Gadis itu beberapa kali menghela napas panjang, dirinya memandang wajahnya yang kini begitu cantik dengan polesan makeup dari perias profesional di kampungnya.
"Mbak Na ini memang sudah cantik, jadi kupolesin dikit saja dah kelihatan menawan, pasti calon suaminya langsung terpana, deh," pujinya bangga. Nena hanya tersenyum tipis, dirinya berusaha menetralisir perasaannya.
"Mbak Na calon suaminya orang daerah mana? Apa jauh dari Punggur?" tanya perias tersebut.
"Dia orang Bandar Lampung, Mbak." Mendengar Nena memanggil dirinya 'Mbak' perias tersebut begitu kegirangan. Ibunya sudah mewanti-wanti dirinya untuk memanggil perias tersebut dengan sebutan yang seharusnya ditunjukkan untuk wanita sedangkan dia pria.
"Mbak makin cantik, deh." Dia mencubit gemas dagu Nena, jujur saja jika dirinya tidak sedang dalam keadaan cemas begini sudah ditangkis tangan nakalnya tadi.
Derit pintu terdengar, dari balik cermin Nena bisa melihat siapa yang membukanya, dia adik tiri Nena dari ibu kandungnya. "Pengantinnya udah datang, Mbak," ucapnya jutek. Nena tersenyum tipis. Dia melirik pada jam dinding yang sudah menunjukkan 9 pagi, pantas saja beberapa menit lagi gema akad akan terdengar.
"Baby sama Ibu?"
"Hm." Nena hanya bisa tersenyum kecut, terlihat jelas gadis kecil tersebut masih belum bisa menerima dirinya seperti dia yang masih belum bisa menerima keadaan yang menimpanya.
Prapti datang dengan terburu-buru sambil menggendong baby Zoe. "Na, ayo keluar."
Mereka berjalan berdampingan, Nena hanya bisa menunduk sesekali dirinya melirik ke arah bayi tersebut yang tertidur pulas digendongan ibunya.
"Nah, itu pengantinnya sudah muncul." Nena semakin gugup, kepalanya semakin menunduk dalam akibat cemas dan grogi. Dia sama sekali tidak menyadari jika pandangan mata mereka kini tertuju padanya, begitu juga dengan Hady yang tidak bisa melepas pandangannya pada calon istrinya itu.
"Silakan mempelai wanita untuk duduk di samping mempelai pria." Edi, ayah Nena menghampiri putrinya dan menuntunnya untuk mendekat dan duduk di samping Hady.
Hady sesekali menelan ludahnya, sungguh indah ciptaan Tuhan. Dirinya tidak pernah menyangka jika wanita yang dia kenal beberapa bulan itu bisa begitu cantik dan berbeda dengan kesehariannya yang membuatnya malas untuk menatap.
Nena tersenyum kala menoleh pada Hady dan mendapati dirinya masih saja ditatap.
"Bisa kita lanjutkan acaranya?" Hady terlihat menjadi salah tingkah, dia segera mengalihkan pandangan ke depan, mengangguk dan langsung menjabat tangan penghulu untuk ijab kabul.
"Anda ikuti kata-kata saya ya, Mas. Siap?" tanya penghulu kembali menanyakan kesiapan Hady.
"Siap!" Entah kenapa mereka malah terkekeh, dia tidak tahu di mana letak kelucuan jawabannya. Apa dia terlihat begitu tegang?
"Masnya semangat sekali sampai begitu lantang jawabnya, bagus itu," puji penghulu tersebut, Hady hanya tersenyum tipis. Dalam keadaan seperti ini dirinya masih saja sempat menoleh pada Nena hanya untuk memastikan reaksi calon istrinya seperti apa.
Sayang, Hady tidak bisa berharap banyak saat Nena hanya menunduk dengan wajah tanpa ekspresi.
Penghulu segera mengajak Hady untuk berjabat tangan, segera melantangkan ijab kabul.
"Baik, Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan dan kawinkan engkau Alhadyan Putra Bin Siswoyo dengan Ananda Nena Yulia Binti Edi dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas 50 gram, tunai."
Hady menjabat tangan penghulu dengan penuh penghayatan. "Saya terima nikahnya Nena Yulia Binti Edi dengan maskawin tersebut, tunai." Dengan penuh keyakinan dirinya begitu lantang.
"Bagaimana saksi, sah?"
"Sah!" jawab mereka serempak dan begitu lantang.
Nena tidak bisa menyembunyikan rasa haru, air matanya tidak bisa tertahan lagi untuk keluar menyapa. Dirinya kini telah sah menyandang Nyonya Hady, dokter hewan amatiran.
Tanpa diduga, penghulu yang sebenarnya belum mempersilakan Hady untuk meminta Nena menyalami tangannya sudah terlebih dahulu melakukannya. Nena dalam kebingungan menerima tangan Hady dan menciumnya singkat, dalam keadaan begitu Hady segera mengecup kening istrinya itu.
"Wah pengantin pria sudah tidak sabar ternyata," canda penghulu. Semua saksi yang ada tertawa mendengarnya. Nena tertunduk malu, pipinya memperlihatkan semburat merah jambu, sedangkan Hady dia hanya salah tingkah dengan candaan.
Setelah tawa untuk mereka, kini giliran pasang cincin. Sungguh kembali ada momen memalukan di saat itu, cincin yang hendak disematkan di jari manis Nena ternyata kekecilan yang akhirnya disematkan sementara pada jari kelingkingnya.
"Dasar Hady, bisa-bisanya dia nggak tau ukuran jari istrinya," bisik Bu Elok pada saudaranya. Padahal sebenarnya dirinya sendirilah yang membeli cincin pernikahan untuk anaknya.
"Maaf, untuk sementara di sini dulu ya, besok ke pasar untuk diukur kembali," bisik Hady. Merasakan embusan napas Hady karena wajahnya yang begitu dengar dengan telinga Nena, membuat dia hanya bisa mengangguk kaku karena merasa geli.
***
Setelah melewati adegan yang menurut mereka berdua sangat menegangkan, kini mereka kembali dibuat salah tingkah sendiri. Setelah sungkeman seperti tradisi Jawa beberapa menit lalu, mereka diberi kesempatan untuk berduaan di dalam kamar sebelum akhirnya harus keluar kembali menerima tamu undangan yang hadir.
"Bang Hady, Ibu, sama rombongan ke Punggur jam berapa?" Pertanyaan pertama kali yang penuh kegugupan dari Nena. Dirinya sama sekali tidak berani untuk menatap ataupun melirik Hady yang duduk di sampingnya.
Sedikit berbeda dengan Hady yang terlihat santai dan malah asyik menatap ciptaan Tuhan yang begitu sempurna.
Nena sedikit kecewa saat tidak ada tanggapan dari Hady, dia merasa Hady menyesal dengan pernikahan ini apalagi mengingat dirinya semalam yang mengirimi pesan singkat pada suaminya itu untuk tidak menolak acara pernikahan mereka.
Nena hanya bisa mengembuskan napasnya kesal. Hady yang melihat wajah cemberut istrinya segera mengangkat wajah tersebut agar menatap dirinya. Nena sungguh terkejut dengan apa yang dilakukan Hady padanya.
"Kamu mikirin apa?" tanya Hady, dia menaikkan sebelah alisnya. Nena hanya menggeleng samar dan mengalihkan pandangan ke arah lain, dia merasa heran saat Hady tidak mau melepaskan tangan pada rahangnya.
"Kamu cantik," puji Hady, seiring dengan menjauhkan tangannya dari wajah Nena.
"Hah?"
"Nggak, bukan apa-apa." Hady merutuki kecerobohan dirinya memuji wanita yang kini sah menjadi istrinya itu.
"Aku kira Abang bilang aku cantik tadi," celetuknya lirih. Dirinya segera membuang muka asal agar tidak menatap mata Hady.
'Ya, memang aku puji kamu cantik, tapi aku harus sadar diri pernikahan kita ini tidak ada dasar suka sama suka, melainkan karena bayi itu. Hatiku masih sepenuhnya terpaut ke Susi,' batinnya.
Mereka kembali dalam kebisuan sampai ketukan terdengar beberapa kali seperti orang tak sabaran.
Benar saja, setelah Hady membuka pintu gadis kecil tersebut menampakkan dirinya. Dia beberapa detik terlihat bengong akibat terpesona dengan wajah Hady. "Hei, Adik kecil, ada apa?" tanya Hady sambil menjentikkan jarinya di depan wajah gadis tersebut.
Dia mendengus kesal. "Aku udah gede, Om. Namaku Ayu."
Hady mengangguk, memberi jalan untuk mempersilakan dia masuk ke kamar. "Kata Ibu, Mbak Na dan Oom disuruh ke depan. Tamu undangan udah ramai, ayo," ajaknya. Dirinya menarik tangan Hady untuk mengikutinya keluar kamar tampa memedulikan Kaka tirinya.
Nena segera mengikuti mereka yang berjalan di depannya. Benar saja, beberapa tamu undangan sudah ada yang selesai menyantap hidangan. Mereka segera digiring ke atas singgasana. Menerima ajakan salaman dan sesi foto keluarga untuk mengabadikan momen acara pernikahan mereka.
"Selamat, ya." Kata yang sering terucap pada mereka yang datang kondangan. Terkadang mereka juga meminta untuk berfoto bersama mereka yang merupakan ratu dan raja sehari.
Sehari ini Nena yang biasanya tidak pernah jauh dari baby Zoe harus merelakan dirinya dilanda rindu untuk menggendong bayi tersebut. "Kenapa wajahmu cemberut?" tegur Hady setelah tamu yang mengajak mereka foto turun. Tamu undangan tersebut sadar diri tidak mau berlama-lama berada di samping mereka berdua.
Nena hanya bisa menggeleng. "Capek?" Dalam hal ini Nena kembali merasa ada yang aneh dari Hady. Pria yang biasanya cuek dan terkesan galak padanya berubah manis dan perhatian hari ini.
"Kita belum foto sama Zoe, Bang," ucapnya lirih, saat sesi foto keluarga tadi dengan alasan sedang tidur baby Zoe tidak diikutkan. Dia berusaha tersenyum. Hady yang tidak mengetahui siapa Zoe sampai mereka harus foto bareng hanya mengerutkan keningnya bingung.
"Siapa dia, Zoe, kan, tadi?" tanya Hady memastikan.
"Bayi itu aku kasih nama Zoe, Bang." Hady akhirnya ber–oh–ria setelah mengetahui. "Aku kasih nama Zoe karena ngefans sama Joe Taslim," bisik Nena yang berdiri di samping Hady.
"Jadi kamu kasih nama dia karena ...."
Nena segera mengangguk samar. "Joe sama saja dengan Zoe, kan," ucap Nena. Hady hanya tersenyum miris, bagaimana istrinya itu bisa berpikiran dua nama tersebut sama.
"Nanti kita minta Ibu untuk gendong Zoe, ya, ke sini." Hady berkata demikian setelah melihat ibunya sedang memangku Zoe duduk berjarak beberapa meter dari singgasana.
"Makasih, Bang."
Bersambung
****
Catatan: untuk adegan ijab kabul maafkan apabila ada kesalahan🙏🤭
.
Mereka terlihat begitu lelah, setelah seharian menjadi ratu dan raja dengan duduk di singgasana. Keduanya tidak ada yang memutuskan keluar kamar setelah selesai membersihkan tubuh masing-masing. Bahkan, bayi mungil itu dititipkan pada ibu Nena malam ini."Di luar masih ramai, padahal sudah jam sepuluh malam. Apa di sini kalau hajatan tetangga suka berkumpul sampai larut malam begini?" Nena hanya mengangkat bahu. Acara resepsi sudah usai sejak jam delapan malam."Ini rumah kamu tapi kamu seolah nggak tahu apa pun." Hady heran dengan tingkah Nena. Dia terkesan kaku dan seolah belum pernah berbaur dengan sekitar. Terlihat dari caranya tadi saat tetangga sekitar menyalaminya.Nena mengembuskan napas pelan. "Aku dari SMP sampai SMA sama Nenek tinggal satu kabupaten sama Ayah, beda desa. Nenek meninggal dan aku masuk kuliah, tinggal di Bandar Lampung sampai sekarang."Hady mengangguk, dia terus memperhatikan gerak-gerik Nena yang berjalan mendekati meja r
Mereka telah sampai di rumah, Bu Elok langsung menyuruh Hady membawa istri dan anaknya ke kamar."Tidurkan baby Zoe di sana, kamu bisa rebahan juga. Pasti capek." Nena hanya mengangguk.Saat Hady hendak keluar kamar, Nena menarik ujung kemeja bawahnya. Dia menatap Nena dengan heran."Ada apa?"Bukan menjawab, Nena segera menjauhkan tangannya dan menggeleng. "Ya sudah, aku keluar dulu."Hady sebenarnya merasa heran dengan gadis yang kini berstatus istrinya itu. Sejak meninggalkan rumah ibunya dia menjadi begitu pendiam. Selama di mobil pun dia memilih menatap keluar menikmati suasana di luar dan menyerahkan baby Zoe pada ibu mertuanya."Mereka sudah di kamar?" Hady mengangguk dan duduk mendekat.Bu Elok mendesah pelan, dilihatnya sejenak putra bungsunya yang kini sudah berstatus sebagai suami dan memiliki tanggung jawab besar itu. "Kamu sudah menikah, maafin Ibu kalau sering marahin kamu."Hady merasa terenyuh, dia men
"Na ...." Baru saja Nena membukakan pintu, Susi segera melangkah masuk dan memeluk Nena. Dirinya yang tidak tahu apa yang akan dilakukan Susi hampir saja terjatuh ke belakang."Mbak Sus, kenapa?" Nena mendorong pelan pundak Susi, tapi Susi semakin mempererat pelukannya. "Mbak, i-ini kenapa? Lepasin dulu, Mbak," pintanya.Susi menunduk, dia sudah menangis entah apa penyebabnya. Nena meminta Susi untuk duduk di ruang tamu."Mbak, ada apa?"Susi menggeleng, dia masih saja menangis. Bahkan kesalnya Nena, Susi mengambil sekaligus 5 lembar tisu yang tersedia di meja ruang tamu. Dia menghitungnya saat Susi mengambil helai per helai tisu.Suara tangisan Baby Zoe membuat konsentrasi Nena kepada Susi pecah. Dia bingung, hendak meninggalkan Susi dalam keadaan menangis karena rasa kemanusiaan dia sulit untuk melangkah. Tangisan Baby Zoe juga semakin kencang yang menandakan suaminya belum keluar dari kamar mandi."Na, anak k
"Kamu yakin?"Nena kembali menggeleng, entah pertanyaan ke berapa kalinya dari Hady. Sesekali tangannya membenahi atau memainkan ujung selimut Baby Zoe agar bayi tersebut tidak kedinginan."Tuh kamu sendiri nggak yakin, gimana bisa kita jadikan dia target pertama? Lagipula yang Abang lihat ....""Ya, karena Bang Hady suka sama dia makanya pikirannya nggak mungkin. Iya, kan?"Kesal bagi Nena karena akan sulit jika harus bekerja sama mencurigai seseorang yang teristimewa di hati."Ya, bukan gitu, Na. Masalahnya cuma karena felling kamu begitu belum tentu benar. nanti jatuhnya suudzon, loh.""Karena itu felling makanya harus dibuktikan, Bang!" Hady tidak habis pikir, kenapa Nena malah mencurigai gadis cantik seperti Susi yang terkenal span dan tidak banyak tingkah. "Kalau Abang nggak mau bantu, ya, sudah biar Nena saja." Sekali lagi, gadis yang kini sah menjadi seorang istri dan Ibu itu merajuk. Menatap Hady penuh intimidasi.
Nena kini sedang dirundung kesedihan, hatinya hancur berkeping-keping akibat pesan singkat dari pujaan hati yang telah menemaninya selama dua tahun terakhir.Nena, selama hidup di kota ini sejak awal begitu bergantung pada Anjar, mantan kekasihnya. Hanya karena permintaan Anjar yang tidak bisa Nena turuti, dengan teganya dia memutuskan hubungan.Dia diputuskan lewat pesan singkat satu jam yang lalu, saat hujan masih begitu derasnya.[Kita putus!]Setelah pesan tersebut, Nena sama sekali tidak bisa menghubungi nomor Anjar, bahkan pesannya pun hanya ceklis satu. Nomornya sudah diblok.Tega!Kejam!Hujan di luar menambah kegalauan dirinya, walau sebenarnya sekarang hanya tersisa gerimis saja, mengingat dirinya yang mudah sekali sakit jika terkena hujan dia memilih untuk tetap berada di dalam kamar."Anjar, aku nggak bisa kamu giniin. Sakit banget tau, nomorku juga langsung kamu blok!" Tangisnya kembali pecah, bahkan ingu
Semua warga telah pulang setelah Pak RT meminta mereka bubar, tersisa 5 orang di ruang tamu. Nena hanya bisa menunduk dan meremas jari-jarinya yang saling bertautan, sama sekali tidak berani menatap ibu dan ayah tirinya.Suasana tampak hening–nyenyat. Bayi mungil itu juga telah tidur di pangkuan Bu Elok. Untuk mencairkan suasana yang tegang, ayah tiri Nena mulai membuka suara setelah mendapat persetujuan dari istrinya."Nena dan Nak–" Dia tampak ragu untuk menyebut."Hady, Om." Hady mewakili dirinya sendiri menjawab keraguan pria berbadan kekar itu. Dia mengangguk."Karena kalian sudah membuat ulah, maka kalian harus menikah," tegasnya.Nena yang tidak habis pikir dengan pria tersebut, mengangkat wajahnya dan menatap kesal. "Kenapa aku harus nikah sama dia? Sudah kami jelasin kalau bayi itu bukan bayi kami. Bu Elok, apa pernah Ibu lihat ada perubahan aneh di tubuh saya?" Kini pandangannya tertuju pada wanita paruh baya yang terlihat begitu bahagia.
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Nena, sejak dua jam lalu dirinya memilih untuk membaringkan tubuhnya di samping bayi mungil tak berdosa itu."Nena, boleh Ayah masuk." Sayup-sayup terdengar suara ayahnya memanggil, Nena segera beranjak untuk membuka pintu kamarnya."Nak ...." Menatap sekilas wajah yang begitu dirindunya, mendengar semua percakapan mereka tadi membuatnya enggan untuk hanya sekadar tersenyum tipis."Masuklah," ujarnya. Dia terlalu malas untuk hanya menatap lama wajah ayahnya.Nena memilih duduk di tepi tempat tidur, sedangkan menyuruh ayahnya untuk duduk di kursi yang tersedia lewat dagunya. "Ada apa?" tanya Nena.Ayahnya terlihat mengembuskan napas kasar. "Na ... Ayah nggak akan tanya alasan kamu lakuin hal memalukan seperti sekarang ini. Yang perlu kamu tau, kami sudah sepakat besok lusa keluarga pihak pria akan datang ke rumah ini untuk acara pernikahan kalian, itu keputusan kami dan sudah bulat.""Apa Ayah juga perc
"Kamu yakin?"Nena kembali menggeleng, entah pertanyaan ke berapa kalinya dari Hady. Sesekali tangannya membenahi atau memainkan ujung selimut Baby Zoe agar bayi tersebut tidak kedinginan."Tuh kamu sendiri nggak yakin, gimana bisa kita jadikan dia target pertama? Lagipula yang Abang lihat ....""Ya, karena Bang Hady suka sama dia makanya pikirannya nggak mungkin. Iya, kan?"Kesal bagi Nena karena akan sulit jika harus bekerja sama mencurigai seseorang yang teristimewa di hati."Ya, bukan gitu, Na. Masalahnya cuma karena felling kamu begitu belum tentu benar. nanti jatuhnya suudzon, loh.""Karena itu felling makanya harus dibuktikan, Bang!" Hady tidak habis pikir, kenapa Nena malah mencurigai gadis cantik seperti Susi yang terkenal span dan tidak banyak tingkah. "Kalau Abang nggak mau bantu, ya, sudah biar Nena saja." Sekali lagi, gadis yang kini sah menjadi seorang istri dan Ibu itu merajuk. Menatap Hady penuh intimidasi.
"Na ...." Baru saja Nena membukakan pintu, Susi segera melangkah masuk dan memeluk Nena. Dirinya yang tidak tahu apa yang akan dilakukan Susi hampir saja terjatuh ke belakang."Mbak Sus, kenapa?" Nena mendorong pelan pundak Susi, tapi Susi semakin mempererat pelukannya. "Mbak, i-ini kenapa? Lepasin dulu, Mbak," pintanya.Susi menunduk, dia sudah menangis entah apa penyebabnya. Nena meminta Susi untuk duduk di ruang tamu."Mbak, ada apa?"Susi menggeleng, dia masih saja menangis. Bahkan kesalnya Nena, Susi mengambil sekaligus 5 lembar tisu yang tersedia di meja ruang tamu. Dia menghitungnya saat Susi mengambil helai per helai tisu.Suara tangisan Baby Zoe membuat konsentrasi Nena kepada Susi pecah. Dia bingung, hendak meninggalkan Susi dalam keadaan menangis karena rasa kemanusiaan dia sulit untuk melangkah. Tangisan Baby Zoe juga semakin kencang yang menandakan suaminya belum keluar dari kamar mandi."Na, anak k
Mereka telah sampai di rumah, Bu Elok langsung menyuruh Hady membawa istri dan anaknya ke kamar."Tidurkan baby Zoe di sana, kamu bisa rebahan juga. Pasti capek." Nena hanya mengangguk.Saat Hady hendak keluar kamar, Nena menarik ujung kemeja bawahnya. Dia menatap Nena dengan heran."Ada apa?"Bukan menjawab, Nena segera menjauhkan tangannya dan menggeleng. "Ya sudah, aku keluar dulu."Hady sebenarnya merasa heran dengan gadis yang kini berstatus istrinya itu. Sejak meninggalkan rumah ibunya dia menjadi begitu pendiam. Selama di mobil pun dia memilih menatap keluar menikmati suasana di luar dan menyerahkan baby Zoe pada ibu mertuanya."Mereka sudah di kamar?" Hady mengangguk dan duduk mendekat.Bu Elok mendesah pelan, dilihatnya sejenak putra bungsunya yang kini sudah berstatus sebagai suami dan memiliki tanggung jawab besar itu. "Kamu sudah menikah, maafin Ibu kalau sering marahin kamu."Hady merasa terenyuh, dia men
Mereka terlihat begitu lelah, setelah seharian menjadi ratu dan raja dengan duduk di singgasana. Keduanya tidak ada yang memutuskan keluar kamar setelah selesai membersihkan tubuh masing-masing. Bahkan, bayi mungil itu dititipkan pada ibu Nena malam ini."Di luar masih ramai, padahal sudah jam sepuluh malam. Apa di sini kalau hajatan tetangga suka berkumpul sampai larut malam begini?" Nena hanya mengangkat bahu. Acara resepsi sudah usai sejak jam delapan malam."Ini rumah kamu tapi kamu seolah nggak tahu apa pun." Hady heran dengan tingkah Nena. Dia terkesan kaku dan seolah belum pernah berbaur dengan sekitar. Terlihat dari caranya tadi saat tetangga sekitar menyalaminya.Nena mengembuskan napas pelan. "Aku dari SMP sampai SMA sama Nenek tinggal satu kabupaten sama Ayah, beda desa. Nenek meninggal dan aku masuk kuliah, tinggal di Bandar Lampung sampai sekarang."Hady mengangguk, dia terus memperhatikan gerak-gerik Nena yang berjalan mendekati meja r
Gadis itu beberapa kali menghela napas panjang, dirinya memandang wajahnya yang kini begitu cantik dengan polesan makeup dari perias profesional di kampungnya."Mbak Na ini memang sudah cantik, jadi kupolesin dikit saja dah kelihatan menawan, pasti calon suaminya langsung terpana, deh," pujinya bangga. Nena hanya tersenyum tipis, dirinya berusaha menetralisir perasaannya."Mbak Na calon suaminya orang daerah mana? Apa jauh dari Punggur?" tanya perias tersebut."Dia orang Bandar Lampung, Mbak." Mendengar Nena memanggil dirinya 'Mbak' perias tersebut begitu kegirangan. Ibunya sudah mewanti-wanti dirinya untuk memanggil perias tersebut dengan sebutan yang seharusnya ditunjukkan untuk wanita sedangkan dia pria."Mbak makin cantik, deh." Dia mencubit gemas dagu Nena, jujur saja jika dirinya tidak sedang dalam keadaan cemas begini sudah ditangkis tangan nakalnya tadi.Derit pintu terdengar, dari balik cermin Nena bisa melihat siapa yang membukanya
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Nena, sejak dua jam lalu dirinya memilih untuk membaringkan tubuhnya di samping bayi mungil tak berdosa itu."Nena, boleh Ayah masuk." Sayup-sayup terdengar suara ayahnya memanggil, Nena segera beranjak untuk membuka pintu kamarnya."Nak ...." Menatap sekilas wajah yang begitu dirindunya, mendengar semua percakapan mereka tadi membuatnya enggan untuk hanya sekadar tersenyum tipis."Masuklah," ujarnya. Dia terlalu malas untuk hanya menatap lama wajah ayahnya.Nena memilih duduk di tepi tempat tidur, sedangkan menyuruh ayahnya untuk duduk di kursi yang tersedia lewat dagunya. "Ada apa?" tanya Nena.Ayahnya terlihat mengembuskan napas kasar. "Na ... Ayah nggak akan tanya alasan kamu lakuin hal memalukan seperti sekarang ini. Yang perlu kamu tau, kami sudah sepakat besok lusa keluarga pihak pria akan datang ke rumah ini untuk acara pernikahan kalian, itu keputusan kami dan sudah bulat.""Apa Ayah juga perc
Semua warga telah pulang setelah Pak RT meminta mereka bubar, tersisa 5 orang di ruang tamu. Nena hanya bisa menunduk dan meremas jari-jarinya yang saling bertautan, sama sekali tidak berani menatap ibu dan ayah tirinya.Suasana tampak hening–nyenyat. Bayi mungil itu juga telah tidur di pangkuan Bu Elok. Untuk mencairkan suasana yang tegang, ayah tiri Nena mulai membuka suara setelah mendapat persetujuan dari istrinya."Nena dan Nak–" Dia tampak ragu untuk menyebut."Hady, Om." Hady mewakili dirinya sendiri menjawab keraguan pria berbadan kekar itu. Dia mengangguk."Karena kalian sudah membuat ulah, maka kalian harus menikah," tegasnya.Nena yang tidak habis pikir dengan pria tersebut, mengangkat wajahnya dan menatap kesal. "Kenapa aku harus nikah sama dia? Sudah kami jelasin kalau bayi itu bukan bayi kami. Bu Elok, apa pernah Ibu lihat ada perubahan aneh di tubuh saya?" Kini pandangannya tertuju pada wanita paruh baya yang terlihat begitu bahagia.
Nena kini sedang dirundung kesedihan, hatinya hancur berkeping-keping akibat pesan singkat dari pujaan hati yang telah menemaninya selama dua tahun terakhir.Nena, selama hidup di kota ini sejak awal begitu bergantung pada Anjar, mantan kekasihnya. Hanya karena permintaan Anjar yang tidak bisa Nena turuti, dengan teganya dia memutuskan hubungan.Dia diputuskan lewat pesan singkat satu jam yang lalu, saat hujan masih begitu derasnya.[Kita putus!]Setelah pesan tersebut, Nena sama sekali tidak bisa menghubungi nomor Anjar, bahkan pesannya pun hanya ceklis satu. Nomornya sudah diblok.Tega!Kejam!Hujan di luar menambah kegalauan dirinya, walau sebenarnya sekarang hanya tersisa gerimis saja, mengingat dirinya yang mudah sekali sakit jika terkena hujan dia memilih untuk tetap berada di dalam kamar."Anjar, aku nggak bisa kamu giniin. Sakit banget tau, nomorku juga langsung kamu blok!" Tangisnya kembali pecah, bahkan ingu