Kumandang adzan subuh bergema di sekitar lingkungan rumah sakit. Zeni yang tengah duduk di dalam masjid masih menunggu kedatangan imam untuk menunaikan sholat subuh berjamaah. Tak berapa lama imam sudah berada di tempatnya untuk mengatur shaff jamaahnya serta memulai memimpin sholat subuh berjamaah tersebut. Langkah kakinya pelan menuju ke minimarket yang berada di sekitar musholla. "Sebaiknya aku membeli beberapa kue, makanan ringan dan teh hangat untuk ibu dan Sasa." gumamnya saat berada di didalam minimarket. Setelah membayar di kasir, Zeni segera pergi ke ruang kecubung di rumah sakit ini. Zeni terkejut saat melihat ada Joy yang tengah duduk disamping bed rumah sakit. Dia segera menghampirinya. "Pak Joy, kapan anda berkunjung di sini?" tanyanya. "Ibu belum tidur lagi? Aku sudah membeli kue dan teh hangat." sembari meletakkannya di atas nakas, ternyata ada kotak makan yang berada di sana. Segera dia duduk di kursi yang kosong. "Aku baru saja datang Zeni, mau melihat kondisi
"Bu, aku akan membereskan tempat makannya, ibu minum obat terlebih dahulu setelah itu istirahatlah." Zeni melihat wajah ibunya yang terlihat lemas. "Sejak bangun tidur semalam, ibu belum tertidur kembali, lihatlah mata ibu masih terlihat bengkak akibat menangis tadi malam." Dia beranjak dari tempat duduk dan membuang kotak makan di tempat sampah. "Tentu saja Zeni, ibu akan minum obat setelah itu baru tidur." Ibunya Zeni mengambil obat dan meminumnya. Zeni menghampiri ibunya, dan mengambil nampak yang berisi makanan. "Ibu, kenapa makanannya belum dihabiskan semua? Ini tinggal sedikit." "Ibu sudah kenyang, lagian ibu mau tidur sebentar."ucapnya. "Zeni, kamu bisa membantu ibu mengembalikan posisi bed ini supaya nyaman untuk berbaring." "Baiklah, aku akan menggerakkan tuasnya." Zeni segera memutar tuasnya dan menyesuaikan dengan posisi yang membuat ibunya menjadi nyaman untuk tidur. "Apakah posisi ini sudah nyaman ibu? atau aku perlu atur lagi?" ucapnya sambil menggenggam tu
Tante Denti sedang memindahkan makanan yang berada di atas nakas menuju ke meja yang berada didekat sofa. Dia mulai menata makanan tersebut dengan rapi. “Seharusnya tadi aku membeli buah untuk ibunya Zeni.” bisiknya lirih. “Rasa segar dan vitamin yang didapat dari buah sangat cocok bagi pasien untuk mempercepat pemulihan.”Dia melihat Zeni yang tertidur dengan nyenyak di atas sofa. “Kenapa aku lupa tidak membawa selimut ya? Berarti tadi malam Zeni kedinginan.” Tante Denti tersenyum melihat Zeni yang sudah tumbuh beranjak dewasa.Tak berapa lama kemudian muncullah sosok perawat dari balik pintu. Segera Tante Denti berkata : “Apakah sekarang waktunya melakukan pemeriksaan terhadap pasien ?” tanya Tante Denti.Sasa yang melihat Tante Denti segera menjawab : “Perkenalkan namaku Sasa, perawat yang ditugaskan oleh Tuan Ayyash untuk menjaga ibu Abdillah. Tentu saja itu salah satu tugasku untuk melakukan pemeriksaan terhadap pasien secara berkala.”“Benarkah kamu Sasa?” tanyanya meyakinkan.
Tante Denti dan Zeni masih duduk di kursi tepat di ruang tunggu Radiologi. Suasana siang ini cukup lenggang hanya terlihat beberapa keluarga penunggu pasien yang duduk di area tunggu tersebut.“Benar kamu tidak terburu-buru berangkat ke stasiun?” tanya Tante Denti dengan raut wajah khawatir sembari dia melihat jam dilayar ponselnya. “Ini sudah jam 01:30 siang.”“Tenang saja Tante, masih satu jam lagi aku berangkat. Itu Sasa dan Ibu baru keluar dari ruang radiologi.” ucap Zeni dengan menunjukkan keberadaan ibunya yang saat ini masih terbaring di atas brankar, ditemani dengan dua orang perawat yang mendorong brankar keluar dari ruang radiologi.“Ayo kita segera kesana.” ajak Tante Denti sembari berjalan mendekat kearah ibunya Zeni.Zeni berjalan mengekor dibelakang tante Denti.“Bagaimana kondisi Ibunya Zeni?” tanya Tante Denti saat sampai didepan pintu ruang Radiologi.“Hasil pemeriksaannya sudah keluar, besok baru dibacakan oleh dokter. Semoga saja kondisinya sehat semua.” jawab Sasa.
Suasana stasiun cukup padat di siang hari ini. Banyak kendaraan lalu lalang di area halaman stasiun. Pengemudi menurunkan Zeni tepat didepan pintu utama stasiun. Zeni segera berjalan masuk ke dalam stasiun. Dia menuju ke mesin pencetak tiket yang tersedia di bagian depan loket. Dia mengambil ponsel dan menulis nama serta menempelkan barcode pemesanan tiket di ponsel pada mesin tersebut. Print tiket segera keluar dari mesin tersebut.“Akhirnya tiket dengan mudah sudah aku print. Sebaiknya aku segera ke bagian pemeriksaan untuk masuk ke area tunggu penumpang.” gumamnya. Zeni berjalan menghampiri ke petugas pemeriksaan. Diserahkannya tiket beserta kartu identitas diri. Setelah lolos dari petugas pemeriksaan, Zeni berjalan memasuki ruang tunggu penumpang. “Kereta berangkat dua puluh menit lagi.” bisiknya sembari melihat jam keberangkatan kereta yang tercantum di tiket. Segera dia berjalan menuju ke musholla di stasiun tersebut. Dia mengambil air wudhu selanjutnya masuk ke musholla untuk
Zeni melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar kos. Lisa yang tadi membukakan pintu, berjalan mengekor dibelakangnya.“Maafkan aku Lisa, kemarin ada musibah, aku tidak bisa mengabarimu terkait kepulanganku secara mendadak ke kota Ngawi.” ucapnya seraya masuk kedalam kamar. Dia meletakkan ransel di atas meja dan duduk di kursi.Lisa mendengarkan Zeni berbicara, dia duduk di tepi ranjang, lalu berkata : “Saya ikut bersimpati atas musibah yang menimpa Mba Zeni, kita semua satu kos khawatir terhadap keadaan mba Zeni, walaupun mba Zeni telat memberi kabar ke aku terkait kepulangan mba, namun ini sangat aneh, biasanya mba mudik tidak terlalu lama. Ini hampir satu minggu.”“Benarkah kalian mengkhawatirkanku?” Zeni mengerutkan dahinya. “Saat di ngawi benar-benar tenaga dan pikiranku terforsir untuk mengurusi kedua orang tuaku. Lisa, badanku terasa gerah, aku akan membersihkan badan terlebih dahulu. Oke?”“Baiklah mba. Silakan, aku akan lanjut mengerjakan tugas.” Zeni mengambil baju tidur dil
“Tunggu Zeni.” ucap Rita sembari berjalan mensejajarkan langkah kakinya dengan Zeni. Dia menarik lengan Zeni dan meminta dia untuk berhenti sejenak. “Untuk apa kamu mengadu kepada ketua panitia?” tegur Rita. “Masalah terkait pembaruan untuk pendistribusian surat sudah selesai, karena deadlinenya hari senin. Aku cuma menegur kamu supaya kamu bersikap profesional dalam tugas kepanitiaan. Setidaknya kamu ijin kalau menghilang terlalu lama.”“Kalau cuma menegur kenapa kamu berkata keras kepadaku Rita? Itu bukan menegur tapi menyalahkanku didepan umum. Sudahlah, kalau tidak ada hal penting yang akan dibicarakan jangan panggil aku. Sebentar lagi ada kelas, kalau aku masih meladeni omongan kamu, aku akan telat.” jelasnya. Zeni segera pergi meninggalkan Rita. Dia berjalan secara tergesa-gesa keluar dari ruang kesekretariatan. Frans yang masih memantau gerak-gerik Rita dan Zeni hanya bergumam : “Kenapa masalah yang sudah terlewat harus diperebutkan? Apakah seperti ini sifat perempuan?” Dia
Vilia dan Giant terdiam sesaat mendengar perkataan dari Zeni. “Zeni kamu tidak perlu sungkan kepada kami, anggap saja kami sebagai keluarga dan teman, tempat untuk berbagi. Kami selalu ada berada disampingmu.” ucap Vilia.Giant membenarkan ucapan Vilia. “Selama kamu berada di kampus ini, kami siap untuk menjadi garda terdepan kamu. Oke. Jangan khawatir!” serunya dengan senyum mengembang.“Tentu saja, kalian teman terbaikku? Aku tenang saat bersama kalian.” ucapnya dengan rasa haru.“Bagaimana perasaanmu Zeni, apakah sudah lebih baik.” Vilia mulai mengurai pelukannya kepada Zeni. “Aku harap kamu mulai menata emosi kamu menjadi lebih baik.”“Oke, aku akan berusaha menerapkan saran kalian dalam hidupku. Kalian tidak perlu mengkhawatirkanku, aku sudah merasa lebih baik. Ini awal bagiku, lama kelamaan hatiku akan kuat.”“Syukurlah kalau seperti itu.” ucap Giant. “Bagaimana kondisi ibu kamu? Dia baik-baik saja setelah mengetahui kematian bapak kamu?”“Ibu sekarang jauh lebih baik. Aku membe