"Apa yang kamu pikirkan?"
Dona memutuskan mendatangi hotel, bertemu Endi dan Leo. Mereka berdua sangat tahu bagaimana dirinya, mereka juga dekat satu sama lain. Dona bukan datang untuk Irwan, tapi ingin menenangkan diri dari semua kejutan atas rahasia yang disimpan keluarganya."Mbak, makan dulu." Fransiska mendekati Dona yang hanya diam.Dona menghembuskan napas panjang "Kalau kamu jadi aku apa yang akan kamu lakukan?"Fransiska terdiam mendengar pertanyaan Dona, mengalihkan pandangan kearah Leo meminta ijin untuk menjawab yang hanya diangguki pelan. Dona yang melihat sikap mereka sering kali merasa iri, didalam pikirannya tentang kehidupan dirinya dengan Fandi setelah menikah. Laras tidak akan mendatangi Fandi untuk sementara waktu, Seno dan Hardian sudah memastikan itu semua, tapi sayangnya kejutan ini yang membuat Dona tidak bisa membayangkan kehidupan pernikahan dengan Fandi."Masa lalu nggak akan pernah hilang, tapi bukan berarti h"Sayang?"Dona masuk kedalam pelukan Fandi tepat ketika pintu terbuka, menatap sekitar dimana tidak ada siapapun. Fandi membawa Dona masuk kedalam rumah, menutup pintu dengan membawanya ke ruang keluarga dan di dudukkan di sofa yang ada disana."Ada apa, sayang?" tanya Fandi melepaskan pelukan pelan.Dona menggelengkan kepalanya, melepaskan pelukan dari Fandi menatap sekitar. Rumah yang dibangun Fandi untuk menikah, berpikir mungkinkah dirinya yang akan tinggal di rumah ini. Pernikahan mereka tidak lama lagi, tidak mungkin memundurkan atau membatalkan pernikahan. Mereka berdua sudah saling menyukai sejak pertama bertemu, tapi seketika ketakutan menghantuinya."Aku harap tidak ada rahasia sebelum kita menikah," ucap Dona membuka suaranya."Maksud kamu?" Fandi bertanya dengan jantung yang berdetak kencang."Aku mau kehidupan pernikahan kita tanpa ada yang ditutupin, lebih baik kita terbuka dari sekarang apapun itu." Dona menjelaska
"Sayang?"Dona masuk kedalam pelukan Fandi tepat ketika pintu terbuka, menatap sekitar dimana tidak ada siapapun. Fandi membawa Dona masuk kedalam rumah, menutup pintu dengan membawanya ke ruang keluarga dan di dudukkan di sofa yang ada disana."Ada apa, sayang?" tanya Fandi melepaskan pelukan pelan.Dona menggelengkan kepalanya, melepaskan pelukan dari Fandi menatap sekitar. Rumah yang dibangun Fandi untuk menikah, berpikir mungkinkah dirinya yang akan tinggal di rumah ini. Pernikahan mereka tidak lama lagi, tidak mungkin memundurkan atau membatalkan pernikahan. Mereka berdua sudah saling menyukai sejak pertama bertemu, tapi seketika ketakutan menghantuinya."Aku harap tidak ada rahasia sebelum kita menikah," ucap Dona membuka suaranya."Maksud kamu?" Fandi bertanya dengan jantung yang berdetak kencang."Aku mau kehidupan pernikahan kita tanpa ada yang ditutupin, lebih baik kita terbuka dari sekarang apapun itu." Dona menjelaska
"Kamu sudah siap ketemu?" Dona memutar bola matanya mendengar pertanyaan Fandi yang sama berulang kali, keputusan bertemu dengan orang tuanya Dona sampaikan semalam. Mereka berdua berbicara panjang, Dona sudah menceritakan semua pada Fandi tentang permasalahannya dan reaksinya tidak jauh berbeda dengan dirinya waktu pertama kali tahu."Kamu tanya lagi bakal aku kasih piring cantik," ancam Dona dengan tatapan tajamnya.Fandi mengacak rambut Dona, mencuri ciuman singkat di bibir "Aku lebih suka kamu yang ekspresif begini daripada kemarin, tapi aku harus siap perubahan sikapmu sepanjang hidupku nanti.""Memang yakin kita akan tetap menikah?" Dona bertanya sedikit menggoda Fandi."Nggak lucu!" Fandi mengerucutukan bibirnya.Dona tertawa melihat reaksi Fandi, melingkarkan tangannya di leher Fandi dengan mencium serta mengigit dagunya pelan. Fandi meletakkan tanganya di pinggang Dona, saling menatap satu sama lain memberikan kecupan-k
"Jelek nangis terus!""Biarin!"Pembicaraan mereka berakhir dengan Dona masuk kedalam kamar, membiarkan kedua orang tuanya diluar bersama dengan Fandi. Dona sudah tidak mau mendengarkan penjelasan mereka, penjelasan bukan penjelasan melainkan pembelaan. Semalam setelah sekian lama Dona seakan tidak mengenal orang tuanya, semalam tidak peduli berapa lama orang tuanya berada di rumah Fandi."Ayah sama bunda pulang satu jam setelah kamu masuk kamar, bunda mau pamitan tapi aku larang karena aku tahu kamu butuh menenangkan diri. Bunda nggak terima tapi ayah langsung membawanya pulang, tangisan bunda bagai irama di kesunyian malam." Fandi menjelaskan detail yang diangguki Dona "Kamu mau ngapain hari ini?""Kamu masih mau nikah sama aku?" Dona bertanya apa yang ada dalam isi kepalanya tanpa mendengarkan semua yang Fandi katakan tentang semalam."Kenapa tanya begitu?" Fandi mengerutkan keningnya."Barangkali kamu mau batalin setelah tahu
"Bunda minta maaf."Dona menarik dan menghembuskan napas panjang mendengar bundanya meminta maaf, wajah penuh penyesalan tampak jelas di mata Dona dan melihat itu seketika membuat hatinya luluh. Kedatangan Via ke rumah Fandi tanpa Bima sangat mengejutkan Dona, secara kebetulan memang Fandi sudah berangkat ke kampus. Dona sedikit terkejut melihat kedatangan sang bunda ke apartemennya, mereka memilih tinggal di apartemen bukan rumah agar tidak menjadi pembicaraan tetangga."Azka kemarin hampir saja bunuh diri kalau kita terlambat, dia tertekan...bunda nggak tahu dia tertekan karena apa, masalah perceraian atau meninggalnya....bunda kaya membayar karma yang selama ini pernah dilakukan...." Via terdiam dan tidak bisa melanjutkan kalimatnya.Dona menarik dan menghembuskan napas panjangnya, melihat sikap bundanya membuat Dona tidak tahu harus melakukan atau bertindak seperti apa. Mengulurkan tangan dengan menggenggam tangan Via, wanita yang berjuang me
"Jangan protes, mbak."Dona menghembuskan napas panjangnya, mengalihkan tatapan kearah lain setelah sebelumnya memberikan tatapan tajam dan kesal kearah Fransiska yang memang hanya mengikuti instruksi."Kenapa harus dipisahkan? Kemarin nggak ada yang larang." Dona memulai kembali omelannya "Siapa yang punya ide?""Mami," jawab Fransiska dengan suara pelan dan sayangnya masih bisa di dengar Dona."Oma?! Bagaimana bisa berpikir sejauh ini?" Dona memijat pelipisnya kasar."Mami bilang mbak terlalu lama tinggal sama Mas Fandi," jawab Fransiska "Mami nggak mau mbak kebablasan."Dona terdiam dan seketika baru mengingat jika sudah melepaskan kontrasepsi, pantas saja langsung dipisahkan begitu saja. Nama baik keluarga sangat penting untuk saat ini, mengikuti keinginan dengan sangat terpaksa."Nggak boleh pakai ponsel?" Fransiska menggelengkan kepalanya "Kerjaanku gimana?""Mas Bima sama Mbak Vivi yang pegang jadi nggak
"Acara apaan ini?" Fandi menatap sekitar ketika memasuki ruangan yang sudah dipesan dua teman dosennya, keadaan yang tampak seperti hiburan malam tapi private."Pesta bujang, pak." Evan menepuk bahu Fandi pelan."Siapa saja?" Fandi memicingkan matanya."Nikmatin saja, pak." Evan menarik Fandi duduk di salah satu sofa, menyalakan layar dengan menggunakan remote. Ruangan menjadi gelap dengan lampu kelap kelip yang menghiasi, bunyi musik sudah terdengar diikuti dengan suara Evan yang menikmati lagu. Melihat ini semua membuat Fandi sedikit waspada, beberapa kali menatap sekitar.Keluar dari rumah dengan alasan kerjaan, tapi nyatanya dibawa ke tempat seperti ini. Pikiran Fandi saat ini ada pada Dona yang sedang menikmati waktu seorang diri tanpa teman, informasi yang didapat tidak ada teman yang menemani Dona bahkan Vivi tidak bisa datang karena pekerjaan dipercayakan padanya."Jangan tegang gitu, pak. Hari ini harinya bapa
"Kenapa nggak bilang kalau keluarga Dona ini orang penting!?"Fandi menggaruk lehernya yang tidak gatal saat mendengar kalimat ibunya yang menahan emosi. Fandi sama sekali tidak tahu jika menggunakan pesawat pribadi, mereka dijemput menggunakan mobil panjang dan mewah dengan jumlah yang membuat Fandi hanya bisa menggelengkan kepalanya."H&D Group, pak." Berry membuka suaranya."Astaga! Fandi!" Asep mengusap wajahnya kasar."Memang perusahaan apa, pak?" Marni menatap penasaran kearah sang suami."Tanya sama anakmu sana!" Fandi meringis mendengar nada suara bapaknya.Menatap kedua orang tuanya dan akhirnya membuka semu didepan keluarga intinya, pastinya mereka terkejut kecuali Berry dan Seno. Mereka berdua sudah tahu siapa Dona sebenarnya, hal itu juga yang membuat mereka hanya mengundang beberapa orang dan hanya orang terdekat saja."Omanya masih muda dan cantik loh," ucap Marni langsung "Ber, nanti temani ibu tanya-tanya
"Sudah tidur mereka?""Barusan, ada apa?" "Aku nggak menyangka kita bisa melewati semua masalah, punya anak-anak yang lucu.""Kamu nggak kasih aku istirahat, masa setiap tahun melahirkan kaya kejar target aja." Dona mengerucutkan bibirnya yang langsung mendapatkan ciuman singkat dari Fandi."Kamu hebat dan luar biasa, melahirkan tiga anak setiap tahun." "Kamu yang kebangetan nggak biarin aku istirahat." Dona mengerucutkan bibirnya "Tapi...waktu lihat mereka lahir rasa sakit seketika hilang, aku langsung jadi penasaran kalau punya lagi akan mirip siapa.""Tapi...kenapa anak kita dan Azka nggak ada yang kembar ya?" "Mau kembar?" Dona menatap tanda tanya."Bukan gitu, kalian berdua kan kembar terus kenapa anak kalian nggak ada yang kembar?"Dona mengangkat bahunya "Belum mungkin, sekarang juga nggak kembar.""Apa kita buat kembar setelah ini lahir?" Dona membelalakkan matanya mendengar kalimat
"Kamu mau ke Singapore aja? Sudah yakin? Memang nggak pecah itu kepala diisi belajar mulu?""Aku buat karya ilmiah disana, setidaknya sampai anak kita lahir.""Kita disini juga nggak ada masalah.""Kasihan ayah sama bunda kamu, mereka pastinya butuh anak disana. Anggap aja sebagai bakti ke orang tua.""Gimana sama mama dan papa?""Disini ada banyak anak-anaknya, beda sama ayah dan bunda. Anaknya cuman kamu sama Azka, apalagi Azka lebih senang di agency daripada ngurus perusahaan disana. Azka bilang pecah kepalanya kalau urus perusahaan disana, dia coba udah gatal pengen keluar."Dona berdecih mendengar kata-kata yang Azka ucapkan ke Fandi, Azka memang nggak suka lihat angka atau apapun itu. Azka lebih menyukai suara musik, membuat musik membuat jiwanya tenang, tidak salah jika opanya menyiapkan masa depan mereka masing-masing."Dia bukan pecah kepala aja, tapi gatal pantatnya kalau kelamaan duduk lihat angka dan baca per
"Tokcer juga.""Jelas!" Fandi berkata dengan nada bangga dan penuh kesombongan."Kita sama sekali nggak membayangkan kamu bakal hamil lebih cepat.""Sama, ma. Kita sama sekali nggak nyangka bakal secepat ini.""Kita jadi ikut bahagia waktu Fandi kasih kabar lewat pesan, percaya nggak percaya. Apalagi kalian langsung pisah, kamu sibuk sama kerjaan dan Fandi juga sama."Dona dan Fandi hanya tersenyum mendengar kalimat sang mama, sebenarnya memang tidak bisa ditebak sama sekali. Dona tidak merasakan apapun sama sekali ketika di Singapore, masalah pekerjaan membuat Dona yang tidak merasakan tanda-tandanya. Saat bertemu Fandi seketika terjadi perubahan dan mereka segera memutuskan perika menggunakan alat tes kehamilan yang dijual umum, hasilnya positif dan tanpa menunggu waktu langsung menuju dokter kandungan di rumah sakit. Hasilnya tidak jauh berbeda, tapi bagusnya mereka langsung mengetahui usia kehamilan yang ternyata sudah ada dari sebelu
"Kenapa, bang?""Masih lama Dona?""Abang ini aneh, masih ada satu jam kali."Fandi menghirup udara banyak agar sedikit lebih tenang, biarkan Lita menganggap dirinya merindukan Dona padahal memikirkan hal yang tidak penting."Pekerjaanmu bagaimana?" Fandi membuka pembicaraan terlebih dahulu.Lita menghembuskan napas panjangnya "Aku masuk waktu lagi banyak event, makanya aku sering pulang malam. Apartemen yang diminta Mbak Dona tempati bisa membuat aku nggak perlu dengar mama ngomel.""Kamu jadi kerja di H&D?" Fandi memastikan kembali.Lita menganggukkan kepala tanpa ragu "Kurang dua tahap lagi, bang. Aku juga sering ketemu Tama buat tanya-tanya, kadang kalau luang juga ke cafenya Mbak Naila buat belajar.""Memang ditempatin dimana?" Fandi tidak tahu pembicaraan kedua wanita tersebut."Rencananya sih agency, Mbak Dona minta aku disana bantuin Mas Azka. Mbak Reina yang mantan istrinya sudah nggak disana,
"Hubungan jarak jauh? Memang enak? Sudah menikah tapi pisah.""Sementara, lagian cuman beberapa hari.""Tetap saja nggak enak secara nggak ada yang menghangatkan, hubungi Ratih aja.""Kami sudah berakhir lama."Fandi meninggalkan meja setelah tidak ada pembicaraan lebih lanjut, pembicaraan yang tidak memberikan manfaat apapun. Dua hari setelah di rumah Vivi memberi kabar untuk ke Singapore dimana ada perusahaan yang membutuhkan dipastikan dan Dona sangat ahli dalam hal itu. Disamping itu harus melakukan rapat bulanan yang mengharuskan Dona dan ayahnya berada disana."Maaf, pak.""Pras, sudah mau wisuda?" Fandi menatap mahasiswa yang baru lulus atau bisa dikatakan telat."Ya, akhirnya.""Kemana setelah ini?" "Belum tahu, pak. Saya sudah bekerja di event organizer, bukan pekerjaan di firma hukum tapi setidaknya saya bekerja dengan posisi bagus.""Bagus kalau begitu, apa kamu nggak ingin melanjut
"Dalam...ahh...lebih....ahh...."Dona meremas rambut Fandi atas apa yang dilakukan dibawah, jilatan yang dilakukan dengan memasukkan jemarinya membuat Dona bergerak tidak menentu, menarik kepala Fandi menghentikan kegaiatannya dibawah sana. Melumat kasar bibirnya menyalurkan hasrat dan gairahnya, mendorong tubuh Fandi agar berbaring dan berganti dengannya.Memberikan sentuhan pada tubuh Fandi dengan gerakan sensual, melihat itu Fandi hanya bisa mendesah dengan meremas rambut Dona, bibirnya sudah beralih ke bawah dengan memegang milik Fandi. Memasukkan kedalam mulut, memberikan jilatan pada kepalanya sebelum memasukkan kedalam mulut, gerakan maju mundur dilakukan yang membuat Fandi mendesah keras atas perbuatan Dona, mendengar suara Fandi membuat Don semangat.Memberikan tatapan menggoda dibawah sana disertai dengan jilatan kasar pada milik Fandi yang diikuti dengan gerakan tangannya yang bermain pada telurnya, Fandi mendesah keras atas semua yang Dona laku
"Habis menikah itu wajahnya bahagia, masa daritadi cemberut.""Berisik!""Kenapa memang dia, Don?"Dona memilih tersenyum mendengar pertanyaan Reno, setelah proses akad kemarin dimana Dona memberitahukan jika palang merah seketika Fandi berubah. Fandi tetap perhatian padanya, tapi ekspresi wajahnya seperti orang lemas dan tidak ada gairah."Kalau lihat ekspresinya bisa dibilang Dona lagi palang merah," ucap Lucas yang tidak tahu darimana "Memang yakin? Apa jangan alasan aja biar kalian...""Abang, tolong mulutnya! Ada anak-anak disini." Anggi langsung menegur Lucas yang membuatnya terdiam "Jangan gangguin Dona, mending disini bantuin aku."Dona menahan tawa melihat ekspresi wajah Lucas, pria itu berjalan mendekati Anggi yang sedang bersama anak-anak. Pemandangan yang selalu dilihat setiap kali mereka berkumpul, tahta tertinggi saat berada di rumah adalah wanita. Lucas sangat mengikuti apa yang opa katakan, berbeda dengan Leo yang
"SAH!"Suara teriakan terdengar keras ketika proses selesai, lantunan doa mereka semua panjatkan setelah mendengar satu kata yang membuat napas lega. Beberapa menit lalu jantungnya berdetak kencang, memegang tangan Bima dan mengucapkan kalimat sakral.Menunggu kedatangan Dona yang berada dalam kamar, jantung Fandi semakin berdetak kencang. Acara pingitan yang dilakukan orang tua mereka membuatnya tidak saling bertemu, tapi mereka berdua selalu mempunyai cara bisa berhubungan walaupun tidak bisa lama.Suara musik terdengar, Fandi berdiri menatap pintu masuk menunggu kedatangan Dona. Pintu terbuka, menahan napas ketika membayangkan apa yang akan dilihatnya nanti. Senyum lebar menghiasi wajah mereka berdua, tidak melepaskan tatapan satu sama lain dan hanya fokus pada satu objek. Langkah Dona semakin dekat sampai akhirnya dihadapan Fandi, dokumentasi diambil dan mereka memulai langsung apa yang menjadi susunan acara dari wedding organizer.Tanda tanga
"Kang, makasih banyak."Membalas pelukan Lita saat melingkarkan tangannya di perut, membelai rambut Lita dengan memberikan ciuman lembut. "Kenapa jadi melow gini?" Lita melepaskan pelukan dengan tatapan selidik."Memang salah kalau cium adik sendiri?" Fandi melangkahkan kakinya menuju ranjang."Ya udah, aku mau ke penginapan sebelah. Kang, Dara tidur sini memang nggak boleh?" Lita memberikan tatapan memohon."Mau tidur dimana? Kamu aja tidur kalau nggak sama mama ya disini, kamu mau tidur disana nanti? Kalau itu ijin mama bukan aku.""Enaknya jadi orang dewasa, aku juga pengen nikah.""Lulus dulu sana baru nikah." Fandi memperingati Lita "Ingat jadi cewek harus punya harga diri! Jangan mau disentuh seenaknya." "Pengalaman banget," goda Lita yang membuat Fandi mengacak rambutnya "Aku pergi dulu."Matanya tidak lepas melihat punggung Lita yang semakin menjauh, banyak hal yang sudah terjadi didalam hidup