Tiba hari dimana Esa akan berangkat ke Bristol. Sejak semalam, Anna tidak melepaskan pelukannya dari sang putra. Tidak hanya itu, dia bahkan mengekori kemanapun Esa melangkah.
Esa mendesah lelah, ibunya benar-benar tidak bisa di tinggalkan. "Bagaimana ini ojisan?" tanya Esa kepada Tomo dengan tatapan memelas karena ibunya masih setia bergelayut manja di tangannya.
"Anna, bisakah kau lepaskan Esa? Dia harus berangkat sekarang," Tomo mencoba mengingatkan Anna dengan pelan.
"Sebentar lagi, aku masih ingin memeluk putraku." jawabnya tanpa bergerak sedikit pun dari posisinya.
"Jika begini terus, kau akan menghambat keberangkatan Esa." kali ini Sean yang bicara mengingatkan.
Anna sedikit tidak suka dengan Sean yang menginterupsi kegiatannya. Tapi biar bagaimanapun Anna sadar kalau apa yang dikatakan Sean itu benar. Dengan berat hati, Anna pun akhirnya melepaskan pegangan tangannya dari lengan Esa.
"Mama
ikut mengantar ke bandara ya?" tanya Anna dengan tatapan memohon. Tapi Esa langsung menggeleng dengan cepat sebagi bentuk penolakan."Tidak!" Tolak Sean tegas. "Kita sudah sepakat semalam, hanya aku yang akan mengantar Esa pergi." pasalnya mereka memang sudah membicarakan ini, dan keputusannya Anna tidak boleh ikut, karena perempuan itu mungkin akan menangis dan meraung-raung di bandara.
Anna mencebik kesal. "Kalian ini jahat sekali. Padahal aku hanya ingin mengantar kepergian anakku." Anna memperlihatkan wajah sedihnya.
"Berhenti ber-drama Joanna. Kau ini, berpisah seminggu saja tidak akan membuatmu kehabisan darah." Ucap Tomo yang sejak tadi pagi pembahasan mereka hanya seputar itu-itu saja.
"Ojisan benar, sebaiknya aku berangkat sekarang sebelum pesawatnya pergi." Esa sekali lagi memeluk ibunya. "Aku akan baik-baik saja, mama
segera selesaikan pekerjaannya dan kita akan segera bertemu kembali." ucap Esa yang berhasil memenangkan ibunya."Sepertinya mereka adalah ibu dan anak yang tertukar." cibir Tomo begitu melihat interaksi Esa dan Anna.
"Baiklah kalau begitu kami berangkat." Sean menyeret koper Esa dan memasukannya kedalam mobil, kemudian Esa mengikutinya dan duduk di samping kursi kemudi.
Anna yang berdiri di samping mobil, hanya mampu melambaikan tangannya dan menangis tersedu begitu mobil tersebut meninggalkan halaman rumah.
"Sudah Anna, sebaiknya kita ke toko sekarang. Semakin cepat urusanmu selesai, makin cepat pula kau menyusul Esa." ucap Tomo yang kini sedang berusaha menyeret Anna untuk kembali kedalam.
✿✿✿✿✿
Setelah berpamitan kepada Sean, Esa naik kedalam pesawat dan duduk nyaman di kursi VIP. Anna sengaja memesan tiket VIP karena ini merupakan penerbangan pertama Esa sendirian.
Esa duduk di dekat jendela pesawat, matanya menerawang jauh seolah sedang melihat pemandangan di luar sana, namun ternyata pikirannya justru tidak berada di sana. Esa sibuk memikirkan apa yang dikatakan ibunya semalam, setelah dia tahu tentang ayahnya bukan rasa nyaman atau bahagia yang ada dihatinya, melainkan sebuah luka dan kebencian. Ah ternyata ayahnya hanya seorang bajingan yang tidak pantas menerima cinta ibunya.
Esa tenggelam dalam lamunannya hingga tidak menyadari ada seseorang yang sudah duduk disampingnya. Dan sejak tadi dia memperhatikan bagaimana Esa terus menghela nafas berat serta menangis dalam diamnya.
Pria yang duduk di samping Esa itu pun berdekhem guna menyadarkan lamunannya. Hal itu sukses membuat Esa terkejut dan segera menghapus air matanya serta membenahi penampilannya asal.
"Tidak baik melamun disaat bepergian sendiri anak muda. Kau akan mengundang datangnya kejahatan." ucap pria tersebut yang sedang memposisikan dirinya mencari tempat yang nyaman.
"Ah itu, aku tidak sadar." jawab Esa malu karena ketahuan melamun bahkan menangis.
Pria di sampingnya hanya terkekeh pelan. "Kau sendiri?" tanyanya lagi.
Esa mengangguk, namun pria di sampingnya tidak melihat karena sejak beberapa saat lalu dia sudah memejamkan mata. "Iya, aku sendiri."
"Kemana tujuanmu?"
"Bristol. Aku akan ke sana." Gumam Esa tapi masih bisa di dengar oleh pria di sampingnya.
"Berapa usiamu? Dan apa tujuanmu datang ke Bristol?" Entah kenapa pria tersebut terus bertanya padahal matanya sudah dia tutup seolah bersiap untuk tidur.
"Tahun ini aku 15, dan aku pergi ke sana untuk sekolah."
"15 tahun?" Pria di sampingnya tampak terkejut dan membuka matanya kembali. "Yang benar saja, apa orang tuamu tidak khawatir? Membiarkan anaknya pergi jauh seorang diri."
Esa mengalihkan tatapannya yang semula lurus ke depan, kini memandang orang yang yang di sampinganya. "Ibuku
bahkan menangis semalaman." Esa terkekeh sambil teringat bagaimana ibunya yang dari kemaren terus menangisi kepergiannya."Kau bukan keturunan Jepang? Bahasa Inggris mu sangat bagus dan juga wajahmu tidak seperti orang Jepang."
(Mereka berbincang menggunakan bahasa inggris)
Esa mengangguk. "Aku sepenuhnya bukan keturunan Jepang, tapi aku lahir dan besar di Jepang." jawab Esa disertai senyuman tulus.
"Pantas saja." ucap pria itu seolah sudah tahu dengan jawaban yang Esa berikan.
Lagi-lagi Esa tersenyum. "Hanya karena besar di Jepang, tidak lantas mengubah wajahku menjadi seperti orang Jepang." sebuah kekehan pelan menyertai ucapannya.
Untuk sesaat pria yang baru saja bertatapan mata dengan Esa itu tertegun, entah bagaimana senyuman seorang anak laki-laki yang ada di hadapannya sekarang malah mengingatkannya pada seseorang yang jauh disana.
"Kau punya senyum yang indah." gumamnya tanpa sengaja.
Esa kembali tersenyum untuk kesekian kalianya. Pada dasarnya Esa memang anak yang ramah. "Terima kasih paman, kalau begitu aku ijin untuk tidur ya."
Pria di samping Esa hanya mengangguk dengan ekspresi yang sedikit bingung. Tapi tidak lama kemudian, dia juga menyusul Esa dan tertidur dengan pulas.
✿✿✿✿✿
Kakek dan nenek Esa tengah sibuk menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk menyambut sang cucu. Ini adalah kali pertama Esa akan menginjakkan kaki di rumah mereka. Sudah 5 tahun lamanya mereka tidak pernah bertemu langsung dengan cucu kesayangannya.
Sang kakek sebenarnya hanya memantau apa yang dikerjakan istri dan juga pembantu rumah tangga mereka, karena dirinya tengah sibuk juga dengan pekerjaan. Hari ini kakek Esa sengaja libur karena sang istri memintanya untuk menjemput cucu mereka.
Setelah semua persiapan selesai kakek dan nenek Esa pun berangkat menuju bandara. Dan disinilah mereka sekarang. Di ruang tunggu bandara menunggu sang cucu tiba.
Esa sendiri baru saja turun dari pesawat sekitar 5 menit yang lalu, setelah berpamitan kepada orang yang sebelumnya duduk di sampingnya, Esa pun begegas menghampiri kedua orang tua yang membawa tanda namanya. Dari kejauhan Esa dapat melihat senyum kebahagian dari wajah orang tua paruh baya yang masih terlihat cukup muda dibandingkan usianya tersebut.
"Kakek, nenek." ucapnya antusias begitu tiba dihadapan mereka.
Sang nenek yang tampak terkejut melihat cucu kesayangannya sudah berdiri tepat di hadapannya, lantas tanpa basa-basi dia memeluknya erat tanpa mengucapkan satu kata pun. Tiba-tiba sebuah isak tangis terdengar oleh kedua orang yang tengah berpelukan tersebut.
"Astaga, ini benar-benar Esa? Khesa-nya nenek? Kau benar-benar Khesa Devano sayang?" tanya Jessica disela isakan tangisnya. Kedua tangannya mengurai pelukan diantara mereka dan menyentuh kedua sisi wajah Esa lembut dan penuh kasih sayang. Tidak heran jika Jessica tampak terkejut dengan perubahan fisik Esa, bagaimanapun selama 5 tahu terakhir ini mereka hanya bisa saling melihat dari video atau foto.
Esa mengangguk cepat, menghapus air matanya dan tersenyum hangat. "Iya, ini Esa nek."
"Oh Tuhan, cucuku sudah sebesar ini. Nenek sangat rindu padamu sayang." kembali Jessica memeluk Esa.
"Ekhm." suara dekheman sang kakek membuat Jessica melepaskan pelukannya. "Selamat datang di Bristol, Khesa Devano. Tempat dimana kau akan memulai semuanya." ucap sang kakak. Dari ucapannya sepertinya kakek Esa punya maksud tersirat.
"Memulai belajar begitu maksudnya?" jawab Esa dengan sedikit tawa hambar yang langsung di balas dengan senyuman miring oleh kakeknya. Jessica menatap keduanya dengan bingung, pasalnya mereka baru bertemu setelah sekian tahun tapi terlihat seolah mereka terbiasa bertemu setiap hari.,
Daniel, kakeknya Esa merentangkan tangan dan menyambut sang cucu dalam pelukannya.
"Selamat datang, cucuku." sambut Daniel hangat.
Esa mengangguk. "Senang bertemu kakek."
"Kakek juga, tapi sebaiknya kita segera pulang sekarang. Sebelum hari semakin sore dan jalanan akan semakin macet."
"Kakekmu benar sayang. Kau nanti bisa istirahat di mobil." ucap Jessica sambil mengelus rambut hitam milik cucunya.
Esa mengangguk setuju kemudian mereka bertiga pun meninggalkan bandara dengan perasaan bahagia. Mungkin, tapi sepertinya begitu.
✿✿✿✿✿
Malam harinya setelah Esa asik bercerita dengan kakek dan neneknya dia meminta ijin untuk berjalan-jalan disekitar area sungai Avon, kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah milik kakek dan neneknya yaitu di Stratford. Kota kelahiran William Shakespeare, salah satu kota yang memang terletak di area sungai Avon.
Kakek dan neneknya pun memberi ijin karena memang Esa butuh udara segar sebelum memulai semua kegiatannya di sini, mengenal lingkungan sekitar bukan hal yang buruk untuk pendatang baru. Kalaupun nanti Esa tersesat, dia sudah besar dan bisa menggunakan perangkat elektronik untuk mencari jalan pulang. Hey, ini sudah abad ke-21 segala kemudahan sudah ada digenggaman tanganmu.
Lagi-lagi Esa melamun, sepertinya ingatannya selalu membawa dia pada cerita sang ibu, dan melamun sudah seperti kegiatan baru untuknya.
Sebuah helaan nafas panjang pun menjadi temannya malam ini. Tangannya sedikit mengepal. "Harusnya aku tidak pernah bertanya," gumam Esa penuh sesal. Benar, Esa sangat menyesali keingintahuannya terhadap masa lalu sang ibu yang justru memberinya luka baru tak kasat mata. Luka yang sebelumnya tidak pernah ada, tapi kini justru membuatnya perih setiap kali mengais udara. Esa merasa bersalah sekaligus iba terhadap ibunya.
Kesal, marah, dan berbagai emosi lainnya turut anak itu asakan saat melihat Anna harus meneteskan air mata karena seorang pria bajingan yang seharusnya dia panggil papa. Esa tidak tahu seperti apa rupa ayahnya tapi kebenciannya sudah sangat besar. Dia tidak pernah tahu jika dirinya adalah anak dari seorang pria pendosa.
"Jika kau berniat bunuh diri, segeralah lompat. Jika tidak kau sebaiknya pulang atau kau akan mati kedinginan." ucapan seseorang menyadarkan Esa dari lamunannya.
Esa melirik kesamping tempat sumber suara itu berasal, matanya sedikit mengernyit.
"Kau terlihat frustasi." ucapnya lagi. Tanpa memperhatikan ekspresi bingung di wajah Esa.
"Kau berbicara denganku?" Tanya Esa pada akhirnya setelah menyadari jika disana tidak ada orang lain selain dirinya.
"Aku yakin kau tidak buta." jawabnya sarkas.
"Aku? Tentu saja tidak." jawab Esa sambil memutar bola matanya malas. Menurutnya perempuan disampinya ini terlalu kasar dan sok kenal.
"Tidak apa? Tidak frustasi atau tidak buta?" perempuan itu tersenyum meremehkan.
"Tentu saja tidak keduanya." sangkal Esa dengan cepat.
"Jika kau tidak berniat bunuh diri, seharusnya kau tidak keluar malam-malam hanya dengan menggunakan kaos tipis dan celana pendek." sindir perempuan tersebut saat ekor matanya melirik pakaian yang Esa gunakan.
"Aku tidak tahu Bristol akan sedingin ini." Esa merapatkan tubuhnya begitu merasakan angin yang menusuk kulitnya. Perempuan di sampingnya memang sangat menyebalkan tapi perkataannya benar, dia bisa mati jika terus berada di sini karena kedinginan. Salahkan saja dirinya yang hanya menggunakan kaos pendek yang kebesaran dan celana yang hanya sebatas lutut.
"Kau pendatang baru rupanya. Dan sepertinya kau kemari untuk melarikan diri." gumaman sekaligus sindiran yang masih bisa Esa dengar dengan jelas.
Esa berniat membalas ucapan perempuan disampingnya tapi sebuah suara menginterupsinya.
"Maaf nona muda, sebaiknya anda kembali sekarang. Tuan besar sudah meminta anda untuk segera pulang." ucap seorang pria paruh baya yang jika dilihat dari penampilannya dia adalah seorang supir pribadi.
Perempuan di samping Esa pun mengangguk. "Ini." Dia menyodorkan jaket miliknya. "Gunakan jaket ini jika kau masih ingin disini. Tapi aku sarankan sebaiknya kau juga segera pulang." Perempuan tersebut menyerahkan jaket yang sebelumnya dia gunakan kepada Esa.
Esa menatapnya bingung sekaligus terkejut dengan tindakan perempuan tersebut. Perempuan menyebalkan itu ternyata memiliki sisi perhatian.
"Ini tidak perlu. Aku tidak apa-apa." tolak Esa halus dan kembali menyodorkan jaket tersebut kepada pemiliknya.
"Jangan keras kepala." kata perempuan tersebut sedikit kesal. "Aku hanya berjaga-jaga jika besok ditemukan mayat disini, aku tidak akan repot-repot diselidiki karena aku adalah orang yang terakhir terlihat bersamamu."
Esa mendesah pelan, meski sedikit kesal dan bingung dia akhirnya menerima jaket tersebut. Esa meyakini jika perempuan yang baru saja dia temui ini adalah seorang yang keras kepala, kasar, dan pemaksa. Jelas sekali jika dia adalah gambaran seorang amat konglomerat.
"Terima kasih. Tapi bagaimana aku bisa mengembalikannya?" tanya Esa.
"Jika kita bertemu lagi kau bisa mengembalikannya. Jika tidak, maka itu menjadi milikmu." Jawabnya dengan senyuman tipis. Senyuman yang untuk pertama kalinya Esa lihat dari wajah dingin dan datar di hadapannya.
Seolah terhipnotis dengan senyuman tersebut, Esa juga ikut tersenyum dan mengangguk. "Semoga kita bertemu lagi."
Setelahnya mereka berdua sama-sama pulang. Perempuan tadi pulang bersama supirnya, sementara Esa berjalan kaki menuju rumah neneknya dengan menggunakan jaket yang diberikan perempuan tadi.
Sepanjang perjalanan, Esa hanya berjalan lurus tanpa minat. "Sepertinya jalanku disini tidak akan mudah, orang Bristol benar-benar menyebalkan." sepertinya Esa lupa jika dirinya juga murni keturunan Bristol.
*
*
*
- T B C -
Nhana
Pagi-pagi sekali Dara sudah menggerutu di toilet, pasalnya baju olahraga yang dia tinggalkan di loker tiba-tiba sudah basah dan bau amis, padahal baju tersebut pagi ini akan dia gunakan untuk mengikuti pelajaran olahraga. Jelas sekali kalau ini adalah perbuatan jahil dari orang lain.Satu hal yang tidak orang-orang ketahui, Dara selama ini tidak seceria dan sebahagia yang terlihat. Dia mungkin sangat bahagia karena di sayangi oleh orang tuanya dan juga keluarganya yang sangat kaya. Tapi, tidak semua orang di sekolahnya menerima dia dengan baik. Diam-diam selalu ada yang merundung nya meski secara tidak langsung."Tampaknya kebencian orang-orang sudah semakin dalam." sindir seorang anak perempuan yang baru saja masuk kedalam toilet dan melihat apa yang tengah Dara lakukan."Bukan urusanmu." jaw
Sudah 15 tahun Anna tidak pernah menginjakan kaki di sini, di tempat kelahirannya, Bristol, Inggris. Terakhir kali dia berada di sini, tepat sebulan setelah dirinya tahu sedang mengndung Khesa.Anna menatap sekeliling bandara, sebuah senyuman samar menghiasi wajah manisnya. "Benar-benar sudah berubah banyak ya." gumamnya pelan.Anna menyeret koper yang di bawanya dan masuk kedalam taksi yang sudah dipesankan oleh kedua orang tuanya. Niatnya untuk tidur sepanjang perjalanan terganggu begitu ingatan masa lalu mengambil alih pemikirannya.*Flashback"By, mau tahu satu rahasia?" tanya Anna yang sedang tidur di paha suaminya. By adalah panggilan sayang yang Anna berikan untuk suaminya."Apa itu?" tanya Dareen yang masih sibuk dengan buku bacaannya. "Aku mencintaimu, sangat." Anna terkekeh sendiri dengan kerecehannya."Ck, aku tahu." jawab Dareen acuh. "Kau tidak asik by." Anna memanyun
Dan disini lah mereka sekarang. Di sebuah restoran mewah yang terletak di sebrang hotel milik Dareen. Tidak hanya mereka berempat, kini Raiden juga sudah ikut bergabung bersama."Sa, kenapa makanannya hanya kau pandangi saja? " Tanya Edwin yang sadar sejak tadi Esa tidak kunjung makan."Em, itu. Sebenarnya aku tidak suka bawang. " Jawab Esa ragu. Dia takut akan menyinggung orang yang sudah memberinya makanan tersebut.Mendengar jawaban Esa, Dareen sedikit melirik pada anak itu. "Kau bisa pesan yang lain. " Ucapnya tenang."Wahh Esa seperti daddy, dia juga sangat membenci bawang. " Ledek Dara pada ayahnya."Kalau begitu biar paman pesan kan yang lain, Esa kau mau apa? " Tanya Edwin begitu perhatian. Edwin memang seperti itu, sangat lembut dan penuh kasih sayang pada semua orang."Pesan yang sama saja, tapi tanpa bawang paman. " Jawab Esa yang merasa tidak enak karena sudah merepotkan Edwin. Hari ini, dia terlalu banyak merasa t
Semenjak mengetahui kebenaran tentang Khesa dari Hana, diam-diam Edwin selalu memperhatikan anak itu. Dan melalui bantuan Hana pula, Edwin juga sudah membuktikan jika Esa adalah anaknya Anna. Bahkan ia sudah melakukan tes DNA terhadap Esa dan Dareen yang hasilnya 99% positif."Jika Hana tidak menutup-nutupi keberadaan mereka, pasti sejak dulu aku dan Dareen sudah menemukannya dan pekerjaanku akan menjadi sangat mudah. " Keluh Edwin yang masih setia pada posisinya memandangi foto seorang perempuan manis yang tengah menggendong seorang anak laki-laki kira-kira berusia dua tahun."Sekarang, meski aku sudah tahu semuanya. Aku justru tidak yakin akan memberi tahu Dareen atau tidak, mengingat bagaimana Hana sangat apik dalam menyembunyikan mereka, itu berarti Anna memang tidak ingin keberadaannya diketahui. " Gumam Edwin kepada dirinya sendiri.Dareen tiba-tiba masuk kedalam ruangan Edwin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, hal itu membuat Edwin dengan buru-buru men
Tubuh Anna menegang begitu matanya menatap lurus objek yang sedang duduk dihadapannya. Mata mereka bertemu, mencari-cari sebuah jawaban dari rasa penasaran yang tiba-tiba melingkupi. Sepercik amarah iba-tiba menyala di mata biru Anna, sedangkan lawannya menyipit seolah mencari kejelasan melalui indranya.Sedetik kemudian Anna segera memutus kontak mata tersebut kemudian beralih kepada sang guru. "Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi disini? Aku sepenuhnya yakin jika anakku hanya korban. " Tanya Anna yang tidak terima karena anaknya menjadi satu-satunya yang mendapat luka."Papa. " Ucap Esa berniat menghentikan ibunya. Esa tahu ibunya akan susah diajak berdamai jika sudah menyangkut keselamtannya.Wenda mendengus pelan. "Berlebihan sekali. "Anna memutar bola matanya jengah. Ucapan Wenda yang terdengar di telinganya sedikit membuat emosinya meningkat. Kate yang mencium aroma keributan lanjutan menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya.
BRAKSebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut."Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa."Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut."Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda."Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya."Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. "
Anna tidak mengurungkan diri untuk mengantarkan berkas tersebut kepada pemilik hotel Produce tersebut. Beruntung dia lebih dulu bertemu dengan Edwin dan mengetahui tentang semuanya dari sepupunya itu. Edwin juga yang membantu Anna agar berkas yang dia bawa sampai ke tangan Dareen tanpa harus bertatapan langsung dengannya.Tapi keberuntungan Anna hanya sebatas itu. Setelahnya dia mendapati Esa tengah menikmati waktu istirahat dengan bercanda gurau bersama Dara di ruang rapat yang kosong. Dara bahkan sesekali terlihat memasukkan snack kedalam mulut Esa, meski Esa terus berusaha menolaknya.Anna geram, sangat. Pasalnya dia sudah menyuruh Esa maupun Dara untuk tidak berdekatan, tapi ternyata mereka mengabaikan itu. Kekesalannya bertambah saat Anna mendapat informasi jika Esa kembali dikucilkan akibat rumor tentang asal-usulnya. Dan dari pengakuan Esa, dia hanya menceritakannya pada Dara.Dengan langkah cepat Anna memasuki ruangan tersebut yang memang pintunya terbuka.
PLAKSatu buah tamparan yang sangat keras berhasil Wendy layangkan di pipi mulus putranya. Emosinya kini sudah berada pada puncaknya. Setelah mendengar informasi tentang keributan yang terjadi di kantor Dareen, Wendy bergegas menemui putranya.Dan disinilah mereka sekarang, di ruangan Daeen yang kedap suara bersama Wenda dan juga Dara. Keadaan mereka tampak kacau, tak ada satupun dari mereka berempat yang baik-baik saja. Terutama Dareen. Dareen masih tampak linglung, dia belum sepenuhnya menerima jika yang baru saja terjadi adalah sebuah kenyataan bukan mimpi apalagi halusinasi.
Brenda membolak-balikan kertas yang ada di tangannya untuk membaca secara berulang kali informasi yang tertulis diatasnya. Sudah hampir satu jam Brenda bertahan dengan posisi tersebut dan mengabaikan lawan bicaranya yang duduk bersebrangan dengannya di sofa. Kerutan di kening Brenda tidak hilang sama sekali sejak pertama ia membaca kertas tersebut sampai akhirnya sebuah desahan keras terdengar. "Oke, cukup! Aku rasa aku tidak akan pernah mengerti meski aku baca sampai kertas ini robek sekalipun." Brenda menjatuhkan tubuhnya dan memijat keningnya yang mulai pusing. "Lalu apa yang akan dr. lakukan sekarang?" tanya lawan bicara Brenda yang masih duduk anteng dan memaklumi rasa frustasi yang di perlihatkan oleh seniornya itu.
Wenda menatap punggung Raiden yang sedang membuat sarapan. Tatapan matanya begitu fokus seolah ada sesuatu yang menarik dari punggung lebar milik suami nya itu. Ekspresi Wenda pun berubah-ubah, terkadang dia terlihat bahagia, namun sesaat kemudian berubah menjadi kecewa, sedih, dingin bahkan tidak terbaca sama sekali. Sudah 2 minggu Wenda dan Raiden kembali tinggal bersama. Kondisi kejiwaan Wenda juga mulai stabil, setidaknya dirinya tidak pernah lagi mencoba untuk bunuh diri. Tapi walaupun begitu hubungan mereka tidak membaik seperti yang diharapakan karena Raiden tidak pernah benar-benar menganggap keberadaan Wenda meski mereka tinggal bersama. "Makanlah," ujar Raiden dingin saat menyodorkan sepiring sandwich dihadapan Wenda. Wenda
Dona menatap lekat sebuah album foto yang dia temukan di ruang baca milik keluarga Tucker. Tatapannya begitu fokus saat lembar demi lembar dia buka secara perlahan. Namun semakin lama, semakin banyak lembaran yang terbuka, ekspresi wajahnya justru semakin tidak terbaca. Ada kerutan di keningnya yang menandakan sebuah kebingungan. "Kak Dareen?" gumamnya penuh tanya. "Tapi kenapa fotonya di simpan di akhir, tidak berurutan seperti yang sebelumnya?" Dona mengambil salah satu foto yang tersimpan di bagian akhir album. Album foto yang sedang Dona lihat adalah album yang berisi foto-foto masa kecil Dareen. Mulai dari foto bayi hingga foto saat Dareen memasuki sekolah dasar. Semua tersusun dengan rapi dan berurutan di dalam album tersebut. Tapi ada satu foto ya
Edwin membolak-balik berkas-berkas yang akan dia gunakan untuk menuntut Wenda. Sudah berhari-hari dirinya disibukkan dengan hal yang sama, tapi tidak sedikitpun dia merasa lelah atau putus asa. Wenda memang masih dalam perawatan medis akibat depresi berat, tapi Edwin akan tetap memastikan perempuan tersebut masuk kedalam penjara dan menerima semua balasan dari perbuatannya. "Hah, aku benar-benar tidak mengerti," desah Edwin pelan. "Kali ini apa?" tanya Hanna yang setia mendampingi suaminya di ruang kerja. "Zayn Boseman dan Richard Clay.""Bukankah sudah jelas kenapa mereka saling serang, lalu bagian mana yang membuatmu ma
Dona keluar dari rumah sakit dengan wajah lelah. Sudah beberapa hari ini dia memiliki banyak jadwal operasi. Selain itu, dirinya juga disibukkan dengan pemikiran tentang Jesfer, Jeffrey dan kabar Jeno yang masih abu-abu.Hari ini Dona meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena ingin mencari informasi tentang keberadaan Ten, sahabatnya dan satu-satunya orang yang ingin dia mintai penjelasan.Sebelum pergi menuju tempat parkiran mobil, Dona memilih untuk membeli minuman kaleng dan meneguk nya dengan kasar di bangku yang tidak jauh dari parkiran.Dona mendesah kasar begitu cairan tersebut melewati tenggorokannya. "Aku benar-benar bisa gila," desisnya pelan sambil meremat kaleng yang tidak berdosa tersebut hingga tidak berbentuk lagi dan membuangnya asal."Kenapa mereka mempermainkan ku? Siapa yang harus aku percaya sekarang?!" tanyanya pada dirinya sendiri."Maaf tante, ini sampahnya," seor
Ten berlari bagai orang kesetanan. Semua mata para penjaga rumahnya menatap bingung kearah majikannya yang tiba-tiba saja masuk rumah dengan terus berteriak."Mark!" panggil Ten dengan panik."Mark!" lagi Ten memanggil nama putranya.Para maid yang sedang bekerja pun segera menuju sumber suara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi."Dimana Mark?" tanya Ten masih dengan nada panik."Mohon maaf nyonya, tuan muda Mark tidak berada di rumah," jawab salah satu Maid yang menunduk takut."What? Lalu dimana Mark? Siapa yang mengijinkan dia keluar?"emosi Ten seketika naik."Maaf nyonya, sepertinya tuan besar Track yang mengijinkan.""Ten, ada apa?" Track keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri Ten yang tengah menatap para maid nya dengan tajam."Mana anakku?" desis Ten tajam.
Dareen mengerang frustasi saat menyaksikan layar laptop yang berada di meja sofa ruang rawat kamar Anna. Bagaimana tidak, di depannya sekarang tengah ada adegan live putra kesayangannya tengah berciuman dengan mesra di atas tempat tidur rumah sakit.Ya, dikamar Esa ada CCTV yang terhubung ke laptop yang sengaja dia letakkan dikamar Anna agar memudahkan Dareen untuk mengawasi keduanya sekaligus.Anna yang juga ikut menyaksikan adegan tersebut hanya bisa meringis. Bagaimanapun dirinyalah yang memberi ijin kepada Jenny untuk menemui Esa, dan sekarang dia harus mendengarkan omelan suaminya.Anna sendiri tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi dia bahkan masih tidak percaya jika putranya mampu melakukan hal berani seperti itu, oh Anna sepertinya lupa jika Esa dan Jenny pernah melakukan hal yang lebih berani dari pada itu.
Anna menatap kedua putranya dengan gemas. Sampai saat ini dia masih belum sepenuhnya percaya bahwa dirinya telah melahirkan dua orang bayi yang sangat menggemaskan ini dengan keadaan sehat dan sempurna tanpa kekurangan sesuatu apapun. Meski mereka lahir prematur, dan terkesan lahir karena 'paksaan' tapi beruntung keduanya bayi beserta ibunya sehat.Anna tersenyum lembut saat melihat salah satu putranya masih terjaga. Sepertinya Subin senang bertemu dengan ibunya sehingga dia memilih untuk tetap membuka mata setelah kenyang menyusu. Sementara Yuvin sedang tidur dengan nyenyak. "Subin kenapa belum bobo hm?" tanya Anna dengan gemas saat putranya begitu intens menatap kearahnya.Subin dan Yuvin masih dalam perawatan sehingga Anna hanya bisa menjenguk mereka sesekali saat akan menyusui saja selebihnya dia harus bersabar karena hanya mampu melihat kedua putranya melalui layar kaca."Apa Su
Dareen menatap Esa yang tengah tertidur pulas setelah meminum obatnya. Ada gurat kesedihan yang tampak jelas di wajah tampan pria yang baru saja siuman dari pingsan itu.Satu jam yang lalu Dareen siuman, begitu dia bangun hal pertama yang dia tanyakan adalah keadaan istri dan anak-anaknya terutama Esa yang belum sempat dia temui sama sekali.Lama menatap Esa dalam diam, Dareen kembali mendesah pelan untuk kesekian kalinya. Pembicaraannya dengan Henry beberapa waktu lalu membuatnya frustasi. Esa harus segera di operasi, tapi permasalahannya siapa yang akan menjadi donor untuk putranya itu. Saat ini satu-satunya orang yang belum melakukan pemeriksaan hanya Anna.Sebagai ibu kandung Esa, Anna memiliki persentase kecocokan yang lebih besar dengan Esa, tapi Dareen tidak mau berharap terlebih Anna baru saja melahirkan dan kondisinya sekarang bahkan masih belum sadar