"Na ...." Baru saja Nena membukakan pintu, Susi segera melangkah masuk dan memeluk Nena. Dirinya yang tidak tahu apa yang akan dilakukan Susi hampir saja terjatuh ke belakang.
"Mbak Sus, kenapa?" Nena mendorong pelan pundak Susi, tapi Susi semakin mempererat pelukannya. "Mbak, i-ini kenapa? Lepasin dulu, Mbak," pintanya.
Susi menunduk, dia sudah menangis entah apa penyebabnya. Nena meminta Susi untuk duduk di ruang tamu.
"Mbak, ada apa?"
Susi menggeleng, dia masih saja menangis. Bahkan kesalnya Nena, Susi mengambil sekaligus 5 lembar tisu yang tersedia di meja ruang tamu. Dia menghitungnya saat Susi mengambil helai per helai tisu.
Suara tangisan Baby Zoe membuat konsentrasi Nena kepada Susi pecah. Dia bingung, hendak meninggalkan Susi dalam keadaan menangis karena rasa kemanusiaan dia sulit untuk melangkah. Tangisan Baby Zoe juga semakin kencang yang menandakan suaminya belum keluar dari kamar mandi.
"Na, anak kamu nangis. Cepat kamu susuli dulu," suruhnya dengan suara sesegukan sekarang.
Nena tanpa menjawab segera melangkah ke kamarnya yang berada di samping kamar suaminya.
"Susi?"
Susi mengangkat wajahnya, di hadapannya kini sudah berdiri Hady dengan rambut basahnya. "Kamu ngapain di sini?"
Susi segera menghapus air matanya. Dia berdiri dan mendekati Hady yang berdiri tidak jauh darinya.
"Bang ...."
Hady mengangguk, dia menatap ibu Susi dengan mata sembabnya. Sepertinya sangat tidak mungkin jika dia baru saja menangis. "Bang, hiks ... hiks," adunya.
Hady begitu kaget saat Susi memeluknya erat. Dalam hatinya ada rasa senang wanita yang disukainya melakukan hal seoeti itu, tapi di sisi lain dia memikirkan perasaan Nena jika melihatnya.
"Ada apa? Kenapa kamu nangis begini?" Susi hanya menggeleng. Dia segera melepas pelukannya.
"Maaf, Bang."
"Ayo duduk dulu, kamu bisa cerita dengan tenang."
Hady menatap Susi yang memprihatinkan kini. Mata sembab dengan hidung kembang kempis. "Bisa cerita ada apa?"
"Hiks ... hiks aku diputusin pacarku, Bang," adunya.
Tanpa disadari siap pun, Hady menarik kedua sudut bibirnya sedikit. "Oh, putus!" beonya.
"Bang Hady kenapa bilang begitu?"
"Gimana? Yang mana?" Susi cemberut. Bukannya dia tidak tau perasaan Hady padanya, dia masih menghargai pacarnya dulu.
"Jawaban santai Bang Hady yang seolah aku memang harus putus dari pacarku."
Hady menjadi salah tingkah, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Eeh, itu, nggak bukan gitu maksudnya. Ya, awalnya kukira apa kamu sampai nangis sesegukan begitu, nggak taunya karena putus, gitu."
"Tapi, Bang, apa semudah itu pria mengatakan putus sama pacarnya cuma karena nolak bayarin hutang dia?"
Hady membelalakkan matanya seolah ucapan Susi adalah berita yang besar. "Gila, jangan mau kamu bayarin hutang orang yang belum jadi siapa-siapa kamu, cuma pacar juga!" Sampai-sampai dia memukul meja karena kesal, untungnya Susi bukan wanita yang lemah.
"Makanya, Bang."
Melihat senyum Susi yang tertuju padanya, hati Hady sekarang berbunga-bunga karena terlampau bahagia.
Baru saja mereka melakukan drama tatapan mata, suara gelas jatuh membuat atensi mereka beralih ke arah tersebut.
"Na."
Ternyata gelas yang pecah tersebut berasal dari gelas yang dibawa Nena. Nena yang tidak sengaja hampir terpeleset karpet itu menjatuhkan gelas berisi teh untuk tamunya, Susi.
Hady segera menghampiri istrinya yang sedang memunguti pecahan gelas tersebut. "Maaf, ya, tadi niatnya mau bawain teh buat Mbak Susi, eh malah kepeleset," kekehnya.
"Makasih, loh, Na." Susi mendekat dan memeluk Nena yang sudah selesai membereskan pecahan gelas tersebut.
"Aku langsung pamit saja, Bang Hady, makasih juga, ya, sudah dengar curhatanku tadi. Permisi." Hady terlampau kaget saat jari telunjuk Susi menyentuh telapak tangannya dan melihat Susi yang tersenyum padanya tanpa diketahui Nena saat berpapasan.
"Kenapa, Bang?"
"Eh, emm, nggak apa. Aku tutup pintu dulu."
"Iya, Bang."
***
Biasanya, istri yang akan memasak untuk santap harian keluarga, tapi karena alasan yang beragam dan yang jelas tidak bisa memasak membuat Hady harus turun tangan langsung membuat makan malam untuk mereka berdua.
Beberapa kali Hady mengetuk pintu kamar Nena yang terkunci, mengajaknya untuk makan malam, tapi tidak kunjung dibuka ataupun ada jawaban dari istrinya membuat dia cemas. Segera Hady mengambil kunci cadangan dan segera membuka pintu kamar Nena.
Dia tersenyum saat mendapati istrinya tertidur di samping Baby Zoe yang memainkan jempol tangannya ke dalam mulutnya sendiri.
"Hai, Baby, Ibumu tidur, ya? Kasihan kamu jadi mainan sendiri." Dia dengan hati-hati menggendong Baby Zoe.
Melihat istrinya yang tertidur pulas membuat Hady menjadi tidak tega untuk membangunkannya.
"Kita bangunin pelan-pelan, ya, mau?" Dia segera menempelkan telapak tangan mungil Baby Zoe pada pipi Nena dan mengusapnya perlahan.
"Ibu, bangun, ayo makan malam aku lapar," ucapnya mengikuti suara anak kecil. "Ibu ...." Tidak ada respons dari Nena, Hady yang gemas memukulkan telapak tangan Baby Zoe pada pipi Nena.
"Euh, Bang."
"Ayo, bangun. Kita makan malam dulu." Dengan gerakan malas, Nena bangun dari tidurnya.
"Kamu cuci muka dulu, nanti susul aku ke ruang makan."
"Heum ..." Hady segera membawa Baby Zoe ke ruang makan.
Di meja makan sudah tersedia tumis udang, tumis kangkung, dan tempe goreng. Walaupun dia terlahir sebagai laki-laki, soal memasak tidak perlu diragukan lagi baginya. Sejak kecil Hady sudah pandai memasak, cita-citanya dulu adalah menjadi chef. Namun, semua itu kandas setelah ayahnya memaksa dia untuk menjadi dokter dan memintanya untuk tidak menjadikan memasak sebagai pekerjaan, cukup hobi saja.
"Nanti kalau kamu udah besar Ayah ajarin kamu masak, tapi sebelumnya biar Ayah ajarin Ibumu dulu masak, dia nggak bisa masak," bisiknya pada Baby Zoe.
"Aku bisa masak, kok," kesal Nena tak terima.
"Ibu udah datang, yuk, makan." Sebelum duduk di kursinya, Nena mengambil Baby Zoe dari gendongan Hady dengan wajah cemberut.
"Kamu apa bisa makan dengan kondisi gendong bayi? Biar aku saja, kamu belum biasa." Hady khawatir Nena kesulitan nantinya saat makan.
"Aku bisa," ucapnya ketus, "nggak perlu perhatian," tambahnya.
Hady segera mengisi piring Nena dengan nasi dan lauk pauknya. Dia tidak mau istrinya yang keras kepala itu kesulitan saat mengambil makanannya. "Makasih."
"Na, kamu pasti capek banget, ya, seharian jagain Baby Zoe sama urus rumah sampai ketiduran begitu. Padahal udah aku ketukin tuh pintu berulang kali."
Nena tidak langsung menjawab, dirinya yang baru merasakan makanan suaminya itu kini terlihat menikmati. "Nggak juga, Bang. Masakannya enak, loh."
"Kalau enak makan yang banyak."
Hady memperhatikan Nena yang makan lahap dengan posisi masih menggendong bayi. Melihat Nena yang berpenampilan seperti biasanya dia, Hady mendadak memprotes dan meminta agar Nena bisa terlihat rapi sedikit, tapi nyatanya dia tidak tega mengatakannya.
Ketukan pintu kembali terdengar, buru-buru Hady menghentikan aktivitasnya dan segera membukakan pintu. Tidak lama kemudian dia terlihat masuk kembali ke ruang makan dengan membawa rantang makanan.
"Hai, Na."
"Mbak Susi," jawab Nena heran.
Hady segera mempersilakan Susi untuk duduk dan mengambil piring.
"Aku bawain sambal ikan patin, kamu suka, kan?" Nena tersenyum kecut.
Hady menyerahkan piring kepada Susi. "Kamu makan bareng kita di sini, aku tadi masaknya banyak apalagi kamu juga bawa makanan buat kita. Iya, kan, Na?"
"Heum."
"Makasih, loh. Padahal aku ke sini cuma mau anterin makanan yang tadi kumasak."
"Ya, sekalian merayakan hari putusnya kamu. Biar nggak sedih lagi," celetuk Hady membuat Susi menjadi canggung dan Nena lantas menghentikan makannya.
"Kok, Abang bisa tau?"
Hady menelan ludahnya susah, melihat raut wajah kesal dari istrinya membuat dia seperti sedang tertangkap basah melakukan kesalahan.
"Tadi, aku curhat sama Bang Hady kalau aku putus dari pacarku, Na. Kamu, kan, tadi ke kamar karena anakmu nangis."
"Ooh." Nena menyadari keanehan pada Susi saat mengatakan 'anakmu' nada suaranya lirih.
Mereka akhirnya makan bertiga, suasana terlampau ramai bagi Nena yang menyukai hening. Dia seperti obat nyamuk antara suami dan wanita yang disukai suaminya itu.
Ah, Nena sadar diri. Dia juga sejak awal telah mengetahui dan menegaskan pada dirinya sendiri bahwa pernikahan yang mereka berdua lakukan semata-mata hanya untuk Baby Zoe, tidak lebih karena yang sejak awal berharap lebih itu suaminya dan bukan dia.
***
Susi mendekati Hady yang sedang merawat tanamannya. Hady memang terkenal sebagai dokter hewan yang begitu menyukai berkebun.
"Wah, Bang Hady lagi mau tanam bunga apa itu?" tanya Susi penasaran saat melihat ada tanaman yang sudah siap tanam di dalam polibag.
"Oh, iya, aku sengaja mau tanam bunga matahari. Kamu nggak keluar gitu? Biasanya perempuan kalau lagi galau sukanya shopping," canda Hady.
"Nggaklah, siapa yang galau. Aku bantuin, ya, Bang. Boleh?"
"Mas, tolongin sebentar!" seru Nena yang sedari tadi duduk di kursi teras rumah dan memperhatikan interaksi keduanya dengan saksama. Hady segera mendekati istrinya.
"Na, ada apa?"
"Mas, tolong ambilkan botol susu Zoe, dong. Cuci tangan dulu, Mas, jangan lupa." Baru saja Hady mengambil botol susu yang terjatuh itu menuruti perkataan istrinya.
"Iya."
"Makasih, Suamiku." Hady merasa begitu heran kepada Nena. Seperti ada yang sebenarnya dia sembunyikan, pertama memanggilnya dengan panggilan yang tidak pernah dia gunakan dan kedua dia terlampau manis untuk ukuran gadis cuek begitu.
"Na, aku boleh gendong Baby Zoe?" tawar Susi. Masalahnya kini Susi berdiri di depannya, dengan malas dia mengangguk.
"Tapi jangan kelamaan, ya, Mbak. Soalnya bayi itu nggak baik terlalu lama di luar." Susi mengangguk, dia yang sudah menggendong Baby Zoe menciumi pipi bayi tersebut dan menatap Baby Zoe dengan mata berbinar penuh kasih sayang.
Dalam keadaan begitu, Hady yang berdiri di samping Susi seolah mengikis jarak antara mereka berdua. 'Mereka memang cocok.'
'Kenapa sekarang aku curiga sama Mbak Susi, ya, dia kayak menutupi sesuatu, tapi apa, ya? Atau dia ibu Baby Zoe?'
Hady menyenggol lengan istrinya yang terlihat memperhatikan Susi tanpa berkedip. "Susi, kamu sudah pantas loh punya anak sendiri," celetuk Hady.
Mendengarnya membuat dada Nena menjadi sesak. Sungguh sial baginya tinggal bersama suami yang memiliki wanita idaman lain. Dia cemburu? Entahlah.
Bersambung
****
"Kamu yakin?"Nena kembali menggeleng, entah pertanyaan ke berapa kalinya dari Hady. Sesekali tangannya membenahi atau memainkan ujung selimut Baby Zoe agar bayi tersebut tidak kedinginan."Tuh kamu sendiri nggak yakin, gimana bisa kita jadikan dia target pertama? Lagipula yang Abang lihat ....""Ya, karena Bang Hady suka sama dia makanya pikirannya nggak mungkin. Iya, kan?"Kesal bagi Nena karena akan sulit jika harus bekerja sama mencurigai seseorang yang teristimewa di hati."Ya, bukan gitu, Na. Masalahnya cuma karena felling kamu begitu belum tentu benar. nanti jatuhnya suudzon, loh.""Karena itu felling makanya harus dibuktikan, Bang!" Hady tidak habis pikir, kenapa Nena malah mencurigai gadis cantik seperti Susi yang terkenal span dan tidak banyak tingkah. "Kalau Abang nggak mau bantu, ya, sudah biar Nena saja." Sekali lagi, gadis yang kini sah menjadi seorang istri dan Ibu itu merajuk. Menatap Hady penuh intimidasi.
Nena kini sedang dirundung kesedihan, hatinya hancur berkeping-keping akibat pesan singkat dari pujaan hati yang telah menemaninya selama dua tahun terakhir.Nena, selama hidup di kota ini sejak awal begitu bergantung pada Anjar, mantan kekasihnya. Hanya karena permintaan Anjar yang tidak bisa Nena turuti, dengan teganya dia memutuskan hubungan.Dia diputuskan lewat pesan singkat satu jam yang lalu, saat hujan masih begitu derasnya.[Kita putus!]Setelah pesan tersebut, Nena sama sekali tidak bisa menghubungi nomor Anjar, bahkan pesannya pun hanya ceklis satu. Nomornya sudah diblok.Tega!Kejam!Hujan di luar menambah kegalauan dirinya, walau sebenarnya sekarang hanya tersisa gerimis saja, mengingat dirinya yang mudah sekali sakit jika terkena hujan dia memilih untuk tetap berada di dalam kamar."Anjar, aku nggak bisa kamu giniin. Sakit banget tau, nomorku juga langsung kamu blok!" Tangisnya kembali pecah, bahkan ingu
Semua warga telah pulang setelah Pak RT meminta mereka bubar, tersisa 5 orang di ruang tamu. Nena hanya bisa menunduk dan meremas jari-jarinya yang saling bertautan, sama sekali tidak berani menatap ibu dan ayah tirinya.Suasana tampak hening–nyenyat. Bayi mungil itu juga telah tidur di pangkuan Bu Elok. Untuk mencairkan suasana yang tegang, ayah tiri Nena mulai membuka suara setelah mendapat persetujuan dari istrinya."Nena dan Nak–" Dia tampak ragu untuk menyebut."Hady, Om." Hady mewakili dirinya sendiri menjawab keraguan pria berbadan kekar itu. Dia mengangguk."Karena kalian sudah membuat ulah, maka kalian harus menikah," tegasnya.Nena yang tidak habis pikir dengan pria tersebut, mengangkat wajahnya dan menatap kesal. "Kenapa aku harus nikah sama dia? Sudah kami jelasin kalau bayi itu bukan bayi kami. Bu Elok, apa pernah Ibu lihat ada perubahan aneh di tubuh saya?" Kini pandangannya tertuju pada wanita paruh baya yang terlihat begitu bahagia.
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Nena, sejak dua jam lalu dirinya memilih untuk membaringkan tubuhnya di samping bayi mungil tak berdosa itu."Nena, boleh Ayah masuk." Sayup-sayup terdengar suara ayahnya memanggil, Nena segera beranjak untuk membuka pintu kamarnya."Nak ...." Menatap sekilas wajah yang begitu dirindunya, mendengar semua percakapan mereka tadi membuatnya enggan untuk hanya sekadar tersenyum tipis."Masuklah," ujarnya. Dia terlalu malas untuk hanya menatap lama wajah ayahnya.Nena memilih duduk di tepi tempat tidur, sedangkan menyuruh ayahnya untuk duduk di kursi yang tersedia lewat dagunya. "Ada apa?" tanya Nena.Ayahnya terlihat mengembuskan napas kasar. "Na ... Ayah nggak akan tanya alasan kamu lakuin hal memalukan seperti sekarang ini. Yang perlu kamu tau, kami sudah sepakat besok lusa keluarga pihak pria akan datang ke rumah ini untuk acara pernikahan kalian, itu keputusan kami dan sudah bulat.""Apa Ayah juga perc
Gadis itu beberapa kali menghela napas panjang, dirinya memandang wajahnya yang kini begitu cantik dengan polesan makeup dari perias profesional di kampungnya."Mbak Na ini memang sudah cantik, jadi kupolesin dikit saja dah kelihatan menawan, pasti calon suaminya langsung terpana, deh," pujinya bangga. Nena hanya tersenyum tipis, dirinya berusaha menetralisir perasaannya."Mbak Na calon suaminya orang daerah mana? Apa jauh dari Punggur?" tanya perias tersebut."Dia orang Bandar Lampung, Mbak." Mendengar Nena memanggil dirinya 'Mbak' perias tersebut begitu kegirangan. Ibunya sudah mewanti-wanti dirinya untuk memanggil perias tersebut dengan sebutan yang seharusnya ditunjukkan untuk wanita sedangkan dia pria."Mbak makin cantik, deh." Dia mencubit gemas dagu Nena, jujur saja jika dirinya tidak sedang dalam keadaan cemas begini sudah ditangkis tangan nakalnya tadi.Derit pintu terdengar, dari balik cermin Nena bisa melihat siapa yang membukanya
Mereka terlihat begitu lelah, setelah seharian menjadi ratu dan raja dengan duduk di singgasana. Keduanya tidak ada yang memutuskan keluar kamar setelah selesai membersihkan tubuh masing-masing. Bahkan, bayi mungil itu dititipkan pada ibu Nena malam ini."Di luar masih ramai, padahal sudah jam sepuluh malam. Apa di sini kalau hajatan tetangga suka berkumpul sampai larut malam begini?" Nena hanya mengangkat bahu. Acara resepsi sudah usai sejak jam delapan malam."Ini rumah kamu tapi kamu seolah nggak tahu apa pun." Hady heran dengan tingkah Nena. Dia terkesan kaku dan seolah belum pernah berbaur dengan sekitar. Terlihat dari caranya tadi saat tetangga sekitar menyalaminya.Nena mengembuskan napas pelan. "Aku dari SMP sampai SMA sama Nenek tinggal satu kabupaten sama Ayah, beda desa. Nenek meninggal dan aku masuk kuliah, tinggal di Bandar Lampung sampai sekarang."Hady mengangguk, dia terus memperhatikan gerak-gerik Nena yang berjalan mendekati meja r
Mereka telah sampai di rumah, Bu Elok langsung menyuruh Hady membawa istri dan anaknya ke kamar."Tidurkan baby Zoe di sana, kamu bisa rebahan juga. Pasti capek." Nena hanya mengangguk.Saat Hady hendak keluar kamar, Nena menarik ujung kemeja bawahnya. Dia menatap Nena dengan heran."Ada apa?"Bukan menjawab, Nena segera menjauhkan tangannya dan menggeleng. "Ya sudah, aku keluar dulu."Hady sebenarnya merasa heran dengan gadis yang kini berstatus istrinya itu. Sejak meninggalkan rumah ibunya dia menjadi begitu pendiam. Selama di mobil pun dia memilih menatap keluar menikmati suasana di luar dan menyerahkan baby Zoe pada ibu mertuanya."Mereka sudah di kamar?" Hady mengangguk dan duduk mendekat.Bu Elok mendesah pelan, dilihatnya sejenak putra bungsunya yang kini sudah berstatus sebagai suami dan memiliki tanggung jawab besar itu. "Kamu sudah menikah, maafin Ibu kalau sering marahin kamu."Hady merasa terenyuh, dia men
"Kamu yakin?"Nena kembali menggeleng, entah pertanyaan ke berapa kalinya dari Hady. Sesekali tangannya membenahi atau memainkan ujung selimut Baby Zoe agar bayi tersebut tidak kedinginan."Tuh kamu sendiri nggak yakin, gimana bisa kita jadikan dia target pertama? Lagipula yang Abang lihat ....""Ya, karena Bang Hady suka sama dia makanya pikirannya nggak mungkin. Iya, kan?"Kesal bagi Nena karena akan sulit jika harus bekerja sama mencurigai seseorang yang teristimewa di hati."Ya, bukan gitu, Na. Masalahnya cuma karena felling kamu begitu belum tentu benar. nanti jatuhnya suudzon, loh.""Karena itu felling makanya harus dibuktikan, Bang!" Hady tidak habis pikir, kenapa Nena malah mencurigai gadis cantik seperti Susi yang terkenal span dan tidak banyak tingkah. "Kalau Abang nggak mau bantu, ya, sudah biar Nena saja." Sekali lagi, gadis yang kini sah menjadi seorang istri dan Ibu itu merajuk. Menatap Hady penuh intimidasi.
"Na ...." Baru saja Nena membukakan pintu, Susi segera melangkah masuk dan memeluk Nena. Dirinya yang tidak tahu apa yang akan dilakukan Susi hampir saja terjatuh ke belakang."Mbak Sus, kenapa?" Nena mendorong pelan pundak Susi, tapi Susi semakin mempererat pelukannya. "Mbak, i-ini kenapa? Lepasin dulu, Mbak," pintanya.Susi menunduk, dia sudah menangis entah apa penyebabnya. Nena meminta Susi untuk duduk di ruang tamu."Mbak, ada apa?"Susi menggeleng, dia masih saja menangis. Bahkan kesalnya Nena, Susi mengambil sekaligus 5 lembar tisu yang tersedia di meja ruang tamu. Dia menghitungnya saat Susi mengambil helai per helai tisu.Suara tangisan Baby Zoe membuat konsentrasi Nena kepada Susi pecah. Dia bingung, hendak meninggalkan Susi dalam keadaan menangis karena rasa kemanusiaan dia sulit untuk melangkah. Tangisan Baby Zoe juga semakin kencang yang menandakan suaminya belum keluar dari kamar mandi."Na, anak k
Mereka telah sampai di rumah, Bu Elok langsung menyuruh Hady membawa istri dan anaknya ke kamar."Tidurkan baby Zoe di sana, kamu bisa rebahan juga. Pasti capek." Nena hanya mengangguk.Saat Hady hendak keluar kamar, Nena menarik ujung kemeja bawahnya. Dia menatap Nena dengan heran."Ada apa?"Bukan menjawab, Nena segera menjauhkan tangannya dan menggeleng. "Ya sudah, aku keluar dulu."Hady sebenarnya merasa heran dengan gadis yang kini berstatus istrinya itu. Sejak meninggalkan rumah ibunya dia menjadi begitu pendiam. Selama di mobil pun dia memilih menatap keluar menikmati suasana di luar dan menyerahkan baby Zoe pada ibu mertuanya."Mereka sudah di kamar?" Hady mengangguk dan duduk mendekat.Bu Elok mendesah pelan, dilihatnya sejenak putra bungsunya yang kini sudah berstatus sebagai suami dan memiliki tanggung jawab besar itu. "Kamu sudah menikah, maafin Ibu kalau sering marahin kamu."Hady merasa terenyuh, dia men
Mereka terlihat begitu lelah, setelah seharian menjadi ratu dan raja dengan duduk di singgasana. Keduanya tidak ada yang memutuskan keluar kamar setelah selesai membersihkan tubuh masing-masing. Bahkan, bayi mungil itu dititipkan pada ibu Nena malam ini."Di luar masih ramai, padahal sudah jam sepuluh malam. Apa di sini kalau hajatan tetangga suka berkumpul sampai larut malam begini?" Nena hanya mengangkat bahu. Acara resepsi sudah usai sejak jam delapan malam."Ini rumah kamu tapi kamu seolah nggak tahu apa pun." Hady heran dengan tingkah Nena. Dia terkesan kaku dan seolah belum pernah berbaur dengan sekitar. Terlihat dari caranya tadi saat tetangga sekitar menyalaminya.Nena mengembuskan napas pelan. "Aku dari SMP sampai SMA sama Nenek tinggal satu kabupaten sama Ayah, beda desa. Nenek meninggal dan aku masuk kuliah, tinggal di Bandar Lampung sampai sekarang."Hady mengangguk, dia terus memperhatikan gerak-gerik Nena yang berjalan mendekati meja r
Gadis itu beberapa kali menghela napas panjang, dirinya memandang wajahnya yang kini begitu cantik dengan polesan makeup dari perias profesional di kampungnya."Mbak Na ini memang sudah cantik, jadi kupolesin dikit saja dah kelihatan menawan, pasti calon suaminya langsung terpana, deh," pujinya bangga. Nena hanya tersenyum tipis, dirinya berusaha menetralisir perasaannya."Mbak Na calon suaminya orang daerah mana? Apa jauh dari Punggur?" tanya perias tersebut."Dia orang Bandar Lampung, Mbak." Mendengar Nena memanggil dirinya 'Mbak' perias tersebut begitu kegirangan. Ibunya sudah mewanti-wanti dirinya untuk memanggil perias tersebut dengan sebutan yang seharusnya ditunjukkan untuk wanita sedangkan dia pria."Mbak makin cantik, deh." Dia mencubit gemas dagu Nena, jujur saja jika dirinya tidak sedang dalam keadaan cemas begini sudah ditangkis tangan nakalnya tadi.Derit pintu terdengar, dari balik cermin Nena bisa melihat siapa yang membukanya
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Nena, sejak dua jam lalu dirinya memilih untuk membaringkan tubuhnya di samping bayi mungil tak berdosa itu."Nena, boleh Ayah masuk." Sayup-sayup terdengar suara ayahnya memanggil, Nena segera beranjak untuk membuka pintu kamarnya."Nak ...." Menatap sekilas wajah yang begitu dirindunya, mendengar semua percakapan mereka tadi membuatnya enggan untuk hanya sekadar tersenyum tipis."Masuklah," ujarnya. Dia terlalu malas untuk hanya menatap lama wajah ayahnya.Nena memilih duduk di tepi tempat tidur, sedangkan menyuruh ayahnya untuk duduk di kursi yang tersedia lewat dagunya. "Ada apa?" tanya Nena.Ayahnya terlihat mengembuskan napas kasar. "Na ... Ayah nggak akan tanya alasan kamu lakuin hal memalukan seperti sekarang ini. Yang perlu kamu tau, kami sudah sepakat besok lusa keluarga pihak pria akan datang ke rumah ini untuk acara pernikahan kalian, itu keputusan kami dan sudah bulat.""Apa Ayah juga perc
Semua warga telah pulang setelah Pak RT meminta mereka bubar, tersisa 5 orang di ruang tamu. Nena hanya bisa menunduk dan meremas jari-jarinya yang saling bertautan, sama sekali tidak berani menatap ibu dan ayah tirinya.Suasana tampak hening–nyenyat. Bayi mungil itu juga telah tidur di pangkuan Bu Elok. Untuk mencairkan suasana yang tegang, ayah tiri Nena mulai membuka suara setelah mendapat persetujuan dari istrinya."Nena dan Nak–" Dia tampak ragu untuk menyebut."Hady, Om." Hady mewakili dirinya sendiri menjawab keraguan pria berbadan kekar itu. Dia mengangguk."Karena kalian sudah membuat ulah, maka kalian harus menikah," tegasnya.Nena yang tidak habis pikir dengan pria tersebut, mengangkat wajahnya dan menatap kesal. "Kenapa aku harus nikah sama dia? Sudah kami jelasin kalau bayi itu bukan bayi kami. Bu Elok, apa pernah Ibu lihat ada perubahan aneh di tubuh saya?" Kini pandangannya tertuju pada wanita paruh baya yang terlihat begitu bahagia.
Nena kini sedang dirundung kesedihan, hatinya hancur berkeping-keping akibat pesan singkat dari pujaan hati yang telah menemaninya selama dua tahun terakhir.Nena, selama hidup di kota ini sejak awal begitu bergantung pada Anjar, mantan kekasihnya. Hanya karena permintaan Anjar yang tidak bisa Nena turuti, dengan teganya dia memutuskan hubungan.Dia diputuskan lewat pesan singkat satu jam yang lalu, saat hujan masih begitu derasnya.[Kita putus!]Setelah pesan tersebut, Nena sama sekali tidak bisa menghubungi nomor Anjar, bahkan pesannya pun hanya ceklis satu. Nomornya sudah diblok.Tega!Kejam!Hujan di luar menambah kegalauan dirinya, walau sebenarnya sekarang hanya tersisa gerimis saja, mengingat dirinya yang mudah sekali sakit jika terkena hujan dia memilih untuk tetap berada di dalam kamar."Anjar, aku nggak bisa kamu giniin. Sakit banget tau, nomorku juga langsung kamu blok!" Tangisnya kembali pecah, bahkan ingu