"Katakan padaku, bagaimana bisa kamu bermain dengan pemimpin brengsek itu?!"
"Mama, aku tidak mengenalnya. Aku—"
Tamparan keras kini mendarat di pipi Tiara. Kali ini mereka sudah berada di rumah. Tentu Bu Mira dengan bebas melakukan apa saja kepada anak angkatnya.
"Kamu pikir aku akan berbelas kasih padamu setelah apa yang terjadi hari ini?!" Seru Bu Mira dengan kasar menjambak rambut Tiara.
Gadis itu hanya diam, matanya yang sayu kini menggenang air mata yang tertahan siap tumpah. Tangannya gemetar menahan tangan ibu angkatnya yang kuat menarik rambutnya.
"Kamu membuatku malu di depan semua orang hari ini, Tiara. Kamu pikir aku akan memaafkan mu?!" ujar Bu Mira dengan tajam.
"Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak mengenalnya, aku—"
"Lalu bagaimana dia bisa bicara kalau kamu yang sudah meninggalkan noda lipstik di kemejanya?"
"A-aku tidak sengaja,”
"Jadi benar kau sudah bermain dengan lelaki itu?!"
"Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak—akh!"
Rambut Tiara ditarik kuat. Bu Mira menyeret gadis lara itu menuju kamar mandi tanpa mengizinkannya untuk menyelesaikan ucapannya untuk membela diri.Dengan kasar Bu Mira mendorong tubuh ringkih Tiara hingga tersungkur di dekat bathtub. Lagi, dengan kasar Bu Mira menarik rambut Tiara. Memaksanya untuk berdiri, di depan cermin dan wastafel yang sebelumnya ia nyalakan.
"Kamu lihat, kamu pikir kamu cantik? Kamu pikir dengan kecantikan yang kamu miliki bisa membuat semua orang bersimpati padamu?!" kata Bu Mira memaksa Tiara memandang cermin.Gadis itu menggeleng lemah, air mata yang ia tahan mati-matian kini tumpah sudah.
"Akan aku tunjukan bagaimana supaya orang bersimpati padamu!"
Dan setelah berseru seperti itu, Bu Mira dengan sengajanya mencoba menenggelamkan wajah anak angkatnya kedalam wastafel.
"Non Tiara!"
Seruan dari bik Alma terdengar.
Ibu paruh baya tersebut berlari mendekat kearah majikannya yang tengah menyiksa putri angkatnya dengan kejam.
"Nyonya, sudah Nyonya!"
Bik Alma menahan tangan Bu Mira agar melepaskan Tiara.
"Dam kamu!" bentak Bu Mira.
Bu Mira kembali mengangkat kepala anak angkatnya, Tiara nampak terengah. Tangannya gemetar mencoba melepaskan jambakan dari Bu Mira.
"Mama, ampun..." lirih Tiara memandang ibu angkatnya dengan tatapan memohon belas kasih dari ibu angkat yang sungguh kejam itu.
"Ampun? Ampun kamu bilang?"
Tamparan keras kembali diterima Tiara hingga membuatnya kini tersungkur. Tak hanya sampai di sana, ibu angkat kejam itu meraih wadah peralatan mandi yang berbentuk kotak, mengambil air dengan itu dan menyiramkannya pada Tiara.
Tiara hanya bisa memejamkan matanya saat air dingin dengan cepat membasahi seluruh tubuhnya. Bu Mira merendahkan tubuhnya, dengan kuat kini ia mencengkram dagu Tiara"Aku peringatkan, jangan sampai kamu membuatku marah lagi dengan mendekati para kolegaku atau mencari perhatian mereka, paham?!" ujar Bu Mira tajam.
Tiara mengangguk pelan, tak kuat lagi untuk sekedar berkata 'iya'. Gadis itu hanya akan menurut, karena tak ada pilihan lain selain itu. Dan untungnya itu berhasil membuatnya lepas dari cengkeraman menyakitkan Bu Mira.
"Jika kamu membuat kesalahan lagi, aku tidak segan-segan untuk mengusirmu dari sini." Ucapnya sebelum akhirnya beranjak keluar dari kamar mandi.
"Non Tiara,"
Bik Alma segera mendekat, memeluk gadis malang yang hanya bisa duduk diam menahan sakit. Ingin rasanya Tiara menangis sekencang-kencangnya namun dirinya sudah bertekad untuk kuat meski nyatanya raganya rapuh.
"Setidaknya, s-setidaknya ini sudah selesai untuk hari ini, Bik. Aku tidak apa-apa. Sungguh, aku baik-baik saja."
Tiara berucap lirih dalam pelukan bik Alma. Bik Alma sedikit sesak rasanya mendengar ucapan Tiara. Ucapan yang selalu diucapkan Tiara setelah di siksa oleh ibu angkatnya. Begitu tak ingin terlihat lemah didepan orang lain, Tiara yang rapuh bersembunyi dengan senyum paksa.
***
"Sudah kamu temukan informasi tentang Nanda?"
Terdengar dingin pertanyaan seorang Arya Bagus Karisma kepada sekretaris yang mengikutinya. Keduanya memasuki rumah besar bergaya klasik nan mewah dengan black tone. Suasana dingin dan gelap terasa saat langkah keduanya kian masuk ke dalam. Tirai dan jendela tampak tertutup seolah memang mempunyai tugas khusus untuk menghalangi sinar matahari.
"Belum ada, Tuan. Dugaan kami masih kuat kalau tuan Nanda memang sudah meninggal saat pelarian diri. " Kinan— sekretaris Arya— nampak serius menjawab.
"Lalu kemana mayatnya? Kalau dia memang sudah mati, kalian seharusnya bisa mudah menemukannya, bukan?"
Arya tajam menghentikan langkahnya. Kinan menunduk, bukan bertanda baik kalau ucapan tajam terdengar dari Arya. Arya melepas dasinya, melemparnya ke sebuah sofa dengan sembarang.
"Aku seharusnya tidak menaruh harapan tinggi atas kinerjamu!" imbuh Arya sembari duduk di sofa.
Matanya yang tajam kini memandang lurus kearah figura foto besar yang tergantung rapi di dinding. Foto yang bisa dibilang usang, dan tak singkron dengan nuansa mewah ruangan besar itu sebenarnya.
"Tapi setidaknya kita bisa mencuri perhatian media yang sekarang sedang menyoroti karya Nanda, Tuan. Lalu—"
"Apa kinerjamu selambat ini sekarang? Kamu ingin berhenti? Aku akan memberimu pesangon saat ini juga." Potong Arya.
"T-tidak tuan. Saya minta maaf, saya akan berusaha secepatnya," sahut Kinan dengan sedikit ngeri.
Arya tak menjawab. Pria itu, sama sekali tak suka dengan yang namanya menunggu. Terlebih menunggu hal yang sudah lama ia incar. Prinsip dalam hidupnya adalah apa yang dia ingin saat itu juga dia harus memilikinya. Dan Kinan, sekretaris yang sudah bekerja 6 tahun di sana tak ingin kehilangan pekerjaannya dengan mudah. Apalagi pekerjaan itu membayarnya dengan bayaran yang tak akan terpikir oleh orang lain. Meski pekerjannya bukan hanya urusan kantor.
"Bagaimana dengan perempuan tadi?"
"A-apa?"
"Perempuan yang ada di kantor RD Corporation. Aku sudah memintamu untuk mencari tahu siapa dia. Jangan membuatku marah, Kinan!" Arya menoleh pada Kinan.
"Untuk perempuan tadi, namanya Tiara. Putri almarhum Farhan Kurnia. Dia—"
"Tunggu, Maksudmu anak Namira?"
"Bukan, nona Tiara adalah putri angkat tuan Kurnia. Menurut informasi yang saya terima, setelah tuan Kurnia meninggal nona Tiara adalah pewaris tunggal RD Corporation. Sebelumnya tuan Kurnia dan nyonya Namira tidak mempunyai anak."
"Pewaris tunggal? Lalu kenapa dia memanggil Namira dengan Nyonya? Dia hanya asisten—" ucapan Arya berhenti saat ingatannya kembali pada saat bertemu dengan Tiara di depan ruang rapat. Sedikit mengingat jika Tiara memanggil bu Mira dengan sebutan 'mama'.
"Dia hanya diperalat ibu angkatnya?" imbuh Arya dengan satu alis yang terangkat.
"Saya rasa begitu, Tuan. Seluruh aset milik tuan Kurnia sudah diwariskan untuk nona Tiara, tapi sedikit mengherankan kenapa dia diperlakukan seperti bawahan di perusahaan ayahnya sendiri. Terlebih, menurut kesaksian beberapa karyawan di sana, nona Tiara sering diperlakukan kasar oleh nyonya Mira."
Arya kembali diam mendengar penuturan Kinan. Ingatannya menuntun untuk kembali mengingat saat dirinya bertemu Tiara. Gadis itu menahan sakit di kakinya saat berjalan mengikuti sang ibu. Dan saat di ruang rapat, kaki Tiara jelas terluka sebelum Arya dengan sengaja menjatuhkan gelas di sana.
"Apa ada lagi yang perlu anda tahu tentang nona Tiara, Tuan? Sejauh ini hanya itu yang saya dapat."
"Cukup. Pergilah. Cari kembali informasi dan keberadaan Nanda,” jawab Arya dengan cepat.
Kinan mengangguk hormat, sebelum akhirnya meninggalkan atasannya seorang diri dalam ruangan besar yang bisa dibilang tak cukup cahaya.
Diam menyelimuti, dan yang dilakukan Arya hanya menyenderkan tubuhnya sembari memejamkan mata. Mencoba mengistirahatkan segala kegiatan fisiknya. Setidaknya itu berhasil beberapa detik, sebelum akhirnya mata elang miliknya kembali terbuka.
“Anak angkat Namira? Berarti memang benar itu kamu, baby fox.”
***Hari berganti, sang surya sudah memulai rutinitasnya di pagi hari. Dering alarm sudah sejak 10 menit lalu berbunyi, mencoba melaksanakan tugasnya dengan baik membangunkan tuannya. Namun mata milik gadis lara itu masih terpejam rapat. Keringat membasahi dahinya beriring dengan nafasnya yang tak teratur. Tangannya gemetar meremas sprei tempat tidurnya."Arrggh!" Teriaknya kini berhasil membuka mata.Tiara duduk. Nafasnya terengah-engah, pandangannya kosong melihat sekelilingnya. Ia ingat dimana dirinya berada sekarang. Tiara mengusap wajahnya, mencoba menetralkan degup jantungnya. Ia raih jam yang berbunyi semakin keras, mematikannya."Apa itu tadi? Kenapa… kenapa semakin mengerikan?" lirih Tiara merapatkan bajunya.Tiara menyentuh wajahnya. Ia sibak selimut tebalnya, beranjak menuju depan cermin riasnya. Memeriksa wajahnya sendiri, memastikan sesuatu yang dilihatnya dalam mimpi."Itu.. itu tadi aku, bukan?” gumam Tiara mengusap pipi kanannya.Ia terduduk di bibir ranjang. Tenggorok
Malam tiba, dan Tiara dibuat bingung oleh sikap ibu angkatnya. Pasalnya, bukan hal yang biasa jika Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah apalagi mengunjungi sebuah acara kantor tanpa menyuruhnya untuk berpenampilan rapi. Sangat jarang Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah jika bukan acara kantor, terlebih selarut ini. Tiara hanya mengenakan kemeja hitam tanpa riasan wajah yang berarti. Berbanding kontras dengan hari-hari sebelumnya dimana Bu Mira akan menuntut Tiara berpenampilan sesempurna mungkin."Mama, ini acara apa sebenarnya?" tanya Tiara hati-hati saat dirinya dan ibu angkatnya memasuki rumah black tone mewah. Bu Mira hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya dengan lenggang menuju ruangan yang ditunjukkan seorang pekerja di rumah itu."Ma," panggil Tiara lirih masih belum mengerti."Silahkan duduk, Nyonya Mira. Tuan Arya sebentar lagi datang." kata seorang pekerja tadi yang melangkah keluar dari ruangan besar itu setelah mendapat anggukan singkat dari Bu Mira.T
Tiara tidak berani bicara sama sekali. Untuk banyak alasan, dirinya membenci kenapa dirinya berada di situasi yang tidak bisa melawan sama sekali. Entah itu pada ibu angkatnya, ataupun orang lain.Baby Fox, begitu Arya memanggilnya. Membuatnya hanya diam, bingung sekaligus takut. Ah, ini lebih menakutkan dibanding bentakan dari bu Mira, sungguh.“Aku menunggumu sampai besok, apa masih berani kamu bersembunyi lagi. Pura-pura amnesia, padahal kamu tahu siapa aku.”Dan ucapan Arya semakin membuat kepala Tiara pusing. Pura-pura amnesia, katanya.“Untuk apa aku melakukan itu?” lirih, Tiara menimpali dengan bibir bergetar.Arya tersenyum miring. Memilih diam kali ini, Tiara yang memandangnya dengan takut-takut dengan isakan tertahan, agaknya cukup membuat hatinya tercubit pelan. Gadis itu benar-benar tidak akan mengaku ternyata. “Jangan berlaga bodoh, dari awal aku sudah tahu siapa kamu.”“Aku tidak mengerti…” lirih Tiara menggeleng pelan, berbarengan dengan air matanya yang kembali hadir
***Tiara mengerjap pelan, ekspresinya sedikit terkejut saat menyadari jika dirinya berada di tempat yang asing. Ah, dia hampir lupa jika masih berada di rumah Arya Karisma. Semalam dirinya hanya duduk menyender di bibir ranjang, tanpa ada niatan untuk tidur di kasur besar di kamar temaram itu. Menangisi nasib, berdoa semoga Arya kembali dan mengeluarkannya, ternyata sia-sia, dan akhirnya Tiara tertidur karena lelah menangis.“Oh, kamu sudah bangun?”Suara berat itu membuat Tiara menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Sosok Arya terlihat di sana, membuat kamar yang temaram itu mendapat sinar dari ruang lain.“T-tuan,” lirih Tiara kini beranjak dari tempatnya, mendekat ke arah pintu tapi Arya lebih dulu mencekal tangan Tiara sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar.“Kamu pikir aku ke sini untuk melepaskanmu?”Tiara menelan salivanya. “Ini sudah pagi dan aku harus pulang.”“Siapa yang menyuruhmu pulang? Memang di mana rumahmu?”“Tuan—”“Dengar, baby fox.” Arya menyahuti de
***Tiara akhirnya hanya bisa menerima. Iya, memang dirinya bisa apa? Memberontak? Melawan? Dia bukan orang yang bisa berlaku semaunya.Ada satu titik rasa penasaran yang membuat si gadis lara itu menerima. Tiara masih penasaran, apa Arya sebenarnya mengetahui siapa Tiara yang dulu? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya?“Nona Tiara,”Tiara yang tadi melamun, dengan memeluk lututnya di lantai sembari menyender di bibir ranjang, sedikit terperanjat kaget saat pintu terbuka. Ah, dia masih belum terbiasa. Ketakutannya karena hampir dibunuh oleh Arya masih belum hilang. Sedikit lega saat mendapati sekretaris pribadi Arya— Kinan yang teryata memasuki kamar bernuansa gelap tersebut, dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.“Tuan Arya sudah berangkat ke kantor, dan mungkin akan pulang malam.”Tiara masih diam. Uh, dia tidak butuh informasi itu sebenarnya.“Saya akan memenuhi kebutuhan Nona Tiara sebelum menyusul tuan Arya,” ujar Kinan kali ini dengan senyuman.Tiara mengerjapkan
"Kamu masih akan diam seperti patung, atau aku perlu menyeretmu sekarang?"Terdengar tegas pertanyaan itu ditujukan untuk Tiara, gadis yang tengah duduk di lantai gudang. Tiara mendongak, matanya menyorot takut saat mendengar pertanyaan tajam dari wanita modis di depan pintu."N-nyonya, biar saya yang membantu Nona Tiara untuk bersiap."Suara yang terdengar lembut di balik sosok wanita modis berhasil membuat langkah yang akan tercipta kini terurung. Wanita modis dengan sorot mata tajam terlihat tak senang."Baik, bantu dia. Kalau dalam waktu 30 menit dia belum menyusulku, akan kupastikan kalau luka di tubuhnya akan bertambah!" katanya dengan sinis lalu berbalik badan berjalan menjauh dari gudang kecil berantakan tersebut.Pemilik suara lembut tadi, seorang wanita paruh baya, langsung menghampiri Tiara yang terduduk di lantai."Nona Tiara," panggilnya miris melihat luka lebam yang menghuni ditubuh gadis itu.Tiara tak menjawab. Dirinya hanya diam memandang kearah pintu dengan kosong. I
Tak lama setelah mengikuti Bu Mira dan juga koleganya yang menunjukkan beberapa dokumen pembukaan cabang RD Corporation, Tiara kembali mengekor keduanya untuk masuk kembali ke ruang rapat. Nampak sudah hadir para kolega lain yang sudah dapat Tiara pastikan memegang peranan penting dalam perusahaan.Bu Mira nampak akrab dengan melempar senyum dan sapaan. Terlihat akrab meski senyuman yang tercipta mengandung ancaman yang akan siap merebut semua yang dimiliki bila salah strategi dalam bisnis.Itu adalah realita dalam bisnis. Tidak seluruhnya baik saat berada di atas. Karena dalam bisnis pasti ada yang akan merebut posisi dan mengoyak apa yang didapat secara diam-diam."Apa dia putrimu? Dia cantik sekali." Wanita yang duduk didekat Bu Mira berkata dengan memandang Tiara."Benar, dibanding menjadi asisten, dia justru terlihat seperti CEO muda," timpal rekannya yang lain.Bu Mira tersenyum sinis, melirik Tiara yang tengah menyiapkan beberapa dokumennya."Kalian terlalu memujinya." Bu Mira
***Tiara akhirnya hanya bisa menerima. Iya, memang dirinya bisa apa? Memberontak? Melawan? Dia bukan orang yang bisa berlaku semaunya.Ada satu titik rasa penasaran yang membuat si gadis lara itu menerima. Tiara masih penasaran, apa Arya sebenarnya mengetahui siapa Tiara yang dulu? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya?“Nona Tiara,”Tiara yang tadi melamun, dengan memeluk lututnya di lantai sembari menyender di bibir ranjang, sedikit terperanjat kaget saat pintu terbuka. Ah, dia masih belum terbiasa. Ketakutannya karena hampir dibunuh oleh Arya masih belum hilang. Sedikit lega saat mendapati sekretaris pribadi Arya— Kinan yang teryata memasuki kamar bernuansa gelap tersebut, dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.“Tuan Arya sudah berangkat ke kantor, dan mungkin akan pulang malam.”Tiara masih diam. Uh, dia tidak butuh informasi itu sebenarnya.“Saya akan memenuhi kebutuhan Nona Tiara sebelum menyusul tuan Arya,” ujar Kinan kali ini dengan senyuman.Tiara mengerjapkan
***Tiara mengerjap pelan, ekspresinya sedikit terkejut saat menyadari jika dirinya berada di tempat yang asing. Ah, dia hampir lupa jika masih berada di rumah Arya Karisma. Semalam dirinya hanya duduk menyender di bibir ranjang, tanpa ada niatan untuk tidur di kasur besar di kamar temaram itu. Menangisi nasib, berdoa semoga Arya kembali dan mengeluarkannya, ternyata sia-sia, dan akhirnya Tiara tertidur karena lelah menangis.“Oh, kamu sudah bangun?”Suara berat itu membuat Tiara menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Sosok Arya terlihat di sana, membuat kamar yang temaram itu mendapat sinar dari ruang lain.“T-tuan,” lirih Tiara kini beranjak dari tempatnya, mendekat ke arah pintu tapi Arya lebih dulu mencekal tangan Tiara sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar.“Kamu pikir aku ke sini untuk melepaskanmu?”Tiara menelan salivanya. “Ini sudah pagi dan aku harus pulang.”“Siapa yang menyuruhmu pulang? Memang di mana rumahmu?”“Tuan—”“Dengar, baby fox.” Arya menyahuti de
Tiara tidak berani bicara sama sekali. Untuk banyak alasan, dirinya membenci kenapa dirinya berada di situasi yang tidak bisa melawan sama sekali. Entah itu pada ibu angkatnya, ataupun orang lain.Baby Fox, begitu Arya memanggilnya. Membuatnya hanya diam, bingung sekaligus takut. Ah, ini lebih menakutkan dibanding bentakan dari bu Mira, sungguh.“Aku menunggumu sampai besok, apa masih berani kamu bersembunyi lagi. Pura-pura amnesia, padahal kamu tahu siapa aku.”Dan ucapan Arya semakin membuat kepala Tiara pusing. Pura-pura amnesia, katanya.“Untuk apa aku melakukan itu?” lirih, Tiara menimpali dengan bibir bergetar.Arya tersenyum miring. Memilih diam kali ini, Tiara yang memandangnya dengan takut-takut dengan isakan tertahan, agaknya cukup membuat hatinya tercubit pelan. Gadis itu benar-benar tidak akan mengaku ternyata. “Jangan berlaga bodoh, dari awal aku sudah tahu siapa kamu.”“Aku tidak mengerti…” lirih Tiara menggeleng pelan, berbarengan dengan air matanya yang kembali hadir
Malam tiba, dan Tiara dibuat bingung oleh sikap ibu angkatnya. Pasalnya, bukan hal yang biasa jika Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah apalagi mengunjungi sebuah acara kantor tanpa menyuruhnya untuk berpenampilan rapi. Sangat jarang Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah jika bukan acara kantor, terlebih selarut ini. Tiara hanya mengenakan kemeja hitam tanpa riasan wajah yang berarti. Berbanding kontras dengan hari-hari sebelumnya dimana Bu Mira akan menuntut Tiara berpenampilan sesempurna mungkin."Mama, ini acara apa sebenarnya?" tanya Tiara hati-hati saat dirinya dan ibu angkatnya memasuki rumah black tone mewah. Bu Mira hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya dengan lenggang menuju ruangan yang ditunjukkan seorang pekerja di rumah itu."Ma," panggil Tiara lirih masih belum mengerti."Silahkan duduk, Nyonya Mira. Tuan Arya sebentar lagi datang." kata seorang pekerja tadi yang melangkah keluar dari ruangan besar itu setelah mendapat anggukan singkat dari Bu Mira.T
***Hari berganti, sang surya sudah memulai rutinitasnya di pagi hari. Dering alarm sudah sejak 10 menit lalu berbunyi, mencoba melaksanakan tugasnya dengan baik membangunkan tuannya. Namun mata milik gadis lara itu masih terpejam rapat. Keringat membasahi dahinya beriring dengan nafasnya yang tak teratur. Tangannya gemetar meremas sprei tempat tidurnya."Arrggh!" Teriaknya kini berhasil membuka mata.Tiara duduk. Nafasnya terengah-engah, pandangannya kosong melihat sekelilingnya. Ia ingat dimana dirinya berada sekarang. Tiara mengusap wajahnya, mencoba menetralkan degup jantungnya. Ia raih jam yang berbunyi semakin keras, mematikannya."Apa itu tadi? Kenapa… kenapa semakin mengerikan?" lirih Tiara merapatkan bajunya.Tiara menyentuh wajahnya. Ia sibak selimut tebalnya, beranjak menuju depan cermin riasnya. Memeriksa wajahnya sendiri, memastikan sesuatu yang dilihatnya dalam mimpi."Itu.. itu tadi aku, bukan?” gumam Tiara mengusap pipi kanannya.Ia terduduk di bibir ranjang. Tenggorok
"Katakan padaku, bagaimana bisa kamu bermain dengan pemimpin brengsek itu?!" "Mama, aku tidak mengenalnya. Aku—"Tamparan keras kini mendarat di pipi Tiara. Kali ini mereka sudah berada di rumah. Tentu Bu Mira dengan bebas melakukan apa saja kepada anak angkatnya. "Kamu pikir aku akan berbelas kasih padamu setelah apa yang terjadi hari ini?!" Seru Bu Mira dengan kasar menjambak rambut Tiara.Gadis itu hanya diam, matanya yang sayu kini menggenang air mata yang tertahan siap tumpah. Tangannya gemetar menahan tangan ibu angkatnya yang kuat menarik rambutnya."Kamu membuatku malu di depan semua orang hari ini, Tiara. Kamu pikir aku akan memaafkan mu?!" ujar Bu Mira dengan tajam."Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak mengenalnya, aku—""Lalu bagaimana dia bisa bicara kalau kamu yang sudah meninggalkan noda lipstik di kemejanya?""A-aku tidak sengaja,”"Jadi benar kau sudah bermain dengan lelaki itu?!""Maaf, Ma, tapi sungguh, aku tidak—akh!" Rambut Tiara ditarik kuat. Bu Mira menyeret gad
Tak lama setelah mengikuti Bu Mira dan juga koleganya yang menunjukkan beberapa dokumen pembukaan cabang RD Corporation, Tiara kembali mengekor keduanya untuk masuk kembali ke ruang rapat. Nampak sudah hadir para kolega lain yang sudah dapat Tiara pastikan memegang peranan penting dalam perusahaan.Bu Mira nampak akrab dengan melempar senyum dan sapaan. Terlihat akrab meski senyuman yang tercipta mengandung ancaman yang akan siap merebut semua yang dimiliki bila salah strategi dalam bisnis.Itu adalah realita dalam bisnis. Tidak seluruhnya baik saat berada di atas. Karena dalam bisnis pasti ada yang akan merebut posisi dan mengoyak apa yang didapat secara diam-diam."Apa dia putrimu? Dia cantik sekali." Wanita yang duduk didekat Bu Mira berkata dengan memandang Tiara."Benar, dibanding menjadi asisten, dia justru terlihat seperti CEO muda," timpal rekannya yang lain.Bu Mira tersenyum sinis, melirik Tiara yang tengah menyiapkan beberapa dokumennya."Kalian terlalu memujinya." Bu Mira
"Kamu masih akan diam seperti patung, atau aku perlu menyeretmu sekarang?"Terdengar tegas pertanyaan itu ditujukan untuk Tiara, gadis yang tengah duduk di lantai gudang. Tiara mendongak, matanya menyorot takut saat mendengar pertanyaan tajam dari wanita modis di depan pintu."N-nyonya, biar saya yang membantu Nona Tiara untuk bersiap."Suara yang terdengar lembut di balik sosok wanita modis berhasil membuat langkah yang akan tercipta kini terurung. Wanita modis dengan sorot mata tajam terlihat tak senang."Baik, bantu dia. Kalau dalam waktu 30 menit dia belum menyusulku, akan kupastikan kalau luka di tubuhnya akan bertambah!" katanya dengan sinis lalu berbalik badan berjalan menjauh dari gudang kecil berantakan tersebut.Pemilik suara lembut tadi, seorang wanita paruh baya, langsung menghampiri Tiara yang terduduk di lantai."Nona Tiara," panggilnya miris melihat luka lebam yang menghuni ditubuh gadis itu.Tiara tak menjawab. Dirinya hanya diam memandang kearah pintu dengan kosong. I