Tiara tidak berani bicara sama sekali. Untuk banyak alasan, dirinya membenci kenapa dirinya berada di situasi yang tidak bisa melawan sama sekali. Entah itu pada ibu angkatnya, ataupun orang lain.
Baby Fox, begitu Arya memanggilnya. Membuatnya hanya diam, bingung sekaligus takut. Ah, ini lebih menakutkan dibanding bentakan dari bu Mira, sungguh.
“Aku menunggumu sampai besok, apa masih berani kamu bersembunyi lagi. Pura-pura amnesia, padahal kamu tahu siapa aku.”
Dan ucapan Arya semakin membuat kepala Tiara pusing. Pura-pura amnesia, katanya.
“Untuk apa aku melakukan itu?” lirih, Tiara menimpali dengan bibir bergetar.
Arya tersenyum miring. Memilih diam kali ini, Tiara yang memandangnya dengan takut-takut dengan isakan tertahan, agaknya cukup membuat hatinya tercubit pelan. Gadis itu benar-benar tidak akan mengaku ternyata.
“Jangan berlaga bodoh, dari awal aku sudah tahu siapa kamu.”
“Aku tidak mengerti…” lirih Tiara menggeleng pelan, berbarengan dengan air matanya yang kembali hadir.
Ah, jangankan mengerti apa yang dikatakan Arya, dirinya bahkan belum sepenuhnya mencerna bagaimana nasibnya sekarang. Apa ibu angkatnya benar-benar menjualnya demi perusahaan?
“Lakukan semaumu, kita lihat berapa lama kamu bertahan dengan amnesia bodohmu yang—”
“Aku tidak pura-pura!” seru Tiara.
Gadis itu muak, air matanya kembali hadir, bahunya naik turun karena napasnya yang sedikit tersengal.
“Aku bahkan hampir gila karena berusaha mengingat siapa aku sebenarnya selama ini, untuk apa aku pura-pura amnesia?”
Pelan, tapi terdapat keputusasaan di nada bicara Tiara. Namun sayangnya sama sekali tak membangkitkan rasa simpati pada Arya. Lelaki tampan itu masih memandangnya dengan dingin, tanpa mengubah ekspresi sekalipun Tiara menangis.
“Aku hanya ingin hidup tenang sekalipun tidak tahu siapa aku sebelumnya, apa sesulit itu?” lirih Tiara. “Aku mohon, aku mohon biarkan aku pergi, Tuan Arya.”
“Aku sudah membelimu, tidak ada izin untukmu pergi.”
“Aku bukan barang!”
Seruan Tiara kembali memenuhi kamar temaram tersebut. Gadis itu terisak, hatinya diremat kuat saat kembali Arya mengatakan soal membelinya. Setidak-berharga itukah dirinya? Benar-benar tidak dianggapkah dirinya oleh sang ibu?
“Dia ibuku, aku ingin kembali,” kata Tiara pelan.
“Kamu mau mati? Lihat kaki dan tanganmu, apa kamu mau mati dipukuli olehnya?”
“Dia ibuku—”
“Dia bukan ibumu! Dan berhenti bersikap seolah-olah kamu itu lemah!”
Tiara merosot jatuh terduduk di lantai, ia raih tangan Arya, mendongak dengan tangisnya. Sungguh, dirinya hanya ingin kembali pada sang ibu angkatnya. Dia sama sekali tidak paham dengan arah pembicaraan Arya yang terus-terusan menuduhnya berpura-pura.
“Aku mohon, biarkan aku pergi.”
Arya tak menjawab, si tampan itu menghempaskan tangannya, dan justru melangkah melenggang keluar dari kamar. Tak mengindahkan bagaimana Tiara yang memohon padanya, atau Tiara yang menangis berusaha meminta belas kasihannya. Pintu lebih dulu tertutup saat Tiara mengejar Arya, membuatnya kini hanya bisa kembali terkurung dalam kamar besar gelap tersebut.
Tidak ada bedanya ternyata. Benar-benar tidak ada bedanya. Tiara seolah ditakdirkan untuk menjadi tahanan.
“Tuhan… seberapa sering lagi aku merasakan sakit?” lirihnya.
Di waktu yang sama, di luar kamar, Arya terlihat diam dengan tangan kanannya yang memegang knop pintu kamar. Ekspresinya masih sama, masih datar, terkesan dingin tanpa adanya simpati.
“Tuan Arya.”
Sampai akhirnya suara Kinan menginterupsi. Sekretaris pribadi Arya Karisma itu terlihat sudah siap-siap untuk pulang, beberapa file terlihat ia bawa di tangan kanannya.
“Maaf, Tuan Arya. Apa masih ada hal yang perlu saya selesaikan?”
Arya menarik napas panjang, menggeleng pelan. “Tidak.”
“Baik, kalau begitu saya pamit pulang. Semua file tentang pekerjaan akan saya selesaikan sebelum rapat besar besok. Termasuk tentang nyonya Mira—”
“Aku ingin kamu fokus untuk mencari informasi Nanda besok.”
“M-maaf?”
Arya mengerjapkan matanya. “Aku tidak bisa menahan lebih lama anaknya di sini,” ujar Arya.
Untuk ucapan itu, Kinan hanya bisa diam. Sekretaris pribadi Arya terlihat menaikkan satu alisnya, melihat tangan kanan Arya yang masih memegang knop pintu— seolah menahan agar tidak dibuka dari dalam.
“Nona Tiara ada di dalam?” cicit Kinan yang mendapat anggukan dari Arya. “Dia baik-baik saja? Apa dia butuh sesuatu?”
“Dia hanya butuh adaptasi, dan segera mengaku kalau dia hanya pura-pura amnesia.”
“Tuan Arya, saya sudah mencari informasi tentang nona Tiara, dan itu sama sekali bukan rekayasa. Delapan tahun nona Tiara hidup dengan keluarga nyonya Mira, penuh dengan siksaan, dan Tuan masih menganggapnya pura-pura?”
“Dia itu anaknya Nanda Rakala! Aku yakin dia hanya pura-pura dan bertujuan membuat jalan untuk ayahnya.”
“Dengan disiksa selama delapan tahun? Itu tidak masuk akal, Tuan. Dia bahkan tidak mirip dengan anak Nanda Rakala yang Tuan maksud.”
Arya menghela napas panjang, mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. Kepalanya sekarang terasa berat karena kalimatnya dibantah dengan yakin oleh Kinan. Sekretaris yang selalu menyetujui dan selalu sejalan dengan apa yang dikatakan kali ini membantah dengan yakin.
“Oh, atau mungkin dia operasi wajah?” ujar Kinan dengan memasang ekspresi sedikit berpikir.
Arya mengerling tajam. Untuk masalah perusahaan, Arya bisa menjamin jika Kinan adalah sekretaris terbaik yang pernah ia miliki dibanding sekretaris-sekretaris yang sebelumnya. Terlebih dirinya juga punya andil dalam penyelidikan kasus tersembunyi yang tengah Arya hadapi. Mencari pembunuh keluarga besarnya, Kinan cukup membantu selama ini. Hanya saja, kadang kala, sosok sekretaris itu juga bisa sangat menyebalkan jika mau, terlebih saat mempunyai argumen sendiri dengan penyelidikannya yang tidak beres.
“Dia punya liontin yang aku berikan pada Mutiara ku. Jadi dia memang anak Nanda Rakala, Mutiara, tapi sepertinya dia hanya menggunakan nama panggilannya, Tiara.”
Dan ucapan Arya kini membuat Kinan membelalakkan matanya. “Jadi dia benar-benar anaknya Nanda Rakala? Kekasih Tuan dulu? Tapi kenapa wajahnya berbeda? Apa dia sempat operasi wajah?”
Arya tak menjawab, hanya matanya yang menyorot tajam ke arah sekretaris yang terlihat terkejut. Sekian detik berikutnya, Kinan terlihat menjentikkan jarinya.
“Benar. Saya akan mencari informasi tempat nona Tiara tinggal sebelum diangkat anak oleh kelarga nyonya Mira, ada kemungkinan dia ditemukan dan amnesia, wajahnya rusak lalu melakukan operasi,” tutur Kinan terlihat antusias.
Arya mengangkat satu alisnya, memandang Kinan yang terlihat mulai menggagas pikiran dan juga ide-idenya.
“Kamu tidak berpikir jika dia hanya berpura-pura?”
Kinan menghela napasnya. “Maaf, Tuan Arya. Ini bukan sesuatu yang mengharuskan saya berpikir ke arah sana. Lagipula untuk apa berpura-pura selama delapan tahun dengan siksaan ibu angkat? Saya bahkan ragu jika Nanda Rakala tahu perihal anaknya yang masih hidup.”
Arya lagi-lagi diam, dia tidak bisa menyalahkan pendapat Kinan kali ini. Memang masuk akal, tapi hatinya masih sedikit merasa mengganjal.
“Aku belum percaya dengannya.” Arya menimpali setelah sekian detik terdiam.
“Lalu, apa yang akan Tuan lakukan dengannya setelah ini?”
“Aku masih yakin dia hanya pura-pura amnesia, aku akan tunggu sampai besok untuk dia mengaku. Kalau tidak, aku akan membunuhnya.”
***Tiara mengerjap pelan, ekspresinya sedikit terkejut saat menyadari jika dirinya berada di tempat yang asing. Ah, dia hampir lupa jika masih berada di rumah Arya Karisma. Semalam dirinya hanya duduk menyender di bibir ranjang, tanpa ada niatan untuk tidur di kasur besar di kamar temaram itu. Menangisi nasib, berdoa semoga Arya kembali dan mengeluarkannya, ternyata sia-sia, dan akhirnya Tiara tertidur karena lelah menangis.“Oh, kamu sudah bangun?”Suara berat itu membuat Tiara menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Sosok Arya terlihat di sana, membuat kamar yang temaram itu mendapat sinar dari ruang lain.“T-tuan,” lirih Tiara kini beranjak dari tempatnya, mendekat ke arah pintu tapi Arya lebih dulu mencekal tangan Tiara sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar.“Kamu pikir aku ke sini untuk melepaskanmu?”Tiara menelan salivanya. “Ini sudah pagi dan aku harus pulang.”“Siapa yang menyuruhmu pulang? Memang di mana rumahmu?”“Tuan—”“Dengar, baby fox.” Arya menyahuti de
***Tiara akhirnya hanya bisa menerima. Iya, memang dirinya bisa apa? Memberontak? Melawan? Dia bukan orang yang bisa berlaku semaunya.Ada satu titik rasa penasaran yang membuat si gadis lara itu menerima. Tiara masih penasaran, apa Arya sebenarnya mengetahui siapa Tiara yang dulu? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya?“Nona Tiara,”Tiara yang tadi melamun, dengan memeluk lututnya di lantai sembari menyender di bibir ranjang, sedikit terperanjat kaget saat pintu terbuka. Ah, dia masih belum terbiasa. Ketakutannya karena hampir dibunuh oleh Arya masih belum hilang. Sedikit lega saat mendapati sekretaris pribadi Arya— Kinan yang teryata memasuki kamar bernuansa gelap tersebut, dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.“Tuan Arya sudah berangkat ke kantor, dan mungkin akan pulang malam.”Tiara masih diam. Uh, dia tidak butuh informasi itu sebenarnya.“Saya akan memenuhi kebutuhan Nona Tiara sebelum menyusul tuan Arya,” ujar Kinan kali ini dengan senyuman.Tiara mengerjapkan
"Kamu masih akan diam seperti patung, atau aku perlu menyeretmu sekarang?"Terdengar tegas pertanyaan itu ditujukan untuk Tiara, gadis yang tengah duduk di lantai gudang. Tiara mendongak, matanya menyorot takut saat mendengar pertanyaan tajam dari wanita modis di depan pintu."N-nyonya, biar saya yang membantu Nona Tiara untuk bersiap."Suara yang terdengar lembut di balik sosok wanita modis berhasil membuat langkah yang akan tercipta kini terurung. Wanita modis dengan sorot mata tajam terlihat tak senang."Baik, bantu dia. Kalau dalam waktu 30 menit dia belum menyusulku, akan kupastikan kalau luka di tubuhnya akan bertambah!" katanya dengan sinis lalu berbalik badan berjalan menjauh dari gudang kecil berantakan tersebut.Pemilik suara lembut tadi, seorang wanita paruh baya, langsung menghampiri Tiara yang terduduk di lantai."Nona Tiara," panggilnya miris melihat luka lebam yang menghuni ditubuh gadis itu.Tiara tak menjawab. Dirinya hanya diam memandang kearah pintu dengan kosong. I
Tak lama setelah mengikuti Bu Mira dan juga koleganya yang menunjukkan beberapa dokumen pembukaan cabang RD Corporation, Tiara kembali mengekor keduanya untuk masuk kembali ke ruang rapat. Nampak sudah hadir para kolega lain yang sudah dapat Tiara pastikan memegang peranan penting dalam perusahaan.Bu Mira nampak akrab dengan melempar senyum dan sapaan. Terlihat akrab meski senyuman yang tercipta mengandung ancaman yang akan siap merebut semua yang dimiliki bila salah strategi dalam bisnis.Itu adalah realita dalam bisnis. Tidak seluruhnya baik saat berada di atas. Karena dalam bisnis pasti ada yang akan merebut posisi dan mengoyak apa yang didapat secara diam-diam."Apa dia putrimu? Dia cantik sekali." Wanita yang duduk didekat Bu Mira berkata dengan memandang Tiara."Benar, dibanding menjadi asisten, dia justru terlihat seperti CEO muda," timpal rekannya yang lain.Bu Mira tersenyum sinis, melirik Tiara yang tengah menyiapkan beberapa dokumennya."Kalian terlalu memujinya." Bu Mira
"Katakan padaku, bagaimana bisa kamu bermain dengan pemimpin brengsek itu?!" "Mama, aku tidak mengenalnya. Aku—"Tamparan keras kini mendarat di pipi Tiara. Kali ini mereka sudah berada di rumah. Tentu Bu Mira dengan bebas melakukan apa saja kepada anak angkatnya. "Kamu pikir aku akan berbelas kasih padamu setelah apa yang terjadi hari ini?!" Seru Bu Mira dengan kasar menjambak rambut Tiara.Gadis itu hanya diam, matanya yang sayu kini menggenang air mata yang tertahan siap tumpah. Tangannya gemetar menahan tangan ibu angkatnya yang kuat menarik rambutnya."Kamu membuatku malu di depan semua orang hari ini, Tiara. Kamu pikir aku akan memaafkan mu?!" ujar Bu Mira dengan tajam."Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak mengenalnya, aku—""Lalu bagaimana dia bisa bicara kalau kamu yang sudah meninggalkan noda lipstik di kemejanya?""A-aku tidak sengaja,”"Jadi benar kau sudah bermain dengan lelaki itu?!""Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak—akh!" Rambut Tiara ditarik kuat. Bu Mira menyeret gad
***Hari berganti, sang surya sudah memulai rutinitasnya di pagi hari. Dering alarm sudah sejak 10 menit lalu berbunyi, mencoba melaksanakan tugasnya dengan baik membangunkan tuannya. Namun mata milik gadis lara itu masih terpejam rapat. Keringat membasahi dahinya beriring dengan nafasnya yang tak teratur. Tangannya gemetar meremas sprei tempat tidurnya."Arrggh!" Teriaknya kini berhasil membuka mata.Tiara duduk. Nafasnya terengah-engah, pandangannya kosong melihat sekelilingnya. Ia ingat dimana dirinya berada sekarang. Tiara mengusap wajahnya, mencoba menetralkan degup jantungnya. Ia raih jam yang berbunyi semakin keras, mematikannya."Apa itu tadi? Kenapa… kenapa semakin mengerikan?" lirih Tiara merapatkan bajunya.Tiara menyentuh wajahnya. Ia sibak selimut tebalnya, beranjak menuju depan cermin riasnya. Memeriksa wajahnya sendiri, memastikan sesuatu yang dilihatnya dalam mimpi."Itu.. itu tadi aku, bukan?” gumam Tiara mengusap pipi kanannya.Ia terduduk di bibir ranjang. Tenggorok
Malam tiba, dan Tiara dibuat bingung oleh sikap ibu angkatnya. Pasalnya, bukan hal yang biasa jika Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah apalagi mengunjungi sebuah acara kantor tanpa menyuruhnya untuk berpenampilan rapi. Sangat jarang Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah jika bukan acara kantor, terlebih selarut ini. Tiara hanya mengenakan kemeja hitam tanpa riasan wajah yang berarti. Berbanding kontras dengan hari-hari sebelumnya dimana Bu Mira akan menuntut Tiara berpenampilan sesempurna mungkin."Mama, ini acara apa sebenarnya?" tanya Tiara hati-hati saat dirinya dan ibu angkatnya memasuki rumah black tone mewah. Bu Mira hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya dengan lenggang menuju ruangan yang ditunjukkan seorang pekerja di rumah itu."Ma," panggil Tiara lirih masih belum mengerti."Silahkan duduk, Nyonya Mira. Tuan Arya sebentar lagi datang." kata seorang pekerja tadi yang melangkah keluar dari ruangan besar itu setelah mendapat anggukan singkat dari Bu Mira.T
***Tiara akhirnya hanya bisa menerima. Iya, memang dirinya bisa apa? Memberontak? Melawan? Dia bukan orang yang bisa berlaku semaunya.Ada satu titik rasa penasaran yang membuat si gadis lara itu menerima. Tiara masih penasaran, apa Arya sebenarnya mengetahui siapa Tiara yang dulu? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya?“Nona Tiara,”Tiara yang tadi melamun, dengan memeluk lututnya di lantai sembari menyender di bibir ranjang, sedikit terperanjat kaget saat pintu terbuka. Ah, dia masih belum terbiasa. Ketakutannya karena hampir dibunuh oleh Arya masih belum hilang. Sedikit lega saat mendapati sekretaris pribadi Arya— Kinan yang teryata memasuki kamar bernuansa gelap tersebut, dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.“Tuan Arya sudah berangkat ke kantor, dan mungkin akan pulang malam.”Tiara masih diam. Uh, dia tidak butuh informasi itu sebenarnya.“Saya akan memenuhi kebutuhan Nona Tiara sebelum menyusul tuan Arya,” ujar Kinan kali ini dengan senyuman.Tiara mengerjapkan
***Tiara mengerjap pelan, ekspresinya sedikit terkejut saat menyadari jika dirinya berada di tempat yang asing. Ah, dia hampir lupa jika masih berada di rumah Arya Karisma. Semalam dirinya hanya duduk menyender di bibir ranjang, tanpa ada niatan untuk tidur di kasur besar di kamar temaram itu. Menangisi nasib, berdoa semoga Arya kembali dan mengeluarkannya, ternyata sia-sia, dan akhirnya Tiara tertidur karena lelah menangis.“Oh, kamu sudah bangun?”Suara berat itu membuat Tiara menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Sosok Arya terlihat di sana, membuat kamar yang temaram itu mendapat sinar dari ruang lain.“T-tuan,” lirih Tiara kini beranjak dari tempatnya, mendekat ke arah pintu tapi Arya lebih dulu mencekal tangan Tiara sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar.“Kamu pikir aku ke sini untuk melepaskanmu?”Tiara menelan salivanya. “Ini sudah pagi dan aku harus pulang.”“Siapa yang menyuruhmu pulang? Memang di mana rumahmu?”“Tuan—”“Dengar, baby fox.” Arya menyahuti de
Tiara tidak berani bicara sama sekali. Untuk banyak alasan, dirinya membenci kenapa dirinya berada di situasi yang tidak bisa melawan sama sekali. Entah itu pada ibu angkatnya, ataupun orang lain.Baby Fox, begitu Arya memanggilnya. Membuatnya hanya diam, bingung sekaligus takut. Ah, ini lebih menakutkan dibanding bentakan dari bu Mira, sungguh.“Aku menunggumu sampai besok, apa masih berani kamu bersembunyi lagi. Pura-pura amnesia, padahal kamu tahu siapa aku.”Dan ucapan Arya semakin membuat kepala Tiara pusing. Pura-pura amnesia, katanya.“Untuk apa aku melakukan itu?” lirih, Tiara menimpali dengan bibir bergetar.Arya tersenyum miring. Memilih diam kali ini, Tiara yang memandangnya dengan takut-takut dengan isakan tertahan, agaknya cukup membuat hatinya tercubit pelan. Gadis itu benar-benar tidak akan mengaku ternyata. “Jangan berlaga bodoh, dari awal aku sudah tahu siapa kamu.”“Aku tidak mengerti…” lirih Tiara menggeleng pelan, berbarengan dengan air matanya yang kembali hadir
Malam tiba, dan Tiara dibuat bingung oleh sikap ibu angkatnya. Pasalnya, bukan hal yang biasa jika Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah apalagi mengunjungi sebuah acara kantor tanpa menyuruhnya untuk berpenampilan rapi. Sangat jarang Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah jika bukan acara kantor, terlebih selarut ini. Tiara hanya mengenakan kemeja hitam tanpa riasan wajah yang berarti. Berbanding kontras dengan hari-hari sebelumnya dimana Bu Mira akan menuntut Tiara berpenampilan sesempurna mungkin."Mama, ini acara apa sebenarnya?" tanya Tiara hati-hati saat dirinya dan ibu angkatnya memasuki rumah black tone mewah. Bu Mira hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya dengan lenggang menuju ruangan yang ditunjukkan seorang pekerja di rumah itu."Ma," panggil Tiara lirih masih belum mengerti."Silahkan duduk, Nyonya Mira. Tuan Arya sebentar lagi datang." kata seorang pekerja tadi yang melangkah keluar dari ruangan besar itu setelah mendapat anggukan singkat dari Bu Mira.T
***Hari berganti, sang surya sudah memulai rutinitasnya di pagi hari. Dering alarm sudah sejak 10 menit lalu berbunyi, mencoba melaksanakan tugasnya dengan baik membangunkan tuannya. Namun mata milik gadis lara itu masih terpejam rapat. Keringat membasahi dahinya beriring dengan nafasnya yang tak teratur. Tangannya gemetar meremas sprei tempat tidurnya."Arrggh!" Teriaknya kini berhasil membuka mata.Tiara duduk. Nafasnya terengah-engah, pandangannya kosong melihat sekelilingnya. Ia ingat dimana dirinya berada sekarang. Tiara mengusap wajahnya, mencoba menetralkan degup jantungnya. Ia raih jam yang berbunyi semakin keras, mematikannya."Apa itu tadi? Kenapa… kenapa semakin mengerikan?" lirih Tiara merapatkan bajunya.Tiara menyentuh wajahnya. Ia sibak selimut tebalnya, beranjak menuju depan cermin riasnya. Memeriksa wajahnya sendiri, memastikan sesuatu yang dilihatnya dalam mimpi."Itu.. itu tadi aku, bukan?” gumam Tiara mengusap pipi kanannya.Ia terduduk di bibir ranjang. Tenggorok
"Katakan padaku, bagaimana bisa kamu bermain dengan pemimpin brengsek itu?!" "Mama, aku tidak mengenalnya. Aku—"Tamparan keras kini mendarat di pipi Tiara. Kali ini mereka sudah berada di rumah. Tentu Bu Mira dengan bebas melakukan apa saja kepada anak angkatnya. "Kamu pikir aku akan berbelas kasih padamu setelah apa yang terjadi hari ini?!" Seru Bu Mira dengan kasar menjambak rambut Tiara.Gadis itu hanya diam, matanya yang sayu kini menggenang air mata yang tertahan siap tumpah. Tangannya gemetar menahan tangan ibu angkatnya yang kuat menarik rambutnya."Kamu membuatku malu di depan semua orang hari ini, Tiara. Kamu pikir aku akan memaafkan mu?!" ujar Bu Mira dengan tajam."Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak mengenalnya, aku—""Lalu bagaimana dia bisa bicara kalau kamu yang sudah meninggalkan noda lipstik di kemejanya?""A-aku tidak sengaja,”"Jadi benar kau sudah bermain dengan lelaki itu?!""Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak—akh!" Rambut Tiara ditarik kuat. Bu Mira menyeret gad
Tak lama setelah mengikuti Bu Mira dan juga koleganya yang menunjukkan beberapa dokumen pembukaan cabang RD Corporation, Tiara kembali mengekor keduanya untuk masuk kembali ke ruang rapat. Nampak sudah hadir para kolega lain yang sudah dapat Tiara pastikan memegang peranan penting dalam perusahaan.Bu Mira nampak akrab dengan melempar senyum dan sapaan. Terlihat akrab meski senyuman yang tercipta mengandung ancaman yang akan siap merebut semua yang dimiliki bila salah strategi dalam bisnis.Itu adalah realita dalam bisnis. Tidak seluruhnya baik saat berada di atas. Karena dalam bisnis pasti ada yang akan merebut posisi dan mengoyak apa yang didapat secara diam-diam."Apa dia putrimu? Dia cantik sekali." Wanita yang duduk didekat Bu Mira berkata dengan memandang Tiara."Benar, dibanding menjadi asisten, dia justru terlihat seperti CEO muda," timpal rekannya yang lain.Bu Mira tersenyum sinis, melirik Tiara yang tengah menyiapkan beberapa dokumennya."Kalian terlalu memujinya." Bu Mira
"Kamu masih akan diam seperti patung, atau aku perlu menyeretmu sekarang?"Terdengar tegas pertanyaan itu ditujukan untuk Tiara, gadis yang tengah duduk di lantai gudang. Tiara mendongak, matanya menyorot takut saat mendengar pertanyaan tajam dari wanita modis di depan pintu."N-nyonya, biar saya yang membantu Nona Tiara untuk bersiap."Suara yang terdengar lembut di balik sosok wanita modis berhasil membuat langkah yang akan tercipta kini terurung. Wanita modis dengan sorot mata tajam terlihat tak senang."Baik, bantu dia. Kalau dalam waktu 30 menit dia belum menyusulku, akan kupastikan kalau luka di tubuhnya akan bertambah!" katanya dengan sinis lalu berbalik badan berjalan menjauh dari gudang kecil berantakan tersebut.Pemilik suara lembut tadi, seorang wanita paruh baya, langsung menghampiri Tiara yang terduduk di lantai."Nona Tiara," panggilnya miris melihat luka lebam yang menghuni ditubuh gadis itu.Tiara tak menjawab. Dirinya hanya diam memandang kearah pintu dengan kosong. I