Hari ini, Neona bersama dua orang asistennya menyelesaikan agenda mereka dengan lancar. Kini tiba waktunya Neona untuk menyelesaikan agenda terakhir yaitu syuting FTV. Rara tampak sibuk dengan beberapa kostum dari wardrobe dan beberapa aksesoris lainnya.
Neona masih sibuk dengan hafalan naskah dialog. Sementara Tuti sibuk dengan iPad-nya, membaca beberapa trending topik saat itu.
“Gila, nih, penggemar lo hebat banget, Na,” tanggapnya.
“Kenapa, mbak Tut?” tanya Rara menyela.
“Bayangin, dia bisa menutup mulut netizen yang berkomentar negatif soal kejadian kemarin. Gue jadi penasaran siapa, sih, ni orang? Na, lo tau nggak orang ini siapa?” Tuti menatap Neona lekat dengan raut menyidiknya.
“Seseorang….” Neona menjawab, lalu menjeda.
Yang sangat mencintai gue, Mbak dan gue juga mencintainya. Tapi hati gue sudah terlanjur hancur oleh ulah mereka, hingga seumur hidup gue, gue hanya bisa membenci, monolog Neona dalam hati.
“Iya gue juga tahu seseorang, tapi siapa?” tanya Tuti semakin penasaran.
“Aau!?” acuh Neona kembali pada naskahnya.
Mobil Van hitam pun tiba di lokasi syuting. Neona segera melepas kacamata hitam dan berjalan menuju sebuah kursi tempat ia beristirahat.
Siang itu semilir langit puncak sangat bersahabat. Rambut panjang Neona teribak lembut oleh tiupan angin siang itu. Untungnya rasa kantuk tak menyapa sehingga ia bisa melakukan kegiatan syuting dengan sangat lancar.
Neona beringsut ke arah Tuti, ia menyodorkan sebuah benda pipih kecil kepada wanita berkacamata itu. Tuti merengut heran, semakin heran mendengar permintaan aneh Neona siang itu.
“Mbak, nanti pas adegan ciuman lo foto gue ya? Ambil dari posisi belakang aktornya, jadi yang kelihatan muka gue sama punggung tuh laki. Awas lo kalau salah, gue potong gaji lo, Mbak,” pinta Neona sedikit melebarkan pupil.
“Ada apa lagi, nih, anak coba? Aneh-aneh aja permintaannya,” gumam Tuti.
Adegan demi adegan Neona lakukan dengan sangat baik, bahkan sutradara sangat puas dengan hasil kerja Neona hari itu. Ia tak perlu mengulang berkali-kali setiap adegan karena Neona sangat menjiwai tokoh yang ia perankan.
Tuti pun menuruti permintaan Neona beberapa menit lalu. Saat istirahat, Neona meraih ponselnya dan mengirimkan foto yang baru saja diambil Tuti kepada Adnan.
Benar, sejak semalam, laki-laki itu berusaha menghubungi Neona berkali-kali. Namun, sayangnya gadis itu memilih untuk mengacuhkan panggilan Adnan. Tak sampai di situ, ia juga membaca pesan W******p Adnan. Ia pun tak membalas, hingga siang itu ia bisa mengirimkan foto adegan cium yang sebenarnya hanya posisi berjarak namun terlihat seperti adegan asli.
Dari sudut tempat lokasi syuting Neona, seorang wanita berpakaian tank top dengan celana jeans berjalan angkuh mendekati Neona. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung menarik pergelangan tangan Neonan dan menyeret tubuh Neona sedikit menjauh.
Rara dan Tuti terkejut melihat peristiwa itu.
“Wah, kayaknya akan ada adegan jambak rambut lagi, nih,” sinis Tuti yang berdiri di sisi Rara seraya melipat kedua tangan di atas dada.
“Ih, Mbak Tuti tahu aja, eke ogah ah, atut kalau ayang bebe ngamuk, ih,” ledek Rara.
Seluruh kru yang berada di lokasi syuting memperhatikan kedua wanita cantik yang kini tengah berdebat keras. Salah seorang kembali berulah memanfaatkan kesempatan untuk merekam percekcokan mereka.
“Jauhi Zenan!” hentak Jesline.
“Nggak!”
“Lo cari mati ya, Cewek Jelek?” ketus Jesline mulai menarik kasar baju yang dikenakan Neona.
“Kalau elo mau Zenan, ambil sendiri. Gue nggak butuh sampah kayak dia. Lo dan Zenan sama persis. Sama-sama menjijikkan,” suara Neona setengah berbisik.
Sorot mata kedua wanita itu tajam, seakan keduanya sudah tak ada lagi dinding perdamaian. Terutama bagi Neona. Bagaimana tidak, gara-gara wanita di depannya ini, Neona harus bertahan dari bullyan orang-orang. Gara-gara wanita ini ia kehilangan cinta yang kini sangat ia benci. Dan kini gara-gara wanita ini, ia tak bisa memiliki cinta yang seharusnya ia miliki.
Rasa benci Neona sudah berlipat ganda pada Jesline. Ingin rasanya ia mencabik-cabik wajah wanita itu, namun jika bukan karena ia di depan orang banyak, ia harus menjaga reputasinya. Ia tak ingin lagi Adnan dan kedua sahabat sejatinya Moly dan Laras tersiksa lagi karena ulahnya. Benar selama ini atas permintaan Adnan, Moly dan Laras berusaha menjadi pembela dan Hacker untuk opini-opini netizen yang negatif terhadap Neona jika berita tentang gadis itu terekspos. Meskipun benar pada kenyataanya, namun tugas Moly dan laras untuk menepis opini netizen.
Neona melepaskan diri dari cengkraman Jesline setelah suara Tuti yang sudah berhasil melerai pertengkaran yang hampir saja akan terjadi.
“Na, ada telepon!” teriak Tuti berbohong.
Rara yang tak mengetahui drama dadakan Tuti hanya merengut heran. Sedari tadi tak ada satupun ponsel Neona ataupun Tuti yang berdering. Jesline menghempaskan tubuh Neona untuk melepaskan cengkramannya, namun nasib sial menimpa Neona. Kakinya terkilir membuat gadis itu tersungkur ke tanah.
Suara jerit kesakitan melengking dari bibir Neona. Sontak para kru yang lain segera menghampiri Neona yang kesakitan di tanah memegangi pergelangan kakinya.
“Na, lo nggak apa-apa?” pekik Tuti berlari menghampiri tubuh Neona.
“Ah, sakit, Mbak Tut!” rintih Neona.
Para kru segera membantu memapah tubuh Neona ke dalam mobil. Tuti segera membawa Neona ke rumah sakit. Sementara Jesline segera melarikan diri, takut jika kejadian itu muncul pada Headline News pagi. Meskipun Tuti dan Rara cukup lama mengenal Neona, namun sampai detik ini, tak satupun kisah asmara Neona yang mereka ketahui kecuali Zenan yang berkali-kali ditolak Neona. Tuti terus berusaha mencari tahu namun setiap kali ia menanyakannya pada Neona, gadis itu hanya menjawabnya dengan dingin dan ketus. Ia pun menyerah dan berusaha memahami sifat Neona perlahan-lahan.
Beberapa perawat sudah bersedia di lobi rumah sakit. Satu orang perawat segera mendorong brankar menyambut sebuah mobil Van hitam yang sudah terparkir sempurna di depan teras rumah sakit. Beberapa kru turun mengangkat tubuh Neona dan perlahan membaringkannya di brankar. Sang perawat segera menggiring brankar tersebut berpacu dengan waktu untuk penanganan pasien. Tuti segera menghubungi Theo, setidaknya hanya dia yang bisa diandalkan Tuti saat ini. Selain itu melalui Theo, Tuti mengenal sosok Neona.
“Pak Theo, nona Neona masuk rumah sakit," lapornya melalui sambungan seluler.
“Apa?! Kok bisa?! Oke saya akan segera ke sana, kirimkan lokasi kalian.” Panggilan terputus.
***
Sesaat pria tampan itu berdiam mematung. Dia sedang menimbang pikirannya untuk menghubungi Adnan dan mengabari lelaki itu tentang kondisi Neona.
“Nan, Neona masuk rumah sakit,” ujarnya.
“Hah? Kok bisa?” suara Adnan terdengar cemas dari seberang.
“Entahlah, saya akan ke sana terus saya kabarin, ok,” pungkas Theo.
Kecelakaan kecil yang terjadi pada pergelangan kaki kirinya cukup membuat gadis itu harus menghabiskan waktu di rumah sakit. Adnan masih berdiam di kantor, ia teringat pada pesan media yang dikirim Neona semalam. Laki-laki itu menghela nafas dalam. Hatinya berperang antara cemburu, benci, dan simpatinya.
Ia pun akhirnya memutuskan untuk tidak menemui Neona dan meminta Moly juga Laras yang sudah berada di Indonesia sejak seminggu lalu. Kedua sahabat Neona yang mengecam pendidikan di luar negeri pasca kelulusan mereka.
“Moly, ajak Laras, jenguk Neona di rumah sakit, dia terkilir,” pinta Adnan melalui telpon.
“Maaf, Kak Adnan, aku nggak bisa. Aku sama Laras udah terlanjur sakit hati sama Neona. Dia sudah memutuskan persahabatan kami seminggu lalu. Biarin aja dia di rumah sakit, toh, ada manajer dia sekarang. Lagian dia, kan, seorang artis papan atas, kami nggak ada apa-apanya di mata Neona.” Suara kesal terdengar Moly dari seberang.
Adnan lagi-lagi menghela napas dalam, ingatannya kembali pada peristiwa, tepat saat Moly dan Laras baru kembali dari luar negeri dan menemui Neona. Bayangan kalimat angkuh yang terlontar dari mulut Neona kepada kedua sahabatnya itu masih melekat dalam ingatan Adnan. Ia tak heran jika Moly dan Laras sangat membencinya saat ini.
“Aku mohon, Ly, please. Hanya kalian sahabat Neona yang lebih memahami Neona dari siapapun,” melas Adnan.
“Tapi, Kak, mau sampai kapan kita mendapat perlakuan kayak gini? Dia harus belajar menerima kenyataan yang pahit, Kak. Jika dia ingin orang lain merasakan kekecewaan hatinya, maka kami juga sama. Kami ingin dia merasakan kekecewaan hati kami,” tandas Moly.
Suara panggilan terputus terdengar di telinga Adnan. Moly sudah benar-benar memutuskan sambungan telpon. Tak lama ia pun menghubungi Laras, ia tau gadis yang satu ini lebih lunak dan perasa dibanding Moly yang sedikit tomboi.
“La, bisa Kakak minta tolong? Bisakah kamu menjenguk Neona di rumah sakit? Dia terkilir. Kasihan dia, nggak ada yang temenin. Bantu Kakak, Kakak nggak bisa temui dia, Kakak sibuk,” alasan Adnan.
“Iya, Kak. Aku akan langsung ke sana. Kebetulan aku lagi di jalan, habis dari rumah Zenan. Ada hal juga yang ingin aku bicarakan dengan Neona,” jelas Laras.
“Ada apa dengan Zenan?” tanya Adnan mulai penasaran.
“Nggak baik, kak. Sejak penghinaan yang dilakukan Neona berkali-kali, Zenan sudah tiga hari mengurung diri di kamar dan mulai mabuk-mabukan. Entah berapa kali ayahnya menemukan ia pulang malam dalam keadaan mabuk. Zenan hancur, Kak.”
Adnan mengakhiri panggilan. Laju napas terdengar semakin cepat. Pandangan kosong berubah menjadi sebuah sorot tajam. Ada rasa kecewa kembali tersirat dalam hati, mendengar apa yang sudah dilakukan Neona kepada semua orang, yang sudah pernah hadir di masa lalu. Masa lalu yang kini membuat ia tampil menjadi sosok yang mengerikan.
Neona, apa kamu harus sekejam ini pada kami? Apa kesalahan kami di masa lalu sangat tidak bisa kamu terima? Berhenti Neona!
Gian—ayah Zenan—masih berusaha mendobrak pintu kamar Zenan yang terkunci. Sejak pulang jam satu dini hari, sejak saat itu putra semata wayangnya itu mengurung diri. Sesekali terdengar pecahan beling dan sesekali terdengar jeritan frustrasi Zenan. Makian, kalimat penyesalan, bermunculan dari mulut Zenan. Suara pukulan beberapa benda pun terdengar. Hal itu membuat Gian sangat mengkhawatirkan kondisi mental Zenan. Ia takut jika putranya itu melakukan hal yang bodoh.“Zenan! Zenan! Buka pintunya, Nak! Jangan siksa dirimu seperti ini! Kita masih punya jalan keluar!” teriaknya berusaha menyadarkan Zenan.Usaha Gian sia-sia, tak ada jawaban apapun dari dalam kamar Zenan. Hanya suara jeritan tangis penyesalan dari mulut lelaki hebat itu.“Papi akan menemui Neona, hari ini,” tegasnya.***Tuti dan Rara terkejut dengan kedatangan sosok dua pria luar biasa. Benar, Theo dan Adnan memutuskan datang untuk menjenguk Neona
Segera hentikan berita itu, atau kalian akan menyesal seumur hidup kalian,” tekan Tuti.Malam beranjak menjemput, Zenan kini sudah mulai melakukan aktivitas ringan setelah bujukan Laras siang tadi. Siang itu memang Laras tanpa sengaja mengunjungi kediaman Alexander, hanya sekedar bertegur sapa. Namun sayang setiba di teras depan rumah bak istana itu, telinganya dikejutkan dengan suara jeritan dan teriakan beberapa orang dari dalam rumah. Ia pun mempercepat langkahnya, menerobos ruang utama dan menemukan Gian dan beberapa pelayan lainnya, tengah memegangi Zenan yang mengamuk. “Ya tuhan, Om. Ada apa ini?” tanyanya heran. “Bantu Om, Laras. Zenan mau bunuh diri,” lirih Gian, di saat ia masih kuat memegangi tubuh Zenan yang meronta.
Di sebuah apartemen, seorang wanita berambut Blonde, tengah duduk menghadap televise. Siaran malam itu menayangkan berita topik utama tentang perselisihan antara Gian Alexander dengan artis terkenal Neona. Sebuah serigai sinis yang berubah menjadi suara tawa yang lebar dan menggelegar. Suara yang memenuhi seluruh langi-langit ruang tengah apartemen itu. “Hahahaha, akhirnya! Akhirnya,Neona! Kehancuran lo sudah tiba, sekarang gue yakin seratus persen, baik Zenan maupun Adnan akan benar-benar menjauhi lo. Dan lo akan segera membusuk di Bui, Neona sombong.!” Hujatnya. Sekali lagi Jesline melambungkan suara tawa mengerikannya itu. ia tak ubahnya seperti wanita yang mengalami gangguan kejiwaan. Ia terus tertawa dan tertawa hingga membanting tubuhnya di atas sofa, masih dalam keadaan tertawa lebar. Di tempat lain, Tuti tengah berada dalam perjalanan. Ia hendak menuju kediaman Sarah, sepupunya. Sosok wanita yang memperkenalkan ia dengan Neona, d
Siang ini, Neona dan kedua sahabatnya, Moly dan Laras, berjalan menelusuri lobi Mall. Ketiganya tampak bahagia dan bersemangat. Huntig asesoris lucu dan unik adalah kesenangan mereka. “Ini lucu, deh, Na” lirik Laras memperlihatkan sebuah anting unik. Neona meraih dan segera memajang diri pada sebuah cermin untuk melihat kecocokannya. Saat gadis itu menikmati pantulan wajahnya dengan asesoris anting, yang sudah menempel pada daun telinganya, sebuah suara sinis menggema dari sisi kirinya. “Antingnya memang cantik, sayang yang pakai nggak cantik, jadi, ya, terlihat jelek, deh.” Sindir wanita betubuh semampai dengan atasan Blouse berpadu Jeans yang juga tengah memilih pernak-pernik asesoris. “Hei, tante-tante, maksudnya apa ngomong, gitu?!” ketus Neona, yang sudah mulai terdengar kesal. “Aku hanya mencoba membangunkan putri tidur, agar dia menghadapi kenyataan, kalau memang dasarnya jelek mau pakai apapun akan tetap terlih
Hari minggu, Buyung dan Adnan lebih memilih berolah raga di gedung Gelora Bung Karno (GBK). Sementara Khadijah dengan kegiatan paginya , memasak dan mencuci. Pembantu , ada tapi urusan memasak, Khadijah paling anti mempercayakan orang lain. Neona masih dengan rutinitasnya, bersantai sambil ngupil. Ya entah itu penyakit atau kelainan, Neona memiliki produksi Upil yang lebih, sehingga tak jarang gadis kriwil itu memiliki kegiatan hobby MENGUPIL. Tapi ia juga sangat menjaga privasinya, untuk melakukan hobynya itu ia memilih tempat tertutup atau tersembunyi. “Non Neona, nyonya minta Non turun untuk sarapan,” ucap bi Sanah, pembantu keluarga Bagaskoro. “Bentar Bi, tanggung.” Ketus Neona, acuh. Bi Sanah hanya terdiam, wanita bertubuh semampai dengan baju kebayanya, hanya berdiri menunggu reaksi Neona selanjutnya. “Loh, kok bibi masih di situ? Mau makan upilku?” ejek Neona berbalik melirik ke arah bi Sanah yang sudah menyeringai jijik. “Ih, si
Malam itu Gian dan Zenan bertandang ke kediaman Bagaskoro. Untuk pertamakalinya kedua sahabat itu saling berkunjung untuk membicarakan niat hati mengikat hubungan. Khadijah sudah memberitahukan Neona akan kedatangan tamunya itu. ia pun membantu Neona dalam berdandan. Adnan sudah menyiapkan gaun indah pilihannya. Dres putih selutut. Rambut kritng Neona diikat setinggi ujung kepala. Sentuhan make up natural dan lip balm, membuat Neona terlihat cantik, alami. “Duh anak Mami cantik.” Komentar Khadijah setelah selesai memoles bibir Neona. Tak lama Adnan pun ikut masuk dan menatap adiknya itu, dengan sebuah kado kecil menyelip di belakang tubuhnya. Khadijah segera meninggalkan keduanya. “Happy Birth Day adikku tersayang!” ucapnya mengecup pipi Neona dan menyodorkan kotak kecil berisi liontin berlian bermata sebentuk hati yang memasang foto keduanya. “Whoa, kakak ingat ulang tahunku?” “Hm, mana mungkin kakak lupa. Malam ini, kamu juga akan mendapatk
Pagi ini, Neona dan kedua sahabatnya Moly dan Laras menapaki halaman sekolah mereka. Sekolah yang sudah berhasil membuat Neona tak mengajukan pindah. Berkat Moly dan Laras, gadis itu bisa bertahan sampai detik ini. Meskipun Agnes, rival Neona kerap mengganggu gadis itu dengan berbagai bullyannya. “Apa kabar, Lo?” sapa Agnes dengan gengnya, Nensi dan Mega. Tiga gadis centil dan cantik namun sombong. Mereka selalu mengganggu anak baru dan menganggap diri, cewek paling popular di sekolah mereka. “Nes, gue heran sama lo, keberatan banget ngelihat gue bahagia, lo nggak ada kerjaan ya?” sahut Neona berkacak pinggang. “Ya, Nes, Neona benar, lo nggak ada kerjaan lain selain gangguin dia? Nggak kapok lo sama akibatnya ganggu anak Jendral?” timpal Moly. Sejak mengecam pendidikan di sekolah itu, entah berapa kali Agnes mengalami hukuman dari pihak sekolah karena pengaduan Neona pada ayahnya. Tak hanya itu, ketika Adnan mulai bertindak untuk menyelamatkan Sang ad
BRUKK… Sebuah tendangan keras menghantam pintu ruang VIP Alianz Nightclub. Dua orang berotot yang sejak tadi berdiri berjaga, terkejut dan segera mendapat serangan pukulan dari Zenan. Agnes yang tengah sibuk dengan ponselnya merekam aksi Salman dan Neona. Dan Salman, yang sudah memasang kuda- kuda di atas tubuh Neona yang terlentang terkejut melihat aksi brutal seseorang berjaket kulit hitam yang mengamuk. Membuat lelaki berjas hitam itu segera berdiri dan menghindari amukan Zenan. “ Siapa kamu?!” teriak Salman panik. “Polisi, kalian sudah terkepung, menyerahlah!” tegas Zenan. Mata Zenan membulat saat menemukan rok span Neona sudah menyingsing ke atas pahanya dan baju Tang Topnya sudah mengkerut ke atas dua gundukan kenyal itu. Seketika Zenan melepaskan jaket kulit hitamnya dan menutupi sebagian tubuh gadis itu. Sementara Agnes dan Salman berusaha melarikan diri, sayangnya, anak buah Zenan sudah berjaga di depan pintu
Sudah satu bulan, Khadijah dan Buyung menikah dan kembali ke rumah Buyung yang ada di Jakarta. Perlahan Buyung memperkenalkan Khadijah dalam keluarganya. Murni pun akhirnya ikut tinggal bersama mereka. Baik Khadijah maupun Buyung memperlakukan Murni layaknya kerabat sendiri membuat wanita itu tak merasa sungkan sedikitpun pada kedua sahabatnya itu. Kabar pernikahan itu sampai ke telinga Adnan anak sulung Buyung, namun bocah kecil itu memilih untuk tetap tinggal bersama Om dan Tantenya di Lombok.Pagi itu untuk pertama kalinya Murni belum juga menampakkan batang hidungnya di meja makan. Khadijah merasa sangat khawatir, ia pun segera menuju kamar sahabatnya itu. Matanya membulat ketika tidak mendapati tubuh Murni di atas kasur.“Uwek,,Uwek,,Uwek!” suara Murni dari balik kamar mandi.“Kamu kenapa Ni?, kamu masuk angin? Atau salah makan?” tanya Khadijah memberondong.“Entahlah Dj.”
Pak Hasan dan bu Mina duduk mematung di kursi reot mereka. Keduanya membisu dan tenggelam dalam pikiran mereka. Airmata kembali menemani wajah pak Hasan dan bu Mina ketika menemukan putri kesayangan mereka pulang dalam keadaan berantakan. Dari penampilan pakaian Murni yang sudah tak beraturan, kedua orang tua itu sudah bisa menebak apa yang sudah dialami oleh putri mereka.“Kenapa mesti anak kita yang jadi korban, Pak? Kita kan tidak punya hutang sama juragan Minha, kenapa dia mesti menodai Murni, apa salah kita ,Pak?” Keluh bu Mina menyeka airmatanya dengan kain lengan bajunya.Pak Hasan hanya diam, hatinya memberontak. Tubuhnya yang sudah mengeriput dan tenanganya yang sudah tak sekuat muda dulu membuatnya memaki sendiri. Tapi apa dayanya, kemiskinan dan usia, sudah mengekang jiwa pemberontaknya. Lelaki tua itu hanya menunduk dan menumpahkan tangisnya. Murni haya terdiam membisu memeluk guling ranjang kayunya. Padangannya jau
Bandung, 1998.Pondok tengah sawah desa Lebak wangi masih lengang. Semilir angin masih terasa enteng siang itu. Sangat cocok untuk tidur siang terutama bagi seorang Murni. Gadis berseragam putih abu-abu yang berani membolos hanya demi bisa tidur nyenyak di pondok tengah sawah milik pak Mud. Sambil melakukan rutinitas wajibnya yaitu mengupil. Ya, gaya itulah yang sangat lekat pada sosok dara desa yang dijuluki preman kelas dan preman kampong. Lihat saja jika Murni sudah melipat ujung lengan bajunya maka jangan harap akan lolos dari tonjokannya. Tak hanya itu terkadang ia menyuapi musuhnya dengan kotoran upilnya. Itulah senjata paling ampuh yang ia miliki.“Ni, lo mau sampai kapan kayak gini terus? Nggak capek tangan lo luit tu lubang?” protes Khadijah sang Sahabat.“Ah, diem lo, Dj. Lo nggak tau, sih, nikmatnya kayak gini, ahh, dah, gue tidur dulu mata gue berat, nih.” Timpal Murni tanpa rasa bersalah.
Setelah menjalani beberapa rangkain terapi,akhirnya Neona diperbolehkan pulang oleh dokter. Adnan tentu tidak akan pernah mau melewatkan kesempatan berharga ini. Ya meluangkan waktu untuk Neona adalah agenda wajib dalam kegiatannya.“Kamu udah siap, sayang?” tanyanya seraya membawakan satu bucket bunga untuk menyambut kepulangan sang Adik. Khadijah, MOly, dan Laras, hanya terdiam menjadi penonton dram cinta Adnan dan Neona yang terbilang, aneh.Bagaimana tidak, Adnan sudah memproklamirkan kepada semua orang terdekat Neona termasuk Moly dan Laras, jika ia dan Neona adalah sepasang kekasih dan akan segera menikah. Moly dan Laras memang sudah mendengar dari Khadijah jika keduanya memang bukan saudara kandung.“Wellcome home mg girl!” seru Adnan menuntun Neona kembali ke kamarnya.“Lho, kak, bukannya kita sudah tunangan dan akan segera menikah, apa ini kamar kita?” tanya Neona.“Astaga Neona! Lo itu belum
Sudah tiga bulan lamanya Neona hidup bergantung pada alat medis yang menempel di setiap bagian tubuhnya. Dan selama itupula Adnan dan Khadijah bergiliran membagi perhatian mereka pada gadis itu. Tak hanya itu, Moly dan Laras pun turut andil menemani keluarga Neona menjaga gadis itu, dengan sesekali datang untuk menjenguknya. Seperti yang dilakukan hari ini.“Pagi Tante, pagi kak Adnan.” Salam Moly dan Laras.“Eh kalian, yuk, masuk.” titah Khadijah menyambut kedua sahabat Neona.“Gimana keadaan Neona Tante?” tanya Moly.“Masih belum ada reaksi, Ly.” Jawab Khadijah sekenanya.“Karena kalian udah di sini kakak belikan camilan di kantin, ya.” usul Adnan.“Eh, ng-nggak, usah repot-repot, kak, kita Cuma bentar, kok, di sini.” Timpal Laras jengah.Moly dan Laras saling menyiku, kedua mata dara belia itu tak berpaling dari tatapan dingin Adnan. Lelaki sejuta pesona
Kediaman Bagaskoro masih nampak sepi. Halaman depan dan belakang masih nampak lengang. Sekumpulan manusia yang mengenakan pakaian serba hitam sudah meninggalkan jejak mereka dua jam lalu. Seorang lelaki tinggi berusia tiga puluh tahun nampak duduk tertunduk di balik topangan kedua tangannya. Kemeja hitam dan celana Guccinya membuat lelaki itu tak kehilangan pesonanya meskipun tengah berduka.“Papi,maafkan Adnan Pi. Adnan gagal menjadi anak yang baik buat Papi dan kakak yang baik untuk Neona.” Lirihnya meraih satu bingkai foto kecil yang berdiri apik di atas meja kerjanya.Ada senyum ia dan juga Neona yang memeluk kedua orang tua mereka.“Neona, aku mencintaimu. Aku janji jika sebagai kakak aku tidak bisa membahagiakanmu dan melindungimu kini sebagai pasangan hidup aku akan menjagamu dan membahagiakanmu, Neona” janjinya pada diri sendiri.Khadijah masih terisak di
Tuti masih terjaga bersama Theo. Keduanya baru saja menyelesaikan sepenggal kisah masa lalu Neona. Dimana Zenan begitu mengacuhkannya dan Adnan yang membentangkan cinta untuknya. Tatkala seluruh dunia menghinanya, namun Adnan menempatkan ia dalam istana terindah di hatinya. Tuti menghela napas dalam. Perlahan pikirannya tentang Neona berubah berangsur-angsur.“Lalu, kenapa Zenan memilih kembali? Dan yang saya tidak habis pikir, kenapa Neona bahkan sangat membenci pak Adnan, Pak?” sidiknya lagi.“Tuti, mengenai Adnan, saya masih belum siap, biarlah Adnan atau Neona yang menceritakannya kepadamu. Yang penting, sepenggal ini cukup bagimu sebagai jalan memasuki masa lalu mereka.”***Sebuah pergerakan kecil terasa dari balik tumpukan selimut. Tangan Adnan yang sudah menyusup di kepala Neona dapat merasakan gesekan bagian tubuh wanita itu. Ia pun segera membuka matanya dan mencari bayangan wajah istrinya di tengah cahaya temaran k
Tak berpikir panjang lelaki itu segera mengenakan jaket kulitnya dan langsung menerobos pintu kantor untuk melaju mobilnya menjemput sang ibu. Sedih,kalut, dan menyesal, menyatu dalam hati Adnan. MAAF, hanya itu yang ia ucapkan dalam hati dan bibirnya.Lima belas menit Adnan dan Khadijah tiba di rumah sakit. Keduanya langsung menuju ruang UGD. Di sana ada tubuh Neona yang masih sedang ditangani oleh beberapa tim medis. Sedangkan tubuh Buyung sudah terbungkus rapi di ruang perawatan. Khadijah langsung berhambur dan menumpahkan tangisnya sejadi jadinya di atas tubuh kaku Buyung.“Papi, papi kenapa mesti kayak gini Pi, kenapa Papi pergi ninggalin Mami” lirih pilu Khadijah.Adnan hanya menutup jarang wajahnya, ia menumpahkan tangis sedihnya di balik tangannya. Tangan yang mengepal, menyesali kelalaiannya. Tak lama seorang dokter datang dengan beberapa orang perawat.“Keluarga pasien” Panggil lelaki bersneli itu.Adna
Sekali lagi pertengkaran terjadi di kediaman keluarga Alexander, seperti biasa masih tentang Neona, kali ini Zenan sudah bulat memutuskan untuk pergi. Beberapa menit lalu ia dan Jesline sudah memutuskan untuk pergi dan menjauh dari keluarga, demi hubungan mereka.“Papi, tidak menyangka kamu sekeras kepala ini, Ze!?” ketus Gian.“Pi, berulang kali Zenan tekankan, Zenan tidak mencintai Neona. Mana mungkin Zenan menerima gadis dengan… jujur Zenan malu akan cibiran rekan Zenan jika mereka tahu kalau istri Zenan, jelek dan…”“Cukup Zenan! Kata-katamu sudah keterlalu, Papi tidak tahan mendengarnya. Baik jika itu keputusanmu, Papi harap kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini.”“Pi, biarkan Zenan bahagia dengan pilihan Zenan, Zenan mohon.” Melas Zenan melipat kedua tangannya. Gian tak sanggup melihat tingkah putranya itu. Iapun hanya beranjak membawa rasa kesalnya terhadap keputusan Zenan.