Dan disini lah mereka sekarang. Di sebuah restoran mewah yang terletak di sebrang hotel milik Dareen. Tidak hanya mereka berempat, kini Raiden juga sudah ikut bergabung bersama.
"Sa, kenapa makanannya hanya kau pandangi saja? " Tanya Edwin yang sadar sejak tadi Esa tidak kunjung makan.
"Em, itu. Sebenarnya aku tidak suka bawang. " Jawab Esa ragu. Dia takut akan menyinggung orang yang sudah memberinya makanan tersebut.
Mendengar jawaban Esa, Dareen sedikit melirik pada anak itu. "Kau bisa pesan yang lain. " Ucapnya tenang.
"Wahh Esa seperti daddy, dia juga sangat membenci bawang. " Ledek Dara pada ayahnya.
"Kalau begitu biar paman pesan kan yang lain, Esa kau mau apa? " Tanya Edwin begitu perhatian. Edwin memang seperti itu, sangat lembut dan penuh kasih sayang pada semua orang.
"Pesan yang sama saja, tapi tanpa bawang paman. " Jawab Esa yang merasa tidak enak karena sudah merepotkan Edwin. Hari ini, dia terlalu banyak merasa tidak enak karena kebaikan orang-orang di sekitarnya.
"Esa, kau tinggal dimana? " Kali ini Raiden yang bertanya.
"Tempat tinggal ku tidak jauh dari sungai Avon, bersama kakek dan nenek. " Jawab Esa.
"Bagaimana dengan orang tuamu? " Raiden memang spesialis bertanya, dia akan terus bertanya sampai keinginan tahuannya terpenuhi.
"Ada
di Jepang, bersama pamanku. ""Apa kau campuran Jepang? Kurasa cara bicaramu sangat pasih dan wajahmu lebih dominan foreign. " Selidik Raiden.
"Tidak. Aku memang murni Bristol, semua keluargaku asli Bristol. Itu karena di rumah sejak aku kecil kami menggunakan bahasa Inggris. "
"Oh begitu, pantas saja. Lalu------
"Stop Rai, berhenti bertanya dan biarkan Khesa makan terlebih dahulu. " Edwin menghentikan sesi wawancara Raiden. Sedangkan Dareen dan Dara menikmati makanan mereka dengan diam, karena begitulah kebiasaan mereka jika sedang makan, hening tanpa suara.
Diantara keheningan tersebut, tiba-tiba ponsel Esa berbunyi. Esa kemudian melirik sekeliling meja untuk meminta ijin mengangkat panggilan tersebut.
"Angkatlah, tidak apa disini juga. " Jawab Dareen yang peka terhadap tatapan mata Esa. Esa pun mengangguk dan segera mengangkat panggilan tersebut.
"Iya, aku sedang makan. " Jawab Esa begitu panggilan tersebut terhubung.
"..................... "
"Hah? Mama yang menjemputku? " Tanya Esa terkejut.
".................... "
"Tidak, tidak. Aku tidak akan memberitahukan tempatnya. Mama
pasti sedang mengerjai ku. " Esa menggeleng tidak percaya."......................"
"Berhenti berbohong, atau aku akan membakar semua wig mama
dan menghanyutkan semua kemeja plus celana jeans itu di sungai Avon. " Esa sedikit meninggikan suaranya sedangkan Dareen dan yang lain hanya menatap Esa penuh tanya begitu dia menyebutkan tentang wig dan pakaian."........................ "
"Oke, Oke. Aku akan beritahu tempatnya sekarang. Tapi jika mama
tidak muncul dalam 5 menit, aku tidak akan mengangkat panggilan mama selama satu minggu."......................... "
"Iya, iya. Esa ada di sebrang hotel Produce. Tepatnya di restoran BrandNew. " Setelah mengatakan itu, panggilan pun berakhir.
"Mama
mu? " Tanya Edwin begitu Esa mulai menyimpan kembali ponselnya."Iya. " Angguk Esa. "Tapi ku rasa dia sedang bergurau. "
"Kenapa? " Bukan Edwin, tapi kali ini Raiden lagi ang bertanya.
"Dia mengatakan akan menjemputku. "
"Bisa saja kan? Bukankah kau bilang mama mu menangis semalaman saat kau berangkat? " Tanya Dareen lagi.
Esa mengangguk mengingat apa yang pernah dia ceritakan kepada Edwin. "Oh itu mobilnya. " Tunjuk Esa kearah parkiran begitu melihat sebuah mobil berhenti dari kaca restoran.
Sontak semua mata menatap apa yang di tunjuk Esa. Tak terkecuali Dareen. Tidak berselang lama, seorang pria menggunakan kemeja panjang dan celana jeans keluar dari mobil.
"Astaga, dia benar-benar. " Esa menganga tidak percaya. Sedangkan yang lain masih setia memandangi laki-laki tersebut dari kejauhan. Mereka masih mencerna semua yang dikatakan Esa sebelumnya, anak itu bilang mama, tapi yang datang justru seorang pria.
"Dara, paman, aku berterima kasih untuk makan malamnya. Tapi aku harus pulang sekarang. " Pamit Esa buku-bukunya.
"Baiklah hati-hati Sa. " Ucap Edwin.
Esa melambaikan tangan sebelum benar-benar keluar dari restoran. Tanpa di sadari, Dareen membalas lambaian tangan Esa dengan sebuah senyuman hangat.
"Senyuman itu lagi. " Gumam Edwin begitu Esa sudah berada di luar.
"Ada apa dengan senyumannya? " Tanya Raiden penasaran.
"Tidakkah kalian pikir dia seperti mirip seseorang? " Ucap Edwin dengan tatapan serius.
Dareen mengabaikan mereka berdua, tatapannya masih fokus mengarah ke parkiran. Dimana seorang anak tengah berpelukan dengan hangat. Sang ayah berkali-kali mencium puncak kepala bahkan seluruh bagian wajah anaknya. Entah apa yang salah, yang jelas Dareen merasa hatinya menghangat dan sesak secara bersamaan.
"Pantas saja Esa tampan, baik dan juga lembut. Ayahnya
nya juga terlihat sangat tampan meski dalam jarak yang berjauhan. Dan pasti sangat menyayanginya. " Ucap Dara."Sepertinya ada yang menyukai Esa. " Goda Edwin pada Dara. Namun Dara tidak mengindahkan ucapan dari teman ayahnya itu.
"Aku sebenarnya merasakan hal yang sama denganmu Win. Tapi kurasa kita salah. Dia lahir dan besar di Jepang, dan aku tidak memiliki kerabat atau teman yang tinggal di sana. " Raiden kembali menyantap makanannya.
"Itu karena dia tampan. Makanya senyumannya terlihat menawan. " Dareen yang sejak tadi diam akhirnya menyuarakan pendapatnya.
"Kurasa tidak begitu. Sejak di pesawat aku yakin senyuman Esa itu seperti gabungan antara senyuman mu dengan orang lain Dareen. " Edwin mencoba memikirkan sesuatu yang terus mengganjal di hatinya.
Deg
"Tapi daripada itu semua, tidaklah kalian merasa ada yang aneh? Khesa jelas-jelas mengatakan mama saat di telpon, tapi yang datang kenapa ayahnya? " Tambah Edwin penasaran, jiwa detective nya mulai muncul.
Dareen merasa ucapan Edwin tidak masuk akal, tapi dia sendiri merasakan hal yang sama, Esa terlalu familiar untuknya. Meski begitu tidak ada jawaban untuk semua pertanyaannya. Tidak mungkin kan Esa itu anaknya? Dareen merasa tidak pernah meniduri siapapun kecuali mantan istrinya dan~ Wenda tentu saja. Jika tidak, bagaimana mungkin Dara bisa hadir.
"Kalau saja dia berlesung pipi, maka aku tidak akan ragu untuk menebak milik siapa senyuman itu. " Jawab Raiden pelan.
Kembali Dareen tertegun, kali ini karena ucapan Raiden barusan. Pikiran Dareen mulai ke mana-mana, tiba-tiba saja dia memikirkan akan seperti apa perpaduan wajah antara miliknya dan Joanna jika mereka memiliki anak.
"Kau benar Rai, aku sepertinya melupakan yang satu itu. Hah, mungkin karena sudah lama sekali. " Desah Edwin yang matanya justru fokus kepada Dareen.
"Paman dan daddy sedang membahas apa sih, aku tidak mengerti. " Dengus Dara kesal, karena topik pembicaraan mereka tidak dia mengerti sama sekali.
"Sebaiknya hentikan omong kosong kalian. Dan kita akhiri pertemuannya sekarang. " Final Dareen.
✿✿✿✿✿
Edwin baru saja tiba di rumahnya. Pikirannya tiba-tiba saja rumit. Sejak bertemu dengan Khesa pertama kali di pesawat ditambah hari ini, Edwin selalu saja teringat seseorang di masa lalu, seorang yang sangat dekat dengannya. Seseorang yang merupakan sahabat dari istrinya.
"Sudah beberapa hari ini setiap kali kamu pulang, aku selalu mendapati wajah penuh tekanan. " Ucap sang istri yang ikut duduk di sampingnya dan membantu Edwin membuka jas kerjanya.
"Apa tuan Tucker itu merepotkan mu? " Tanyanya.
Edwin menggeleng namun sesaat kemudian mengangguk. "Aku tidak yakin. " Jawabnya sambil terkekeh pelan. Ah Edwin Russelen, dalam situasi apapun dia masih bisa bercanda.
"Apa maksudnya? " Kali ini mata sangat istri sudah memicing. "Kau sangat tidak jelas. "
"Kau ingat tentang anak yang tempo hari aku ceritakan? " Tanya Edwin pada istrinya.
Hana mengernyit. "Yang mana? Anak yang di pesawat itu? Yang katamu senyumnya seperti memiliki perpaduan dengan Dareen? "
Edwin mengangguk. "Hari ini aku kembali bertemu dengannya. Kami makan malam bersama, dengan Dareen
juga. Kau tahu apa? Bukan hanya senyumnya, tapi mereka juga sama-sama tidak menyukai makanan yang mengandung bawang. " Jelas Edwin."Kurasa hal seperti itu bisa saja terjadi. Lalu apa masalahnya? " Hana masih belum paham apa yang menjadi kekhawatiran suaminya.
Edwin menghela nafas berat. "Jika kau melihat wajahnya, maka kau pasti tahu senyuman di wajahnya itu adalah milik Joanna. " Edwin berkata lirih.
"Kau pasti bercanda, dia tidak mungkin anaknya kak Anna. Lagipula kak Anna berada di Jep-----. " Hana segera membekap mulutnya.
Edwin yang semula menidurkan kepalanya di atas sofa, kini menegakkan tubuhnya kembali dan menatap Hana untuk meminta penjelasan. "Apa maksudmu Jepang? " Tanya Edwin dengan wajah yang benar-benar serius.
"B-bukan itu maksudku. " Hana menjawab dengan gugup.
"Lalu apa Hana Russelen? " Tatapan Edwin semakin menajam, suaranya juga sudah terdengar sangat berat dan dalam.
"I-itu--------- " Cicit Hana.
"Kau! Apa yang sudah kau sembunyikan dariku? " Desis Edwin. Entah karena dia sedang banyak pikiran, atau karena ini menyangkut Joanna? Entahlah. Yang jelas Edwin terlihat mulai emosi.
"Y-ya kak Anna ada di Jepang. " Cicit Hana dengan suara yang semakin kecil. Tubuhnya beringsut sedikit menjauhi Edwin karena takut.
Rahang Edwin mengeras begitu mendengar penuturan istrinya. Dia tidak menyangka jika istrinya diam-diam tahu keberadaan Anna tanpa pernah menyinggungnya sama sekali.
"Sejak kapan? " Edwin sedikit menurunkan nada suaranya, walau masih jelas terdengar nada kemarahan di sana.
"Sejak mereka bercerai. D-dan kak Anna tidak pernah kembali ke sini. "
"15 tahun Hana. Dan kau menyimpan ini sendirian? Kau sadar sadar seberapa lama itu kan? Yang benar saja. " Edwin memijat keningnya yang tiba-tiba saja pusing. "Kau tahu dengan betul, aku dan Dareen selama ini selalu berusaha mencarinya. Dan kau, kau berusaha menutupinya. Sekarang aku tahu kenapa pencarian kami tidak pernah menemukan hasil. Bukan karena orang tua Anna, tapi justru kau yang sudah menyamarkan semuanya. " Edwin sama sekali tidak mengerti mengapa istrinya bisa melakukan hal seperti ini.
"Aku punya alasan. " Jawab Hana yang sekarang sudah lebih tenang.
"Apa? Tidak peduli apapun alasannya, ini salah Han, kau tidak tahu seberapa frustasinya Dareen mencari Anna. " Terdengar nada frustasi dari ucapan Edwin.
"Kak Anna yang memintanya. " Jawab Hana. "Dia memohon padaku untuk tidak pernah memberitahu siapapun termasuk kau sayang. Dan aku mengerti! Aku mengerti kenapa dia melakukannya. Dia sangat terluka, jika kau melihat seperti apa keadaan kak Anna saat itu, maka aku yakin kau akan segera membunuh Dareen. " Jelas Hana dengan suara berat menahan tangis.
"Katakan padanya apa yang sebenarnya terjadi. "
Hana menghela nafas sejenak. Dia tidak menyangka kalau sekarang lah waktunya untuk membongkar semua rahasia yang sudah dia simpan dengan baik selama 15 tahun lamanya. "Hari dimana kak Anna engetahui bahwa Wenda
hamil, dia datang ke apartemen ku dengan baju yang kotor dan basah. Telapak kakinya penuh memar dan darah. Kurasa dia berjalanan jauh tanpa menggunakan alas kaki. Tentu saja aku terkejut, dan segera membawanya masuk kedalam. Hari itu kau sedang berada di Jeju untuk urusan pekerjaan. " Hana kemudian melanjutkan lagi ceritanya. "Anna tidak menangis, namun matanya kosong, tatapannya juga datar. Saat itu aku belum berani bertanya, namun tiba-tiba dia pingsan dan aku segera memanggil dokter untuk memeriksanya. " Hana mengambil nafas dalam. "Kau pasti akan terkejut mendengarnya. ""Apa itu? " Tanya Edwin yang sudah sangat penasaran sejak awal.
"Kak Anna edang hamil. Usia kandungannya saat itu adalah 3 minggu. " Lirih Hana.
Edwin menjatuhkan tas kerjanya karena begitu terkejut. "Kau tidak berbohong kan? " Edwin menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin mempercayai yang satu ini. Bukan karena apa-apa, tapi Edwin seolah bisa menebak penderitaan apa yang dilalui Anna selama hidupnya.
Hana mengangguk. "Aku serius. "
"Lalu kenapa kalian tidak memberitahu Dareen? Dia berhak tahu jika ada anaknya dalam kandungan Anna. "
"Kak Anna enolak. Saat itulah aku tahu apa yang terjadi dengan pernikahan mereka. Aku sepenuhnya bisa memahami keputusannya, bagaimanapun hidup bersama dengan selingkuhan suaminya disaat kondisi mereka sama-sama hamil adalah neraka. Anna bisa stress dan kemungkinan bisa berakhir dengan kehilangan anaknya. Apalagi saat itu kandungannya sangat lemah. " Air mata sudah menuruni pipi Hana kala dia menceritakan semua tentang Anna kepada suaminya.
"Lalu bagaimana kehidupan Anna selama ini? "
Anna menggeleng. "Aku tidak tahu, semenjak dia pergi ke Jepang, kami tidak lagi berkomunikasi. Namun dia beberapa kali mengirimkan aku surat dan foto ke apartemen kita yang lama. "
"Jangan bilang itu juga yang menjadi alasan kau selalu menolak untuk menjual apartemen itu? " Tanya Edwin yang mulai sedikit mengerti.
"Ya. " Hana mengangguk. "Aku tidak ingin kehilangannya. " Hana terisak di pelukan suaminya.
"Yaampun sayang seharusnya kau tidak menyimpan masalah ini sendirian. "
"Jika aku memberitahumu, kau pasti akan memberitahu Dareen. Kau tahu dengan betul, sampai sekarang aku masih membenci mereka. Aku membenci Dareen dan Wenda, termasuk Dara. " Hana memejamkan matanya sejenak.
"Tapi mereka tidak berselingkuh sayang. Dan Dara, dia tidak pantas untuk menerima kebencian. Bagaimanapun dia tidak tahu apa-apa. " Ucap Edwin yang mencoba menenangkan Hana.
"Tapi karena mereka aku kehilangan kak Anna, dan karena mereka juga lah dia
harus membesarkan anaknya sendiri. Mereka merampas hak anaknya kak Anna. " Geram Hana dengan emosi penuh amarah.Edwin mendesah pelan. "Sepertinya aku harus menyelidiki Esa. "
Hana menengadahkan wajahnya untuk melihat wajah Edwin. "Siapa Esa? Namanya seperti tidak asing. " Tanya Hana.
"Dia anak yang aku maksud tadi, senyuman Esa mirip dengan Dareen dan Anna. Dan info pentingnya dia berasal dari Jepang. "
Hana manggut-manggut, namun sesat kemudian tubuhnya menegang. "Esa, Khesa, K-khesa Devan. " Hana membekap mulutnya terkejut.
Edwin yang melihat perubahan mendadak dari istrinya merasa khawatir. "Ada apa Han? "
"Esa, Khesa Devano dalah nama dari anaknya kak Anna. Dia adalah anak Anna
dan Dareen. "*
*
*
- T B C -
With Love : Nhana
Semenjak mengetahui kebenaran tentang Khesa dari Hana, diam-diam Edwin selalu memperhatikan anak itu. Dan melalui bantuan Hana pula, Edwin juga sudah membuktikan jika Esa adalah anaknya Anna. Bahkan ia sudah melakukan tes DNA terhadap Esa dan Dareen yang hasilnya 99% positif."Jika Hana tidak menutup-nutupi keberadaan mereka, pasti sejak dulu aku dan Dareen sudah menemukannya dan pekerjaanku akan menjadi sangat mudah. " Keluh Edwin yang masih setia pada posisinya memandangi foto seorang perempuan manis yang tengah menggendong seorang anak laki-laki kira-kira berusia dua tahun."Sekarang, meski aku sudah tahu semuanya. Aku justru tidak yakin akan memberi tahu Dareen atau tidak, mengingat bagaimana Hana sangat apik dalam menyembunyikan mereka, itu berarti Anna memang tidak ingin keberadaannya diketahui. " Gumam Edwin kepada dirinya sendiri.Dareen tiba-tiba masuk kedalam ruangan Edwin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, hal itu membuat Edwin dengan buru-buru men
Tubuh Anna menegang begitu matanya menatap lurus objek yang sedang duduk dihadapannya. Mata mereka bertemu, mencari-cari sebuah jawaban dari rasa penasaran yang tiba-tiba melingkupi. Sepercik amarah iba-tiba menyala di mata biru Anna, sedangkan lawannya menyipit seolah mencari kejelasan melalui indranya.Sedetik kemudian Anna segera memutus kontak mata tersebut kemudian beralih kepada sang guru. "Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi disini? Aku sepenuhnya yakin jika anakku hanya korban. " Tanya Anna yang tidak terima karena anaknya menjadi satu-satunya yang mendapat luka."Papa. " Ucap Esa berniat menghentikan ibunya. Esa tahu ibunya akan susah diajak berdamai jika sudah menyangkut keselamtannya.Wenda mendengus pelan. "Berlebihan sekali. "Anna memutar bola matanya jengah. Ucapan Wenda yang terdengar di telinganya sedikit membuat emosinya meningkat. Kate yang mencium aroma keributan lanjutan menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya.
BRAKSebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut."Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa."Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut."Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda."Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya."Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. "
Anna tidak mengurungkan diri untuk mengantarkan berkas tersebut kepada pemilik hotel Produce tersebut. Beruntung dia lebih dulu bertemu dengan Edwin dan mengetahui tentang semuanya dari sepupunya itu. Edwin juga yang membantu Anna agar berkas yang dia bawa sampai ke tangan Dareen tanpa harus bertatapan langsung dengannya.Tapi keberuntungan Anna hanya sebatas itu. Setelahnya dia mendapati Esa tengah menikmati waktu istirahat dengan bercanda gurau bersama Dara di ruang rapat yang kosong. Dara bahkan sesekali terlihat memasukkan snack kedalam mulut Esa, meski Esa terus berusaha menolaknya.Anna geram, sangat. Pasalnya dia sudah menyuruh Esa maupun Dara untuk tidak berdekatan, tapi ternyata mereka mengabaikan itu. Kekesalannya bertambah saat Anna mendapat informasi jika Esa kembali dikucilkan akibat rumor tentang asal-usulnya. Dan dari pengakuan Esa, dia hanya menceritakannya pada Dara.Dengan langkah cepat Anna memasuki ruangan tersebut yang memang pintunya terbuka.
PLAKSatu buah tamparan yang sangat keras berhasil Wendy layangkan di pipi mulus putranya. Emosinya kini sudah berada pada puncaknya. Setelah mendengar informasi tentang keributan yang terjadi di kantor Dareen, Wendy bergegas menemui putranya.Dan disinilah mereka sekarang, di ruangan Daeen yang kedap suara bersama Wenda dan juga Dara. Keadaan mereka tampak kacau, tak ada satupun dari mereka berempat yang baik-baik saja. Terutama Dareen. Dareen masih tampak linglung, dia belum sepenuhnya menerima jika yang baru saja terjadi adalah sebuah kenyataan bukan mimpi apalagi halusinasi.
Seminggu setelah kejadian tersebut, Dareen terus berusaha menghubungi Edwin. Namun pria itu lagi-lagi menolak panggilannya. Tidak hanya itu, penjaga rumah Edwin juga tidak mengijinkan siapapun masuk ke rumah tersebut kecuali keluarga mereka dan keluarga Anna tentu saja.Sebenarnya Anna sudah tidak ada di rumah Edwin, keesokan pagi setelah insiden itu pun Anna dan Esa pulang ke rumah Daniel untuk menghindari kecurigaan dari kedua orang tua Anna. Iya, Jessica dan Daniel tidak tahu apa yang sudah terjadi kepada Anna dan Esa.Edwin sengaja menghindari Dareen dan bersikap seolah menjauhinya agar Dareen tidak mencari Anna di tempat lain dan hanya fokus untuk mencarinya di tempat Edwin. Edwin tahu betul jika sahabatnya itu adalah orang yang keras kepala tapi dia juga
Anna duduk di balkon kamarnya, sudah seminggu berlalu. Namun rasa sakit di hatinya tidak sedikitpun berkurang. Bayang-bayang ketika Dareen mencengkram kerah bajunya dan juga memukul Esa masih sangat jelas terekam dalam ingatannya."Bagaimana bisa kau melakukan itu by? " Anna bergumam pada dirinya sendiri. "Ah betapa beruntungnya mereka, dicintai seorang Dareen Tucker. " Sebuah senyuman hambar menghiasi wajah cantiknya yang tampak pucat karena udara malam yang menerpa permukaan kulitnya.Anna menghela nafas berat. "Tapi kenapa hanya pada mereka kau mengorbankan semuanya? Padahal masih ada Esa. Esa juga punya hak atas dirimu. " Lirih Anna.*Flashback
"Sa, Esa, Khesa, Khesa Devano, Esa jelek, kkkkkkkkkk. " Panggil Anna sambil tertawa pelan. Sedangkan yang dipanggil hanya memutar bola matanya malas."Mama kenapa sih? " Tanya Esa bingung."Tidak apa-apa, hanya ingin saja. " Lagi-lagi Anna terkekeh pelan."Err, mama membuatku takut. " Esa bergidik ngeri. Ibunya hari ini lebih banyak tertawa tanpa alasan."Hahaha, mama hanya bosan. Kau terlalu sibuk di sini, mama kan jadi tidak punya teman bicara. " Keluh Anna dengan bibir yang di manyunkan."Jangan merajuk, aku bukan kekasih mama
Brenda membolak-balikan kertas yang ada di tangannya untuk membaca secara berulang kali informasi yang tertulis diatasnya. Sudah hampir satu jam Brenda bertahan dengan posisi tersebut dan mengabaikan lawan bicaranya yang duduk bersebrangan dengannya di sofa. Kerutan di kening Brenda tidak hilang sama sekali sejak pertama ia membaca kertas tersebut sampai akhirnya sebuah desahan keras terdengar. "Oke, cukup! Aku rasa aku tidak akan pernah mengerti meski aku baca sampai kertas ini robek sekalipun." Brenda menjatuhkan tubuhnya dan memijat keningnya yang mulai pusing. "Lalu apa yang akan dr. lakukan sekarang?" tanya lawan bicara Brenda yang masih duduk anteng dan memaklumi rasa frustasi yang di perlihatkan oleh seniornya itu.
Wenda menatap punggung Raiden yang sedang membuat sarapan. Tatapan matanya begitu fokus seolah ada sesuatu yang menarik dari punggung lebar milik suami nya itu. Ekspresi Wenda pun berubah-ubah, terkadang dia terlihat bahagia, namun sesaat kemudian berubah menjadi kecewa, sedih, dingin bahkan tidak terbaca sama sekali. Sudah 2 minggu Wenda dan Raiden kembali tinggal bersama. Kondisi kejiwaan Wenda juga mulai stabil, setidaknya dirinya tidak pernah lagi mencoba untuk bunuh diri. Tapi walaupun begitu hubungan mereka tidak membaik seperti yang diharapakan karena Raiden tidak pernah benar-benar menganggap keberadaan Wenda meski mereka tinggal bersama. "Makanlah," ujar Raiden dingin saat menyodorkan sepiring sandwich dihadapan Wenda. Wenda
Dona menatap lekat sebuah album foto yang dia temukan di ruang baca milik keluarga Tucker. Tatapannya begitu fokus saat lembar demi lembar dia buka secara perlahan. Namun semakin lama, semakin banyak lembaran yang terbuka, ekspresi wajahnya justru semakin tidak terbaca. Ada kerutan di keningnya yang menandakan sebuah kebingungan. "Kak Dareen?" gumamnya penuh tanya. "Tapi kenapa fotonya di simpan di akhir, tidak berurutan seperti yang sebelumnya?" Dona mengambil salah satu foto yang tersimpan di bagian akhir album. Album foto yang sedang Dona lihat adalah album yang berisi foto-foto masa kecil Dareen. Mulai dari foto bayi hingga foto saat Dareen memasuki sekolah dasar. Semua tersusun dengan rapi dan berurutan di dalam album tersebut. Tapi ada satu foto ya
Edwin membolak-balik berkas-berkas yang akan dia gunakan untuk menuntut Wenda. Sudah berhari-hari dirinya disibukkan dengan hal yang sama, tapi tidak sedikitpun dia merasa lelah atau putus asa. Wenda memang masih dalam perawatan medis akibat depresi berat, tapi Edwin akan tetap memastikan perempuan tersebut masuk kedalam penjara dan menerima semua balasan dari perbuatannya. "Hah, aku benar-benar tidak mengerti," desah Edwin pelan. "Kali ini apa?" tanya Hanna yang setia mendampingi suaminya di ruang kerja. "Zayn Boseman dan Richard Clay.""Bukankah sudah jelas kenapa mereka saling serang, lalu bagian mana yang membuatmu ma
Dona keluar dari rumah sakit dengan wajah lelah. Sudah beberapa hari ini dia memiliki banyak jadwal operasi. Selain itu, dirinya juga disibukkan dengan pemikiran tentang Jesfer, Jeffrey dan kabar Jeno yang masih abu-abu.Hari ini Dona meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena ingin mencari informasi tentang keberadaan Ten, sahabatnya dan satu-satunya orang yang ingin dia mintai penjelasan.Sebelum pergi menuju tempat parkiran mobil, Dona memilih untuk membeli minuman kaleng dan meneguk nya dengan kasar di bangku yang tidak jauh dari parkiran.Dona mendesah kasar begitu cairan tersebut melewati tenggorokannya. "Aku benar-benar bisa gila," desisnya pelan sambil meremat kaleng yang tidak berdosa tersebut hingga tidak berbentuk lagi dan membuangnya asal."Kenapa mereka mempermainkan ku? Siapa yang harus aku percaya sekarang?!" tanyanya pada dirinya sendiri."Maaf tante, ini sampahnya," seor
Ten berlari bagai orang kesetanan. Semua mata para penjaga rumahnya menatap bingung kearah majikannya yang tiba-tiba saja masuk rumah dengan terus berteriak."Mark!" panggil Ten dengan panik."Mark!" lagi Ten memanggil nama putranya.Para maid yang sedang bekerja pun segera menuju sumber suara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi."Dimana Mark?" tanya Ten masih dengan nada panik."Mohon maaf nyonya, tuan muda Mark tidak berada di rumah," jawab salah satu Maid yang menunduk takut."What? Lalu dimana Mark? Siapa yang mengijinkan dia keluar?"emosi Ten seketika naik."Maaf nyonya, sepertinya tuan besar Track yang mengijinkan.""Ten, ada apa?" Track keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri Ten yang tengah menatap para maid nya dengan tajam."Mana anakku?" desis Ten tajam.
Dareen mengerang frustasi saat menyaksikan layar laptop yang berada di meja sofa ruang rawat kamar Anna. Bagaimana tidak, di depannya sekarang tengah ada adegan live putra kesayangannya tengah berciuman dengan mesra di atas tempat tidur rumah sakit.Ya, dikamar Esa ada CCTV yang terhubung ke laptop yang sengaja dia letakkan dikamar Anna agar memudahkan Dareen untuk mengawasi keduanya sekaligus.Anna yang juga ikut menyaksikan adegan tersebut hanya bisa meringis. Bagaimanapun dirinyalah yang memberi ijin kepada Jenny untuk menemui Esa, dan sekarang dia harus mendengarkan omelan suaminya.Anna sendiri tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi dia bahkan masih tidak percaya jika putranya mampu melakukan hal berani seperti itu, oh Anna sepertinya lupa jika Esa dan Jenny pernah melakukan hal yang lebih berani dari pada itu.
Anna menatap kedua putranya dengan gemas. Sampai saat ini dia masih belum sepenuhnya percaya bahwa dirinya telah melahirkan dua orang bayi yang sangat menggemaskan ini dengan keadaan sehat dan sempurna tanpa kekurangan sesuatu apapun. Meski mereka lahir prematur, dan terkesan lahir karena 'paksaan' tapi beruntung keduanya bayi beserta ibunya sehat.Anna tersenyum lembut saat melihat salah satu putranya masih terjaga. Sepertinya Subin senang bertemu dengan ibunya sehingga dia memilih untuk tetap membuka mata setelah kenyang menyusu. Sementara Yuvin sedang tidur dengan nyenyak. "Subin kenapa belum bobo hm?" tanya Anna dengan gemas saat putranya begitu intens menatap kearahnya.Subin dan Yuvin masih dalam perawatan sehingga Anna hanya bisa menjenguk mereka sesekali saat akan menyusui saja selebihnya dia harus bersabar karena hanya mampu melihat kedua putranya melalui layar kaca."Apa Su
Dareen menatap Esa yang tengah tertidur pulas setelah meminum obatnya. Ada gurat kesedihan yang tampak jelas di wajah tampan pria yang baru saja siuman dari pingsan itu.Satu jam yang lalu Dareen siuman, begitu dia bangun hal pertama yang dia tanyakan adalah keadaan istri dan anak-anaknya terutama Esa yang belum sempat dia temui sama sekali.Lama menatap Esa dalam diam, Dareen kembali mendesah pelan untuk kesekian kalinya. Pembicaraannya dengan Henry beberapa waktu lalu membuatnya frustasi. Esa harus segera di operasi, tapi permasalahannya siapa yang akan menjadi donor untuk putranya itu. Saat ini satu-satunya orang yang belum melakukan pemeriksaan hanya Anna.Sebagai ibu kandung Esa, Anna memiliki persentase kecocokan yang lebih besar dengan Esa, tapi Dareen tidak mau berharap terlebih Anna baru saja melahirkan dan kondisinya sekarang bahkan masih belum sadar