"Kau harus datang atau aku akan memberitahu suamimu!"
Alisha kembali berbalik, memberikan tatapan sengitnya saat mendengar teriakan Neuro. la melirik ke arah sekeliling dengan panik Pria itu! Bagaimana jika ada yang mendengar pembicaraan mereka?
Kemarahan Alisha semakin bertambah saat melihat Neuro hanya tersenyum menyeringai. Neuro sepertinya menikmati waktu dimana ia merasa dipermainkan.
Alisha memilih kembali melanjutkan langkah lebar sambil merutuk dalam hatinya, menyumpahi Neuro setengah mati, "Dasar pria gila!"
Alisha segera mencari keberadaan Rean, mereka harus pergi dari sini sebelum Neuro kembali membuat ulah.
Namun saat langkahnya baru mencapai beberapa langkah, Alisha terhenti saat melihat Gea yang tengah tersenyum dengan Rean.
Mereka tertawa lalu terlibat pembicaraan seru dengan rekan kerja Rean yang lain. Tangan Alisha terkepal, baru ditinggalkan beberapa menit saja, Rean dan Gea sudah terlihat bersama di sana.
"Wah, wah sepertinya selingkuhanmu mulai mengambil alih suamimu.”
Alisha berbalik, ia kembali menampilkan raut wajah tidak senang saat sadar siapa yang berada di belakangnya.
"Apa kau seorang penguntit? Kenapa kau mengikutiku? Lalu apa maksud perkataanmu itu, suamiku sama sekali tidak berselingkuh!"
Serang Alisha tegas.
Neuro kembali tersenyum lalu berdecak, "Siapa yang mengikutimu, Nona? Aku hanya hendak kembali ke tempat pesta ayahku."
Netra biru Neuro mengerling dengan jahil, melirik ke arah Rean dan Gea di seberang sana, "Kau cukup tahu apa maksud perkataanku, Nona Alisha,
Alisha yang merasa bahwa berbicara dengan Neuro semakin berbahaya segera mengangkat tangan, "Jangan berusaha akrab denganku karena kesalahan satu malam, Tuan Neuro, Alisha kembali memberikan peringatan, namun Neuro hanya tersenyum mendengarnya.
Neuro kemudian maju terlihat hendak melewati Alisha, namun sebelum benar-benar pergi, pria itu kembali berbisik kecil ke arah telinganya.
"Datanglah ke sana, aku akan memberikan penawaran yang menarik untukmu,"
Alisha hanya memutar mata jengah, sepenuhnya mengabaikan perkataan Neuro. la masih memberikan tatapan sinisnya saat melihat punggung Neuro berlalu.
Alisha mengambil napas lalu kembali menatap Rean yang malah sibuk dengan Gea, selingkuhannya.
Alisha merasa sangat kesal karena ulah Neuro, namun melihat Rean yang sama sekali melupakan keberadaannya membuat perasaan hatinya semakin buruk.
Pemandangan Rean dan Gea di depan sana membuat matanya sakit. Untuk terakhir kalinya, Alisha melemparkan tatapan jijik pada mereka.
Kakinya kembali dihentakkan dengan angkuh, la akan pergi sendiri dari sini dengan atau tanpa Rean.
"Kenapa kau senyum-senyum sendiri seperti itu sejak tadi pagi?"
John bergidik melihat tingkah Neuro yang aneh hari ini. Semenjak tiba, Neuro akan menampilkan senyumnya kemudian terkekeh sendirian.
Bahkan saat John memberikan file untuk ia pelajari, Neuro masih menampilkan wajah riangnya kemudian terkekeh lagi.
"Perlu kuberikan obat untukmu?" Tawar John mulai khawatir.
Otak Neuro sepertinya selalu bermasalah setelah ia bertemu dengan gadis bar itu. Bagaimana jika Neuro menjadi hilang akal akibat memikirkan gadis bar itu?
John menggeleng, itu tidak lucu. Neuro memang sudah aneh sejak lahir, tapi menjadi gila karena seorang gadis, itu tidak mungkin terjadi pada pria brngsk macam Neuro.
Dia adalah penakluk wanita, menjadi lemah karena wanita, bukan tipikal Neuro sama sekali.
"Diamlah John, aku sedang senang. Jangan merusak kesenanganku.”
John mengangkat alis kemudian duduk, mulai tertarik dengan kabar menyenangkan dari atasannya ini.
"Biasanya suasana hatimu selalu buruk setelah acara ayahmu, apa ada hal yang membuatmu senang semalam? Pantas saja kau terlihat ceria menyapa rekan-rekan kerja kita,"
Neuro menampilkan raut wajah misterius, "Begitulah,"
John menatap takjub, benar-benar hal yang langka bisa melihat keceriaan di wajah Neuro. "Kau bertemu gadis cantik? Apa gadis ini lebih cantik dari gadis bar itu?" Tebak John, menurutnya hanya itu yang bisa membuat Neuro bersemangat.
"Aku menemukannya,"
John mengangkat alisnya heran, "Siapa?"
"Wanita bar itu,"
"Ohh...." John kembali memasang wajah terkejut. "Hah? Siapa?"
"Wanita bar itu, John. Aku menemukannya di pesta ayahku semalam.”
John mengerjapkan matanya, tidak percaya, "Kau bertemu dia? Di mana? Kenapa tidak memberitahuku? Aku sangat penasaran bagaimana rupanya,"
"Dia...." Neuro sengaja menggantungkan ucapannya membuat John semakin penasaran.
"Ya? Dia kenapa? Apa kau juga sudah tahu namanya?" Berondong John gemas karena Neuro menggantung ucapannya.
"Dia mengganti gaya rambutnya, membuatku semakin gemas saja," ucap Neuro sambil tersenyum.
John menepuk dahinya keras. "Jadi kau belum tahu namanya?"
Neuro menampilkan raut wajah tersinggung, "Hei, jangan meremehkanku, John, aku bahkan lebih baik darimu dalam hal mencari informasi," ujarnya tidak terima.
John mendengus, bagaimana bisa ia mengindentifikasi wanita itu jika penampilannya saja hanya berdasarkan ingatan Neuro?
Neuro hanya mengatakan bahwa wanita itu liar, luar biasa dan cantik. Demi Tuhan, ribuan wanita memiliki karakteristik umum seperti itu!
"Jadi, siapa namanya? Apa kalian berjanji untuk bertemu lagi?" Karena ia sangat penasaran dengan cerita Neuro, John mencoba untuk tidak mendebatnya.
"Namanya Alisha, cantik bukan?"
"Tunggu sebentar, Alisha? Namanya tidak asing, sepertinya aku. pernah mendengarnya," balas John dengan kening berkerut samar
"Ya, dia istri Rean,”
Netra John melebar sempurna mendengar penuturan Neuro, "Astaga! kau bilang istri Rean? Dia pemilik perusahaan Joy Deluxe bukan? Kau mempunyai affair dengan istri kolega kita? Kau gila?" Serang John tidak habis pikir.
la memang sudah sering mengurusi berbagai macam masalah yang Neuro timbulkan, tapi berhubungan dengan istri rekan kerja mereka bukanlah perkara yang sepele.
Neuro hanya mendesah lalu menepuk-nepuk telinganya, "Sudah ku bilang John, kendalikan suaramu itu, kau seperti nenek-nenek,"
John yang sepenuhnya tidak setuju dengan keluhan Neuro tentang suaranya kembali mengacuhkan hal itu, "Kau tidak berniat menemuinya lagi, bukan?" ujar John cemas. Menatap Neuro takut-takut, berharap semoga saja perkiraannya ini salah.
"Aku sudah menemukannya, tentu saja aku tidak akan melepasnya lagi.”
"Astaga! Kau membuatku pusing, Neuro. Kau boleh mengejar siapa pun yang kau inginkan, tapi—dengan istri orang lain? Ayahmu pasti akan menggantungku di depan kantor jika tahu," ujarnya, suaranya pecah di antara putus asa dan marah.Neuro hanya tersenyum, senyum yang penuh dengan kesombongan yang lembut namun berbahaya. "Tenanglah, John. Ayah tidak akan tahu!" katanya dengan nada santai, seperti berbicara tentang cuaca, bukan tentang skandal yang bisa menghancurkan reputasi keluarga mereka.John memandang Neuro dengan tatapan nanar, matanya melebar seakan ingin keluar dari rongganya. "Aku akan mencari wanita lajang yang tiga kali lipat lebih cantik darinya," tawarnya, mencoba merayu Neuro untuk keluar dari permainan api ini."Tidak," jawab Neuro dengan tenang, nadanya datar namun penuh ketegasan."Lima kali lipat?" sergah John, kali ini suaranya lebih tinggi, nyaris seperti memohon."Tidak," ulang Neuro, senyumnya makin melebar. Matanya memicing, seperti serigala yang menemukan mangsa d
"Jadi pria yang bersamamu saat itu adalah Neuro Edenvile? Astaga, Alisha, dia itu tampan sekali, seperti sebuah karya seni yang diukir oleh dewa-dewa langit dengan telaten! Kau benar-benar beruntung," seru Jeselyn, matanya berbinar seperti menemukan berlian di antara pasir gurun.Alisha hanya bisa berdecak kesal mendengar jawaban Jeselyn. Alih-alih memberikan saran, temannya itu malah sibuk mengagumi Neuro, seolah pria itu bukan manusia biasa, melainkan pangeran dari negeri dongeng yang mempesona dengan senyum mautnya."Demi Tuhan, Jeselyn! Dia itu benar-benar menyebalkan! Bagaimana bisa kau memujinya seperti itu?" Alisha mengembuskan napas kasar, wajahnya memerah seperti matahari senja yang marah."Kau harus membantuku mengurus belut licin itu. Dia bahkan meneror ponselku!" Dengan nada yang semakin panik, ia berseru, "Bagaimana jika Rean tahu semua ini?"Jeselyn hampir saja tertawa terbahak mendengar ungkapan Alisha. Belut licin? Mana ada belut yang begitu memikat hingga bisa membuat
"Rupanya kau sangat ingin menyelesaikan ini, Nona. Apa kau tidak merindukan selingkuhanmu ini?" jawab Neuro, suaranya berlapis nada meledek yang membuat Alisha semakin ingin menampar pria itu.Tatapan Alisha tajam seperti panah, menusuk langsung ke arah Neuro. Ia sangat tidak menyukai nada suara itu—nada yang meremehkan lawan bicaranya, seolah ia adalah mainan yang bisa dipermainkan sesuka hati."Jangan macam-macam! Kau tahu aku tidak suka berada di sini. Sekarang katakan saja, kau mau apa dariku? Uang? Kesepakatan bisnis? Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, asal semuanya cepat selesai!"Neuro berdecak, menggeleng perlahan, lalu tersenyum tipis. "Jangan galak begitu. Sudah kubilang, aku punya penawaran menarik untukmu."Alisha menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi yang semakin sulit dikendalikan.Di kepalanya, bayangan untuk menampar pria ini terasa sangat menggoda, namun ia tahu, mengamuk di bar yang ramai bukanlah ide yang bijak."Baiklah. Apa penawaran menarik it
"Dengarkan aku, Neuro Edenvile. Penawaranmu itu sama sekali tidak menarik," kata Alisha, suaranya penuh ketegasan, seperti bilah pedang yang diayunkan dengan presisi."Apa?" jawab Neuro, alisnya terangkat, dan senyumnya memudar seolah tak percaya mendengar penolakan yang begitu telak."Itu hanyalah permainan bodoh anak-anak," lanjut Alisha, suaranya kini terdengar lebih dingin, bagaikan angin beku di puncak gunung. "Bagaimana bisa aku membalas perselingkuhan dengan berselingkuh kembali? Tidak, aku tidak mau merendahkan diri seperti mereka."Ia berhenti sejenak, matanya menelusuri Neuro dari ujung rambutnya yang sempurna tertata hingga sepatu kulit mahal yang berkilauan di bawah lampu.Tatapannya begitu tajam, seperti pisau yang menelanjangi egonya hingga ke akar. "Lagipula kau sama sekali bukan tipeku."Cekalan Neuro di tangan Alisha terlepas begitu saja. Ia berdiri membatu, tubuhnya kaku seperti patung, sementara kata-kata Alisha bergaung di dalam pikirannya, mengguncang setiap pilar
Setibanya di Perusahaan Joy Deluxe, Neuro melangkah masuk seperti seorang penakluk yang baru saja tiba di tanah musuh.Nama belakangnya, Edenvile, adalah kunci emas yang membuka pintu-pintu yang biasanya terkunci rapat.Semua mata memandangnya, beberapa dengan rasa ingin tahu, yang lain dengan rasa kagum.Tanpa ragu, Neuro langsung menuju ruangan Rean. Ia hampir tidak memberi waktu bagi resepsionis untuk memperkenalkan kedatangannya.Langkahnya tegas, tiap hentakan sepatu di lantai marmer terdengar seperti ketukan palu penghakiman.Pintu ruangan Rean terbuka, dan pria itu mendongak dari meja kerjanya dengan ekspresi kaget yang tidak bisa ia sembunyikan.Alisnya berkerut samar, menunjukkan kebingungan yang perlahan berubah menjadi kewaspadaan."Anda?" tanya Rean, suaranya terdengar datar namun penuh pertanyaan.Neuro hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak menjawab namun malah mengundang lebih banyak pertanyaan."Neuro Edenvile, jika Anda lupa," ujarnya, nada suaranya seperti angin se
Alisha mendengus, suara kecil itu terdengar seperti geraman hewan buas yang sedang terkunci di kandang. Tatapannya tajam, seolah mampu menembus tembok tebal yang memisahkannya dari Rean dan Neuro."Mona," katanya pelan namun penuh ancaman. "Apa kamu ingin ini menjadi masalah? Apa kamu ingin aku bilang pada Rean bahwa kamu baru saja mengusir istri bosnya?"Mona terdiam. Wajahnya memucat, dan ia menunduk dengan gemetar. "Tidak, Bu," jawabnya lemah."Kalau begitu, minggir!"Tanpa menunggu, Alisha mendorong tubuh Mona ke samping dan membuka pintu ruangan Rean dengan keras, hampir seperti pintu itu adalah musuh yang harus ia kalahkan."Sayang?" Rean yang sedang berbicara dengan Neuro mendongak dengan kaget. Wajahnya penuh dengan pertanyaan, sementara tatapan dingin Alisha hanya fokus pada Neuro."Wah, diskusi kita jadi lebih menyenangkan karena Nona Alisha sudah ada di sini," ucap Neuro dengan nada santai, seolah keberadaan Alisha hanyalah tambahan yang menyegarkan suasana.Alisha menatap
Tubuh Alisha melemas mendengar ucapan Rean. Apa ini? pikirnya, dadanya terasa seperti diremas oleh tangan tak terlihat.Bukankah tadi Rean baik-baik saja? Kenapa nada suaranya kini terdengar seperti melodi pahit yang mengingatkan pada malam kelam itu?Ia meremas tangannya dengan kuat, jari-jarinya hampir menusuk telapak tangan yang basah oleh keringat dingin. Sudahlah, sandiwara ini memang harus berakhir. Pikirannya terus memutar kemungkinan terburuk.Pernikahan yang selama ini ia pertahankan bagai istana pasir kini terasa runtuh, tak mampu melawan gelombang.Alisha hanya bisa menyayangkan satu hal: pembalasan dendam yang telah ia susun rapi harus berakhir sekarang juga.Bayangan masa depan buruk menyergapnya, seperti angin dingin yang merayap di kulit. Jika mereka bercerai, ia bisa melihat dengan jelas Rean dan Gea berdiri bersama, tersenyum penuh kemenangan, mengolok-oloknya tanpa belas kasihan."Sial," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Alisha menghela napas panjang, men
Neuro tertawa kecil, sebuah suara rendah yang menggema seperti gema di lorong gelap. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatap Alisha dengan tatapan yang sulit dibaca.“Bagaimana jika kubilang bahwa kau membuatku tertarik?”Alisha mendengus keras, matanya melotot tajam. “Apa begini caramu menggoda para wanita bodoh itu untuk tidur denganmu?” tanyanya sinis, suaranya menggigit seperti belati yang menyayat daging.Neuro masih mempertahankan senyumnya, senyum itu seperti jaring laba-laba yang penuh dengan kelicikan, siap menangkap mangsanya kapan saja."Tapi dalam kasus ini, kau yang menarikku ke tempat tidur, Nona. Apa ingatanmu masih bermasalah?" ucapnya dengan nada menggoda, seperti racun yang dibalut madu.Alisha merutuk dalam hati, mengumpati betapa lincahnya lidah Neuro Edenvile dalam memutarbalikkan fakta.Ia benci setiap kata yang keluar dari mulut pria itu, benci setiap detik yang ia habiskan untuk mendengarkan kebohongan dan ejekan Neuro.'Kenapa aku harus berurusan denga
Langkah Alisha terdengar nyaring saat ia pergi lebih dulu, derap sepatunya menggema, menciptakan irama kemarahan yang bahkan udara pun ikut merasakannya.Rean menatap Neuro tajam sebelum akhirnya mengikuti istrinya dari belakang, matanya menyimpan bara api yang enggan padam.Sepanjang perjalanan, keheningan menggantung di antara mereka seperti awan mendung yang siap menumpahkan hujan.Rean, dengan hati yang berdesir oleh ketidakpastian, mencoba memecah kesunyian.Namun, sebelum bibirnya sempat menyusun kalimat, Alisha telah lebih dulu memotongnya. "Sudah kubilang, kita akan bicara setelah sampai di rumah."Rean menghela napas, menelan kata-kata yang tak sempat diutarakan, membiarkan Alisha tenggelam dalam lautan kemarahannya sendiri.Setibanya di rumah, Alisha melempar tas tangannya dengan gerakan penuh emosi.Bunyi dentuman halusnya bagai tanda peringatan akan badai yang sebentar lagi akan melanda. Ia berbalik, menatap Rean dengan sorot mata yang menguliti."Apa yang sedang kau lakuk
Jesselyn menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu dengan ekspresi yang sarat dengan kejengkelan. Sorot matanya berkilat tajam, seolah menembus dinding pertahanan pria di depannya."Kau lagi?" suaranya bagaikan es yang mengiris udara di antara mereka. "Tidak cukupkah kemarin kau sudah menghancurkan hati Alisha?"Rean mendesah kasar, kepalanya sedikit menengadah sebelum memutar bola matanya. Sekretaris pribadi Alisha ini memang selalu bersikap menyebalkan.Entah karena terlalu setia atau sekadar ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain.Menjengkelkan.Dalam hati, Rean sudah berjanji. Jika nanti ia dan Alisha berbaikan, wanita ini akan menjadi orang pertama yang ia pastikan untuk disingkirkan.Dengan nada setajam belati, ia menukas, "Aku tidak punya urusan denganmu. Aku ingin bertemu istriku."Jesselyn tersenyum miring, bibirnya melengkung dengan kesan mengejek. "Alisha tidak ada di sini. Sebaiknya kau pergi sebelum membuatku muak.""Jangan bohong!" Rean menyergah keras, tidak perca
Neuro kemudian mengalihkan pandangannya kepada Alisha, ekspresinya berubah lebih lembut, hampir... menyesal."Saya juga ingin meminta maaf kepada Nona Alisha beserta keluarganya yang telah merasa terganggu akibat pemberitaan ini," ucapnya dengan nada penuh ketulusan.Alisha menundukkan kepalanya sedikit, memberikan jawaban diam untuk Neuro. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak untuk berbicara.Ia melirik Neuro sekilas, memberi isyarat dengan matanya. Neuro, yang tampaknya sudah memahami keinginannya, menyerahkan pengeras suara dengan anggukan halus.Alisha menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya sebelum menghembuskannya dalam satu hembusan kasar."Sekali lagi, saya tekankan bahwa saya tidak berselingkuh dengan Tuan Neuro Edenvile. Terima kasih," ucapnya tegas, suaranya tak bergetar sedikit pun.Tanpa membuang waktu, mereka turun dari podium. Kerumunan wartawan langsung bergerak maju, melontarkan berbagai pertanyaan dengan suara-suara yang beradu
Pagi datang dengan cahaya yang terlalu tajam, menusuk kelopak matanya yang masih berat. Layar ponselnya berkedip, memantulkan cahaya redup ke langit-langit kamarnya yang sepi. Suara yang teramat familiar memenuhi ruang sunyi."Kau mengirimkan pesan padaku tengah malam kemarin, Nona? Kenapa? Apa kau merindukanku?"Alisha mengangguk kecil, meski tahu Neuro tak akan melihatnya. Suaranya yang penuh antusiasme membuat pagi ini terasa kurang menyakitkan.Ia terkekeh pelan, seperti angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. "Bagaimana menurutmu?""Kau ingin aku menjemputmu sekarang? Kita bisa ke tempat konferensi pers bersama-sama."Alisha menatap langit biru di balik jendela kaca, perasaan aneh menggelitik hatinya. "Tidak perlu, aku bisa..."Tut... Tut... Tut...Alisnya bertaut, menatap layar ponselnya yang kini hanya menampilkan panggilan berakhir. Apa? Neuro memutus panggilan mereka begitu saja? Tanpa sepatah kata pun?Alisha mengangkat bahu. Mungkin ini pertanda bahwa badai yang lebih
"Alisha!"Suara Riana menggelegar dari seberang telepon, mengguncang malam yang seharusnya tenang. Alisha tersentak, jantungnya berdetak tak beraturan.Matanya mengerjap dalam gelap, mencoba memahami apakah ini kenyataan atau sekadar mimpi buruk yang lain.Kilasan cahaya dari layar ponselnya menusuk kelopak matanya yang masih berat. Waktu menunjukkan pukul satu pagi.Dengan gerakan lamban, ia memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Kepalanya terasa bagai dihantam ribuan jarum tajam.Tuhan, ia baru saja terlelap setengah jam lalu setelah larut dalam kekacauan pikirannya, namun kini tidur pun tak sudi berpihak padanya."Ya, Ma? Mama baik?" sapanya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Ada kelelahan, ada kejengkelan yang ia tahan sekuat tenaga.Namun, bukannya jawaban, yang ia terima justru tajamnya suara penuh kebencian dari Riana."Tidak usah berbasa-basi dengan Mama!"Nada itu menusuk seperti belati dingin yang mengiris kulitnya. Alisha menutup mata sejenak, menarik napas dalam se
Suara di ujung telepon membuat Rean terlonjak. Seketika kantuknya buyar, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengerjapkan matanya dengan susah payah. Suara ini..."Ma...?"Riana. Ibundanya.Ia menegakkan tubuhnya perlahan, kepalanya berdenyut nyeri akibat alkohol yang masih mengalir dalam sistemnya.Pantas saja ada yang meneleponnya di tengah malam seperti ini—di Amerika, waktu masih menunjukkan pukul satu siang."Ma, apa Mama lupa kalau di sini sudah hampir tengah malam?" keluhnya setengah kesal, suaranya serak akibat kantuk yang masih menggantung.Di seberang sana, Riana terdengar mendesah berat. "Ya, Mama tahu. Tapi ini penting," tukasnya terburu-buru, nada suaranya terdengar tegang.Rean menarik napas panjang, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut. Efek dari alkohol masih begitu kuat di tubuhnya, membuat kepalanya berputar.Saat perlahan-lahan kesadarannya kembali, ia menyadari sesuatu—ia tak lagi terbaring di lantai. Kini, tubuhnya berada di sofa ruang tamu.
Jadi, pria ini hancur karena berita perselingkuhan Alisha dengan Neuro? Matanya menatap wajah Rean dengan perasaan yang tak menentu. Ada sesuatu yang mencubit hatinya, sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Apa ini? Apa Rean masih mencintai Alisha hingga ia begitu terpukul seperti ini?"Sudahlah, Kak. Tidak usah dipikirkan, aku ada untukmu," ujar Gea, suaranya sarat dengan keyakinan yang dipaksakan.Rean mengerjap, lalu terkekeh kecil, seolah baru menyadari keberadaan Gea. "Ah... Gea! Benar, kau Gea!""Ya, aku. Tidak usah bersedih karena Kak Lisha. Aku ada untukmu, Kak Rean. Aku yang akan selalu menemanimu," lanjut Gea, suaranya bergetar oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar simpati.Helaan napas panjang terdengar dari mulut Rean, pria itu mengangkat tangannya, menyentuh wajah Gea dengan kelembutan yang membuat dada Gea bergejolak. Jemari hangat itu membelai pipinya, namun di balik sentuhan itu, Gea bisa merasakan kehampaan."Kenapa kita harus bert
Alisha segera mengalihkan pandangannya yang sedang betah menatap Neuro. Tidak, Alisha. Apa yang ia pikirkan? Mata pria itu terlalu berbahaya, bagaikan pusaran misterius yang bisa menyeretnya ke dalam ilusi manis yang tak seharusnya ia cicipi. Neuro berbuat baik padanya hanya karena sebuah keharusan, bukan karena ketulusan yang ingin ia percayai begitu saja.Melihatnya berjalan sempoyongan tadi pasti membuat hati kecil Neuro merasa iba. Alisha menggeleng kecil, mencoba mengusir pemikiran konyol bahwa Neuro menyukainya. Seperti yang sudah ia bilang, itu mustahil. Dia hanyalah wanita yang memiliki banyak permasalahan dalam hidupnya—badai yang tak kunjung reda, kepingan mozaik yang tak kunjung utuh."Bagaimana? Sudah lebih baik?" suara Neuro menyelinap ke dalam benaknya, seakan menariknya kembali dari lautan pikiran yang berkecamuk.Alisha segera menengadah, menatap Neuro yang kini tengah mengamati dirinya dengan mata penuh sorotan lembut."Ya, lumayan," balasnya ringan, meski hatinya m
Alisha terlihat mengerjap melihat Neuro ada di hadapannya. Matanya melebar sempurna, terlalu terkejut dengan kedatangan Neuro yang mendadak.Tatapan mereka bertaut, seperti pertemuan dua arus sungai yang bertubrukan dalam derasnya aliran takdir."Neuro? Sedang apa kau di sini?" tukasnya setengah berteriak.Tadinya aku ingin menemuimu dan membahas pekerjaan kita, tapi sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat," ujar Neuro beralasan, suaranya setenang angin yang berbisik di antara dedaunan senja."Ya, aku merasa lelah hari ini, kau bisa kembali besok," balas Alisha lemah, suaranya bagai embusan napas terakhir sebelum malam menyelimuti dunia.Matanya berkabut, seolah menyimpan gelombang pasang yang siap meluluhlantakkan segala ketegaran."Apa kau ada masalah? Rean tadi menemuiku, apa dia juga ke sini?" Tanya Neuro dengan nada yang berpura-pura datar, meski matanya menyelidik tajam, mencari serpihan rahasia di wajah Alisha."Ya, dia ke sini. Aku benar-benar lelah hari ini, Neuro. Kurasa