"Kiara?"
Dona menatap Tania, sang oma. Kedatangannya ke rumah opanya untuk tahu tentang rahasia yang disembunyikan orang tuanya, berharap omanya akan menceritakan semuanya sebelum bertanya pada orang tuanya."Oma nggak ingat?" tanya Dona pelan sambil memegang tangannya."Oma nggak pernah terlibat jauh, opa kamu yang selalu melakukannya mungkin kakek bisa kasih jawaban. Kamu tunggu aja dia datang!" Oma membelai tangan Dona yang di genggamnya "Kamu kenapa tanya nama cewek? Pernikahan kamu tinggal beberapa minggu lagi.""Dona penasaran aja oma," jawab Dona jujur."Oma berharap agar pernikahan ini berjalan baik, Fandi kalau oma lihat pria baik dan bunda kamu cerita bagaimana Fandi hubungi bundamu hanya untuk bertanya kabar."Dona tersenyum mendengar bagaimana bundanya membanggakan Fandi, pernikahannya hanya keluarga tidak ada orang lain dari pihak mereka. Rekan bisnis hanya beberapa yang diundang, pernikahan tertutup yang saat ini d"Memang siapa dia?"Anggi memecah keheningan diantara mereka setelah Dona mengatakan hal yang memang seharusnya dibuka dari awal. Dona bisa melihat ketiga pria tampak tidak nyaman dengan pertanyaannya, rahasia apa yang mereka sembunyikan selama ini."Papi tahu siapa Kiara?" suara Tania terdengar karena tidak ada satupun yang menjawab "Rifat, memang siapa dia?" "Abang, bukannya Kiara ini yang pernah ketemu di toko buku waktu jalan sama Kak Leo?" Tere menatap Lucas yang langsung menelan saliva kasar."Kalian kenapa malah diam! Siapa memang Kiara ini?" Tania menatap gemas pada ketiga pria yang sama sekali tidak mengeluarkan suaranya "Rifat, jangan bilang harus Bima yang jawab! Wijaya juga menyembunyikan ini dariku, jadi aku harus dengar! Lucas dan Endi juga!" "Mi, papi bilang hanya Mas Bima yang boleh jawab. Lucas nggak berani melawan permintaan papi." Lucas menatap sedih kearah Tania."Kalian berdua juga?" Rifat dan Endi langsung
"Apa yang kamu pikirkan?" Dona memutuskan mendatangi hotel, bertemu Endi dan Leo. Mereka berdua sangat tahu bagaimana dirinya, mereka juga dekat satu sama lain. Dona bukan datang untuk Irwan, tapi ingin menenangkan diri dari semua kejutan atas rahasia yang disimpan keluarganya."Mbak, makan dulu." Fransiska mendekati Dona yang hanya diam.Dona menghembuskan napas panjang "Kalau kamu jadi aku apa yang akan kamu lakukan?"Fransiska terdiam mendengar pertanyaan Dona, mengalihkan pandangan kearah Leo meminta ijin untuk menjawab yang hanya diangguki pelan. Dona yang melihat sikap mereka sering kali merasa iri, didalam pikirannya tentang kehidupan dirinya dengan Fandi setelah menikah. Laras tidak akan mendatangi Fandi untuk sementara waktu, Seno dan Hardian sudah memastikan itu semua, tapi sayangnya kejutan ini yang membuat Dona tidak bisa membayangkan kehidupan pernikahan dengan Fandi."Masa lalu nggak akan pernah hilang, tapi bukan berarti h
"Sayang?"Dona masuk kedalam pelukan Fandi tepat ketika pintu terbuka, menatap sekitar dimana tidak ada siapapun. Fandi membawa Dona masuk kedalam rumah, menutup pintu dengan membawanya ke ruang keluarga dan di dudukkan di sofa yang ada disana."Ada apa, sayang?" tanya Fandi melepaskan pelukan pelan.Dona menggelengkan kepalanya, melepaskan pelukan dari Fandi menatap sekitar. Rumah yang dibangun Fandi untuk menikah, berpikir mungkinkah dirinya yang akan tinggal di rumah ini. Pernikahan mereka tidak lama lagi, tidak mungkin memundurkan atau membatalkan pernikahan. Mereka berdua sudah saling menyukai sejak pertama bertemu, tapi seketika ketakutan menghantuinya."Aku harap tidak ada rahasia sebelum kita menikah," ucap Dona membuka suaranya."Maksud kamu?" Fandi bertanya dengan jantung yang berdetak kencang."Aku mau kehidupan pernikahan kita tanpa ada yang ditutupin, lebih baik kita terbuka dari sekarang apapun itu." Dona menjelaska
"Sayang?"Dona masuk kedalam pelukan Fandi tepat ketika pintu terbuka, menatap sekitar dimana tidak ada siapapun. Fandi membawa Dona masuk kedalam rumah, menutup pintu dengan membawanya ke ruang keluarga dan di dudukkan di sofa yang ada disana."Ada apa, sayang?" tanya Fandi melepaskan pelukan pelan.Dona menggelengkan kepalanya, melepaskan pelukan dari Fandi menatap sekitar. Rumah yang dibangun Fandi untuk menikah, berpikir mungkinkah dirinya yang akan tinggal di rumah ini. Pernikahan mereka tidak lama lagi, tidak mungkin memundurkan atau membatalkan pernikahan. Mereka berdua sudah saling menyukai sejak pertama bertemu, tapi seketika ketakutan menghantuinya."Aku harap tidak ada rahasia sebelum kita menikah," ucap Dona membuka suaranya."Maksud kamu?" Fandi bertanya dengan jantung yang berdetak kencang."Aku mau kehidupan pernikahan kita tanpa ada yang ditutupin, lebih baik kita terbuka dari sekarang apapun itu." Dona menjelaska
"Kamu sudah siap ketemu?" Dona memutar bola matanya mendengar pertanyaan Fandi yang sama berulang kali, keputusan bertemu dengan orang tuanya Dona sampaikan semalam. Mereka berdua berbicara panjang, Dona sudah menceritakan semua pada Fandi tentang permasalahannya dan reaksinya tidak jauh berbeda dengan dirinya waktu pertama kali tahu."Kamu tanya lagi bakal aku kasih piring cantik," ancam Dona dengan tatapan tajamnya.Fandi mengacak rambut Dona, mencuri ciuman singkat di bibir "Aku lebih suka kamu yang ekspresif begini daripada kemarin, tapi aku harus siap perubahan sikapmu sepanjang hidupku nanti.""Memang yakin kita akan tetap menikah?" Dona bertanya sedikit menggoda Fandi."Nggak lucu!" Fandi mengerucutukan bibirnya.Dona tertawa melihat reaksi Fandi, melingkarkan tangannya di leher Fandi dengan mencium serta mengigit dagunya pelan. Fandi meletakkan tanganya di pinggang Dona, saling menatap satu sama lain memberikan kecupan-k
"Jelek nangis terus!""Biarin!"Pembicaraan mereka berakhir dengan Dona masuk kedalam kamar, membiarkan kedua orang tuanya diluar bersama dengan Fandi. Dona sudah tidak mau mendengarkan penjelasan mereka, penjelasan bukan penjelasan melainkan pembelaan. Semalam setelah sekian lama Dona seakan tidak mengenal orang tuanya, semalam tidak peduli berapa lama orang tuanya berada di rumah Fandi."Ayah sama bunda pulang satu jam setelah kamu masuk kamar, bunda mau pamitan tapi aku larang karena aku tahu kamu butuh menenangkan diri. Bunda nggak terima tapi ayah langsung membawanya pulang, tangisan bunda bagai irama di kesunyian malam." Fandi menjelaskan detail yang diangguki Dona "Kamu mau ngapain hari ini?""Kamu masih mau nikah sama aku?" Dona bertanya apa yang ada dalam isi kepalanya tanpa mendengarkan semua yang Fandi katakan tentang semalam."Kenapa tanya begitu?" Fandi mengerutkan keningnya."Barangkali kamu mau batalin setelah tahu
"Bunda minta maaf."Dona menarik dan menghembuskan napas panjang mendengar bundanya meminta maaf, wajah penuh penyesalan tampak jelas di mata Dona dan melihat itu seketika membuat hatinya luluh. Kedatangan Via ke rumah Fandi tanpa Bima sangat mengejutkan Dona, secara kebetulan memang Fandi sudah berangkat ke kampus. Dona sedikit terkejut melihat kedatangan sang bunda ke apartemennya, mereka memilih tinggal di apartemen bukan rumah agar tidak menjadi pembicaraan tetangga."Azka kemarin hampir saja bunuh diri kalau kita terlambat, dia tertekan...bunda nggak tahu dia tertekan karena apa, masalah perceraian atau meninggalnya....bunda kaya membayar karma yang selama ini pernah dilakukan...." Via terdiam dan tidak bisa melanjutkan kalimatnya.Dona menarik dan menghembuskan napas panjangnya, melihat sikap bundanya membuat Dona tidak tahu harus melakukan atau bertindak seperti apa. Mengulurkan tangan dengan menggenggam tangan Via, wanita yang berjuang me
"Jangan protes, mbak."Dona menghembuskan napas panjangnya, mengalihkan tatapan kearah lain setelah sebelumnya memberikan tatapan tajam dan kesal kearah Fransiska yang memang hanya mengikuti instruksi."Kenapa harus dipisahkan? Kemarin nggak ada yang larang." Dona memulai kembali omelannya "Siapa yang punya ide?""Mami," jawab Fransiska dengan suara pelan dan sayangnya masih bisa di dengar Dona."Oma?! Bagaimana bisa berpikir sejauh ini?" Dona memijat pelipisnya kasar."Mami bilang mbak terlalu lama tinggal sama Mas Fandi," jawab Fransiska "Mami nggak mau mbak kebablasan."Dona terdiam dan seketika baru mengingat jika sudah melepaskan kontrasepsi, pantas saja langsung dipisahkan begitu saja. Nama baik keluarga sangat penting untuk saat ini, mengikuti keinginan dengan sangat terpaksa."Nggak boleh pakai ponsel?" Fransiska menggelengkan kepalanya "Kerjaanku gimana?""Mas Bima sama Mbak Vivi yang pegang jadi nggak