Dareen masih berkutat dengan berkas-berkas penting di kantornya. Dia sengaja lembur dan pulang telat, karena Dara anaknya juga tidak ada di rumah dan mungkin tidak akan pulang.
Raiden, sekertaris sekaligus orang kepercayaan Dareen yang hendak pulang dan melihat ruangan atasannya masih menyala menghentikan langkahnya. Dengan penasaran dia mengetuk pintu ruangan tersebut untuk memastikan kalau si pemilik ruangan memang masih ada.
Selang beberapa detik setelah pintu di ketuk, terdengar suara sahutan dari dalam. "Masuk." ternyata Dareen memang masih ada di dalam. Dan tanpa menunggu lama, Rai pun memutar kenop pintu dan masuk kedalam.
"Ada apa Rai?" tanya Dareen setelah melihat sekilas kearah Raiden dan kembali memusatkan perhatiannya lagi kepada pekerjaannya.
"Hm. Tidak ada, hanya penasaran apa yang membuatmu masih di kantor sampai selarut ini." jawab Rai yang kemudian memilih untuk duduk di sofa.
"Ada pekerjaan yang belum selesai. Dan juga di rumah tidak ada orang."
"Pekerjaan? Apa tentang anak-anak yang akan PKL itu?"
"Begitulah, aku sedang menyusun kriteria tertentu untuk bisa PKL di hotel kita." Jawab Dareen sambil menunjukkan layar komputernya kepada sahabatnya itu.
"Kenapa kamu harus mengurusi hal seperti ini Dareen? Kita bahkan tidak pernah menerima pegawai magang, apa ini karena Dara?"
"Ya. Aku ingin memantau semua aktivitas Dara selama PKL, selain untuk memastikan keadaanya aku juga ingin melihat seperti apa kemampuan Dara dalam bekerja. Bagaimanapun Dara adalah calon penerus ku." jelas Dareen.
"Aku tahu. Tapi Dar kurasa kau terlalu membatasi ruang gerak Dara. Meskipun kau khawatir, tapi Dara juga butuh waktunya sendiri."
"Aku melakukan semuanya demi kebaikan Dara, dan Dara juga tidak menolak keputusanku."
"Itu karena kau memaksanya."
"Aku tidak." jawab Dareen cepat.
"Tidak secara langsung," Raiden menghela nafas lelah. Dareen memang tidak akan bisa diajak kompromi jika sudah menyangkut putrinya.
"Dara belum pulang?" Tanya Rai mengalihkan pembicaraan sambil melihat-lihat isi ruangan Dareen tanpa minat. Tentu saja, karena dia setiap hari berada di sana dan sudah tahu persis seperti apa isi ruangan tersebut.
"Kau tahu sendiri, jika dia dan Wenda sudah pergi mana pernah mereka ingat jalan pulang." Dareen terkekeh pelan. Sepertinya suasana hatinya kembali pulih saat membicarakan kedekatan Dara bersama ibunya.
"Kau benar," jawab Rai sekenanya. Kali ini dia setuju dengan Dareen
"Kudengar kali ini Jinu juga ikut,"
"Sepertinya iya karena dia tidak menghubungiku seharian ini." Rai memainkan ponsel dan memastikan kalau anaknya itu memang tidak mengirimkannya pesan.
"Mereka sepertinya memang sedang menikmati waktu bersama."
"Kau masih mencarinya?" Tanya Rai tiba-tiba.
Dareen yang mendengar pertanyaan Raiden sontak mengangkat kepalanya guna bertatapan langsung dengan sang lawan bicara. "Aku sudah berhenti tahun lalu."
"Kenapa?" Raiden kembali bertanya karena penasaran.
"Aku tidak pernah mendapatkan apapun." jawab Dareen singkat. Setelah menjeda kalimatnya beberapa saat, Dareen kembali melanjutkan perkataan nya. "Sejak dia pergi, orang tuanya juga pindah. Dari informasi yang aku terima, dia tidak pernah bertemu dengan orang tuanya lagi." Dareen menghela nafas dalam.
Raiden mengangguk paham. "Mungkin orang tuanya menutupi dimana keberadaan dia. Mereka cukup punya kuasa untuk itu."
"Bisa saja. Tapi semuanya terlalu sempurna. Tidak ada sedikitpun jejak yang tertinggal. Selama bertahun-tahun aku melakukan pencarian, sampai sekarang tidak ada satupun petunjuk yang mengatakan dimana keberadaannya." Dareen meletakkan pulpen ditangannya dan berjalan menghampiri Raiden di sofa.
"Menurutmu, kehidupan seperti apa yang mungkin sedang dia jalani sekarang?" Raiden menerawang jauh, menatap atap kantor dengan pandangan lelah.
"Entahlah. Dia seorang perempuan yang baik, lemah lembut dan sangat pintar. Kurasa dia akan memiliki kehidupan yang baik." jawab Dareen tidak yakin dan ikut menerawang jauh mengingat sekelebat bayangan tentang seseorang yang menjadi topik pembicaraan mereka.
"Jika dulu kau sempat menjelaskan, apa mungkin dia akan memberimu kesempatan?" Obrolan mereka terus berlanjut dengan Raiden yang bertanya karena penasaran dan Dareen yang menjawab sebisanya.
"Mungkin tidak. Bagaimanapun aku bersalah." Dareen menarik nafas panjang.
"Dan jika saat itu dia memberimu pilihan, maka siapa yang akan kau pilih? Atau kau mungkin punya opsi lain?"
Raiden menggeleng pelan. "Entahlah. Tapi kurasa kau sudah tahu jawabannya," Dareen mendengus pelan.
"Tapi kau mencintai dia." balas Raiden dengan penuh penekanan.
"Wenda sedang mengandung anakku, jika kau lupa." balas Dareen mengingatkan.
"Hah, masa lalu kita memang benar-benar rumit. Tapi yang sampai saat ini terikat dengan masa lalu itu hanya kau Dareen."
"Itu karena aku belum menjelaskan semuanya. Aku belum sempat meminta maaf." lirih Dareen yang terdengar begitu dalam dan penuh makna.
"Pernahkah kau berpikir dia sudah berkeluarga?" Pertanyaan Raiden kali ini sedikit ragu, bagaimana pun ini akan menjadi topik yang sensitif untuk sahabatnya. "Maksudku, seperti kita sekarang. Kau, aku dan Wenda, kita semua sudah punya kehidupan masing-masing." Jelas Raiden.
Dareen terdiam, dia tahu apa yang dikatakan sahabatnya kemungkinan besar bisa terjadi. Mengingat ini sudah 15 tahun lamanya. Tapi hati kecilnya masih berharap, semua masih sama walaupun itu jelas tidak mungkin.
Ingatannya kembali pada hari itu, hari dimana seseorang yang katanya dia cintai melangkah pergi dengan tatapan terluka. Tidak ada air mata di sana, hanya gurat kecewa dan kesedihan yang tampak jelas menghiasi wajah manisnya.
Langkahnya terlihat begitu rapuh, perlahan tapi pasti tubuh kurus nan tinggi miliknya melewati pintu pagar milik kediaman mereka. Saat itu, Dareen rasanya ingin mengejar perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu, namun keadaan tidak memungkinkan. Wenda tengah mengalami pendarahan dan nyaris keguguran.
Mengabaikan fakta bahwa istrinya baru saja terluka karena kehamilan Wenda dan pergi meninggalkan dia, dengan langkah tergesa, Dareen justru membawa Wenda kedalam mobil untuk segera pergi ke rumah sakit. Tindakan Dareen saat itu tidak sepenuhnya salah, karena bagaimanapun ada nyawa yang harus menjadi prioritasnya.
Tak jauh dari rumah meraka, mobil yang Dareen bawa melewati istrinya begitu saja yang tengah berjalan gontai. Melalui kaca spion mobil, Dareen dapat melihat bahwa sang istri baru saja meneteskan air mata begitu dia melintas di hadapannya.
Dareen tidak tahu, jika keputusannya untuk memprioritaskan Wenda dan kandungannya saat itu, justru membuatnya kehilangan sang istri. Bukan hanya sekedar perceraian tapi istrinya benar-benar menghilang sepenuhnya dari kehidupannya dan dari kehidupan semua orang yang dikenalnya.
Maafkan aku Anna. Satu kata yang selalu di rapalkan Dareen setiap harinya.
✿✿✿✿✿
Anna tengah membantu putranya untuk mengemasi barang-barang bawaannya. Meski dengan berat hati, tetap saja Anna hanya seorang ibu yang akan selalu menuruti keinginan sang anak terlebih jika keinginan tersebut bukan sesuatu hal yang buruk. Anna akan mendukung pilihan putranya.
"Selama mama belum sampai ke Bristol, kamu jangan merepotkan nenek dan kakek disana." ucap Anna sambil melipat baju-baju Esa kedalam koper.
"Siap ma, aku akan menjadi anak baik untuk nenek juga," Esa tersenyum meyakinkan ibunya.
Anna pun membalas senyuman anaknya dengan lembut. "Jangan pergi ke mana-mana dulu. Biar nanti mama yang akan menunjukkan tempat -tempat bagus di Bristol kepadamu."
"Mama sudah 15 tahun tidak pernah ke sana. Bristol pasti telah berubah. Aku melihat di internet jika Bristol sudah menjadi kota tujuan semua orang selain London."
"Meski begitu, mama tetap lebih tahu darimu." bela Anna tidak mau kalah.
"Iya, iya. Aku tahu." Esa mengiyakan begitu saja, karena jika dia terus membalas ucapan sang ibu maka bisa dipastikan pembicaraan ini akan menjadi sangat panjang, dia tahu ibunya tidak pernah mau kalah dan selalu lebih kekanakan darinya.
Anna tersenyum penuh kemenangan. "Ah mama pasti akan merindukan momen seperti ini." Anna mengusap kepala putranya yang sedang tiduran.
Esa memutar tubuhnya dan tidur menyamping menghadap sang ibu, dengan senyuman manis miliknya dia menatap sang ibu dengan begitu dalam.
"Ma, jangan seperti ini ya? Aku jadi merasa bersalah," ucap Esa dengan sedih.
Anna terkekeh pelan. "Maafkan mama, aku pasti berlebihan lagi ya padahal kan penerbangan kita hanya berbeda seminggu. Dan di sana kita akan tetap tinggal bersama."
"Nah itu tahu." kali ini giliran Esa yang terkekeh.
Esa kembali memutar tubuhnya, kini menjadi tidur terlentang. Matanya bergerak menerawang langit-langit kamar.
"Ma," panggilnya dengan lembut dan tenang.
"Hmm." gumam Anna.
"Apa Bristol tempat yang indah?" tanya Esa yang masih menatap langit-langit kamarnya.
Anna naik ke tempat tidur dan berbaring di samping anaknya. Mengusap pelan wajah sang anak dan menyingkirkan poni yang menutupi sebagian besar dahinya.
"Ya, Bristol tempat yang indah. Tapi bagi mama, tidak ada tempat yang lebih indah selain bersamamu." Anna kemudian memeluk Esa dengan erat. Anna tidak berbohong, karena baginya Esa adalah dunianya.
"Jika Bristol itu indah, kenapa mama pindah kesini?" pertanyaan tersebut keluar begitu saja.
Anna menghela nafas dalam. "Terkadang kita bertemu kondisi yang mengharuskan kita pergi," terlihat sekali jika Anna berusaha tersenyum memaksakan.
Esa terdiam, dirinya kini sudah dewasa, dan sudah bisa memikirkan banyak kemungkinan. Diantaranya alasan ibunya pindah ke Jepang dan tidak pernah kembali ke Bristol lagi. Selain itu, alasan ibunya hidup berpura-pura menjadi seorang pria pasti karena ada hubungannya dengan masa lalu. Meski Anna selalu mengatakan perubahannya untuk membuat Esa nyaman dan tidak dikucilkan, nyatanya Esa tidak bisa menelannya bulat-bulat.
"Mama, aku mencintaimu. Sangat." ucap Esa dalam pelukan ibunya. "Tapi, bolehkah kali ini saja aku bertanya tentang masa lalu?" suara Esa pelan namun penuh dengan keseriusan.
Anna mengurai pelukannya dan menatap manik sang anak yang terlihat penuh harap. Dengan helaan nafas berat dan penuh kewaspadaan, Anna hanya bisa mengangguk pasrah.
"Boleh aku tahu siapa papa?" tidak ingin berbelit-belit dan memberi kesempatan ibunya untuk beralasan lagi, Esa akhirnya bertanya sesuatu yang seumur hidupnya menjadi hal yang paling ingin dia ketahui.
Anna berubah gusar dan tanpa sadar menggigit bibirnya. Mungkin ini sudah saatnya. Putranya tahun ini berumur 15 tahun, dan sudah masuk SMA. Tetap disembunyikan pun pertanyaan itu akan terus menerornya seumur hidup.
"Mama akan menceritakan sesuatu, tapi setelah ini Esa harus berjanji untuk tidak pernah membenci siapapun. Mama berharap Esa justru mau melupakan semuanya." Anna mencium kening anaknya
Esa tersenyum, lalu mengangguk.
"Papa mu adalah orang Brisol. Tapi, mama sendiri tidak tahu dimana dia berada sekarang. Entah masih disana, atau sudah pindah. Entahlah." Anna menghela nafas sejenak dan melanjutkannya. "Dia juga mungkin tidak tahu dimana kita."
"Apa dia tidak pernah ingin tahu bagaimana kabarku? Atau setidaknya penasaran dan bertanya dimana kita sekarang?" tanya Esa masih dengan ekspresi tenang.
Anna kembali terdiam, dia bingung bagaimana harus mengatakannya. "Dia tidak pernah tahu kalau kamu ada." desah Anna lemah.
Esa mengernyitkan keningnya, dia tidak mengerti maksud perkataan ibunya.
"Jika ada seseorang yang harus Esa benci, maka mama lah orangnya." Lanjut Anna. "Mama berpisah dengannya disaat kami belum tahu jika ada kamu hadir di dalam perutku"
Esa menggigit bibirnya, entah kenapa tiba-tiba matanya terasa panas. Dia mulai mengerti sedikit-demi sedikit apa yang diceritakan oleh ibunya. "Kenapa?" Tanya Esa. "Meskipun sudah berpisah, bukankah masih bisa bicara apalagi untuk hal seperti itu?" Esa sedikit menaikan suaranya, pertanda emosi sudah mulai mengusai dirinya. Ini pertama kalinya Esa bicara keras kepada ibunya, tapi Anna mengerti.
"Esa kecewa hm? Karena hanya bisa hidup dengan mama?" Tanya Anna masih berusaha untuk tenang.
"B-bukan begitu, tapi bukankah seharusnya mama memberi tahu papa meskipun kalian sudah bercerai?"
"I-itu karena-- " Anna memejamkan matanya. Menyiapkan diri untuk mengatakan luka masa lalunya.
ada perempuan lain yang tengah mengandung anaknya." jawab Anna pada akhirnya kalimat itu keluar dari mulutnya. Kalimat yang untuk pertama kalinya dia ucapkan kepada sang putra setelah sekian lama terpendam. Butuh keberanian yang besar bagi Anna untuk bicara, tapi dia tahu putranya berhak tahu agar tidak menyalahkannya karena memilih untuk membesarkan Esa seorang diri.
Esa terhenyak, pikirannya mendadak kosong. Sesuatu yang tidak diduga menghantam dadanya begitu telak. Ternyata selama ini ibunya menyimpan sesuatu yang begitu menyakitkan. Esa pun mulai terisak, rasa bersalah memenuhi hatinya kala merasakan air mata sang ibu jatuh di wajahnya. Dan untuk pertama kalinya juga Esa menangis didepan Anna. Selama ini, Esa selalu menjadi anak yang kuat dan tidak pernah menunjukkan kesedihan apapun kepada sang ibu. Tapi hari ini menjadi pengecualian.
"Maafkan aku ma, aku berjanji setelah ini aku tidak akan pernah bertanya apapun lagi tentang dia," Dia, itulah panggilan baru Esa terhadap ayahnya. Dia enggan memanggil paa pada seseorang yang sudah memberi luka pada ibunya, malaikat penolongnya.
Anna mencium pipi kiri kanan Esa bergantian. "Kau berhak tahu sayang, dan aku juga berjanji akan membuatmu bahagia meski hanya kita berdua." Anna kembali membawa Esa kedalam pelukannya. "Kita lupakan semua masa lalu, hanya ada mama dan kamu disini sebagai Khesa Devano putra seorang Joanna Michelle. "
Dan malam itu pun mereka habiskan bersama. Anna menemani Esa tidur dengan memeluknya sepanjang malam.
*
*
*
- T B C -
With Love : Nhana
Tiba hari dimana Esa akan berangkat ke Bristol. Sejak semalam, Anna tidak melepaskan pelukannya dari sang putra. Tidak hanya itu, dia bahkan mengekori kemanapun Esa melangkah.Esa mendesah lelah, ibunya benar-benar tidak bisa di tinggalkan. "Bagaimana ini ojisan?" tanya Esa kepada Tomo dengan tatapan memelas karena ibunya masih setia bergelayut manja di tangannya."Anna, bisakah kau lepaskan Esa? Dia harus berangkat sekarang," Tomo mencoba mengingatkan Anna dengan pelan."Sebentar lagi, aku masih ingin memeluk putraku." jawabnya tanpa bergerak sedikit pun dari posisinya."Jika begini terus, kau akan menghambat keberangkatan Esa." kali ini Sean yang bicara mengingatkan.Anna sedikit tidak suka dengan Sean yang menginterupsi kegiatannya. Tapi biar bagaimanapun Anna sadar kalau apa yang dikatakan Sean itu benar. Dengan berat hati, Anna pun akhirnya melepaskan pegangan tangannya dari lengan Esa."M
Pagi-pagi sekali Dara sudah menggerutu di toilet, pasalnya baju olahraga yang dia tinggalkan di loker tiba-tiba sudah basah dan bau amis, padahal baju tersebut pagi ini akan dia gunakan untuk mengikuti pelajaran olahraga. Jelas sekali kalau ini adalah perbuatan jahil dari orang lain.Satu hal yang tidak orang-orang ketahui, Dara selama ini tidak seceria dan sebahagia yang terlihat. Dia mungkin sangat bahagia karena di sayangi oleh orang tuanya dan juga keluarganya yang sangat kaya. Tapi, tidak semua orang di sekolahnya menerima dia dengan baik. Diam-diam selalu ada yang merundung nya meski secara tidak langsung."Tampaknya kebencian orang-orang sudah semakin dalam." sindir seorang anak perempuan yang baru saja masuk kedalam toilet dan melihat apa yang tengah Dara lakukan."Bukan urusanmu." jaw
Sudah 15 tahun Anna tidak pernah menginjakan kaki di sini, di tempat kelahirannya, Bristol, Inggris. Terakhir kali dia berada di sini, tepat sebulan setelah dirinya tahu sedang mengndung Khesa.Anna menatap sekeliling bandara, sebuah senyuman samar menghiasi wajah manisnya. "Benar-benar sudah berubah banyak ya." gumamnya pelan.Anna menyeret koper yang di bawanya dan masuk kedalam taksi yang sudah dipesankan oleh kedua orang tuanya. Niatnya untuk tidur sepanjang perjalanan terganggu begitu ingatan masa lalu mengambil alih pemikirannya.*Flashback"By, mau tahu satu rahasia?" tanya Anna yang sedang tidur di paha suaminya. By adalah panggilan sayang yang Anna berikan untuk suaminya."Apa itu?" tanya Dareen yang masih sibuk dengan buku bacaannya. "Aku mencintaimu, sangat." Anna terkekeh sendiri dengan kerecehannya."Ck, aku tahu." jawab Dareen acuh. "Kau tidak asik by." Anna memanyun
Dan disini lah mereka sekarang. Di sebuah restoran mewah yang terletak di sebrang hotel milik Dareen. Tidak hanya mereka berempat, kini Raiden juga sudah ikut bergabung bersama."Sa, kenapa makanannya hanya kau pandangi saja? " Tanya Edwin yang sadar sejak tadi Esa tidak kunjung makan."Em, itu. Sebenarnya aku tidak suka bawang. " Jawab Esa ragu. Dia takut akan menyinggung orang yang sudah memberinya makanan tersebut.Mendengar jawaban Esa, Dareen sedikit melirik pada anak itu. "Kau bisa pesan yang lain. " Ucapnya tenang."Wahh Esa seperti daddy, dia juga sangat membenci bawang. " Ledek Dara pada ayahnya."Kalau begitu biar paman pesan kan yang lain, Esa kau mau apa? " Tanya Edwin begitu perhatian. Edwin memang seperti itu, sangat lembut dan penuh kasih sayang pada semua orang."Pesan yang sama saja, tapi tanpa bawang paman. " Jawab Esa yang merasa tidak enak karena sudah merepotkan Edwin. Hari ini, dia terlalu banyak merasa t
Semenjak mengetahui kebenaran tentang Khesa dari Hana, diam-diam Edwin selalu memperhatikan anak itu. Dan melalui bantuan Hana pula, Edwin juga sudah membuktikan jika Esa adalah anaknya Anna. Bahkan ia sudah melakukan tes DNA terhadap Esa dan Dareen yang hasilnya 99% positif."Jika Hana tidak menutup-nutupi keberadaan mereka, pasti sejak dulu aku dan Dareen sudah menemukannya dan pekerjaanku akan menjadi sangat mudah. " Keluh Edwin yang masih setia pada posisinya memandangi foto seorang perempuan manis yang tengah menggendong seorang anak laki-laki kira-kira berusia dua tahun."Sekarang, meski aku sudah tahu semuanya. Aku justru tidak yakin akan memberi tahu Dareen atau tidak, mengingat bagaimana Hana sangat apik dalam menyembunyikan mereka, itu berarti Anna memang tidak ingin keberadaannya diketahui. " Gumam Edwin kepada dirinya sendiri.Dareen tiba-tiba masuk kedalam ruangan Edwin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, hal itu membuat Edwin dengan buru-buru men
Tubuh Anna menegang begitu matanya menatap lurus objek yang sedang duduk dihadapannya. Mata mereka bertemu, mencari-cari sebuah jawaban dari rasa penasaran yang tiba-tiba melingkupi. Sepercik amarah iba-tiba menyala di mata biru Anna, sedangkan lawannya menyipit seolah mencari kejelasan melalui indranya.Sedetik kemudian Anna segera memutus kontak mata tersebut kemudian beralih kepada sang guru. "Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi disini? Aku sepenuhnya yakin jika anakku hanya korban. " Tanya Anna yang tidak terima karena anaknya menjadi satu-satunya yang mendapat luka."Papa. " Ucap Esa berniat menghentikan ibunya. Esa tahu ibunya akan susah diajak berdamai jika sudah menyangkut keselamtannya.Wenda mendengus pelan. "Berlebihan sekali. "Anna memutar bola matanya jengah. Ucapan Wenda yang terdengar di telinganya sedikit membuat emosinya meningkat. Kate yang mencium aroma keributan lanjutan menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya.
BRAKSebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut."Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa."Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut."Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda."Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya."Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. "
Anna tidak mengurungkan diri untuk mengantarkan berkas tersebut kepada pemilik hotel Produce tersebut. Beruntung dia lebih dulu bertemu dengan Edwin dan mengetahui tentang semuanya dari sepupunya itu. Edwin juga yang membantu Anna agar berkas yang dia bawa sampai ke tangan Dareen tanpa harus bertatapan langsung dengannya.Tapi keberuntungan Anna hanya sebatas itu. Setelahnya dia mendapati Esa tengah menikmati waktu istirahat dengan bercanda gurau bersama Dara di ruang rapat yang kosong. Dara bahkan sesekali terlihat memasukkan snack kedalam mulut Esa, meski Esa terus berusaha menolaknya.Anna geram, sangat. Pasalnya dia sudah menyuruh Esa maupun Dara untuk tidak berdekatan, tapi ternyata mereka mengabaikan itu. Kekesalannya bertambah saat Anna mendapat informasi jika Esa kembali dikucilkan akibat rumor tentang asal-usulnya. Dan dari pengakuan Esa, dia hanya menceritakannya pada Dara.Dengan langkah cepat Anna memasuki ruangan tersebut yang memang pintunya terbuka.
Brenda membolak-balikan kertas yang ada di tangannya untuk membaca secara berulang kali informasi yang tertulis diatasnya. Sudah hampir satu jam Brenda bertahan dengan posisi tersebut dan mengabaikan lawan bicaranya yang duduk bersebrangan dengannya di sofa. Kerutan di kening Brenda tidak hilang sama sekali sejak pertama ia membaca kertas tersebut sampai akhirnya sebuah desahan keras terdengar. "Oke, cukup! Aku rasa aku tidak akan pernah mengerti meski aku baca sampai kertas ini robek sekalipun." Brenda menjatuhkan tubuhnya dan memijat keningnya yang mulai pusing. "Lalu apa yang akan dr. lakukan sekarang?" tanya lawan bicara Brenda yang masih duduk anteng dan memaklumi rasa frustasi yang di perlihatkan oleh seniornya itu.
Wenda menatap punggung Raiden yang sedang membuat sarapan. Tatapan matanya begitu fokus seolah ada sesuatu yang menarik dari punggung lebar milik suami nya itu. Ekspresi Wenda pun berubah-ubah, terkadang dia terlihat bahagia, namun sesaat kemudian berubah menjadi kecewa, sedih, dingin bahkan tidak terbaca sama sekali. Sudah 2 minggu Wenda dan Raiden kembali tinggal bersama. Kondisi kejiwaan Wenda juga mulai stabil, setidaknya dirinya tidak pernah lagi mencoba untuk bunuh diri. Tapi walaupun begitu hubungan mereka tidak membaik seperti yang diharapakan karena Raiden tidak pernah benar-benar menganggap keberadaan Wenda meski mereka tinggal bersama. "Makanlah," ujar Raiden dingin saat menyodorkan sepiring sandwich dihadapan Wenda. Wenda
Dona menatap lekat sebuah album foto yang dia temukan di ruang baca milik keluarga Tucker. Tatapannya begitu fokus saat lembar demi lembar dia buka secara perlahan. Namun semakin lama, semakin banyak lembaran yang terbuka, ekspresi wajahnya justru semakin tidak terbaca. Ada kerutan di keningnya yang menandakan sebuah kebingungan. "Kak Dareen?" gumamnya penuh tanya. "Tapi kenapa fotonya di simpan di akhir, tidak berurutan seperti yang sebelumnya?" Dona mengambil salah satu foto yang tersimpan di bagian akhir album. Album foto yang sedang Dona lihat adalah album yang berisi foto-foto masa kecil Dareen. Mulai dari foto bayi hingga foto saat Dareen memasuki sekolah dasar. Semua tersusun dengan rapi dan berurutan di dalam album tersebut. Tapi ada satu foto ya
Edwin membolak-balik berkas-berkas yang akan dia gunakan untuk menuntut Wenda. Sudah berhari-hari dirinya disibukkan dengan hal yang sama, tapi tidak sedikitpun dia merasa lelah atau putus asa. Wenda memang masih dalam perawatan medis akibat depresi berat, tapi Edwin akan tetap memastikan perempuan tersebut masuk kedalam penjara dan menerima semua balasan dari perbuatannya. "Hah, aku benar-benar tidak mengerti," desah Edwin pelan. "Kali ini apa?" tanya Hanna yang setia mendampingi suaminya di ruang kerja. "Zayn Boseman dan Richard Clay.""Bukankah sudah jelas kenapa mereka saling serang, lalu bagian mana yang membuatmu ma
Dona keluar dari rumah sakit dengan wajah lelah. Sudah beberapa hari ini dia memiliki banyak jadwal operasi. Selain itu, dirinya juga disibukkan dengan pemikiran tentang Jesfer, Jeffrey dan kabar Jeno yang masih abu-abu.Hari ini Dona meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena ingin mencari informasi tentang keberadaan Ten, sahabatnya dan satu-satunya orang yang ingin dia mintai penjelasan.Sebelum pergi menuju tempat parkiran mobil, Dona memilih untuk membeli minuman kaleng dan meneguk nya dengan kasar di bangku yang tidak jauh dari parkiran.Dona mendesah kasar begitu cairan tersebut melewati tenggorokannya. "Aku benar-benar bisa gila," desisnya pelan sambil meremat kaleng yang tidak berdosa tersebut hingga tidak berbentuk lagi dan membuangnya asal."Kenapa mereka mempermainkan ku? Siapa yang harus aku percaya sekarang?!" tanyanya pada dirinya sendiri."Maaf tante, ini sampahnya," seor
Ten berlari bagai orang kesetanan. Semua mata para penjaga rumahnya menatap bingung kearah majikannya yang tiba-tiba saja masuk rumah dengan terus berteriak."Mark!" panggil Ten dengan panik."Mark!" lagi Ten memanggil nama putranya.Para maid yang sedang bekerja pun segera menuju sumber suara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi."Dimana Mark?" tanya Ten masih dengan nada panik."Mohon maaf nyonya, tuan muda Mark tidak berada di rumah," jawab salah satu Maid yang menunduk takut."What? Lalu dimana Mark? Siapa yang mengijinkan dia keluar?"emosi Ten seketika naik."Maaf nyonya, sepertinya tuan besar Track yang mengijinkan.""Ten, ada apa?" Track keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri Ten yang tengah menatap para maid nya dengan tajam."Mana anakku?" desis Ten tajam.
Dareen mengerang frustasi saat menyaksikan layar laptop yang berada di meja sofa ruang rawat kamar Anna. Bagaimana tidak, di depannya sekarang tengah ada adegan live putra kesayangannya tengah berciuman dengan mesra di atas tempat tidur rumah sakit.Ya, dikamar Esa ada CCTV yang terhubung ke laptop yang sengaja dia letakkan dikamar Anna agar memudahkan Dareen untuk mengawasi keduanya sekaligus.Anna yang juga ikut menyaksikan adegan tersebut hanya bisa meringis. Bagaimanapun dirinyalah yang memberi ijin kepada Jenny untuk menemui Esa, dan sekarang dia harus mendengarkan omelan suaminya.Anna sendiri tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi dia bahkan masih tidak percaya jika putranya mampu melakukan hal berani seperti itu, oh Anna sepertinya lupa jika Esa dan Jenny pernah melakukan hal yang lebih berani dari pada itu.
Anna menatap kedua putranya dengan gemas. Sampai saat ini dia masih belum sepenuhnya percaya bahwa dirinya telah melahirkan dua orang bayi yang sangat menggemaskan ini dengan keadaan sehat dan sempurna tanpa kekurangan sesuatu apapun. Meski mereka lahir prematur, dan terkesan lahir karena 'paksaan' tapi beruntung keduanya bayi beserta ibunya sehat.Anna tersenyum lembut saat melihat salah satu putranya masih terjaga. Sepertinya Subin senang bertemu dengan ibunya sehingga dia memilih untuk tetap membuka mata setelah kenyang menyusu. Sementara Yuvin sedang tidur dengan nyenyak. "Subin kenapa belum bobo hm?" tanya Anna dengan gemas saat putranya begitu intens menatap kearahnya.Subin dan Yuvin masih dalam perawatan sehingga Anna hanya bisa menjenguk mereka sesekali saat akan menyusui saja selebihnya dia harus bersabar karena hanya mampu melihat kedua putranya melalui layar kaca."Apa Su
Dareen menatap Esa yang tengah tertidur pulas setelah meminum obatnya. Ada gurat kesedihan yang tampak jelas di wajah tampan pria yang baru saja siuman dari pingsan itu.Satu jam yang lalu Dareen siuman, begitu dia bangun hal pertama yang dia tanyakan adalah keadaan istri dan anak-anaknya terutama Esa yang belum sempat dia temui sama sekali.Lama menatap Esa dalam diam, Dareen kembali mendesah pelan untuk kesekian kalinya. Pembicaraannya dengan Henry beberapa waktu lalu membuatnya frustasi. Esa harus segera di operasi, tapi permasalahannya siapa yang akan menjadi donor untuk putranya itu. Saat ini satu-satunya orang yang belum melakukan pemeriksaan hanya Anna.Sebagai ibu kandung Esa, Anna memiliki persentase kecocokan yang lebih besar dengan Esa, tapi Dareen tidak mau berharap terlebih Anna baru saja melahirkan dan kondisinya sekarang bahkan masih belum sadar