Joanna Michelle atau yang akrab dipanggil Anna, tidak pernah tahu jika pernikahan justru membawa kesengsaraan untuknya. Seorang pria yang menjanjikan dia bahagia seumur hidupnya ternyata justru memberinya luka yang mungkin akan dia ingat sepanjang usia.
Tidak hanya itu, keadaan kembali memaksanya untuk meninggalkan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Membawa semua beban kehidupan seorang diri tanpa ada seorang pun yang menemani.
Pernikahan yang baru berjalan 2 bulan harus berakhir begitu saja tanpa penjelasan. Tapi semua itu hanya cerita lalu, sekarang Anna telah memiliki kehidupan baru bersama seorang putra yang selalu memanggilnya mama.
Sama seperti hari-hari biasanya setiap pagi di rumah Anna, dia selalu disibukkan dengan kegiatan membuat sarapan dan beberapa pekerjaan ringan rumah tangga. Tidak banyak yang Anna lakukan sebenarnya, karena untuk sebagian besar urusan rumah tangga juga sudah ada pembantu yang mengerjakannya.
Anna memang tidak kaya, tapi hidupnya berkecukupan. Dia punya toko kue dengan beberapa karyawan dan satu asisten rumah tangga yang sangat membantunya. Penghasilan dari tokonya lebih dari cukup untuk biaya hidup, biaya pendidikan dan juga gaji karyawan-karyawannya.
"Pagi ma, apa tidur mama nyenyak?" sapa seorang anak laki-laki yang baru saja menuruni tangga dan bergabung di meja makan. Siapa lagi kalau bukan putranya.
"Pagi juga sayang," Jawab Anna yang masih fokus menyajikan sarapan untuk dirinya dan sang putra. "Tidurku selalu nyenyak." sebuah senyuman hangat hangat Anna berikan untuk putra tersayangnya.
"Tomo Ojisan kemana? Tumben sekali sejak pagi tidak kelihatan,"
"Tomo ojisan sudah berangkat duluan ke toko, karena harus membeli beberapa bahan pokok roti yang sudah habis." jelas Anna yang cukup untuk membuat anaknya manggut-manggut mengerti.
"Sa, kamu bergadang lagi?" tanya Anna saat tanpa sengaja matanya bertemu dengan dengan wajah sang putra.
"Aku tidur kok ma, hanya saja sebentar," Esa tersenyum kaku, dia mengerti ibunya
nya selalu khawatir setiap kali mendapati besarnya kantung mata yang menghiasi wajah tampannya."Mama kan sudah bilang, belajar sewajarnya saja sayang. Kamu sudah pintar dan sudah sangat membanggakan. Jadi jangan memaksakan diri untuk selalu menjadi yang terbaik dalam segala hal." Anna membelai wajah putranya dengan penuh kasih sayang. Diusap nya kantung mata yang sedikit lebih besar dari kemarin itu.
"Aku tidak apa-apa, mama tidak perlu khawatir." Khesa balas tersenyum hangat untuk menghilangkan kekhawatiran sang ibu.
Khesa Devano adalah anak yang Anna lahirkan dan besarkan seorang diri di Jepang. Khesa tumbuh dengan menyaksikan perjuangan serta kerja keras sang ibu, sejak dirinya kecil dan keluarganya tidak punya apa-apa hingga sekarang saat kehidupan ekonomi keluarganya sudah menjadi lebih baik. Hal itu lah yang membuatnya selalu berusaha melakukan yang terbaik di segala bidang, terutama akademik. Dia ingin menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh ibunya.
Anna tidak pernah meminta putranya untuk melakukan semua itu, tapi pendidikkan yang dia terapkan nyatanya mampu membuat sang putra tumbuh menjadi anak yang diharapkan oleh semua orang tua. Bahkan tidak jarang membuat iri para orang tua dari teman-teman sekolahnya.
"Cepat habiskan makanannya, setelah ini mama akan mengantarmu ke sekolah."
Khesa mengangguk. "Okey. Oh iya ma, aku akan mulai berangkat ke Bristol minggu depan. " Ucap Khesa yang membuat ibunya secara otomatis menghentikan kegiatan mengunyah makanannya.
"Secepat itu? Aku belum diberi tahu oleh pihak sekolahmu," Anna tampak berpikir. Ada raut khawatir yang ditunjukkan wajahnya.
"Suratnya akan diberikan hari ini. Aku juga sudah memisahkan beberapa pakaian yang akan dibawa ke sana."
Anna mendesah pelan. Sepertinya hari yang paling di antisipasi olehnya datang dengan cepat. "Tidak bisakah di batalkan saja? Mama benar-benar khawatir." Anna mengelus tangan putranya dengan lembut, berharap agar putranya memahami keresahan hatinya. Dari sekian banyak negara yang rekomendasikan oleh sekolahnya, kenapa putranya harus memilih Inggris? Dan dari sekian banyak kota di Inggris, kenapa harus Bristol? Kenapa tidak London saja? Bukankah London adalah kota pelajar terbaik di dunia?
"Maafkan aku ma, kali ini aku harus pergi. Ini kesempatan terbaik untukku, dengan aku belajar di Bristol, itu bisa membantu memperbesar peluangku untuk bisa kuliah di salah satu Universitas yang ada London nanti."
"Kalau memang begitu, kenapa kau tidak mengambil di London saja sekarang? bukankah itu lebih membantu? Kau bisa sekalian berkunjung ke Universitas-Universitas impianmu." Anna sepertinya masih belum setuju dengan keputusan putranya.
"Oh ayolah ma, aku belum punya keberanian untuk itu. Kemampuanku masih jauh dari kata cukup untuk bersaing dengan teman-temanku di seluruh Jepang. Lagipula kenapa dengan Bristol? Bukankah London dan Bristol sama saja? Sama-sama berada di Inggris." argumen Khesa untuk pertanyaan ibunya.
"Tidak apa-apa, mama hanya khawatir." Anna mendesah pelan.
"Bristol atau kota manapun itu, intinya aku tetap pergi dan tetap akan berada jauh dari mama selama satu tahun kedepan. Mama tidak perlu khawatir, aku akan baik-baik saja." Khesa tahu ibunya terlalu khawatir karena ini akan menjadi kali pertama dia pergi jauh dari sang ibu untuk waktu yang cukup lama.
"Kau tidak tahu kehidupan di sana seperti apa sayang, kau bahkan baru 15 tahun. Bristol tidak semudah yang kau pikirkan." ucap Anna lembut.
Khesa menatap ibunya serius. "Aku tahu, oleh karena itu mama pindah kesini. Bristol tempat mama lahir dan dibesarkan, jadi tolong ijinkan aku kesana meski hanya sekali. Aku berjanji aku hanya akan belajar di sana. Mama tidak perlu khawatir karena di sana juga kan ada nenek dan kakek." Khesa berusaha meyakinkan ibunya untuk kesekian kali.
Anna sendiri sebenarnya sadar, putranya sudah melakukan yang terbaik untuk sampai di tahap ini. Meski dia sangat khawatir, tapi dirinya tidak ingin egois dan menghalangi mimpi sang anak. Tapi masalahnya, kenapa harus Bristol? Anna jelas tidak ingin kembali ke negera tempat kelahirannya itu.
"Baiklah, aku mengijinkan. Tapi, aku akan menyusul setelah semua pekerjaan disini selesai." Anna tersenyum hangat dan mengusap kepala putranya. Khesa juga hanya balas mengangguk, dia setuju jika ibunya ikut karena percuma juga menolak toh ibunya pasti akan tetap menyusul.
Tidak apa-apa Anna. Semua akan baik-baik saja. Esa juga akan baik-baik saja. Monolog Anna dalam hati.
✿✿✿✿✿
Bristol
"Dad, sekolah Dara akan segera melakukan praktik kerja lapangan bulan depan," ucap seorang anak perempuan yang kini tengah menikmati sarapan pagi bersama ayahnya.
Ayahnya mengangguk mengerti. "Bagus dong, dengan begitu kamu berada dalam pengawasan daddy lebih lama."
"Kenapa begitu? Dara kan nanti akan praktik nya di perusahaan pilihan sekolah, jadi sama saja dengan Dara sekolah. Sama-sama tanpa daddy." jelas Dara.
"Siapa yang bilang? Kamu akan praktik di hotel milik daddy." ucap sang ayah tegas.
Dara melirik ayahnya sekilas. "Tidak mau!" Tolaknya cepat. "Lagipula hotel daddy kan tidak pernah menerima siswa PKL, bahkan mahasiswa magang pun tidak diperbolehkan."
"Kenapa harus di hotel lain? Hotel milik daddy tahun ini juga menerima PKL dan semua itu karena kamu Dara," jelas sang ayah.
"Tapi Dara tidak mau diperlakukan istimewa. Hampir semua karyawan daddy mengenal Dara. " Dara menatap ayahnya serius.
Sang ayah hanya terkekeh pelan. "Tidak ada yang akan mengistimewakan kamu di sana princess," ayahnya mengelus kepala sang anak dengan lembut. "Daddy akan mengatur semuanya. Bahkan jika perlu daddy sendiri yang akan langsung turun tangan membimbing kalian."
Dara memutar bola matanya malas. "Aku yakin daddy tidak punya waktu untuk itu. Jadi berhenti bersikap posesif!"
"Daddy hanya khawatir dengan keadaanmu Dara, daddy tidak mau kamu kelelahan apalagi sampai sakit,"
"Tapi dad, Dara kan sudah besar jadi pasti bisa jaga diri dengan baik." lagi-lagi Dara protes.
Dareen, sang ayah hanya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir putrinya dan menggeleng pelan. "Tidak ada penolakan sayang, daddy sudah memutuskan semuanya."
Dara pun hanya mendesah pelan. Dia merasa ayahnya selalu berlebihan jika menyangkut dirinya. Padahal dia sudah besar sekarang tapi ayahnya memperlakukannya lebih dari pada ke anak kecil. Hey, usia Dara sekarang sudah 15 tahun. Meski kadang Dara merasa risih tapi akhirnya dia pasrah dan selalu menerima keputusan sang ayah. Dara sadar, semua yang dilakukan ayahnya hanya demi kebaikannya karena kondisinya sekarang. "Baiklah dad"
Dareen tersenyum lembut, Dara memang sering protes tapi pada akhirnya dia tetap jadi penurut.
"Dad, hari ini Dara pulang telat ya,"
Dareen mengangkat kedua alisnya meminta penjelasan Dara. "Kenapa?"
"Aku akan pergi menemani mommy belanja." Dara tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.
"Hah, baiklah. Tapi ingat, jangan pulang terlalu larut dan katakan pada mommy mu untuk tidak mengajarkan hal-hal aneh." Dareen memperingatkan putrinya.
"Ayolah dad, tentu saja tidak. Lagipula kita juga akan pergi bersama Jinu. Daddy kemusuhan sekali dengan mommy. Padahal kan dulu kalian saling mencintai." Dara tertawa tanpa dosa. Tidak memperhatikan ekspresi wajah Dareen yang sudah berubah menjadi kaku.
Dareen menghela nafas berat, pandangannya berubah sendu.
Aku tidak pernah mencintainya. Aku tidak pernah mencintai mommy mu Dara. Batin Dareen.
✿✿✿✿✿
"Selamat pagi Tuan Yuta." ucap seorang karyawan saat seorang pria memasuki toko kue miliknya.
"Pagi juga Mia. Kau selalu semangat seperti biasa." puji pria yang bernama Yuta tersebut pada Mia salah satu karyawannya yang sangat rajin.
"Hai Yuta, kau sudah datang rupanya," Sapa Tomo yang baru saja keluar dari dapur. "Aku sudah membeli bahan-bahannya kau hanya perlu membuat adonan seperti biasa, dan kali ini aku yang akan memanggang." Lanjut Tomo yang masih sibuk dengan beberapa kantung belanjaan.
"Baiklah." Jawab Yuta dengan suara dalam dan berat, khas seperti laki-laki lalu berjalan melewati Tomo yang terdiam ditempatnya. Tomo masih saja tidak terbiasa dengan nada bicara Yuta, mungkin karena Yuta adalah seorag perempuan jadi terkadang Tomo merasa geli sendiri.
Na Yuta atau yang orang-orang panggil dengan Yuta, nyatanya dia adalah Joanna Michelle atau Anna seorang wanita yang telah memiliki seorang putra. Namun sejak 15 tahun lalu, orang-orang Jepang disekitarnya mengenal Anna sebagai seorang pria yang membesarkan putranya tanpa seorang istri. Anna merubah penampilan nya setelah dia melahirkan Khesa.
Keputusan ini tidak dia ambil begitu saja. Semua dengan pemikiran yang matang, Anna tahu di negara tempat tinggalnya sekarang, seorang perempuan yang memiliki anak akan mendapat banyak kesulitan terlebih dia adalah orang tua tunggal. Sebagai negara dengan budaya kerja keras, jam kerja yang panjang dan dedikasi terhadap pekerjaan yang tinggi sering kali menganggap jika kehadiran anak atau pasangan akan mengganggu karena anak akan menjadi prioritas utama dan dedikasi ke pekerjaan akan menjadi nomer sekian. Semua itu menjadi hal yang tidak bisa Anna abaikan, bagaimanapun dia harus punya pekerjaan dan menghasilkan uang untuk kelangsungan hidup dirinya dan juga sang putra. Dan sebagai perempuan, tentu hal itu akan menjadi hal yang sulit.
Di Jepang Anna bisa leluasa memulai hidup baru karena tidak ada siapapun yang mengenalnya. Sehingga penyamaran dirinya akan lebih aman.
Untuk berada pada kondisinya sekarang, Anna tidak mendapatkannya dengan mudah. Dia kesulitan mendapat pekerjaan karena kurangnya pengalaman dan tidak ada ijazah, belum lagi dia juga harus merawat Khesa dalam waktu yang bersamaan. Setelah berubah menjadi pria pun Anna beberapa kali harus berganti pekerjaan terutama jika pekerjaan tersebut berhubungan dengan kemampuan fisik. Meskipun penampilannya seorang pria, tapi tetap saja Anna adalah wanita.
Beruntung Anna bertemu dengan Tomo seorang pemuda Jepang yang bersedia menerima dan menjadi teman dekatnya selama ini. Membantunya mendapatkan pekerjaan hingga sekarang mereka sudah punya toko kue bersama. Sebenarnya tidak hanya Tomo yang membantu Anna dan juga tahu identitas aslinya, tapi ada satu orang lagi. Seorang pria tampan yang tidak pernah absen datang ke toko kue milik mereka.
"Selamat pagi Tuan Sean," sapa Mia ramah. Iya, seorang pria lain yang tahu Anna bukan seorang laki-laki adalah Sean, saudara sepupunya Tomo.
"Pagi Mia, aku pesan menu sarapan seperti biasa. Dan tolong diantarkan oleh pemilik toko ini." jawab Sean dengan senyuman hangat di wajah tampannya.
Mia mengedipkan sebelah matanya. "Okey, pesanan akan segera tiba," setelahnya Mia dan Sean tertawa pelan bersama. Mereka memang sudah sangat akrab.
Tidak berselang lama, pesanan Sean pun datang yang dibawakan langsung oleh Anna. "Berhenti datang kesini dan mengangguku." gerutu Anna, kemudian meletakan pesanan Sean dan duduk di kursi yang berhadapan dengan pria itu.
Sean hanya terkekeh. "Yuta-kun sedang merajuk,"
"Hentikan itu!" Anna memutar bola matanya.
Sean tertawa pelan. "Ini alasan kenapa aku selalu kesini, aku suka melihat wajah kesalmu," Anna tahu kalau Sean sedang menggodanya.
"Kau benar-benar kurang kerjaan," Anna segera berdiri, namun lengannya ditahan oleh Sean.
"Temani aku sarapan dulu,"
"Aku sibuk." Jawab Anna ketus.
"Ayolah, sebentar lagi kan kita akan jarang bertemu." Rajuk Sean dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
"Hah," Anna menghela nafas panjang dan memilih mengalah untuk duduk kembali. "Makanlah" ucap Anna dengan ekspresi yang masih kesal. "Jangan merindukanku saat aku tidak disini."
"Kau akan kembali kan?" tanya Sean yang mulai serius.
"Tentu saja." jawab Anna tanpa ragu. "Aku di sana hanya untuk menemani Esa." tambah Anna.
"Syukulah." Jawab Sean singkat.
"Aku akan kembali bagaimana pun itu." ucap Anna yakin.
Kalau bisa aku akan kembali lebih cepat. Aku tidak akan berlama-lama di sana. Tidak juga dengan Esa. Batin Anna.
Anna mungkin berharap kepergiannya hanya sementara dan akan kembali secepat mungkin, tapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Belum lagi di Bristol selain tempat kelahirannya, semua orang yang dia kenal keluarga, teman, termasuk mantan suaminya berada disana.
*
*
*
- T B C -
With Love : Nhana
Dareen masih berkutat dengan berkas-berkas penting di kantornya. Dia sengaja lembur dan pulang telat, karena Dara anaknya juga tidak ada di rumah dan mungkin tidak akan pulang.Raiden, sekertaris sekaligus orang kepercayaan Dareen yang hendak pulang dan melihat ruangan atasannya masih menyala menghentikan langkahnya. Dengan penasaran dia mengetuk pintu ruangan tersebut untuk memastikan kalau si pemilik ruangan memang masih ada.Selang beberapa detik setelah pintu di ketuk, terdengar suara sahutan dari dalam. "Masuk." ternyata Dareen memang masih ada di dalam. Dan tanpa menunggu lama, Rai pun memutar kenop pintu dan masuk kedalam."Ada apa Rai?" tanya Dareen setelah melihat sekilas kearah Raiden dan kembali memusatkan perhatiannya lagi kepada pekerjaannya."Hm. Tidak ada, hanya penasaran apa yang membuatmu masih di kantor sampai selarut ini." jawab Rai yang kemudian memilih untuk duduk di sofa."Ada pekerjaan yang be
Tiba hari dimana Esa akan berangkat ke Bristol. Sejak semalam, Anna tidak melepaskan pelukannya dari sang putra. Tidak hanya itu, dia bahkan mengekori kemanapun Esa melangkah.Esa mendesah lelah, ibunya benar-benar tidak bisa di tinggalkan. "Bagaimana ini ojisan?" tanya Esa kepada Tomo dengan tatapan memelas karena ibunya masih setia bergelayut manja di tangannya."Anna, bisakah kau lepaskan Esa? Dia harus berangkat sekarang," Tomo mencoba mengingatkan Anna dengan pelan."Sebentar lagi, aku masih ingin memeluk putraku." jawabnya tanpa bergerak sedikit pun dari posisinya."Jika begini terus, kau akan menghambat keberangkatan Esa." kali ini Sean yang bicara mengingatkan.Anna sedikit tidak suka dengan Sean yang menginterupsi kegiatannya. Tapi biar bagaimanapun Anna sadar kalau apa yang dikatakan Sean itu benar. Dengan berat hati, Anna pun akhirnya melepaskan pegangan tangannya dari lengan Esa."M
Pagi-pagi sekali Dara sudah menggerutu di toilet, pasalnya baju olahraga yang dia tinggalkan di loker tiba-tiba sudah basah dan bau amis, padahal baju tersebut pagi ini akan dia gunakan untuk mengikuti pelajaran olahraga. Jelas sekali kalau ini adalah perbuatan jahil dari orang lain.Satu hal yang tidak orang-orang ketahui, Dara selama ini tidak seceria dan sebahagia yang terlihat. Dia mungkin sangat bahagia karena di sayangi oleh orang tuanya dan juga keluarganya yang sangat kaya. Tapi, tidak semua orang di sekolahnya menerima dia dengan baik. Diam-diam selalu ada yang merundung nya meski secara tidak langsung."Tampaknya kebencian orang-orang sudah semakin dalam." sindir seorang anak perempuan yang baru saja masuk kedalam toilet dan melihat apa yang tengah Dara lakukan."Bukan urusanmu." jaw
Sudah 15 tahun Anna tidak pernah menginjakan kaki di sini, di tempat kelahirannya, Bristol, Inggris. Terakhir kali dia berada di sini, tepat sebulan setelah dirinya tahu sedang mengndung Khesa.Anna menatap sekeliling bandara, sebuah senyuman samar menghiasi wajah manisnya. "Benar-benar sudah berubah banyak ya." gumamnya pelan.Anna menyeret koper yang di bawanya dan masuk kedalam taksi yang sudah dipesankan oleh kedua orang tuanya. Niatnya untuk tidur sepanjang perjalanan terganggu begitu ingatan masa lalu mengambil alih pemikirannya.*Flashback"By, mau tahu satu rahasia?" tanya Anna yang sedang tidur di paha suaminya. By adalah panggilan sayang yang Anna berikan untuk suaminya."Apa itu?" tanya Dareen yang masih sibuk dengan buku bacaannya. "Aku mencintaimu, sangat." Anna terkekeh sendiri dengan kerecehannya."Ck, aku tahu." jawab Dareen acuh. "Kau tidak asik by." Anna memanyun
Dan disini lah mereka sekarang. Di sebuah restoran mewah yang terletak di sebrang hotel milik Dareen. Tidak hanya mereka berempat, kini Raiden juga sudah ikut bergabung bersama."Sa, kenapa makanannya hanya kau pandangi saja? " Tanya Edwin yang sadar sejak tadi Esa tidak kunjung makan."Em, itu. Sebenarnya aku tidak suka bawang. " Jawab Esa ragu. Dia takut akan menyinggung orang yang sudah memberinya makanan tersebut.Mendengar jawaban Esa, Dareen sedikit melirik pada anak itu. "Kau bisa pesan yang lain. " Ucapnya tenang."Wahh Esa seperti daddy, dia juga sangat membenci bawang. " Ledek Dara pada ayahnya."Kalau begitu biar paman pesan kan yang lain, Esa kau mau apa? " Tanya Edwin begitu perhatian. Edwin memang seperti itu, sangat lembut dan penuh kasih sayang pada semua orang."Pesan yang sama saja, tapi tanpa bawang paman. " Jawab Esa yang merasa tidak enak karena sudah merepotkan Edwin. Hari ini, dia terlalu banyak merasa t
Semenjak mengetahui kebenaran tentang Khesa dari Hana, diam-diam Edwin selalu memperhatikan anak itu. Dan melalui bantuan Hana pula, Edwin juga sudah membuktikan jika Esa adalah anaknya Anna. Bahkan ia sudah melakukan tes DNA terhadap Esa dan Dareen yang hasilnya 99% positif."Jika Hana tidak menutup-nutupi keberadaan mereka, pasti sejak dulu aku dan Dareen sudah menemukannya dan pekerjaanku akan menjadi sangat mudah. " Keluh Edwin yang masih setia pada posisinya memandangi foto seorang perempuan manis yang tengah menggendong seorang anak laki-laki kira-kira berusia dua tahun."Sekarang, meski aku sudah tahu semuanya. Aku justru tidak yakin akan memberi tahu Dareen atau tidak, mengingat bagaimana Hana sangat apik dalam menyembunyikan mereka, itu berarti Anna memang tidak ingin keberadaannya diketahui. " Gumam Edwin kepada dirinya sendiri.Dareen tiba-tiba masuk kedalam ruangan Edwin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, hal itu membuat Edwin dengan buru-buru men
Tubuh Anna menegang begitu matanya menatap lurus objek yang sedang duduk dihadapannya. Mata mereka bertemu, mencari-cari sebuah jawaban dari rasa penasaran yang tiba-tiba melingkupi. Sepercik amarah iba-tiba menyala di mata biru Anna, sedangkan lawannya menyipit seolah mencari kejelasan melalui indranya.Sedetik kemudian Anna segera memutus kontak mata tersebut kemudian beralih kepada sang guru. "Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi disini? Aku sepenuhnya yakin jika anakku hanya korban. " Tanya Anna yang tidak terima karena anaknya menjadi satu-satunya yang mendapat luka."Papa. " Ucap Esa berniat menghentikan ibunya. Esa tahu ibunya akan susah diajak berdamai jika sudah menyangkut keselamtannya.Wenda mendengus pelan. "Berlebihan sekali. "Anna memutar bola matanya jengah. Ucapan Wenda yang terdengar di telinganya sedikit membuat emosinya meningkat. Kate yang mencium aroma keributan lanjutan menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya.
BRAKSebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut."Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa."Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut."Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda."Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya."Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. "
Brenda membolak-balikan kertas yang ada di tangannya untuk membaca secara berulang kali informasi yang tertulis diatasnya. Sudah hampir satu jam Brenda bertahan dengan posisi tersebut dan mengabaikan lawan bicaranya yang duduk bersebrangan dengannya di sofa. Kerutan di kening Brenda tidak hilang sama sekali sejak pertama ia membaca kertas tersebut sampai akhirnya sebuah desahan keras terdengar. "Oke, cukup! Aku rasa aku tidak akan pernah mengerti meski aku baca sampai kertas ini robek sekalipun." Brenda menjatuhkan tubuhnya dan memijat keningnya yang mulai pusing. "Lalu apa yang akan dr. lakukan sekarang?" tanya lawan bicara Brenda yang masih duduk anteng dan memaklumi rasa frustasi yang di perlihatkan oleh seniornya itu.
Wenda menatap punggung Raiden yang sedang membuat sarapan. Tatapan matanya begitu fokus seolah ada sesuatu yang menarik dari punggung lebar milik suami nya itu. Ekspresi Wenda pun berubah-ubah, terkadang dia terlihat bahagia, namun sesaat kemudian berubah menjadi kecewa, sedih, dingin bahkan tidak terbaca sama sekali. Sudah 2 minggu Wenda dan Raiden kembali tinggal bersama. Kondisi kejiwaan Wenda juga mulai stabil, setidaknya dirinya tidak pernah lagi mencoba untuk bunuh diri. Tapi walaupun begitu hubungan mereka tidak membaik seperti yang diharapakan karena Raiden tidak pernah benar-benar menganggap keberadaan Wenda meski mereka tinggal bersama. "Makanlah," ujar Raiden dingin saat menyodorkan sepiring sandwich dihadapan Wenda. Wenda
Dona menatap lekat sebuah album foto yang dia temukan di ruang baca milik keluarga Tucker. Tatapannya begitu fokus saat lembar demi lembar dia buka secara perlahan. Namun semakin lama, semakin banyak lembaran yang terbuka, ekspresi wajahnya justru semakin tidak terbaca. Ada kerutan di keningnya yang menandakan sebuah kebingungan. "Kak Dareen?" gumamnya penuh tanya. "Tapi kenapa fotonya di simpan di akhir, tidak berurutan seperti yang sebelumnya?" Dona mengambil salah satu foto yang tersimpan di bagian akhir album. Album foto yang sedang Dona lihat adalah album yang berisi foto-foto masa kecil Dareen. Mulai dari foto bayi hingga foto saat Dareen memasuki sekolah dasar. Semua tersusun dengan rapi dan berurutan di dalam album tersebut. Tapi ada satu foto ya
Edwin membolak-balik berkas-berkas yang akan dia gunakan untuk menuntut Wenda. Sudah berhari-hari dirinya disibukkan dengan hal yang sama, tapi tidak sedikitpun dia merasa lelah atau putus asa. Wenda memang masih dalam perawatan medis akibat depresi berat, tapi Edwin akan tetap memastikan perempuan tersebut masuk kedalam penjara dan menerima semua balasan dari perbuatannya. "Hah, aku benar-benar tidak mengerti," desah Edwin pelan. "Kali ini apa?" tanya Hanna yang setia mendampingi suaminya di ruang kerja. "Zayn Boseman dan Richard Clay.""Bukankah sudah jelas kenapa mereka saling serang, lalu bagian mana yang membuatmu ma
Dona keluar dari rumah sakit dengan wajah lelah. Sudah beberapa hari ini dia memiliki banyak jadwal operasi. Selain itu, dirinya juga disibukkan dengan pemikiran tentang Jesfer, Jeffrey dan kabar Jeno yang masih abu-abu.Hari ini Dona meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena ingin mencari informasi tentang keberadaan Ten, sahabatnya dan satu-satunya orang yang ingin dia mintai penjelasan.Sebelum pergi menuju tempat parkiran mobil, Dona memilih untuk membeli minuman kaleng dan meneguk nya dengan kasar di bangku yang tidak jauh dari parkiran.Dona mendesah kasar begitu cairan tersebut melewati tenggorokannya. "Aku benar-benar bisa gila," desisnya pelan sambil meremat kaleng yang tidak berdosa tersebut hingga tidak berbentuk lagi dan membuangnya asal."Kenapa mereka mempermainkan ku? Siapa yang harus aku percaya sekarang?!" tanyanya pada dirinya sendiri."Maaf tante, ini sampahnya," seor
Ten berlari bagai orang kesetanan. Semua mata para penjaga rumahnya menatap bingung kearah majikannya yang tiba-tiba saja masuk rumah dengan terus berteriak."Mark!" panggil Ten dengan panik."Mark!" lagi Ten memanggil nama putranya.Para maid yang sedang bekerja pun segera menuju sumber suara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi."Dimana Mark?" tanya Ten masih dengan nada panik."Mohon maaf nyonya, tuan muda Mark tidak berada di rumah," jawab salah satu Maid yang menunduk takut."What? Lalu dimana Mark? Siapa yang mengijinkan dia keluar?"emosi Ten seketika naik."Maaf nyonya, sepertinya tuan besar Track yang mengijinkan.""Ten, ada apa?" Track keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri Ten yang tengah menatap para maid nya dengan tajam."Mana anakku?" desis Ten tajam.
Dareen mengerang frustasi saat menyaksikan layar laptop yang berada di meja sofa ruang rawat kamar Anna. Bagaimana tidak, di depannya sekarang tengah ada adegan live putra kesayangannya tengah berciuman dengan mesra di atas tempat tidur rumah sakit.Ya, dikamar Esa ada CCTV yang terhubung ke laptop yang sengaja dia letakkan dikamar Anna agar memudahkan Dareen untuk mengawasi keduanya sekaligus.Anna yang juga ikut menyaksikan adegan tersebut hanya bisa meringis. Bagaimanapun dirinyalah yang memberi ijin kepada Jenny untuk menemui Esa, dan sekarang dia harus mendengarkan omelan suaminya.Anna sendiri tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi dia bahkan masih tidak percaya jika putranya mampu melakukan hal berani seperti itu, oh Anna sepertinya lupa jika Esa dan Jenny pernah melakukan hal yang lebih berani dari pada itu.
Anna menatap kedua putranya dengan gemas. Sampai saat ini dia masih belum sepenuhnya percaya bahwa dirinya telah melahirkan dua orang bayi yang sangat menggemaskan ini dengan keadaan sehat dan sempurna tanpa kekurangan sesuatu apapun. Meski mereka lahir prematur, dan terkesan lahir karena 'paksaan' tapi beruntung keduanya bayi beserta ibunya sehat.Anna tersenyum lembut saat melihat salah satu putranya masih terjaga. Sepertinya Subin senang bertemu dengan ibunya sehingga dia memilih untuk tetap membuka mata setelah kenyang menyusu. Sementara Yuvin sedang tidur dengan nyenyak. "Subin kenapa belum bobo hm?" tanya Anna dengan gemas saat putranya begitu intens menatap kearahnya.Subin dan Yuvin masih dalam perawatan sehingga Anna hanya bisa menjenguk mereka sesekali saat akan menyusui saja selebihnya dia harus bersabar karena hanya mampu melihat kedua putranya melalui layar kaca."Apa Su
Dareen menatap Esa yang tengah tertidur pulas setelah meminum obatnya. Ada gurat kesedihan yang tampak jelas di wajah tampan pria yang baru saja siuman dari pingsan itu.Satu jam yang lalu Dareen siuman, begitu dia bangun hal pertama yang dia tanyakan adalah keadaan istri dan anak-anaknya terutama Esa yang belum sempat dia temui sama sekali.Lama menatap Esa dalam diam, Dareen kembali mendesah pelan untuk kesekian kalinya. Pembicaraannya dengan Henry beberapa waktu lalu membuatnya frustasi. Esa harus segera di operasi, tapi permasalahannya siapa yang akan menjadi donor untuk putranya itu. Saat ini satu-satunya orang yang belum melakukan pemeriksaan hanya Anna.Sebagai ibu kandung Esa, Anna memiliki persentase kecocokan yang lebih besar dengan Esa, tapi Dareen tidak mau berharap terlebih Anna baru saja melahirkan dan kondisinya sekarang bahkan masih belum sadar