Malam itu Gian dan Zenan bertandang ke kediaman Bagaskoro. Untuk pertamakalinya kedua sahabat itu saling berkunjung untuk membicarakan niat hati mengikat hubungan. Khadijah sudah memberitahukan Neona akan kedatangan tamunya itu. ia pun membantu Neona dalam berdandan. Adnan sudah menyiapkan gaun indah pilihannya. Dres putih selutut. Rambut kritng Neona diikat setinggi ujung kepala. Sentuhan make up natural dan lip balm, membuat Neona terlihat cantik, alami.
“Duh anak Mami cantik.” Komentar Khadijah setelah selesai memoles bibir Neona. Tak lama Adnan pun ikut masuk dan menatap adiknya itu, dengan sebuah kado kecil menyelip di belakang tubuhnya. Khadijah segera meninggalkan keduanya.
“Happy Birth Day adikku tersayang!” ucapnya mengecup pipi Neona dan menyodorkan kotak kecil berisi liontin berlian bermata sebentuk hati yang memasang foto keduanya.
“Whoa, kakak ingat ulang tahunku?”
“Hm, mana mungkin kakak lupa. Malam ini, kamu juga akan mendapatkan calon suami, jadi malam ini Tuhan sedang menyayangimu, adikku tersayang.”
“Duh, gerogi, kak. Ntar kalau aku nggak mau ditinggal berdua ama tuh orang.” Ucap Neona saat menikmati tangan Adnan yang melingkar memasang liontin berlian itu di leher manis Neona.
“Kenapa?” tanya Adnan masih fokus pada tindakannya.
“Ntar, kalau dia minta macam-macam, gimana? Ogah ah main gitu-gitu.” Pikir Neona. Seulas senyum tertampil di wajah tampan Adnan, mendengar ketakutan Neona yang tak beralasan.
“Malam ini kamu cantik, Na. Jika kamu bukan adikku, sudah kulamar kamu malam ini.”
“Idih, kakak, apa-apaan, sih? Ngelantur gitu.”
“Lha emang kenyataan kan kamu cantik.” Sanggah Adnan.
“Iya itu menurut kakak, belum tentu Zenan.”
“Ya berarti matanya itu rabun, alias buta.” Pungkas Adnan merangkul Neona dari belakang dan menikmati aura bahagia keduanya pada pantulan cermin.
Malam itu, Neona berjalan begitu anggun menuruni tangga. Zenan dan Gian sudah menunggu di kursi ruang tamu. Gian tampak berbahagia melihat penampilan Neona yang terlihat cantik. Perlahan gadis itu duduk di sebelah Buyung, ia masih menundukkan wajah malunya.
“Wah, Ze, kamu beruntung, calon istri kamu cantik,bukan.” Ucap Gian.
“Ternyata cewek kriwil di Mall itu, huh, cantik apanya?! Jelek tetep aja jelek, mau dipoles bagaimanapun tetap jelek.” Monolog Zenan dalam hati.
Perlahan, Neona mengangkat wajahnya, seketika raut Neona berubah, ingatannya kembali pada sosok yang ia temui kemarin di sebuah Mall, dan sialnya lagi, laki-laki itu adalah orang yang ia kutuk sedemikian saat beradu kata kasar.
“Om-Om?” tunjuk Neona, membuat seisi ruangan mengerutkan kening, heran.
“Kamu kenal dia, Na?” tanya Adnan.
“Iya, kak, dia cowok yang aku temui di Mall kemarin, kak. Dia cowok yang udah hina aku, ngatain aku jelek, kak.” Adu Neona.
Sontak semua yang berada di dalam ruangan itu terkejut mendengar pengakuan Neona. Tangan Adnan mengepal, rahangnya terkatup. Ia sama sekali tak menyangka laki-laki terpelanjar dan terhormat seperti Zenan bisa menghina seseorang dengan seenak hatinya. Apalagi orang itu adalah adiknya sendiri.
“Eh, maaf, Om, saya nggak tahu kalau gadis itu adalah Neona, putri Om. Soalnya dia sedang berdebat dengan seorang wanita, sampai memaki dan tidak enak didengar Om.” Ucap Zenan membela diri.
Buyung dan Gian menghela napas dalam, sementara Khadijah langsung memasang wajah sangarnya. Ia sama sekali membenci jika ada yang menghina putri kesayangannya.
“Nak Zenan, mau sampean kenal atau tidak orang itu, tetap saja menghina orang lain itu adalah perbuatan tidak baik. Nak Zenan kan orang hukum, masak orang hukum malah berprilaku seperti tidak tahu hukum.” Geram Khadijha.
“Mi!” sergah Buyung, menjaga suasana agar tetap tenang.
“Pi, Neona menolak perjodohan ini.” Cetus Neona.
“Neona! Apa-apaan, sih, kamu? Mereka udah datang jauh-jauh masak sebagai tuan rumah bersikap begitu, Nak?” lerai Buyung.
“Eh, Gian, saya minta maaf atas ketidak nyamanan ini, anak saya…”
“Tidak apa-apa, Yung, anak saya yang salah. Zenan memang sifatnya begitu. Zenan, Papi keberatan dengan sikap kamu. Sekarang juga minta maaf kepada Neona. Dan mulai sekarang, Papi hanya akan menerima Neona sebagai menantu Papi, mengenai Jesline… Papi menolak gadis itu.” Putus Gian.
Zenan terkejut mendengar keputusan sepihak ayahnya, ia tak bisa menyangkal keinginan lelaki berkacamata itu. Apalagi kini ia sudah berada di kediaman calon istrinya. Laki-laki itu menghela napas dalam. Matanya menyorot tajam ke permukaan meja ruang tamu. Sementara Adnan masih berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Ia masih menjaga perasaan Neona dan menjaga kehormatan ayahnya di hadapan keluarga Alexander.
“Baiklah, Pi, Om. Saya menerima perjodohan ini. Anggap saja saya menebus kesalahan saya pada Neona. Saya akan belajar untuk mencintainya. Tapi apakah Neona mau menerima saya? Neona, mengenai kejadian di Mall, aku minta maaf, dan kumohon beri aku kesempatan, jika kamu nggak keberatan.” Kesempatan untuk menyakiti kamu, kriwil. Aku akan pastikan kamu akan menyesali keputusanmu malam ini karena telah menerima perjodohan ini. Jika bukan karena harga diri keluarga Alexander, aku tidak sudi berjodoh dengan gadis jelek sepertimu, kriwil, batin Zenan.
Mendengar perkataan Zenan, hati Neona kembali melunak. Ia pun menerima permintaan maaf Zenan dan menerima perjodohan itu.
Jangan lupa tap bintang ya cingu🙏 maksih
Pagi ini, Neona dan kedua sahabatnya Moly dan Laras menapaki halaman sekolah mereka. Sekolah yang sudah berhasil membuat Neona tak mengajukan pindah. Berkat Moly dan Laras, gadis itu bisa bertahan sampai detik ini. Meskipun Agnes, rival Neona kerap mengganggu gadis itu dengan berbagai bullyannya. “Apa kabar, Lo?” sapa Agnes dengan gengnya, Nensi dan Mega. Tiga gadis centil dan cantik namun sombong. Mereka selalu mengganggu anak baru dan menganggap diri, cewek paling popular di sekolah mereka. “Nes, gue heran sama lo, keberatan banget ngelihat gue bahagia, lo nggak ada kerjaan ya?” sahut Neona berkacak pinggang. “Ya, Nes, Neona benar, lo nggak ada kerjaan lain selain gangguin dia? Nggak kapok lo sama akibatnya ganggu anak Jendral?” timpal Moly. Sejak mengecam pendidikan di sekolah itu, entah berapa kali Agnes mengalami hukuman dari pihak sekolah karena pengaduan Neona pada ayahnya. Tak hanya itu, ketika Adnan mulai bertindak untuk menyelamatkan Sang ad
BRUKK… Sebuah tendangan keras menghantam pintu ruang VIP Alianz Nightclub. Dua orang berotot yang sejak tadi berdiri berjaga, terkejut dan segera mendapat serangan pukulan dari Zenan. Agnes yang tengah sibuk dengan ponselnya merekam aksi Salman dan Neona. Dan Salman, yang sudah memasang kuda- kuda di atas tubuh Neona yang terlentang terkejut melihat aksi brutal seseorang berjaket kulit hitam yang mengamuk. Membuat lelaki berjas hitam itu segera berdiri dan menghindari amukan Zenan. “ Siapa kamu?!” teriak Salman panik. “Polisi, kalian sudah terkepung, menyerahlah!” tegas Zenan. Mata Zenan membulat saat menemukan rok span Neona sudah menyingsing ke atas pahanya dan baju Tang Topnya sudah mengkerut ke atas dua gundukan kenyal itu. Seketika Zenan melepaskan jaket kulit hitamnya dan menutupi sebagian tubuh gadis itu. Sementara Agnes dan Salman berusaha melarikan diri, sayangnya, anak buah Zenan sudah berjaga di depan pintu
Pagi yang indah, Klinik dokter Adam sudah terlihat ramai pada jam delapan. Buyung dan istrinya sudah berdiri menceramahi Neona semenit lalu. Dokter Adam hanya mengulum senyum setiap kali Buyung menceramahi anak-anaknya. Bagaimana tidak, hal itu menghilangkan kesan jikaia seorang Jendral terhormat.“Kamu senang sekali ya bikin Papi dan Mami khawatir, Neona?” ketus Buyung.“Mami sangat cemas sayang, gimana kalau kamu dinodai orang, oh Ya Tuhan, Mami bisa gila, Nak.” Lirih Khadijah yang sudah merangkul putrinya itu.“Maafin Neona, Mi, Pi, Neona nggak tahu bakalan dijebak sama Agnes.”“Agnes lagi?” cetus Buyung dan Adnan bersamaan.“Dia lagi.. dia lagi, tuh, anak memang nggak ada kapoknya.” Gerutu Buyung.“Dahlah, Pi. Na, kakak ke kantor dulu, banyak kerjaan. Oh iya Adnan nggak pulang malam ini, banyak yang harus Adnan urus, Pi, Mi.” ucapnya menciumi punggung tangan ayah dan
Sebuah pertengkaran hebat sedang berlangsung di ruangan yang tampak luas dan berinterior khas luar negeri itu. Zenan Alexander,sosok lelaki yang diusia mudanya sudah menyandang gelar Letnan dalam jenjang kepolisian. Lelaki berumur tiga puluh tahun itu tampak duduk dengan wajah sungutnya. Kedua tangannya melekat apik pada topangan kedua kaki. Zenan enggan untuk menatap wajah ayahnya, Gian Alexander. Lelaki berkacamata yang masih menatapanya dengan penuh amarah. “Pokoknya aku nggak mau nikahi anaknya om Buyung ya, Pi!” ketus Zenan. “Dan Papi tetap menolak pacar kamu yang nggak jelas itu!” hardik Gian yang tak kalah berangnya. “Gadis itu sangat baik, terpandang, dan rendah hati. Kurang apalagi dia coba?!” lanjut Gian. “Kurang cantik,Pi,” sergah Zenan. “Memangnya kecantikan itu penting? Kecantikan fisik itu bisa dibuat tapi kecantikan hati sulit ditemukan, Ze,” balas Gian. “Pokoknya Zenan tetap pada pendirian Zenan. Zenan
Sejak Zenan memperkenalkan Jesline beberapa bulan lalu kepada ayahnya, sejak saat itu diam-diam Gian mengutus seseorang untuk menyelidiki kehidupan Jesline. Tak disangka, gadis yang digandeng Zenan saat berkenalan dengannya waktu itu memiliki cara hidup yang bebas, materialistis, dan kerap berganti pasangan. Dugem,Clubbing, adalah kegiatan wajib Jesline. Tak heran sewaktu - waktu Gian melihat gadis itu bersama pria lain dan berbeda ketika mereka bertemu secara kebetulan.Akan tetapi, cinta telah membutakan Zenan. Dia lebih mempercayai hatinya daripada penuturan Sang ayah.“Papi sudah mengusir Jesline, jadi Papi minta, kamu fokus pada Neona saja. Mulai besok dan seterusnya tugas kamu menemani gadis itu, kemanapun dia pergi, jika tidak, baik kamu maupun wanita itu tidak akan Papi biarkan hidup tenang.” Ancam Gian, saat ia meminta Zenan untuk mulai mendekati Neona.Dua bulan, Zenan dan Neona menjalin hubungan ke
Sekali lagi pertengkaran terjadi di kediaman keluarga Alexander, seperti biasa masih tentang Neona, kali ini Zenan sudah bulat memutuskan untuk pergi. Beberapa menit lalu ia dan Jesline sudah memutuskan untuk pergi dan menjauh dari keluarga, demi hubungan mereka.“Papi, tidak menyangka kamu sekeras kepala ini, Ze!?” ketus Gian.“Pi, berulang kali Zenan tekankan, Zenan tidak mencintai Neona. Mana mungkin Zenan menerima gadis dengan… jujur Zenan malu akan cibiran rekan Zenan jika mereka tahu kalau istri Zenan, jelek dan…”“Cukup Zenan! Kata-katamu sudah keterlalu, Papi tidak tahan mendengarnya. Baik jika itu keputusanmu, Papi harap kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini.”“Pi, biarkan Zenan bahagia dengan pilihan Zenan, Zenan mohon.” Melas Zenan melipat kedua tangannya. Gian tak sanggup melihat tingkah putranya itu. Iapun hanya beranjak membawa rasa kesalnya terhadap keputusan Zenan.
Tak berpikir panjang lelaki itu segera mengenakan jaket kulitnya dan langsung menerobos pintu kantor untuk melaju mobilnya menjemput sang ibu. Sedih,kalut, dan menyesal, menyatu dalam hati Adnan. MAAF, hanya itu yang ia ucapkan dalam hati dan bibirnya.Lima belas menit Adnan dan Khadijah tiba di rumah sakit. Keduanya langsung menuju ruang UGD. Di sana ada tubuh Neona yang masih sedang ditangani oleh beberapa tim medis. Sedangkan tubuh Buyung sudah terbungkus rapi di ruang perawatan. Khadijah langsung berhambur dan menumpahkan tangisnya sejadi jadinya di atas tubuh kaku Buyung.“Papi, papi kenapa mesti kayak gini Pi, kenapa Papi pergi ninggalin Mami” lirih pilu Khadijah.Adnan hanya menutup jarang wajahnya, ia menumpahkan tangis sedihnya di balik tangannya. Tangan yang mengepal, menyesali kelalaiannya. Tak lama seorang dokter datang dengan beberapa orang perawat.“Keluarga pasien” Panggil lelaki bersneli itu.Adna
Tuti masih terjaga bersama Theo. Keduanya baru saja menyelesaikan sepenggal kisah masa lalu Neona. Dimana Zenan begitu mengacuhkannya dan Adnan yang membentangkan cinta untuknya. Tatkala seluruh dunia menghinanya, namun Adnan menempatkan ia dalam istana terindah di hatinya. Tuti menghela napas dalam. Perlahan pikirannya tentang Neona berubah berangsur-angsur.“Lalu, kenapa Zenan memilih kembali? Dan yang saya tidak habis pikir, kenapa Neona bahkan sangat membenci pak Adnan, Pak?” sidiknya lagi.“Tuti, mengenai Adnan, saya masih belum siap, biarlah Adnan atau Neona yang menceritakannya kepadamu. Yang penting, sepenggal ini cukup bagimu sebagai jalan memasuki masa lalu mereka.”***Sebuah pergerakan kecil terasa dari balik tumpukan selimut. Tangan Adnan yang sudah menyusup di kepala Neona dapat merasakan gesekan bagian tubuh wanita itu. Ia pun segera membuka matanya dan mencari bayangan wajah istrinya di tengah cahaya temaran k
Sudah satu bulan, Khadijah dan Buyung menikah dan kembali ke rumah Buyung yang ada di Jakarta. Perlahan Buyung memperkenalkan Khadijah dalam keluarganya. Murni pun akhirnya ikut tinggal bersama mereka. Baik Khadijah maupun Buyung memperlakukan Murni layaknya kerabat sendiri membuat wanita itu tak merasa sungkan sedikitpun pada kedua sahabatnya itu. Kabar pernikahan itu sampai ke telinga Adnan anak sulung Buyung, namun bocah kecil itu memilih untuk tetap tinggal bersama Om dan Tantenya di Lombok.Pagi itu untuk pertama kalinya Murni belum juga menampakkan batang hidungnya di meja makan. Khadijah merasa sangat khawatir, ia pun segera menuju kamar sahabatnya itu. Matanya membulat ketika tidak mendapati tubuh Murni di atas kasur.“Uwek,,Uwek,,Uwek!” suara Murni dari balik kamar mandi.“Kamu kenapa Ni?, kamu masuk angin? Atau salah makan?” tanya Khadijah memberondong.“Entahlah Dj.”
Pak Hasan dan bu Mina duduk mematung di kursi reot mereka. Keduanya membisu dan tenggelam dalam pikiran mereka. Airmata kembali menemani wajah pak Hasan dan bu Mina ketika menemukan putri kesayangan mereka pulang dalam keadaan berantakan. Dari penampilan pakaian Murni yang sudah tak beraturan, kedua orang tua itu sudah bisa menebak apa yang sudah dialami oleh putri mereka.“Kenapa mesti anak kita yang jadi korban, Pak? Kita kan tidak punya hutang sama juragan Minha, kenapa dia mesti menodai Murni, apa salah kita ,Pak?” Keluh bu Mina menyeka airmatanya dengan kain lengan bajunya.Pak Hasan hanya diam, hatinya memberontak. Tubuhnya yang sudah mengeriput dan tenanganya yang sudah tak sekuat muda dulu membuatnya memaki sendiri. Tapi apa dayanya, kemiskinan dan usia, sudah mengekang jiwa pemberontaknya. Lelaki tua itu hanya menunduk dan menumpahkan tangisnya. Murni haya terdiam membisu memeluk guling ranjang kayunya. Padangannya jau
Bandung, 1998.Pondok tengah sawah desa Lebak wangi masih lengang. Semilir angin masih terasa enteng siang itu. Sangat cocok untuk tidur siang terutama bagi seorang Murni. Gadis berseragam putih abu-abu yang berani membolos hanya demi bisa tidur nyenyak di pondok tengah sawah milik pak Mud. Sambil melakukan rutinitas wajibnya yaitu mengupil. Ya, gaya itulah yang sangat lekat pada sosok dara desa yang dijuluki preman kelas dan preman kampong. Lihat saja jika Murni sudah melipat ujung lengan bajunya maka jangan harap akan lolos dari tonjokannya. Tak hanya itu terkadang ia menyuapi musuhnya dengan kotoran upilnya. Itulah senjata paling ampuh yang ia miliki.“Ni, lo mau sampai kapan kayak gini terus? Nggak capek tangan lo luit tu lubang?” protes Khadijah sang Sahabat.“Ah, diem lo, Dj. Lo nggak tau, sih, nikmatnya kayak gini, ahh, dah, gue tidur dulu mata gue berat, nih.” Timpal Murni tanpa rasa bersalah.
Setelah menjalani beberapa rangkain terapi,akhirnya Neona diperbolehkan pulang oleh dokter. Adnan tentu tidak akan pernah mau melewatkan kesempatan berharga ini. Ya meluangkan waktu untuk Neona adalah agenda wajib dalam kegiatannya.“Kamu udah siap, sayang?” tanyanya seraya membawakan satu bucket bunga untuk menyambut kepulangan sang Adik. Khadijah, MOly, dan Laras, hanya terdiam menjadi penonton dram cinta Adnan dan Neona yang terbilang, aneh.Bagaimana tidak, Adnan sudah memproklamirkan kepada semua orang terdekat Neona termasuk Moly dan Laras, jika ia dan Neona adalah sepasang kekasih dan akan segera menikah. Moly dan Laras memang sudah mendengar dari Khadijah jika keduanya memang bukan saudara kandung.“Wellcome home mg girl!” seru Adnan menuntun Neona kembali ke kamarnya.“Lho, kak, bukannya kita sudah tunangan dan akan segera menikah, apa ini kamar kita?” tanya Neona.“Astaga Neona! Lo itu belum
Sudah tiga bulan lamanya Neona hidup bergantung pada alat medis yang menempel di setiap bagian tubuhnya. Dan selama itupula Adnan dan Khadijah bergiliran membagi perhatian mereka pada gadis itu. Tak hanya itu, Moly dan Laras pun turut andil menemani keluarga Neona menjaga gadis itu, dengan sesekali datang untuk menjenguknya. Seperti yang dilakukan hari ini.“Pagi Tante, pagi kak Adnan.” Salam Moly dan Laras.“Eh kalian, yuk, masuk.” titah Khadijah menyambut kedua sahabat Neona.“Gimana keadaan Neona Tante?” tanya Moly.“Masih belum ada reaksi, Ly.” Jawab Khadijah sekenanya.“Karena kalian udah di sini kakak belikan camilan di kantin, ya.” usul Adnan.“Eh, ng-nggak, usah repot-repot, kak, kita Cuma bentar, kok, di sini.” Timpal Laras jengah.Moly dan Laras saling menyiku, kedua mata dara belia itu tak berpaling dari tatapan dingin Adnan. Lelaki sejuta pesona
Kediaman Bagaskoro masih nampak sepi. Halaman depan dan belakang masih nampak lengang. Sekumpulan manusia yang mengenakan pakaian serba hitam sudah meninggalkan jejak mereka dua jam lalu. Seorang lelaki tinggi berusia tiga puluh tahun nampak duduk tertunduk di balik topangan kedua tangannya. Kemeja hitam dan celana Guccinya membuat lelaki itu tak kehilangan pesonanya meskipun tengah berduka.“Papi,maafkan Adnan Pi. Adnan gagal menjadi anak yang baik buat Papi dan kakak yang baik untuk Neona.” Lirihnya meraih satu bingkai foto kecil yang berdiri apik di atas meja kerjanya.Ada senyum ia dan juga Neona yang memeluk kedua orang tua mereka.“Neona, aku mencintaimu. Aku janji jika sebagai kakak aku tidak bisa membahagiakanmu dan melindungimu kini sebagai pasangan hidup aku akan menjagamu dan membahagiakanmu, Neona” janjinya pada diri sendiri.Khadijah masih terisak di
Tuti masih terjaga bersama Theo. Keduanya baru saja menyelesaikan sepenggal kisah masa lalu Neona. Dimana Zenan begitu mengacuhkannya dan Adnan yang membentangkan cinta untuknya. Tatkala seluruh dunia menghinanya, namun Adnan menempatkan ia dalam istana terindah di hatinya. Tuti menghela napas dalam. Perlahan pikirannya tentang Neona berubah berangsur-angsur.“Lalu, kenapa Zenan memilih kembali? Dan yang saya tidak habis pikir, kenapa Neona bahkan sangat membenci pak Adnan, Pak?” sidiknya lagi.“Tuti, mengenai Adnan, saya masih belum siap, biarlah Adnan atau Neona yang menceritakannya kepadamu. Yang penting, sepenggal ini cukup bagimu sebagai jalan memasuki masa lalu mereka.”***Sebuah pergerakan kecil terasa dari balik tumpukan selimut. Tangan Adnan yang sudah menyusup di kepala Neona dapat merasakan gesekan bagian tubuh wanita itu. Ia pun segera membuka matanya dan mencari bayangan wajah istrinya di tengah cahaya temaran k
Tak berpikir panjang lelaki itu segera mengenakan jaket kulitnya dan langsung menerobos pintu kantor untuk melaju mobilnya menjemput sang ibu. Sedih,kalut, dan menyesal, menyatu dalam hati Adnan. MAAF, hanya itu yang ia ucapkan dalam hati dan bibirnya.Lima belas menit Adnan dan Khadijah tiba di rumah sakit. Keduanya langsung menuju ruang UGD. Di sana ada tubuh Neona yang masih sedang ditangani oleh beberapa tim medis. Sedangkan tubuh Buyung sudah terbungkus rapi di ruang perawatan. Khadijah langsung berhambur dan menumpahkan tangisnya sejadi jadinya di atas tubuh kaku Buyung.“Papi, papi kenapa mesti kayak gini Pi, kenapa Papi pergi ninggalin Mami” lirih pilu Khadijah.Adnan hanya menutup jarang wajahnya, ia menumpahkan tangis sedihnya di balik tangannya. Tangan yang mengepal, menyesali kelalaiannya. Tak lama seorang dokter datang dengan beberapa orang perawat.“Keluarga pasien” Panggil lelaki bersneli itu.Adna
Sekali lagi pertengkaran terjadi di kediaman keluarga Alexander, seperti biasa masih tentang Neona, kali ini Zenan sudah bulat memutuskan untuk pergi. Beberapa menit lalu ia dan Jesline sudah memutuskan untuk pergi dan menjauh dari keluarga, demi hubungan mereka.“Papi, tidak menyangka kamu sekeras kepala ini, Ze!?” ketus Gian.“Pi, berulang kali Zenan tekankan, Zenan tidak mencintai Neona. Mana mungkin Zenan menerima gadis dengan… jujur Zenan malu akan cibiran rekan Zenan jika mereka tahu kalau istri Zenan, jelek dan…”“Cukup Zenan! Kata-katamu sudah keterlalu, Papi tidak tahan mendengarnya. Baik jika itu keputusanmu, Papi harap kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini.”“Pi, biarkan Zenan bahagia dengan pilihan Zenan, Zenan mohon.” Melas Zenan melipat kedua tangannya. Gian tak sanggup melihat tingkah putranya itu. Iapun hanya beranjak membawa rasa kesalnya terhadap keputusan Zenan.