak terima, jadi dia melak
Rean menggeram kesal ke arah Gea yang tersenyum padanya—senyum yang begitu manis di permukaan, namun di matanya bersinar kilau licik seperti mata kucing di kegelapan.Gadis itu ternyata tidak memedulikan peringatannya sedikit pun, membiarkan kata-kata Rean terbang seperti debu dihembus angin.Ia sudah menegaskan, melarangnya memberitahu siapa pun, tetapi Gea, dengan keberanian yang menjengkelkan, justru membisikkan segalanya kepada ibunya—menciptakan badai di tengah lautan emosi Rean."Mama senang jika kalian akhirnya memutuskan menikah. Gea lebih baik dari Alisha, Sayang.“Gea masih muda dan cantik, dia juga pintar memasak dan yang paling penting Gea menghormati Mama. Perbandingannya sangat jauh jika dibandingkan dengan Alisha," kata Riana, suaranya mengalun lembut namun penuh tajam seperti belati berselubung sutra.Perempuan paruh baya itu bersinar dengan rasa puas yang menari di wajahnya, matanya berbinar seakan-akan Gea adalah berlian langka yang akhirnya berhasil ia miliki.Rean