***
Tiara akhirnya hanya bisa menerima. Iya, memang dirinya bisa apa? Memberontak? Melawan? Dia bukan orang yang bisa berlaku semaunya.
Ada satu titik rasa penasaran yang membuat si gadis lara itu menerima. Tiara masih penasaran, apa Arya sebenarnya mengetahui siapa Tiara yang dulu? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya?
“Nona Tiara,”
Tiara yang tadi melamun, dengan memeluk lututnya di lantai sembari menyender di bibir ranjang, sedikit terperanjat kaget saat pintu terbuka. Ah, dia masih belum terbiasa. Ketakutannya karena hampir dibunuh oleh Arya masih belum hilang. Sedikit lega saat mendapati sekretaris pribadi Arya— Kinan yang teryata memasuki kamar bernuansa gelap tersebut, dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.
“Tuan Arya sudah berangkat ke kantor, dan mungkin akan pulang malam.”
Tiara masih diam. Uh, dia tidak butuh informasi itu sebenarnya.
“Saya akan memenuhi kebutuhan Nona Tiara sebelum menyusul tuan Arya,” ujar Kinan kali ini dengan senyuman.
Tiara mengerjapkan mata. Apa dia bisa dipercaya? Masih skeptis, Tiara masih bungkam. Melihat Kinan kini meletakkan nampan yang ia bawa di meja kecil dekat tempat tidur.
“Saya sudah pesan beberapa baju untuk Nona, mungkin sebentar lagi sampai. Nona butuh yang lain? Mandi air hangat, atau—”
“Aku ingin pulang.”
Tiara lirih menyahuti ucapan Kinan, yang membuat sekretaris pribadi Arya itu tersenyum— miring. Cukup menakutkan bagi Tiara yang melihat.
“Saya akan kabulkan semua keinginan Nona kecuali yang satu itu. Nona tahu kalau itu akan membuat tuan Arya marah, kan?” ujar Kinan dengan tenang.
Tiara menunduk, mengangguk pelan. Dia paham benar, dia juga tidak mungkin berani menghadapi Arya yang mungkin akan kembali menodongkan pistol padanya, dan bisa saja Arya akan benar-benar membunuhnya.
“Lalu, aku harus apa? Apa yang harus aku lakukan di rumah ini? Aku tidak melihat asisten rumah tangga, apa aku akan menjadi asisten rumah tangga di sini?” lirih Tiara bertanya.
Kinan menarik napas panjang. Melihat bagaimana Tiara yang serius dan tulus bertanya, sedikit banyak membuat Kinan bersimpati. Uh, sesama wanita, katakanlah begitu. Kinan mungkin akan sama tertekannya jika dipaksa untuk tinggal bersama dengan orang yang tidak dikenalnya.
“Aku akan mulai bersiap untuk bersih-bersih rumah kalau begitu,” kata Tiara pelan kemudian beranjak dari duduknya— dia bahkan tidak berani untuk duduk di tempat tidur.
“Rumah ini tidak perlu asisten rumah tangga.”
Dan ucapan Kinan membuat Tiara kembali mengurungkan niatnya untuk melangkah keluar dari kamar.
“Nona Tiara tidak perlu bersih-bersih rumah, atau memasak, atau melakukan apapun itu,” imbuh Kinan.
“Lalu aku di sini harus apa?” cicit Tiara.
Gadis itu bingung, benar-benar bingung. Dia tidak boleh pergi, tapi dia tidak boleh melakukan apapun. Arya seolah benar-benar membuatnya seperti barang pajangan sekarang.
“Untuk Tuan Arya, apa lagi? Kenapa masih tanya?”
“Apa maksudnya?”
Tiara bertanya dengan senyuman hampa, ada alarm peringatan di kepalanya saat melihat Kinan tersenyum miring kepadannya.
“Kalau itu tanyakan saja pada Tuan Arya nanti.”
***
Hari semakin tinggi, Arya Karisma sekarang sedang disibukkan dengan berbagai laporan yang harus ia periksa. Sebagai pimpinan perusahaan, sekalipun sebenarnya Arya tidak suka berurusan dengan banyak berkas, Arya akhirnya juga mau tak mau sekarang berkutat dengan laptop dan tumpukan file.
“Segera atur rapat dengan divisi pemasaran,” kata Arya pada Kinan.
Sekretarisnya itu baru menyusul ke kantor sepuluh menit lalu setelah ditugaskan untuk mengurus segala keperluan Tiara.
“Baik, Tuan. Tapi yang ini…”
Kinan menggaruk pelan pelipisnya saat melihat bagaimana laporan yang baru saja diserahkan Arya untuk ia kerjakan. Mereka sudah ada di kantor, ngomong-ngomong. Kembali pada pekerjaan dan juga bisnis yang akan menguras otak— bagi sebagian orang, dan itu tidak berlaku untuk Arya.
“Maaf, Tuan Arya. Sepertinya ini bukan sesuatu yang baik untuk TMC Group, menjual hampir 5% saham dan—”
Ucapan Kinan terhenti saat melihat Arya yang tadi fokus dengan laptopnya, kini mengangkat wajah memandangnya dengan pandangan mata yang— ah, siapapun pasti akan berhenti bicara jika sudah dipandang seperti itu oleh Arya.
“Aku tahu apa yang aku lakukan, Kinan. Kamu pikir aku kehilangan saham 5% akan membuat sahamku yang lain juga hilang? Ini untuk tambahan proyek kita di Kanada,” sahut Arya lalu kembali memeriksa laptop di depannya.
“Ya tapi untuk apa, Pak? Kita tidak butuh dana untuk proyek di Kanada. Semuanya sudah maksimal dan tinggal eksekusi, kita hanya perlu melakukan deal dengan kolega di Kanada.”
“Kamu lupa kita masih ada tanggungan untuk menutupi kesalahan perusahaan Namira? Hanya jaga-jaga, setelah dilihat perusahaannya memang sudah busuk. Aku hanya tidak ingin kebusukannya merambah ke TMC Group.”
Kinan mengerjap pelan. Jujur, dia masih belum paham dengan apa yang dikatakan Arya. Dipandangnya lagi berkas yang harus ia urus, dan itu semakin membuatnya pusing. Ah, padahal ini masih pagi tapi kepalanya sudah serasa mendidih.
TMC Group memang perusahaan yang begitu sukses, begitu besar dan begitu ciamik dalam masalah merajai bisnis. Namun kinerja Arya Karisma, pimpinan utamanya, kadang membuat Kinan geleng kepala.
“Oh, ngomong-ngomong, bagaimana perkembangan pencarianmu?”
Kinan mengangkat wajah. “Maaf?”
“Nanda Rakala.”
“Ah, masih belum menemui hasil, Tuan.”
Arya tersenyum miring, melirik sekretaris pribadinya yang terlihat segan meminta maaf karena belum bisa memenuhi perintah sang atasan.
“Aku rasa, aku sudah tidak butuh Nanda Rakala,” tutur Arya pelan.
“Kenapa begitu?”
“Aku sudah punya anaknya, aku bisa balas dendam melalui anaknya, kan?”
Dan atas penuturan itu Kinan sedikit terperanjat, ekspresinya sedikit ngeri mendengarnya. Kinan tahu bagaimana Arya yang begitu ambisius untuk balas dendam, Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Arya benar-benar melampiaskan itu semua pada Tiara.
“Tuan Arya yakin? Nona Tiara sama sekali tidak tahu apa-apa,” kata Kinan. “Dia benar-benar seperti boneka, polos dan benar-benar tidak tahu apa-apa.”
Arya menghela napas panjang, menyenderkan punggungnya di kursi.
“Itu karena dia lupa ingatan dan aku tidak ingin dia ingat siapa dirinya. Aku ingin hidupnya hancur sepertiku, aku ingin dia benar-benar hilang ingatan selamanya.”
"Kamu masih akan diam seperti patung, atau aku perlu menyeretmu sekarang?"Terdengar tegas pertanyaan itu ditujukan untuk Tiara, gadis yang tengah duduk di lantai gudang. Tiara mendongak, matanya menyorot takut saat mendengar pertanyaan tajam dari wanita modis di depan pintu."N-nyonya, biar saya yang membantu Nona Tiara untuk bersiap."Suara yang terdengar lembut di balik sosok wanita modis berhasil membuat langkah yang akan tercipta kini terurung. Wanita modis dengan sorot mata tajam terlihat tak senang."Baik, bantu dia. Kalau dalam waktu 30 menit dia belum menyusulku, akan kupastikan kalau luka di tubuhnya akan bertambah!" katanya dengan sinis lalu berbalik badan berjalan menjauh dari gudang kecil berantakan tersebut.Pemilik suara lembut tadi, seorang wanita paruh baya, langsung menghampiri Tiara yang terduduk di lantai."Nona Tiara," panggilnya miris melihat luka lebam yang menghuni ditubuh gadis itu.Tiara tak menjawab. Dirinya hanya diam memandang kearah pintu dengan kosong. I
Tak lama setelah mengikuti Bu Mira dan juga koleganya yang menunjukkan beberapa dokumen pembukaan cabang RD Corporation, Tiara kembali mengekor keduanya untuk masuk kembali ke ruang rapat. Nampak sudah hadir para kolega lain yang sudah dapat Tiara pastikan memegang peranan penting dalam perusahaan.Bu Mira nampak akrab dengan melempar senyum dan sapaan. Terlihat akrab meski senyuman yang tercipta mengandung ancaman yang akan siap merebut semua yang dimiliki bila salah strategi dalam bisnis.Itu adalah realita dalam bisnis. Tidak seluruhnya baik saat berada di atas. Karena dalam bisnis pasti ada yang akan merebut posisi dan mengoyak apa yang didapat secara diam-diam."Apa dia putrimu? Dia cantik sekali." Wanita yang duduk didekat Bu Mira berkata dengan memandang Tiara."Benar, dibanding menjadi asisten, dia justru terlihat seperti CEO muda," timpal rekannya yang lain.Bu Mira tersenyum sinis, melirik Tiara yang tengah menyiapkan beberapa dokumennya."Kalian terlalu memujinya." Bu Mira
"Katakan padaku, bagaimana bisa kamu bermain dengan pemimpin brengsek itu?!" "Mama, aku tidak mengenalnya. Aku—"Tamparan keras kini mendarat di pipi Tiara. Kali ini mereka sudah berada di rumah. Tentu Bu Mira dengan bebas melakukan apa saja kepada anak angkatnya. "Kamu pikir aku akan berbelas kasih padamu setelah apa yang terjadi hari ini?!" Seru Bu Mira dengan kasar menjambak rambut Tiara.Gadis itu hanya diam, matanya yang sayu kini menggenang air mata yang tertahan siap tumpah. Tangannya gemetar menahan tangan ibu angkatnya yang kuat menarik rambutnya."Kamu membuatku malu di depan semua orang hari ini, Tiara. Kamu pikir aku akan memaafkan mu?!" ujar Bu Mira dengan tajam."Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak mengenalnya, aku—""Lalu bagaimana dia bisa bicara kalau kamu yang sudah meninggalkan noda lipstik di kemejanya?""A-aku tidak sengaja,”"Jadi benar kau sudah bermain dengan lelaki itu?!""Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak—akh!" Rambut Tiara ditarik kuat. Bu Mira menyeret gad
***Hari berganti, sang surya sudah memulai rutinitasnya di pagi hari. Dering alarm sudah sejak 10 menit lalu berbunyi, mencoba melaksanakan tugasnya dengan baik membangunkan tuannya. Namun mata milik gadis lara itu masih terpejam rapat. Keringat membasahi dahinya beriring dengan nafasnya yang tak teratur. Tangannya gemetar meremas sprei tempat tidurnya."Arrggh!" Teriaknya kini berhasil membuka mata.Tiara duduk. Nafasnya terengah-engah, pandangannya kosong melihat sekelilingnya. Ia ingat dimana dirinya berada sekarang. Tiara mengusap wajahnya, mencoba menetralkan degup jantungnya. Ia raih jam yang berbunyi semakin keras, mematikannya."Apa itu tadi? Kenapa… kenapa semakin mengerikan?" lirih Tiara merapatkan bajunya.Tiara menyentuh wajahnya. Ia sibak selimut tebalnya, beranjak menuju depan cermin riasnya. Memeriksa wajahnya sendiri, memastikan sesuatu yang dilihatnya dalam mimpi."Itu.. itu tadi aku, bukan?” gumam Tiara mengusap pipi kanannya.Ia terduduk di bibir ranjang. Tenggorok
Malam tiba, dan Tiara dibuat bingung oleh sikap ibu angkatnya. Pasalnya, bukan hal yang biasa jika Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah apalagi mengunjungi sebuah acara kantor tanpa menyuruhnya untuk berpenampilan rapi. Sangat jarang Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah jika bukan acara kantor, terlebih selarut ini. Tiara hanya mengenakan kemeja hitam tanpa riasan wajah yang berarti. Berbanding kontras dengan hari-hari sebelumnya dimana Bu Mira akan menuntut Tiara berpenampilan sesempurna mungkin."Mama, ini acara apa sebenarnya?" tanya Tiara hati-hati saat dirinya dan ibu angkatnya memasuki rumah black tone mewah. Bu Mira hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya dengan lenggang menuju ruangan yang ditunjukkan seorang pekerja di rumah itu."Ma," panggil Tiara lirih masih belum mengerti."Silahkan duduk, Nyonya Mira. Tuan Arya sebentar lagi datang." kata seorang pekerja tadi yang melangkah keluar dari ruangan besar itu setelah mendapat anggukan singkat dari Bu Mira.T
Tiara tidak berani bicara sama sekali. Untuk banyak alasan, dirinya membenci kenapa dirinya berada di situasi yang tidak bisa melawan sama sekali. Entah itu pada ibu angkatnya, ataupun orang lain.Baby Fox, begitu Arya memanggilnya. Membuatnya hanya diam, bingung sekaligus takut. Ah, ini lebih menakutkan dibanding bentakan dari bu Mira, sungguh.“Aku menunggumu sampai besok, apa masih berani kamu bersembunyi lagi. Pura-pura amnesia, padahal kamu tahu siapa aku.”Dan ucapan Arya semakin membuat kepala Tiara pusing. Pura-pura amnesia, katanya.“Untuk apa aku melakukan itu?” lirih, Tiara menimpali dengan bibir bergetar.Arya tersenyum miring. Memilih diam kali ini, Tiara yang memandangnya dengan takut-takut dengan isakan tertahan, agaknya cukup membuat hatinya tercubit pelan. Gadis itu benar-benar tidak akan mengaku ternyata. “Jangan berlaga bodoh, dari awal aku sudah tahu siapa kamu.”“Aku tidak mengerti…” lirih Tiara menggeleng pelan, berbarengan dengan air matanya yang kembali hadir
***Tiara mengerjap pelan, ekspresinya sedikit terkejut saat menyadari jika dirinya berada di tempat yang asing. Ah, dia hampir lupa jika masih berada di rumah Arya Karisma. Semalam dirinya hanya duduk menyender di bibir ranjang, tanpa ada niatan untuk tidur di kasur besar di kamar temaram itu. Menangisi nasib, berdoa semoga Arya kembali dan mengeluarkannya, ternyata sia-sia, dan akhirnya Tiara tertidur karena lelah menangis.“Oh, kamu sudah bangun?”Suara berat itu membuat Tiara menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Sosok Arya terlihat di sana, membuat kamar yang temaram itu mendapat sinar dari ruang lain.“T-tuan,” lirih Tiara kini beranjak dari tempatnya, mendekat ke arah pintu tapi Arya lebih dulu mencekal tangan Tiara sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar.“Kamu pikir aku ke sini untuk melepaskanmu?”Tiara menelan salivanya. “Ini sudah pagi dan aku harus pulang.”“Siapa yang menyuruhmu pulang? Memang di mana rumahmu?”“Tuan—”“Dengar, baby fox.” Arya menyahuti de
***Tiara akhirnya hanya bisa menerima. Iya, memang dirinya bisa apa? Memberontak? Melawan? Dia bukan orang yang bisa berlaku semaunya.Ada satu titik rasa penasaran yang membuat si gadis lara itu menerima. Tiara masih penasaran, apa Arya sebenarnya mengetahui siapa Tiara yang dulu? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya?“Nona Tiara,”Tiara yang tadi melamun, dengan memeluk lututnya di lantai sembari menyender di bibir ranjang, sedikit terperanjat kaget saat pintu terbuka. Ah, dia masih belum terbiasa. Ketakutannya karena hampir dibunuh oleh Arya masih belum hilang. Sedikit lega saat mendapati sekretaris pribadi Arya— Kinan yang teryata memasuki kamar bernuansa gelap tersebut, dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.“Tuan Arya sudah berangkat ke kantor, dan mungkin akan pulang malam.”Tiara masih diam. Uh, dia tidak butuh informasi itu sebenarnya.“Saya akan memenuhi kebutuhan Nona Tiara sebelum menyusul tuan Arya,” ujar Kinan kali ini dengan senyuman.Tiara mengerjapkan
***Tiara mengerjap pelan, ekspresinya sedikit terkejut saat menyadari jika dirinya berada di tempat yang asing. Ah, dia hampir lupa jika masih berada di rumah Arya Karisma. Semalam dirinya hanya duduk menyender di bibir ranjang, tanpa ada niatan untuk tidur di kasur besar di kamar temaram itu. Menangisi nasib, berdoa semoga Arya kembali dan mengeluarkannya, ternyata sia-sia, dan akhirnya Tiara tertidur karena lelah menangis.“Oh, kamu sudah bangun?”Suara berat itu membuat Tiara menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Sosok Arya terlihat di sana, membuat kamar yang temaram itu mendapat sinar dari ruang lain.“T-tuan,” lirih Tiara kini beranjak dari tempatnya, mendekat ke arah pintu tapi Arya lebih dulu mencekal tangan Tiara sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar.“Kamu pikir aku ke sini untuk melepaskanmu?”Tiara menelan salivanya. “Ini sudah pagi dan aku harus pulang.”“Siapa yang menyuruhmu pulang? Memang di mana rumahmu?”“Tuan—”“Dengar, baby fox.” Arya menyahuti de
Tiara tidak berani bicara sama sekali. Untuk banyak alasan, dirinya membenci kenapa dirinya berada di situasi yang tidak bisa melawan sama sekali. Entah itu pada ibu angkatnya, ataupun orang lain.Baby Fox, begitu Arya memanggilnya. Membuatnya hanya diam, bingung sekaligus takut. Ah, ini lebih menakutkan dibanding bentakan dari bu Mira, sungguh.“Aku menunggumu sampai besok, apa masih berani kamu bersembunyi lagi. Pura-pura amnesia, padahal kamu tahu siapa aku.”Dan ucapan Arya semakin membuat kepala Tiara pusing. Pura-pura amnesia, katanya.“Untuk apa aku melakukan itu?” lirih, Tiara menimpali dengan bibir bergetar.Arya tersenyum miring. Memilih diam kali ini, Tiara yang memandangnya dengan takut-takut dengan isakan tertahan, agaknya cukup membuat hatinya tercubit pelan. Gadis itu benar-benar tidak akan mengaku ternyata. “Jangan berlaga bodoh, dari awal aku sudah tahu siapa kamu.”“Aku tidak mengerti…” lirih Tiara menggeleng pelan, berbarengan dengan air matanya yang kembali hadir
Malam tiba, dan Tiara dibuat bingung oleh sikap ibu angkatnya. Pasalnya, bukan hal yang biasa jika Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah apalagi mengunjungi sebuah acara kantor tanpa menyuruhnya untuk berpenampilan rapi. Sangat jarang Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah jika bukan acara kantor, terlebih selarut ini. Tiara hanya mengenakan kemeja hitam tanpa riasan wajah yang berarti. Berbanding kontras dengan hari-hari sebelumnya dimana Bu Mira akan menuntut Tiara berpenampilan sesempurna mungkin."Mama, ini acara apa sebenarnya?" tanya Tiara hati-hati saat dirinya dan ibu angkatnya memasuki rumah black tone mewah. Bu Mira hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya dengan lenggang menuju ruangan yang ditunjukkan seorang pekerja di rumah itu."Ma," panggil Tiara lirih masih belum mengerti."Silahkan duduk, Nyonya Mira. Tuan Arya sebentar lagi datang." kata seorang pekerja tadi yang melangkah keluar dari ruangan besar itu setelah mendapat anggukan singkat dari Bu Mira.T
***Hari berganti, sang surya sudah memulai rutinitasnya di pagi hari. Dering alarm sudah sejak 10 menit lalu berbunyi, mencoba melaksanakan tugasnya dengan baik membangunkan tuannya. Namun mata milik gadis lara itu masih terpejam rapat. Keringat membasahi dahinya beriring dengan nafasnya yang tak teratur. Tangannya gemetar meremas sprei tempat tidurnya."Arrggh!" Teriaknya kini berhasil membuka mata.Tiara duduk. Nafasnya terengah-engah, pandangannya kosong melihat sekelilingnya. Ia ingat dimana dirinya berada sekarang. Tiara mengusap wajahnya, mencoba menetralkan degup jantungnya. Ia raih jam yang berbunyi semakin keras, mematikannya."Apa itu tadi? Kenapa… kenapa semakin mengerikan?" lirih Tiara merapatkan bajunya.Tiara menyentuh wajahnya. Ia sibak selimut tebalnya, beranjak menuju depan cermin riasnya. Memeriksa wajahnya sendiri, memastikan sesuatu yang dilihatnya dalam mimpi."Itu.. itu tadi aku, bukan?” gumam Tiara mengusap pipi kanannya.Ia terduduk di bibir ranjang. Tenggorok
"Katakan padaku, bagaimana bisa kamu bermain dengan pemimpin brengsek itu?!" "Mama, aku tidak mengenalnya. Aku—"Tamparan keras kini mendarat di pipi Tiara. Kali ini mereka sudah berada di rumah. Tentu Bu Mira dengan bebas melakukan apa saja kepada anak angkatnya. "Kamu pikir aku akan berbelas kasih padamu setelah apa yang terjadi hari ini?!" Seru Bu Mira dengan kasar menjambak rambut Tiara.Gadis itu hanya diam, matanya yang sayu kini menggenang air mata yang tertahan siap tumpah. Tangannya gemetar menahan tangan ibu angkatnya yang kuat menarik rambutnya."Kamu membuatku malu di depan semua orang hari ini, Tiara. Kamu pikir aku akan memaafkan mu?!" ujar Bu Mira dengan tajam."Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak mengenalnya, aku—""Lalu bagaimana dia bisa bicara kalau kamu yang sudah meninggalkan noda lipstik di kemejanya?""A-aku tidak sengaja,”"Jadi benar kau sudah bermain dengan lelaki itu?!""Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak—akh!" Rambut Tiara ditarik kuat. Bu Mira menyeret gad
Tak lama setelah mengikuti Bu Mira dan juga koleganya yang menunjukkan beberapa dokumen pembukaan cabang RD Corporation, Tiara kembali mengekor keduanya untuk masuk kembali ke ruang rapat. Nampak sudah hadir para kolega lain yang sudah dapat Tiara pastikan memegang peranan penting dalam perusahaan.Bu Mira nampak akrab dengan melempar senyum dan sapaan. Terlihat akrab meski senyuman yang tercipta mengandung ancaman yang akan siap merebut semua yang dimiliki bila salah strategi dalam bisnis.Itu adalah realita dalam bisnis. Tidak seluruhnya baik saat berada di atas. Karena dalam bisnis pasti ada yang akan merebut posisi dan mengoyak apa yang didapat secara diam-diam."Apa dia putrimu? Dia cantik sekali." Wanita yang duduk didekat Bu Mira berkata dengan memandang Tiara."Benar, dibanding menjadi asisten, dia justru terlihat seperti CEO muda," timpal rekannya yang lain.Bu Mira tersenyum sinis, melirik Tiara yang tengah menyiapkan beberapa dokumennya."Kalian terlalu memujinya." Bu Mira
"Kamu masih akan diam seperti patung, atau aku perlu menyeretmu sekarang?"Terdengar tegas pertanyaan itu ditujukan untuk Tiara, gadis yang tengah duduk di lantai gudang. Tiara mendongak, matanya menyorot takut saat mendengar pertanyaan tajam dari wanita modis di depan pintu."N-nyonya, biar saya yang membantu Nona Tiara untuk bersiap."Suara yang terdengar lembut di balik sosok wanita modis berhasil membuat langkah yang akan tercipta kini terurung. Wanita modis dengan sorot mata tajam terlihat tak senang."Baik, bantu dia. Kalau dalam waktu 30 menit dia belum menyusulku, akan kupastikan kalau luka di tubuhnya akan bertambah!" katanya dengan sinis lalu berbalik badan berjalan menjauh dari gudang kecil berantakan tersebut.Pemilik suara lembut tadi, seorang wanita paruh baya, langsung menghampiri Tiara yang terduduk di lantai."Nona Tiara," panggilnya miris melihat luka lebam yang menghuni ditubuh gadis itu.Tiara tak menjawab. Dirinya hanya diam memandang kearah pintu dengan kosong. I