BRAK
Sebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.
Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut.
"Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa.
"Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut.
"Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda.
"Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya.
"Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. " Wenda mengepalkan tangannya marah.
"Fakta. " Celetuk Raiden yang tentu saja membuat Wenda semakin geram.
"Memangnya siapa lagi yang mengatakan itu? " Tanya Dareen masih dengan posisi yang sama.
Wenda mencengkram ujung drees yang dia kenakan untuk menyalurkan emosi dan juga kekesalannya. "Siapa lagi yang selalu membuatku kesal kalau bukan ibumu. " Sindir Wendi dengan tatapan tajam yang mengarah kepada Dareen.
"Ibu? Kau bertemu dengannya? " Kali ini Dareen bertanya dengan tatapan mata yang mengarah kepada Wenda seolah penasaran. "Dimana? " Tanyanya serius.
"Dia datang ke sekolah. "
Dareen mengernyit. "Untuk apa? Ada masalah? " Dareen mulai penasaran. Pasalnya jika ibunya sudah mulai turun tangan, sudah pasti ada sesuatu yang tidak benar.
"Dara kembali membuat masalah, dia bertengkar dengan Minie. " Jawab Wenda yang sudah mulai lebih tenang.
"Lagi? " Kali ini Raiden yang bertanya. "Gen-mu terlalu dominan pada Dara. " Kekeh Raiden dan langsung mendapat pukulan di kepalanya. Wenda sedang tidak dalam mood yang bagus untuk diajak bercanda.
"Aku bilang diam Raii. Sekali lagi kau bicara maka aku akan membiarkanmu tidur diluar selama seminggu. " Ancam Wenda yang membuat Raiden seketika bungkam.
"Bukankah itu sudah biasa, mereka bertengkar karena hal yang sama kan? Lalu kenapa ibu bisa sampai ke sana? "
"Ada korban yang terluka akibat pertengkaran mereka. " Jelas Wenda.
Raiden sedikit terkejut, namun tidak merubah ekspresi wajahnya. "Siapa? Apa Dara terluka? " Terdengar nada khawatir dari pertanyaan Dareen.
Wenda menggeleng. "Yang terluka bukan mereka berdua, tapi orang lain. Dan demi Tuhan Dar, ayahnya anak itu lebih menyebalkan daripada ibumu. Mulutnya benar-benar seperti perempuan dan minta di jahit. Untung saja dia laki-laki, jika tidak aku benar-benar akan menjambak rambutnya dan mencakar wajahnya yang angkuh. Beruntung anaknya baik dan memaafkan Dara. " Desah Wenda diakhir kalimatnya.
"Apa yang ibu lakukan di sana, dan dimana Dara sekarang? " Jika sudah menyangkut Dara, Dareen tidak lagi bisa bersikap acuh.
"Dia datang dan mengeluarkan kata-kata menusuk padaku dan Dara seperti biasa. Namun yang membuatku lebih kesal, dia memuji anak yang terluka itu berserta ayahnya seolah-olah mereka adalah seorang kenalan. " Wenda memijat pelipisnya, segala sesuatu tentang ibunya Dareen selalu membuatnya pusing. Diam-diam dia mensyukuri tidak pernah menjadi menantu seorang Wendy Tucker. "Dara ada bersamanya. "
Mungkin kalian bingung kenapa Wenda tidak pernah menjadi menantu Wendy, karena memang mereka tidak pernah menikah. Dareen dan Wenda hanya memiliki Dara tapi bukan rumah tangga.
Dareen diam dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Memangnya siapa mereka? " Dareen penasaran, karena ibunya tidak akan bersikap baik pada sesuatu atau seseorang yang tidak menguntungkan atau sesuatu yang disayanginya. Wendy Tucker tidak pernah tertarik pada orang lain. Dan orang yang di sayanginya sekarang hanya dirinya, bahkan Dara pun masih sering kena sindir akibat ketidaksukaan nya pada Wenda.
"Kalau tidak salah namanya Esa. Aku tidak tahu siapa nama lengkapnya dan nama ayahnya. Yang jelas sepertinya dia orang Jepang. " Wenda menghela nafas berat untuk kesekian kalinya. "Tapi sesuatu sangat menggangguku, aku merasa tidak asing dengan pria itu namun seberapa keras pun aku berpikir, aku tetap tidak bisa mengingatnya. Tatapan matanya, aku seperti pernah mendapatkan tatapan itu. " Lanjut Wenda.
"Tatapan seperti apa yang kau dapatkan darinya? " Edwin yang baru saja bergabung dengan mereka langsung bertanya pada Wenda. Dareen dan Raiden melirik Edwin sekilas. Mereka sedikit terkejut karena Edwin datang dengan tiba-tiba.
"Entahlah. Sesuatu seperti kecewa? Luka? Amarah yang sangat besar? Atau mungkin dendam. Aku tidak tahu dia sampai seperti itu hanya karena anaknya terluka sedikit. " Jawab Wenda acuh.
"Bukan karena Esa terluka, tapi karena dia yang sangat terluka olehmu. Dan sekarang aku yakin, dia bukan Na Yuta seperti yang orang lain kenal. Dia-------------------------
------adik sepupu manis ku yang selalu merengek meminta di peluk. Batin Edwin.
Dareen masih terdiam, sesuatu tentang Esa selalu berhasil mengganggunya. Dan lagi sekarang, bukan hanya dia tapi semua orang yang di kenalnya juga merasakan hal yang sama.
"Aku pergi lagi sekarang. " Ucap Edwin yang langsung pergi lagi tanpa sempat duduk sama sekali.
"Ada dengannya, akhir-akhir ini dia selalu sibuk sendiri. " Gerutu Raiden.
"Pulanglah dulu Wen, aku yang akan menjemput Dara. " Ucap Dareen dengan ekspresi tidak terbaca.
"Hah, tidak bisakah kalian semua beranjak dari masa lalu? Aku bosan terlibat dalam lingkaran hubungan tak berujung ini. " Setelah mengatakan itu, Raiden pun beranjak dari ruangan Dareen.
"Entah kenapa aku merasa sesuatu akan terjadi. A-aku, takut dia kembali. " Wenda bergumam pelan dan kemudian menyusul Raiden pergi.
Dareen menatap datar jendela kantornya. Sesuatu dalam ingatannya memaksanya terus memikirkan dia. Hatinya seolah diremas kuat, bagaimana bisa dia seceroboh itu hingga tidur dengan orang lain dan berujung kehilangan istrinya, orang yang sangat dicintainya.
✿✿✿✿✿
Setelah beberapa hari kejadian tersebut, Esa kembali ke sekolah. Tatapan semua orang mengarah padanya, dan bisikan anak-anak lain mulai terdengar di telinganya.
Esa menghela nafas. Ini bukan kali pertama dia mendapatkan tatapan dan perkataan yang buruk ditujukan padanya. Sebelumnya dia juga sudah sering di perlakukan demikian. Namun Esa tidak menyangka jika orang-orang disini akan mengetahui kalau dirinya tidak punya ayah. Bahkan ini hanya terhitung 2 minggu setelah ia tiba di Bristol.
Seseorang baru saja berdiri di belakangnya dan menutup kedua telinga Esa dengan kedua telapak tangannya dan menyeretnya untuk pergi. Esa yang semula hendak berontak, mengurungkan niatnya begitu mengetahui siapa sang pelaku.
Dengan langkah tergesa, mereka berdua menaiki tangga menuju atap sekolah. Begitu sampai di atap, Esa segera melepaskan tangan sang pelaku dari telinganya.
"Kenapa kau membawaku kemari? " Tanya Esa begitu mereka bertatapan.
"Kurasa sebaiknya kau di sini dulu. "
"Kau mengkhawatirkan ku? " Tanya Esa lagi, kali ini disertai senyuman miring. "Tenanglah, aku sudah terbiasa dengan ini Jenny. Hal seperti ini tidak akan pernah menggangguku sam sekali. "
"Terbiasa? " Tanya Jenny sedikit tidak percaya. Kedua alisnya tertaut ke atas.
Esa mengangguk sekilas. "Di Jepang pun mereka selalu mengatakan hal yang sama. " Esa berjalan kearah kursi panjang yang berada dipojok atap, kemudian mendudukkan dirinya senyaman mungkin. "Aku tidak pernah punya teman. Karena setelah mereka tahu siapa aku, mereka akan menjauhiku. " Sebuah senyuman terukir di wajah Esa, seolah yang dia katakan barusan tidak bermakna apa-apa.
Jenny memandang Esa dengan intens dari tempatnya berdiri yang hanya beberapa senti dari tempat duduk Esa. Dia tahu, senyuman Esa kali ini terkesan di paksakan.
"Kau juga mungkin sama. " Lanjut Esa.
Jenny mengernyitkan alisnya. "Kenapa begitu? "
Esa menatap Jenny sekilas, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ah maaf, kita bukan teman ya. "
"Aku bilang kenapa aku harus menjauhi mu? " Ada nada tidak suka dari ucapannya Jenny. Entah kenapa mendengar Esa mengatakan hal seperti itu membuatnya tiba-tiba ingin marah.
"Bukankah itu sudah seharusnya? Yang lain juga begitu. Apalagi orang kaya dan terhormat sepertimu. " Dengus Esa dengan tatapan yang masih mengarah pada Jenny.
"Itukan mereka. Jangan samakan aku dengan yang lain. " Desis Jenny tak suka.
"Kenapa? "
"Karena aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Apalagi karena hal seperti itu. " Jenny kemudian memalingkan wajahnya, mendadak pipinya terasa panas setelah mengatakan kalimat tersebut. Entah mendapat keberanian dari mana, yang jelas sekarang Jenny menyesali perkataannya.
Esa tertawa pelan. "Kau terdengar seperti seorang kekasih yang sedang menenangkan pacarnya. "
Jenny refleks berbalik begitu mendengar perkataan Esa, jantungnya seolah berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan sialnya, setelah dirinya berbalik Esa malah mengedipkan sebelah matanya dengan sengaja.
"Jangan bertingkah seperti itu. " Jenny memperingakan Esa. Bukan karena dia tidak suka, justru karena jantungnya tidak bisa diajak kerja sama.
"Ck, kau ini serius sekali nona muda. " Ledek Esa begitu mendapati wajah Jenny yang kembali serius. "Ayo kita kembali ke kelas. " Ajak Esa sambil meraih pergelangan tangan Jenny.
"Sebentar. " Jenny menahan Esa. "Aku ingin bertanya, apakah kau mengatakan sesuatu tentang kehidupanmu kepada seseorang? " Jenny bertanya dengan wajah yang sangat serius.
Esa tampak berpikir. "Emm, ku rasa tidak. Aku hanya pernah mengobrol beberapa kali dengan Dara. "
"Dara? "
Esa mengangguk. "Ya, kenapa? "
"Kau yakin bukan Dara yang memberitahu anak-anak tentangmu? "
"Hey itu tidak mungkin. Dara anak yang baik, dia tidak akan melakukan hal seperti itu kepada temannya. " Esa mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Jenny.
"Kau tidak kenal denganya. Dan kenapa akhir-akhir ini kau dekat sekali dengannya, kalian bahkan selalu menempel baik di sekolah maupun di tempat PKL. " Dengus Jenny sedikit kesal.
"Aku dan dia kan berteman, jadi wajar kalau kami selalu bersama. Dan hey, siapa bilang aku selalu menempel padanya. Buktinya sekarang aku disini, bersamamu. " Esa merotasi kan kedua bola matanya. Menurutnya Jenny hari ini sedikit berlebihan.
Jenny menghela nafas. "Terserah. Kau keras kepala. "
"Jenny, jangan membenci Dara. Dia mungkin sedikit cerewet dan manja, tapi dia baik. Dia hanya seorang anak yang butuh perlindungan. " Esa tersenyum dan mengeratkan pegangan tangannya kepada Jenny. "Kau sebaiknya akur dengan dia, jadi ketika aku kembali nanti kalian bisa berteman. "
"Dari pengelihatanku, sepertinya kau lebih butuh perlindungan dari pada melindungi. " Jenny kemudian menarik tangan Esa untuk segera pergi dari atap.
✿✿✿✿✿
Anna baru saja melangkahkan kaki memasuki sebuah gedung perkantoran. Hari ini dia mendapat pekerjaan untuk mengantarkan sebuah berkas ke salah satu hotel bintang lima. Sebenarnya sang ayah tidak memintanya untuk pergi, hanya saja begitu Anna melihat nama perusahaan tersebut dia memaksa Daniel untuk menyerahkan pekerjaan itu padanya. Dan di sinilah dia sekarang, di hotel Produce tempat putranya PKL. Anna begitu antusias, karena dia akan bertemu anaknya dan sekalian makan malam bersama. Namun Anna tidak pernah tahu jika disini, dia juga akan bertemu dengan seseorang yang di kenalnya.
Deg
Bahu Anna menegang, tubuhnya mendadak begitu lemas dan dia hampir saja kehilangan keseimbangan, jika saja laki-laki di hadapannya tidak refleks memegang pinggang Anna.
Laki-laki tersebut menatap Anna dengan sangat dalam tanpa berniat melepaskan Anna sama sekali. Sadar akan keterkejutannya, Anna segera melepaskan diri dari laki-laki tersebut.
"M-maaf, aku hanya tiba-tiba pusing. " Anna berbohong untuk menutupi keterkejutannya.
Laki-laki tersebut tidak merespon. Dia justru menarik tangan Anna. "Ikut aku sekarang. " Tanpa menerima persetujuan, dia menyeret Anna masuk kedalam sebuah ruangan.
"Apa yang kau lakukan! " Teriak Anna begitu laki-laki tersebut melepaskannya.
Bukannya menjawab, laki-laki tersebut justru kembali membuat Anna terkejut, kali ini dia memeluknya.
"Le-lepaskan sialan. " Teriak Anna. Dia berontak dalam dekapan orang tersebut.
"Tetap seperti ini, sebentar saja. " Suaranya melemah ada nada kesedihan yang Anna tangkap dari kalimat tersebut. Namun hal itu tidak cukup untuk membuat Anna diam.
"A-aku bilang lepaskan. " Anna kembali berontak. Namun pelukannya justru semakin kuat.
"Bukankah kau sangat suka di peluk Na? Katamu, pelukanku hangat. " Jawabnya dengan lirih.
Anna mematung, kalimat itu adalah kalimat yang selalu dia ucapkan seseorang padanya.
"K-kak." Lirihnya pelan. Hampir saja Anna menjatuhkan air matanya.
"Aku merindukanmu Anna. Aku sangat merindukanmu Joanna Micelle. "
Luruh sudah semua pertahanan Anna, laki-laki yang memeluknya ternyata mengetahui siapa dirinya meski dalam penampilan seorang pria sekalipun.
"Aku juga kak Edwin. " Anna dan Edwin semakin mengeratkan pelukan mereka. Tangis keduanya pun sudah pecah. Mereka melepas rindu dengan berbagi tangis bersama.
Setelah merasa cukup, mereka melepaskan pelukan satu sama lain. "Kak bagaimana bisa kau ada di sini? Oh itu tidak penting, yang paling penting bagaimana bisa kau tahu aku adalah Anna? " Anna menatap Edwin dengan horor.
Edwin terkekeh. "Kau lupa apa pekerjaanku? Dan Hana yang membantuku mengenalimu. "
Mata Anna memicing tajam. "Kau serius? Hana tidak tahu kalau aku seperti ini. " Ucap Anna tak percaya.
"Kau benar. Tapi berkat petunjuknya dan juga Esa, aku bisa mengetahui tentang kalian. " Jelas Edwin.
"Kau mengenal Esa? "
Edwin mengangguk. "Aku duduk dengannya di pesawat. Dan ya takdir membiarkanku bertemu lagi dengannya disini. "
"Kau sedang apa disini kak? " Tanya Anna penasaran.
"Justru aku yang seharusnya bertanya. Kau yang sedang apa? Apa kau akan mengunjungi Esa? " Tanya Edwin yang tidak kalah penasaran.
"Aku sebenarnya datang karena urusan pekerjaan. " Anna mengacungkan map yang dia bawa. "Dan yah sekalian bertemu dengan Esa juga.
"Kau yakin akan mengantarkan itu? " Kembali Edwin bertanya.
Dahi Anna mengernyit. "Kenapa? "
"Jangan bilang kau tidak tahu hotel ini milik siapa. " Edwin memicingkan matanya
"Memangnya milik siapa? " Tanya Anna acuh.
"Jika kau keatas sekarang, maka kau akan bertemu dengannya. Dan kau akan tahu perusahaan ini milik siapa. " Jelas Edwin. Namun Anna seolah tidak tertarik dengan penjelasan tersebut.
"Memangnya dia siapa? Kurasa siapapun dia aku tidak tidak peduli. "
"Ayahnya Esa. " Jawab Edwin dengan cepat.
*
*
*
- T B C -
With Love : Nhana
Anna tidak mengurungkan diri untuk mengantarkan berkas tersebut kepada pemilik hotel Produce tersebut. Beruntung dia lebih dulu bertemu dengan Edwin dan mengetahui tentang semuanya dari sepupunya itu. Edwin juga yang membantu Anna agar berkas yang dia bawa sampai ke tangan Dareen tanpa harus bertatapan langsung dengannya.Tapi keberuntungan Anna hanya sebatas itu. Setelahnya dia mendapati Esa tengah menikmati waktu istirahat dengan bercanda gurau bersama Dara di ruang rapat yang kosong. Dara bahkan sesekali terlihat memasukkan snack kedalam mulut Esa, meski Esa terus berusaha menolaknya.Anna geram, sangat. Pasalnya dia sudah menyuruh Esa maupun Dara untuk tidak berdekatan, tapi ternyata mereka mengabaikan itu. Kekesalannya bertambah saat Anna mendapat informasi jika Esa kembali dikucilkan akibat rumor tentang asal-usulnya. Dan dari pengakuan Esa, dia hanya menceritakannya pada Dara.Dengan langkah cepat Anna memasuki ruangan tersebut yang memang pintunya terbuka.
PLAKSatu buah tamparan yang sangat keras berhasil Wendy layangkan di pipi mulus putranya. Emosinya kini sudah berada pada puncaknya. Setelah mendengar informasi tentang keributan yang terjadi di kantor Dareen, Wendy bergegas menemui putranya.Dan disinilah mereka sekarang, di ruangan Daeen yang kedap suara bersama Wenda dan juga Dara. Keadaan mereka tampak kacau, tak ada satupun dari mereka berempat yang baik-baik saja. Terutama Dareen. Dareen masih tampak linglung, dia belum sepenuhnya menerima jika yang baru saja terjadi adalah sebuah kenyataan bukan mimpi apalagi halusinasi.
Seminggu setelah kejadian tersebut, Dareen terus berusaha menghubungi Edwin. Namun pria itu lagi-lagi menolak panggilannya. Tidak hanya itu, penjaga rumah Edwin juga tidak mengijinkan siapapun masuk ke rumah tersebut kecuali keluarga mereka dan keluarga Anna tentu saja.Sebenarnya Anna sudah tidak ada di rumah Edwin, keesokan pagi setelah insiden itu pun Anna dan Esa pulang ke rumah Daniel untuk menghindari kecurigaan dari kedua orang tua Anna. Iya, Jessica dan Daniel tidak tahu apa yang sudah terjadi kepada Anna dan Esa.Edwin sengaja menghindari Dareen dan bersikap seolah menjauhinya agar Dareen tidak mencari Anna di tempat lain dan hanya fokus untuk mencarinya di tempat Edwin. Edwin tahu betul jika sahabatnya itu adalah orang yang keras kepala tapi dia juga
Anna duduk di balkon kamarnya, sudah seminggu berlalu. Namun rasa sakit di hatinya tidak sedikitpun berkurang. Bayang-bayang ketika Dareen mencengkram kerah bajunya dan juga memukul Esa masih sangat jelas terekam dalam ingatannya."Bagaimana bisa kau melakukan itu by? " Anna bergumam pada dirinya sendiri. "Ah betapa beruntungnya mereka, dicintai seorang Dareen Tucker. " Sebuah senyuman hambar menghiasi wajah cantiknya yang tampak pucat karena udara malam yang menerpa permukaan kulitnya.Anna menghela nafas berat. "Tapi kenapa hanya pada mereka kau mengorbankan semuanya? Padahal masih ada Esa. Esa juga punya hak atas dirimu. " Lirih Anna.*Flashback
"Sa, Esa, Khesa, Khesa Devano, Esa jelek, kkkkkkkkkk. " Panggil Anna sambil tertawa pelan. Sedangkan yang dipanggil hanya memutar bola matanya malas."Mama kenapa sih? " Tanya Esa bingung."Tidak apa-apa, hanya ingin saja. " Lagi-lagi Anna terkekeh pelan."Err, mama membuatku takut. " Esa bergidik ngeri. Ibunya hari ini lebih banyak tertawa tanpa alasan."Hahaha, mama hanya bosan. Kau terlalu sibuk di sini, mama kan jadi tidak punya teman bicara. " Keluh Anna dengan bibir yang di manyunkan."Jangan merajuk, aku bukan kekasih mama
"Kamu beneran mau sekolah ra? " Tanya Wenda yang masih khawatir dengan kesehatan putrinya."Sebaiknya kamu istirahat saja sayang. Daddy gak mau kamu kenapa-kenapa. " Kali ini Dareen yang bersuara."Aku udah baikan mommy, daddy, jadi kalian tidak perlu khawatir. " Dara tersenyum kearah kedua orang tuanya. "Aku sudah lama tertinggal pelajaran, jadi tolong biarkan aku sekolah ya. " Dara memasang tampang kelincinya demi mendapat ijin dari Dareen."Hm, baiklah. Tapi kamu harus janji kalau ada apa-apa segera hubungi daddy. " Dareen mengusap kepala Dara dengan lembut."Aku akan menemaninya di sekolah. Dengan begitu setidaknya kalau ada apa-apa Dara bisa langsung ditangani. " Ucap Wenda.
Dareen menatap foto pernikahannya dengan Anna. Foto yang selama 15 tahun masih setia berada diruang tengah rumahnya dulu bersama Anna. Di foto itu, Dareen tengah merangkul pinggang Anna, sementara Anna tersenyum manis. Mereka tampak bahagia. Ya mereka memang bahagia, setidaknya pada saat itu.Dareen tersenyum getir begitu tangannya menyentuh wajah Anna yang berada di foto. "Bahkan jantungku masih merasakan getaran yang sama. " Gumam Dareen.Selama 15 tahun ini, Dareen masih sering bolak-balik ke rumah ini. Terutama disaat dirinya begitu merindukan Anna. Dareen akan datang dan tidur di kamar mereka. Menangis di tengah malam dan berbicara sendiri seolah Anna sedang berada di sana. Dareen tidak gila, dia hanya merasakan penyesalan yang teramat dalam dan cinta yang teramat besar untuk Anna.
Derap langkah kaki Anna terdengar menggema di lobi sebuah kantor. Tubuh tinggi dan kaki jenjangnya membuat lorong tersebut terasa lebih dekat, padahal untuk ukuran tinggi rata-rata, lorong tersebut cukup panjang.Berkali-kali Anna mendesahkan nafas panjang untuk mengatasi degup jantungnya yang semakin tidak beraturan. Begitu dia sampai di meja sekretaris, Anna dengan segera menetralkan perasaan tidak tenangnya."Ada yang bisa saya bantu? " Tanya si sekertaris dengan sopan."Saya ingin bertemu dengan atasan anda. " Jawab Anna dengan sopan namun enggan untuk menyebutkan namanya."Apa anda sudah membuat janji? ""Tidak. Tapi aku harap bisa bertemu dengannya sekarang. " Anna tersenyum ra
Brenda membolak-balikan kertas yang ada di tangannya untuk membaca secara berulang kali informasi yang tertulis diatasnya. Sudah hampir satu jam Brenda bertahan dengan posisi tersebut dan mengabaikan lawan bicaranya yang duduk bersebrangan dengannya di sofa. Kerutan di kening Brenda tidak hilang sama sekali sejak pertama ia membaca kertas tersebut sampai akhirnya sebuah desahan keras terdengar. "Oke, cukup! Aku rasa aku tidak akan pernah mengerti meski aku baca sampai kertas ini robek sekalipun." Brenda menjatuhkan tubuhnya dan memijat keningnya yang mulai pusing. "Lalu apa yang akan dr. lakukan sekarang?" tanya lawan bicara Brenda yang masih duduk anteng dan memaklumi rasa frustasi yang di perlihatkan oleh seniornya itu.
Wenda menatap punggung Raiden yang sedang membuat sarapan. Tatapan matanya begitu fokus seolah ada sesuatu yang menarik dari punggung lebar milik suami nya itu. Ekspresi Wenda pun berubah-ubah, terkadang dia terlihat bahagia, namun sesaat kemudian berubah menjadi kecewa, sedih, dingin bahkan tidak terbaca sama sekali. Sudah 2 minggu Wenda dan Raiden kembali tinggal bersama. Kondisi kejiwaan Wenda juga mulai stabil, setidaknya dirinya tidak pernah lagi mencoba untuk bunuh diri. Tapi walaupun begitu hubungan mereka tidak membaik seperti yang diharapakan karena Raiden tidak pernah benar-benar menganggap keberadaan Wenda meski mereka tinggal bersama. "Makanlah," ujar Raiden dingin saat menyodorkan sepiring sandwich dihadapan Wenda. Wenda
Dona menatap lekat sebuah album foto yang dia temukan di ruang baca milik keluarga Tucker. Tatapannya begitu fokus saat lembar demi lembar dia buka secara perlahan. Namun semakin lama, semakin banyak lembaran yang terbuka, ekspresi wajahnya justru semakin tidak terbaca. Ada kerutan di keningnya yang menandakan sebuah kebingungan. "Kak Dareen?" gumamnya penuh tanya. "Tapi kenapa fotonya di simpan di akhir, tidak berurutan seperti yang sebelumnya?" Dona mengambil salah satu foto yang tersimpan di bagian akhir album. Album foto yang sedang Dona lihat adalah album yang berisi foto-foto masa kecil Dareen. Mulai dari foto bayi hingga foto saat Dareen memasuki sekolah dasar. Semua tersusun dengan rapi dan berurutan di dalam album tersebut. Tapi ada satu foto ya
Edwin membolak-balik berkas-berkas yang akan dia gunakan untuk menuntut Wenda. Sudah berhari-hari dirinya disibukkan dengan hal yang sama, tapi tidak sedikitpun dia merasa lelah atau putus asa. Wenda memang masih dalam perawatan medis akibat depresi berat, tapi Edwin akan tetap memastikan perempuan tersebut masuk kedalam penjara dan menerima semua balasan dari perbuatannya. "Hah, aku benar-benar tidak mengerti," desah Edwin pelan. "Kali ini apa?" tanya Hanna yang setia mendampingi suaminya di ruang kerja. "Zayn Boseman dan Richard Clay.""Bukankah sudah jelas kenapa mereka saling serang, lalu bagian mana yang membuatmu ma
Dona keluar dari rumah sakit dengan wajah lelah. Sudah beberapa hari ini dia memiliki banyak jadwal operasi. Selain itu, dirinya juga disibukkan dengan pemikiran tentang Jesfer, Jeffrey dan kabar Jeno yang masih abu-abu.Hari ini Dona meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena ingin mencari informasi tentang keberadaan Ten, sahabatnya dan satu-satunya orang yang ingin dia mintai penjelasan.Sebelum pergi menuju tempat parkiran mobil, Dona memilih untuk membeli minuman kaleng dan meneguk nya dengan kasar di bangku yang tidak jauh dari parkiran.Dona mendesah kasar begitu cairan tersebut melewati tenggorokannya. "Aku benar-benar bisa gila," desisnya pelan sambil meremat kaleng yang tidak berdosa tersebut hingga tidak berbentuk lagi dan membuangnya asal."Kenapa mereka mempermainkan ku? Siapa yang harus aku percaya sekarang?!" tanyanya pada dirinya sendiri."Maaf tante, ini sampahnya," seor
Ten berlari bagai orang kesetanan. Semua mata para penjaga rumahnya menatap bingung kearah majikannya yang tiba-tiba saja masuk rumah dengan terus berteriak."Mark!" panggil Ten dengan panik."Mark!" lagi Ten memanggil nama putranya.Para maid yang sedang bekerja pun segera menuju sumber suara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi."Dimana Mark?" tanya Ten masih dengan nada panik."Mohon maaf nyonya, tuan muda Mark tidak berada di rumah," jawab salah satu Maid yang menunduk takut."What? Lalu dimana Mark? Siapa yang mengijinkan dia keluar?"emosi Ten seketika naik."Maaf nyonya, sepertinya tuan besar Track yang mengijinkan.""Ten, ada apa?" Track keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri Ten yang tengah menatap para maid nya dengan tajam."Mana anakku?" desis Ten tajam.
Dareen mengerang frustasi saat menyaksikan layar laptop yang berada di meja sofa ruang rawat kamar Anna. Bagaimana tidak, di depannya sekarang tengah ada adegan live putra kesayangannya tengah berciuman dengan mesra di atas tempat tidur rumah sakit.Ya, dikamar Esa ada CCTV yang terhubung ke laptop yang sengaja dia letakkan dikamar Anna agar memudahkan Dareen untuk mengawasi keduanya sekaligus.Anna yang juga ikut menyaksikan adegan tersebut hanya bisa meringis. Bagaimanapun dirinyalah yang memberi ijin kepada Jenny untuk menemui Esa, dan sekarang dia harus mendengarkan omelan suaminya.Anna sendiri tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi dia bahkan masih tidak percaya jika putranya mampu melakukan hal berani seperti itu, oh Anna sepertinya lupa jika Esa dan Jenny pernah melakukan hal yang lebih berani dari pada itu.
Anna menatap kedua putranya dengan gemas. Sampai saat ini dia masih belum sepenuhnya percaya bahwa dirinya telah melahirkan dua orang bayi yang sangat menggemaskan ini dengan keadaan sehat dan sempurna tanpa kekurangan sesuatu apapun. Meski mereka lahir prematur, dan terkesan lahir karena 'paksaan' tapi beruntung keduanya bayi beserta ibunya sehat.Anna tersenyum lembut saat melihat salah satu putranya masih terjaga. Sepertinya Subin senang bertemu dengan ibunya sehingga dia memilih untuk tetap membuka mata setelah kenyang menyusu. Sementara Yuvin sedang tidur dengan nyenyak. "Subin kenapa belum bobo hm?" tanya Anna dengan gemas saat putranya begitu intens menatap kearahnya.Subin dan Yuvin masih dalam perawatan sehingga Anna hanya bisa menjenguk mereka sesekali saat akan menyusui saja selebihnya dia harus bersabar karena hanya mampu melihat kedua putranya melalui layar kaca."Apa Su
Dareen menatap Esa yang tengah tertidur pulas setelah meminum obatnya. Ada gurat kesedihan yang tampak jelas di wajah tampan pria yang baru saja siuman dari pingsan itu.Satu jam yang lalu Dareen siuman, begitu dia bangun hal pertama yang dia tanyakan adalah keadaan istri dan anak-anaknya terutama Esa yang belum sempat dia temui sama sekali.Lama menatap Esa dalam diam, Dareen kembali mendesah pelan untuk kesekian kalinya. Pembicaraannya dengan Henry beberapa waktu lalu membuatnya frustasi. Esa harus segera di operasi, tapi permasalahannya siapa yang akan menjadi donor untuk putranya itu. Saat ini satu-satunya orang yang belum melakukan pemeriksaan hanya Anna.Sebagai ibu kandung Esa, Anna memiliki persentase kecocokan yang lebih besar dengan Esa, tapi Dareen tidak mau berharap terlebih Anna baru saja melahirkan dan kondisinya sekarang bahkan masih belum sadar