Deo segera mengakhiri percakapannya di telepon, kemudian langsung memelukku kembali. “Sayang, aku mendadak harus meeting sama orang audio dulu. Belum tau selesainya jam berapa. Tapi, nanti kalau kamu udah selesai, kamu tetep kabarin aku ya?”“Oke. Nanti kalo misalnya kamu belum selesai, aku pulangnya naik taksi aja nggak apa-apa kok.”“No. Jangan. Kamu kabarin aku aja pokoknya, biar aku yang atur waktunya. Tapi, kalo misal aku belum selesai, kamu mau nungguin aku dulu nggak? Aku usahain cepet pokoknya.”“Nggak usah buru-buru. Selesaiin dulu kerjaan kamu dengan baik. Aku nungguin kamu juga nggak masalah. Toh aku cuma di Arutala photo-shoot-nya. Di sini juga banyak temen-temen aku.”“Oke, aku janji. Pokoknya habis ini, kita quality time bareng.”“Hmm…” Dinda mengangguk dan tersenyum. “Oke.”“Aku pergi dulu.” Kataku kemudian mengecup kening Dinda.“Ati-ati ya di jalan.”“Iya…” Kita berdua lalu berciuman sekali lagi, sebelum akhirnya Deo kembali masuk ke dalam lift dan pergi meninggalkank
“Ada yang mau aku kasih tau ke kamu…” Kata Dinda ketika mobil kita sedang menunggu di lampu merah. Dia memiringkan tubuhnya ke arahku. Belum ada satu menit yang lalu, kita berdua masih membahas tentang pekerjaan masing-masing dan beberapa hal ringan lainnya yang membuat kita berdua tertawa senang. Namun kini, mendadak tatapan Dinda berubah menjadi serius.“Soal apa, sayang?”Dinda masih diam. Dia terlihat seperti sedang memikirkan hal yang ingin diungkapkannya terlebih dahulu.“Ngomong aja. Nggak apa-apa…”“Hmm… jadi kerjaanku tadi itu, awalnya aku sama sekali nggak tau siapa fotografernya. Rangga juga sengaja nggak kasih tau aku, karena dia nggak mau aku tolak tawaran kali ini… Ternyata, fotografernya tadi itu Gani. Dan aku juga baru tau itu tadi, pas mau siap-siap…”+Kenapa nih si Gani?+“Kalo kamu tau Gani itu fotografernya, kamu bakalan nolak project?”“Ya… awalnya sih iya…” Jawaban Dinda membuatku menoleh ke arahnya lagi untuk sebentar. “Tapi, setelah aku pikir-pikir lagi, aku
Percakapanku dan Dinda selanjutnya, mendadak harus terhenti karena layar head unit yang ada di tengah mobil, menampilkan panggilan telepon dari ‘Tukang Ngidam Di Luar Nalar’. Seketika aku langsung menepikan mobilku ke pinggir jalan dengan hati-hati, dan memelankan laju kecepatan mobilku.+Mau ngomel-ngomel apa lagi nih ibu hamil satu…Gangguin orang lagi pacaran aja dah…Udah tau hari Sabtu juga…+“Ini siapa yang telepon kamu?” Dinda bertanya sambil menatap panggilan telepon dari Hanna yang tertera di layar.“Sayang, bentar ya. Ini ndoro ratu lagi mau ngomel soalnya…” Kataku dengan cepat. Dinda menatapku dengan bingung, namun dia tetap mengangguk.Jari telunjuk kiriku kemudian menyentuh layar untuk menerima panggilan telepon dari Hanna yang sudah ketiga kalinya. “Gimana? Udah ketemu belom?” Tanyaku sambil fokus mengamati jalanan di sekitarku yang saat ini sedang tidak terlalu padat.Suara tangisan Hanna mendadak terdengar lumayan kencang untukku dan Dinda. Dan karena ponselku sedang
Aku kemudian mengakhiri percakapan kita berempat dan menghela nafas panjang. Sementara Dinda memasukkan alamat ke dalam google maps, supaya aku bisa mengikuti arah jalan ke tujuan yang dimaksud oleh Dinda tadi.“Sayang, kamu beneran yakin di toko buah ini ada yang jualan manggis isi tujuh?” Tanyaku sambil mengamati peta jalan yang tertera di layar head unit.“Yakin. Udah, kamu nyetir aja dulu. Nanti juga bakalan liat sendiri…”“Oke…” Aku menghela nafas pelan sekali lagi. “Hanna… Hanna…” Keluhku sambil menggelengkan kepalaku.Dinda tertawa geli dan menatapku. “Jadi tukang ngidam di luar nalar itu Hanna? Kamu iseng banget sih kasih namanya…”“Kamu denger sendiri tadi dia kayak apa. Terakhir kali malah, yang sebelum aku anterin dia ke SG, yang waktu itu kita ketemu, dia minta pisang goreng yang baru aja digoreng. Tapi mintanya dibeliin di penjual yang gerobak jualannya itu warna pink. Mana minta difotoin gerobaknya lagi.”Dinda tertawa geli sekali lagi. “Trus, akhirnya dapet sesuai keing
Dinda tersenyum kepadaku. “Lalu, kalo soal dia yang percaya mitos, dan ngidam yang aneh-aneh, I think itu salah satu faktornya karena pengaruh dari Mamanya Roy deh. Selama ini, mungkin aja, Mama mertua yang paling rutin jengukin Hanna. Mungkin juga, yang paling sering ngajakin Hanna ngobrol atau doing something together. Jadi Hanna ngerasa terhibur dan terobati rasa kesepiannya…”“Dari situ, secara nggak langsung, Hanna jadi ‘ngidolain’ Mama mertua, yang menurut dia jauh lebih mengerti soal kebutuhan psikisnya. Makanya, Mamanya Roy mau bilang apa aja, pasti Hanna bakalan belain dan nurut. Nggak peduli itu masuk akal, atau nggak…”“Jadi, kalo sampe Hanna ngidam yang di luar nalar, itu sebenernya cara komunikasinya Hanna aja ke Roy, dan orang-orang yang ada di sekitarnya… Memang agak aneh dan nggak bisa dilogika juga. Tapi, sebenernya makes sense kok, kalo dilihat lebih dalem lagi, dan dicari tau penyebabnya itu apa.”“Soalnya Hanna itu butuh human interaction yang real and genuine. Dia
Secara garis besar, semua pusat toko buah pasti terlihat sama. Ada berbagai macam jenis buah lokal maupun impor, label nama dan keterangan mengenai setiap macam buah itu sendiri, sekaligus label harga yang tertera di setiap jenis buah. Dan sejauh kedua mataku bisa menemukan, aku masih belum melihat ada label keterangan mengenai buah manggis yang memiliki isi tujuh.“Bukan dijual khusus isi tujuh kayak yang kamu pikir gitu…” Kata Dinda sambil mengajakku mendekat ke area salah satu rak buah yang berukuran lumayan cukup besar, dan berisikan buah manggis yang terlihat masih segar. “Harus kita yang milih sendiri…” Dinda mengendus satu butir buah manggis yang sedang dipegangnya itu. “Ini wanginya masih fresh. Enak… Aku juga mau ah… Kamu mau nggak?”“Boleh deh, mau. Memang boleh dibuka dulu ya?” Tanyaku sambil menirukan Dinda untuk mengendus satu butir buah manggis, karena aku penasaran dengan wangi fresh yang dimaksud oleh Dinda tadi.“Nggak usah dibuka. Bentar, aku cariin dua dulu buat con
Sudah sekitar dua minggu lebih, aku menjalani peran tambahan dan melakukan tanggung jawab sementara di kampus S1. Dan sejauh ini, kekhawatiranku mengenai hubunganku dengan Deo tidak menjadi kenyataan. Deo benar-benar bisa menepati janjinya untuk merahasiakan hubungan kita. Bahkan, selama jam kerjaku di kampus S1, Deo juga tetap bisa menjaga sikapnya dan menjalani kesepakatan kita dengan baik. Tanpa sepengetahuan dia, aku sengaja memantau perkembangan kegiatan perkuliahannya. Dan Deo menepati janjinya juga untuk lebih rajin kuliah. Bahkan, Deo sudah tidak lagi memiliki catatan bolos atau izin seperti sebelumnya. Selain itu, aku juga beberapa kali sempat menyaksikan sendiri bahwa Deo lebih sering melakukan konsultasi skripsi dengan dosen pembimbingnya, dan menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mengerjakan skripsinya. Meskipun aku tidak berada di posisi Deo, namun aku bisa mengerti bahwa semua usaha yang dia sudah lakukan itu harus melewati proses yang tidak mudah. Membagi waktu ant
“Aduh, Win, sori, gue telat…” Kataku sambil berjalan menuju ke mejaku. “Ada masalah tadi di seminar.” Tas kerja dan tas laptop aku letakkan di atas meja kerja terlebih dahulu. “Masalah apaan?” Erwin menatapku dengan heran. Aku mendengus pelan. “Lo udah makan belom?” “Belom. Gue sengaja nungguin lo sekalian.” “Kalo kita bahas CSR sambil makan gimana? Sekalian gue kasih tau, tadi ada drama apa di seminar...” “Oke. Bentar. Gue save dulu ini…” Erwin langsung kembali fokus dengan komputer kerjanya. Dompet dan ponsel, segera aku keluarkan dari dalam tas. Kemudian tas kerja dan tas laptop aku kunci di dalam laci penyimpanan seperti biasanya, dan kuncinya selalu aku simpan di saku bajuku. Walaupun ruangan dosen terbilang cukup aman dan dilengkapi dengan kamera CCTV, tetap saja aku harus waspada dan menjaga barang-barangku dengan baik. + Laptop gue kalo ilang, masih bisa beli lagi. Tapi buat balikin semua data yang ada di dalemnya itu butuh waktu. Dan itu artinya, kerjaan gue bakalan
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…