Nuansa duka cita masih kental terasa oleh keluarga Abdillah. Ruangan ICU menjadi saksi bisu hembusan nafas terakhir bapak Abdillah. “Zeni, tante ikut berbela sungkawa atas meninggalnya bapak kamu.” ucap Tante Denti dengan memeluk tubuh Zeni. Zeni menghambur kepelukan Tante Denti dia menangis, perlahan buliran air mata menetes di kedua pipinya. “Terima kasih tante.” Ucapnya dalam isak tangisnya. “Kamu sabar Zen, tante yakin kamu kuat? Kamu rencana mau ijin kuliah berapa hari?” Tante Denti melihat Zeni dengan melepas pelukannya. “Aku belum tahu tante?” jawabnya datar dengan kembali duduk diposisi semula. Dia masih shock dengan kondisi saat ini. Zeni sempat bertemu pandang dengan mata Ibunya Abdillah yang tepat duduk disamping brankar jenazah Abdillah. Sorot matanya terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Dua orang perawat ICU berjalan mendekat ke brankar jenazah Abdillah, mereka berkata, “Permisi, kami akan mengurus proses pemulangan jenazah a.n Bapak Abdillah, diharapkan k
Ruang kantor sementara milik Proyek Andalan berada tepat bersebelahan dengan ruangan direktur Rumah Sakit Husada. Yah… Ayyash sengaja menyewa ruangan ini untuk memudahkan memantau dan mengurusi jumlah korban ledakan yang saat ini masih dirawat di rumah sakit tersebut. Tepat pukul 09:30 pagi, Joy sudah rapi dan bersiap menuju kediaman keluarga Alm. Bapak Abdillah. Dia mengambil gagang telepon dan memutar kode nomor ruang perawat. Tuuut… Tuuut… Tuuut… Tuuut… Terdengar suara sambungan telepon. “Kenapa belum diangkat?” gumamnya dengan melirik jam dipergelangan tangannya. “Hallo…. Selamat pagi. Layanan dari Rumah Sakit Husada. Ada yang dapat kami bantu?” suara perawat dari ujung telepon mulai membuka percakapan. “Ini Joy dari pihak management Proyek Andalan menanyakan terkait alamat yang dituju oleh driver mobil jenazah yang membawa jenazah alm. Bapak Abdillah.” “Mohon tunggu sebentar Bapak Joy, kami akan secepatnya mencari data terkait alamat yang dituju.” “Baiklah.” ucap J
Mobil Pajero hitam mulai melaju memasuki jalan tol. Frans yang sejak keberangkatan dari rumah hanya terdiam, kini mulai memainkan ponsel di tangannya. Anak buahnya yang sudah berada dirumah duka mengirimkan foto aktivitas dirumah duka. Dia melihat pelayat yang cukup banyak memenuhi kursi yang berada dihalaman depan. “Kenapa Joy tidak memantau secara berkala kondisi pasien ledakan terutama pasien orangtuanya Zeni.” Sesal Frans di dalam hati. Dia masih sedikit kesal atas sikap Joy. Sengaja dia mengirimkan anak buah lainnya untuk memantau gerak-gerik aktivitas di rumah duka.“Masih pukul 10:30 pagi, aku masih bisa menghadiri prosesi pemakaman bapak Abdillah.” pikirnya. “Sebaiknya aku kirim pesan ke Zeni, nanti saat dirumah duka aku tidak mungkin menggunakan identitas Frans.” serunya sembari membuka layar ponsel dan mulai mengirim pesan berisi bela sungkawa. Frans melihat sopir yang sedang mengendarai Pajero miliknya sedang fokus pada jalan yang akan dilewatinya. “Nanti setelah kelu
Halaman rumah keluarga besar orangtua Abdillah diselimuti aura kesedihan yang terpancar dari pemilik rumah tersebut. Keluarga dan beberapa karib kerabat mulai masuk kedalam mobil untuk mengantar alm. Abdillah sebagai bentuk penghormatan terakhir. Pengiringan jenazah Alm. Abdillah menggunakan beberapa buah mobil menuju kawasan pemakaman Kusuma. Iringan mobil berjalan pelan dibelakang mobil jenazah. Zeni bersama Tante Denti berada dalam satu mobil dengan Ibunya Abdillah, Nancy dan beberapa kerabat lainnya. Raut wajah kesedihan jelas terpancar dari sorot mata mereka. Perjalanan yang menghabiskan waktu selama dua puluh menit terasa menyesakkan dada bagi Zeni. “Aku harus bersabar.” bisiknya dalam hati. “Mengapa tatapan sorot mata tajam mereka terasa menusukku. Apalagi kakaknya Nancy sorot matanya menyimpan kebencian.” Zeni meremas kedua buah telapak tangannya mencoba menahan letupan emosinya. Ayyash yang tengah duduk di belakang driver mengamati pergerakan mobil didepannya. Beruntun
Kendaraan roda empat yang membawa Zeni dan Tante Denti keluar dari jalan Kusuma melaju dengan cepat menembus padatnya jalanan di kota tersebut. Sore yang kelabu menjadi sentilan bagi kalbu Zeni untuk dapat merasakan getirnya kehidupan. Perjalanan yang menghabiskan waktu selama dua puluh menit akhirnya sampai ditempat tujuan. Mobilpun mulai memasuki area depan Rumah Sakit Husada.“Kita sudah sampai Tante.” ucap Zeni mencoba membangunkan Tante Denti yang tertidur pulas didalam mobil. “Tante pasti kelelahan, kasihan, harusnya hari ini tante istirahat dirumah.”gumamnya. Zeni yang melihat tantenya tidak berkutik saat dibangunkan, segera memesankan kembali kendaraan yang saat ini ditempati, dengan menambah rute menuju rumah kedua orangtuanya di Jalan Hayam Wuruk. “Ini uang untuk pembayaran pemesanan kendaraan.” Ucap Zeni sambil menyerahkan uang sesuai yang tercantum di aplilkasi yang terdapat di ponsel Tante Denti. “Minta tolong, nanti saat sampai di rumah, bangunkan tante Denti ya? ucap
Frans melihat kearah Joy. “Apakah ada batasan jam besuk untuk pasien di ruang ICU?” Aku ingin menghibur Zeni, dia sekarang sedang bersedih. Kemungkinan saat ini dia sedang di ruang ICU menemani ibunya.” pikiran Frans mulai menelisik persaan Zeni yang saat ini tengah tergoncang.“Tenang saja Frans, khusus untuk pihak management proyek tidak ada batasan untuk jam besuk pasien, selama mereka masuk kedalam pasien korban ledakan proyek?” ucap Joy. Dia merasa Frans memiliki perasaan khsusus terhadap Zeni. “Makanlah dulu Frans. Apa mau aku pesankan makanan online?” tawar Joy.“Menu apa yang disajikan?" tanya Frans. Pesankan aku dua buah makanan beserta minuman.” pintanya sembari membenarkan posisi duduknya.“Baiklah. Apakah makanannya untuk Zeni juga?” tanya Joy dengan rasa ingin tahu. “Aku akan pesankan makanan online yang sesuai untuk selera kalian.” kelakar Joy dengan tersenyum samar.“Cepat, pesankanlah segera!” perintah Frans. “Perutku sudah mulai lapar.” seru Frans. “Berikan aku lapora
Langkah kaki Zeni terasa berat saat keluar dari ruang ICU. Di depannya tersedia dua baris kursi memanjang, diperuntukkan bagi para keluarga pasien yang sedang menemani keluarganya menjalani perawatan intensif di ICU.Terlihat hanya ada tiga orang yang menempati kursi tersebut. Dia segera mencari kursi dengan letak yang cukup nyaman untuk ditempati.“Kenapa Frans memberikanku makanan ya? bisiknya. “Sebenarnya aku tidak kenal dekat hanya sebatas teman sesama aktivis kampus.” Zeni mulai membuka makanannya yang berbentuk kotak dari bahan kardus.“Bau ayam panggang ini cukup harum, semoga menggugah selera makanku.” gumamnya. Dia mulai menyuap makanan kedalam mulutnya. Dengan perlahan Zeni mulai menghabiskan makanannya. “Sebaiknya aku segera ke musholla, tadi aku tertidur saat waktu maghrib.” ucapnya pelan. Dia mulai beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke musholla. Pukul 08:30 malam, kondisi musholla di rumah sakit cukup lenggang hanya terdapat beberapa orang yang duduk did
Zeni yang tertidur didepan brankar ibunya mulai terbangun. Dia mengerjapkan kedua matanya mencoba untuk memulihkan kesadarannya. Dia terkejut melihat Frans yang sedang tertidur disamping ibunya. “Rupanya tadi malam dia tidur di ruang ICU? Jam berapa sekarang?” gumamnya. Dia mengambil ponsel didalam ransel dan melihat jam dilayar ponselnya. “Sudah pukul 05:00 pagi, aku tertidur cukup lama di ruangan ini.” Zeni melihat kesekeliling ruang ICU, dia melihat beberapa perawat jaga yang melakukan monitoring terhadap pasien di ruang ICU.“Aku akan pergi ke musholla, tapi nanti kalau Frans terbangun dan mencariku bagaimana?” bisiknya. “Sebaiknya aku menulis pesan.” Segera Zeni mengambil kertas dan pena dari dalam ransel dan menggoreskan pena diatas kertas tentang keberadaannya. Dia letakkan kertas tersebut disamping ibunya. “Semoga Frans dapat membaca pesan dariku?” Zeni segera berjalan meninggalkan ruang ICU. Pagi ini musholla rumah sakit cukup padat. Terlihat beberapa keluarga penunggu pasi