Hari minggu, Buyung dan Adnan lebih memilih berolah raga di gedung Gelora Bung Karno (GBK). Sementara Khadijah dengan kegiatan paginya , memasak dan mencuci. Pembantu , ada tapi urusan memasak, Khadijah paling anti mempercayakan orang lain. Neona masih dengan rutinitasnya, bersantai sambil ngupil. Ya entah itu penyakit atau kelainan, Neona memiliki produksi Upil yang lebih, sehingga tak jarang gadis kriwil itu memiliki kegiatan hobby MENGUPIL. Tapi ia juga sangat menjaga privasinya, untuk melakukan hobynya itu ia memilih tempat tertutup atau tersembunyi.
“Non Neona, nyonya minta Non turun untuk sarapan,” ucap bi Sanah, pembantu keluarga Bagaskoro.
“Bentar Bi, tanggung.” Ketus Neona, acuh.
Bi Sanah hanya terdiam, wanita bertubuh semampai dengan baju kebayanya, hanya berdiri menunggu reaksi Neona selanjutnya.
“Loh, kok bibi masih di situ? Mau makan upilku?” ejek Neona berbalik melirik ke arah bi Sanah yang sudah menyeringai jijik.
“Ih, si Non, jorok. Nggak malu nanti sama pacarnya, Non?” protes bi Sanah masih menjaga sikap sopannya.
“Kak Adnan mana. Bi?” timpal Neona mengalihkan percakapan.
“Olah raga sama Tuan besar, tadi den Adnan berpesan, hari ini mau ajak Non main game online, katanya ada game baru…”
“Oh ya ampun! Gue baru inget, kemarin kak Adnan udah beli game baru.” Pekik Neona teringat dari janjinya dengan Sang kakak.”
Neona segera bangkit dan berlari menjauh mempersiapkan diri. Bi Sanah hanya menggeleng-geleng melihat tingkah kocak majikannya. Matanya kembali pada permukaan meja bundar. Dan melihat tumpukan upil Neona di atas sebuah lembaran. Sekali lagi wanita itu menyeringai jijik, dengan hati-hati ia pun menjinjing tumpukan upil itu untuk dibuang.
“Loh, Neona mana, Bi?” tanya Khadijah, Sang mama yang menyusul bi Sanah mencari putri kesayangannya itu.
“Lagi bersiap-siap, Nyah.” Jawab bi Sanah. Khadijah hanya menggeleng melihat ekspresi bi Sanah yang menutup mulut sembari menenteng tumpukan upil Neona.
Pagi itu tak sengaja Buyung bertemu dengan sahabatnya yaitu Gian Alexander yang juga tengah berolah raga. Keduanya berpelukan dan langsung mengambil ruang untuk berbicara. Gian, seorang pengusaha sukses di Asia, sekaligus termasuk rekan bisnis Adnan. Memiliki seorang putra yaitu Zenan, yang tak lain adalah Komjend di kepolisian, rekan kerja Buyung. Gelak tawa pun lepas renyah melambung dari keempat pria itu. mereka menertawakan takdir yang terdengar aneh itu. Ya takdir yang sangat mengejutkan, dimana Buyung seorang perwira polisi memiliki putra seorang pengusaha bersahabat dengan Zen yang seorang perwira juga tapi memiliki ayah seorang pengusaha.
“Wah wah, Buyung, kamu hebat bisa mendidik Adnan menjadi pengusaha sukses.” Puji Gian.
“Kamu juga Gian, berhasil mencetak seorang Letnan hebat.” Timpal Buyung mengacungkan jempolnya.
“Buahahahahaa” gelak tawa keduanya yang terdengar lepas. Adnan dan Zenan hanya mengikuti arah percakapan kedua lelaki yang sudah mulai beruban itu.
“Bagaimana kerja lo, Ze?” Adnan menyapa Zenan.
“Biasa aja, Bro. Oh, ya, gue denger lo punya adik ya?” tanya Zenan.
“Oh, iya, namanya Neona. Dia masih duduk di bangku SMA kelas tiga, bulan ini dia genap umur tujuh belas.” Jawab Adnan sekenanya.
Sepulang dari gedung GBK, Khadijah menyambut kedua lelaki terbaiknya itu dengan sebuah undangan yang sudah tiba sepuluh menit lalu dari petugas pos. Adnan langsung berjalan ke kamarnya membersihkan diri. Namun sebelum kakinya sampai di lantai dua, suara Buyung menghentikannya.
“Undangan?” lirih Buyung lebih kepada sebuah pertanyaan.
“Iya, Anita akan menikahkan anaknya, Joshua, gimana, Pi? Apa kita pergi?” tanya Khadijah meminta persetujuan suaminya.
“Adnan!, apa kau punya waktu minggu ini? Tante Anita ada acara kawinan, Joshua.” Teriak Buyung.
“Hari minggu depan, ya, Pi?” tanggapnya.
“Hm.”
“Oke, nanti aku rescedul agendaku di kantor.” Jawabnya, melanjutkan
Adnan segera memasuki kamar tidurnya untuk membersihkan diri. Setelah merasa segar dengan kaos putihnya, lelaki itu memasuki kamar Neona, seperti biasa untuk menjahili gadis itu. Tepat memasuki kamar bercat dinding warna ungu dan pink itu, matanya menemukan tubuh Neona yang terlungkup, larut dengan percakapan selulernya. Seketika Adnan berhabur mendekap adiknya itu dari belakang dan melayangkan kecupan hangat.
“Ya udah, lo yang tenang, jangan macam-macam, besok ikut gue kasi pelajaran, tuh, cowok.” Ucap Neona menyudahi pembicaraan yang sudah berlangsung selama sejam itu.
“Dari siapa?” tanya Adnan.
“Laras, curhat, katanya lihat Tio sama cewek lain.” Timpal Neona memutar tubuhnya menghadap Adnan.
“Kakak pakai shampoo Anti Dundruft warna biru lagi, ya?” protes Neona.
“Iya, emang, kenapa? Enak kan baunya?” jawabnya, mendekatkan kepalanya ke wajah Neona.
“Sama sekali nggak enak, coba yang ada lemon-nya, jadi kulit kepala lebih bersih dan bernutrisi.” Ulas Neona mengacak rambut Sang kakak.
“Na, minggu depan kita ke Lombok, tante Anita mau nikahkan Joshua, kamu ikut nggak?”
“Iyakah? Wah aku bisa jalan-jalan dong, kangen ama Lombok, dah lama nggak ke sana lagi.” rengek Neona mulai bermanja pada Adnan.
“Iya, tapi Cuma ke desa Sade dan Senggigi aja, yang lain kakak nggak mau.”
“Kenapa? Bukannya kita di sana lama?”
“Kakak nggak bisa lama, kakak ada kontrak kerja dengan luar negeri. Jadi kakak mau ke Medan salama seminggu, kamu mau ikut?”
“Kapan itu?”
“Tiga minggu lagi terhitung dari sekarang.”jelas kini menopang kepalanya dengan tangan yang setengah menekuk.
“Na, main game, yuk.” Lanjutnya.
“Taruhannya apa?” tantang Neona.
“Mmm, ciuman, sebanyak tujuh belas kali. Kamu kan bentar lagi ultah yang ke tujuh belas.”
“Deal.” Jawab Neona.
Keduanya pun menuruni tangga dan langsung memajang diri pada layar televisi. Setelah menyambungkan USB pada elemen di sudut TV, keduanya sudah siap dengan joystick masing-masing. Khadijah yang sudah mengetahui kebiasaan kedua anaknya itu memilih menemani sang suami di ruang kerja, dan membiarkan keduanya melewatkan kebersamaan.
Baru saja keduanya setengah bermain, suara Laras dan Moly datang menghampiri keduanya.
“Halo Moly, Laras!” sapa Andnan yang tak berpaling dari ke-fokusan-nya.
“Kalian taruhan?” tanya Laras yang duduk di sofa bersama Moly sembari menatap layar game yang tengah berlangsung sengit.
“Taruhan apa?” sergah Moly.
“Ciuman.” Jawab Neona, masih fokus.
“Gue ikut.” cetus keduanya serempak.
Moly mulai membagi diri mendukung Adnan, sementara Laras mendukung Neona. Kedua sahabat Neona yang mengidolakan Sang kakak tak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Keempatnya kini berhasil menyulap ruang keluarga Khadijah menjadi gaduh. Suara teriakan dukungan, kekalahan, dan kemenangan, terlontar dari mulut keempatnya.
Pada akhirnya, Adnan berhasil mengalahkan Neona. Wajah puas memahat pada diri Adnan, sementara Neona, seketika merengut sedih karena gagal menjadi pemenang.
“Na, kalau lo nggak mau cium kak Adnan, gue wakilin ya?” sela Laras
“Enak aja, gue nggak kebagian dong.” Protes Moly
“Gue aja kak Adnan.” Bujuk Laras menarik tubuh Adnan.
“Gue aja, kak.” Timpal Moly yang tak mau kalah.
“Heh! Kok lo pada rebutan abang gue, sih? Yang taruhan kan gue sama abang gue, kok lo pada ikut-ikutan, sih?” omel Neona, memindahkan tubuhnya ke atas pangkuan Sang kakak. Adnan hanya tersenyum melihat kekonyolan sahabat-sahabat Neona.
“Udah-udah,,,gini aja. Moly dan Laras cium pipi kiri kanan, Neona kebagian bibir kakak, gimana?”
“Yeeee,,,! Kakak yang keenakan! Ogah!” ketus Neona, tak terima dengan usul Adnan.
Neona beranjak bangkit dan menjauh dari tubuh Adnan yang dikerumuni Moly dan Laras. Tak berselang lama, Khadijah pun muncul dan mengedik geli melihat sahabat Neona mengerumuni anak sulungnya.
“Kalian apa-apaan, sih? Ih geli. Na, Papimu mau bicara empat mata, sana, gih, ke ruang kerja.” Ucap Khadijah setelah mengecup kening Neona yang merengut.
Pupil mata Adnan menatap sendu ke arah Neona yang menjauh membawa rasa kesalnya. Di tambah lagi, ia tahu persis apa yang akan disampaikan Sang ayah kepada gadis itu. Ada rasa tak rela terbesit dalam hati Adnan. Bagaimana tidak, pertama kali ia mendapat ciuman tak wajar dari gadis itu adalah saat Neona mulai menjadikan Adnan sebagai teman curhat dan tempat bermanja. Semua bentuk sentuhan dan sikap Neona tampilkan begitu polos tanpa rekayasa. Sehingga naluri lelaki Adnan, menyeruak begitu saja. Namun karena status mereka, membuat Adnan membuang jauh rasa itu.
“Ya Tuhan, ada apa denganku, ingat Nan, dia itu adikmu, kamu nggak boleh memiliki rasa aneh itu.” gerutunya setiap rasa cinta itu menyapanya kembali.
“Papi, ada apa panggil Neona?” tanya Neona, duduk bermanja di pangkuan ayahnya.
“Neona sayang, papi ada hajat untuk kamu, Papi harap, kamu bisa menerimanya.” Suara Buyung yang penuh kasih ketika bersama putri kesayangannya itu.
“Papi, dan sahabat Papi berniat menjodohkan kamu dengan anaknya, bernama Zenan. Dia Letnan di kantor Papi.” Ungkap Buyung, menatap lekat pada mata sayu putrinya itu.
Seketika raut Neona berubah murung, ada rasa kurang bahagia tersirat dalam hati gadis itu, ia memindahkan tubuhnya ke sofa lalu memeluki bentalan sofa. Buyung merengut heran melihat reaksi Neona, ingin rasanya ia melayangkan pertanyaan, namun tak lama, suara Neona mengurungkan niatnya itu.
“Apa Zenan akan suka sama Neona, Pi?” tanyanya.
“Neona itu jelek, Pi. Mana ada cowok mau punya pasangan kayak Neona.” Lirihnya.
Buyung mendekat dan memeluki tubuh mungil Neona. Tangannya kembali mendarat pada ujung kepala Neona. Gadis itu pun tak berkeberatan meletakkan kepalanya di dada ayahnya. Di sisi lain, ada Adnan yang diam-diam mengintip dan menguping pembicaraan keduanya melalui celah pintu. Laki-laki itu juga ikut menunduk, seakan merasakan apa yang dikhawatirkan Neona.
“Siapa bilang anak Papi jelek, kamu tenang aja, Zenan orangnya baik, kok.” Adnan yang mendengar kalimat ayahnya hanya menghela napas dalam, karena dalam hati ia tak begitu yakin jika Zenan seperti yang dikatakan ayahnya.
Mohon maaf readers kalau ada typo
Malam itu Gian dan Zenan bertandang ke kediaman Bagaskoro. Untuk pertamakalinya kedua sahabat itu saling berkunjung untuk membicarakan niat hati mengikat hubungan. Khadijah sudah memberitahukan Neona akan kedatangan tamunya itu. ia pun membantu Neona dalam berdandan. Adnan sudah menyiapkan gaun indah pilihannya. Dres putih selutut. Rambut kritng Neona diikat setinggi ujung kepala. Sentuhan make up natural dan lip balm, membuat Neona terlihat cantik, alami. “Duh anak Mami cantik.” Komentar Khadijah setelah selesai memoles bibir Neona. Tak lama Adnan pun ikut masuk dan menatap adiknya itu, dengan sebuah kado kecil menyelip di belakang tubuhnya. Khadijah segera meninggalkan keduanya. “Happy Birth Day adikku tersayang!” ucapnya mengecup pipi Neona dan menyodorkan kotak kecil berisi liontin berlian bermata sebentuk hati yang memasang foto keduanya. “Whoa, kakak ingat ulang tahunku?” “Hm, mana mungkin kakak lupa. Malam ini, kamu juga akan mendapatk
Pagi ini, Neona dan kedua sahabatnya Moly dan Laras menapaki halaman sekolah mereka. Sekolah yang sudah berhasil membuat Neona tak mengajukan pindah. Berkat Moly dan Laras, gadis itu bisa bertahan sampai detik ini. Meskipun Agnes, rival Neona kerap mengganggu gadis itu dengan berbagai bullyannya. “Apa kabar, Lo?” sapa Agnes dengan gengnya, Nensi dan Mega. Tiga gadis centil dan cantik namun sombong. Mereka selalu mengganggu anak baru dan menganggap diri, cewek paling popular di sekolah mereka. “Nes, gue heran sama lo, keberatan banget ngelihat gue bahagia, lo nggak ada kerjaan ya?” sahut Neona berkacak pinggang. “Ya, Nes, Neona benar, lo nggak ada kerjaan lain selain gangguin dia? Nggak kapok lo sama akibatnya ganggu anak Jendral?” timpal Moly. Sejak mengecam pendidikan di sekolah itu, entah berapa kali Agnes mengalami hukuman dari pihak sekolah karena pengaduan Neona pada ayahnya. Tak hanya itu, ketika Adnan mulai bertindak untuk menyelamatkan Sang ad
BRUKK… Sebuah tendangan keras menghantam pintu ruang VIP Alianz Nightclub. Dua orang berotot yang sejak tadi berdiri berjaga, terkejut dan segera mendapat serangan pukulan dari Zenan. Agnes yang tengah sibuk dengan ponselnya merekam aksi Salman dan Neona. Dan Salman, yang sudah memasang kuda- kuda di atas tubuh Neona yang terlentang terkejut melihat aksi brutal seseorang berjaket kulit hitam yang mengamuk. Membuat lelaki berjas hitam itu segera berdiri dan menghindari amukan Zenan. “ Siapa kamu?!” teriak Salman panik. “Polisi, kalian sudah terkepung, menyerahlah!” tegas Zenan. Mata Zenan membulat saat menemukan rok span Neona sudah menyingsing ke atas pahanya dan baju Tang Topnya sudah mengkerut ke atas dua gundukan kenyal itu. Seketika Zenan melepaskan jaket kulit hitamnya dan menutupi sebagian tubuh gadis itu. Sementara Agnes dan Salman berusaha melarikan diri, sayangnya, anak buah Zenan sudah berjaga di depan pintu
Pagi yang indah, Klinik dokter Adam sudah terlihat ramai pada jam delapan. Buyung dan istrinya sudah berdiri menceramahi Neona semenit lalu. Dokter Adam hanya mengulum senyum setiap kali Buyung menceramahi anak-anaknya. Bagaimana tidak, hal itu menghilangkan kesan jikaia seorang Jendral terhormat.“Kamu senang sekali ya bikin Papi dan Mami khawatir, Neona?” ketus Buyung.“Mami sangat cemas sayang, gimana kalau kamu dinodai orang, oh Ya Tuhan, Mami bisa gila, Nak.” Lirih Khadijah yang sudah merangkul putrinya itu.“Maafin Neona, Mi, Pi, Neona nggak tahu bakalan dijebak sama Agnes.”“Agnes lagi?” cetus Buyung dan Adnan bersamaan.“Dia lagi.. dia lagi, tuh, anak memang nggak ada kapoknya.” Gerutu Buyung.“Dahlah, Pi. Na, kakak ke kantor dulu, banyak kerjaan. Oh iya Adnan nggak pulang malam ini, banyak yang harus Adnan urus, Pi, Mi.” ucapnya menciumi punggung tangan ayah dan
Sebuah pertengkaran hebat sedang berlangsung di ruangan yang tampak luas dan berinterior khas luar negeri itu. Zenan Alexander,sosok lelaki yang diusia mudanya sudah menyandang gelar Letnan dalam jenjang kepolisian. Lelaki berumur tiga puluh tahun itu tampak duduk dengan wajah sungutnya. Kedua tangannya melekat apik pada topangan kedua kaki. Zenan enggan untuk menatap wajah ayahnya, Gian Alexander. Lelaki berkacamata yang masih menatapanya dengan penuh amarah. “Pokoknya aku nggak mau nikahi anaknya om Buyung ya, Pi!” ketus Zenan. “Dan Papi tetap menolak pacar kamu yang nggak jelas itu!” hardik Gian yang tak kalah berangnya. “Gadis itu sangat baik, terpandang, dan rendah hati. Kurang apalagi dia coba?!” lanjut Gian. “Kurang cantik,Pi,” sergah Zenan. “Memangnya kecantikan itu penting? Kecantikan fisik itu bisa dibuat tapi kecantikan hati sulit ditemukan, Ze,” balas Gian. “Pokoknya Zenan tetap pada pendirian Zenan. Zenan
Sejak Zenan memperkenalkan Jesline beberapa bulan lalu kepada ayahnya, sejak saat itu diam-diam Gian mengutus seseorang untuk menyelidiki kehidupan Jesline. Tak disangka, gadis yang digandeng Zenan saat berkenalan dengannya waktu itu memiliki cara hidup yang bebas, materialistis, dan kerap berganti pasangan. Dugem,Clubbing, adalah kegiatan wajib Jesline. Tak heran sewaktu - waktu Gian melihat gadis itu bersama pria lain dan berbeda ketika mereka bertemu secara kebetulan.Akan tetapi, cinta telah membutakan Zenan. Dia lebih mempercayai hatinya daripada penuturan Sang ayah.“Papi sudah mengusir Jesline, jadi Papi minta, kamu fokus pada Neona saja. Mulai besok dan seterusnya tugas kamu menemani gadis itu, kemanapun dia pergi, jika tidak, baik kamu maupun wanita itu tidak akan Papi biarkan hidup tenang.” Ancam Gian, saat ia meminta Zenan untuk mulai mendekati Neona.Dua bulan, Zenan dan Neona menjalin hubungan ke
Sekali lagi pertengkaran terjadi di kediaman keluarga Alexander, seperti biasa masih tentang Neona, kali ini Zenan sudah bulat memutuskan untuk pergi. Beberapa menit lalu ia dan Jesline sudah memutuskan untuk pergi dan menjauh dari keluarga, demi hubungan mereka.“Papi, tidak menyangka kamu sekeras kepala ini, Ze!?” ketus Gian.“Pi, berulang kali Zenan tekankan, Zenan tidak mencintai Neona. Mana mungkin Zenan menerima gadis dengan… jujur Zenan malu akan cibiran rekan Zenan jika mereka tahu kalau istri Zenan, jelek dan…”“Cukup Zenan! Kata-katamu sudah keterlalu, Papi tidak tahan mendengarnya. Baik jika itu keputusanmu, Papi harap kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini.”“Pi, biarkan Zenan bahagia dengan pilihan Zenan, Zenan mohon.” Melas Zenan melipat kedua tangannya. Gian tak sanggup melihat tingkah putranya itu. Iapun hanya beranjak membawa rasa kesalnya terhadap keputusan Zenan.
Tak berpikir panjang lelaki itu segera mengenakan jaket kulitnya dan langsung menerobos pintu kantor untuk melaju mobilnya menjemput sang ibu. Sedih,kalut, dan menyesal, menyatu dalam hati Adnan. MAAF, hanya itu yang ia ucapkan dalam hati dan bibirnya.Lima belas menit Adnan dan Khadijah tiba di rumah sakit. Keduanya langsung menuju ruang UGD. Di sana ada tubuh Neona yang masih sedang ditangani oleh beberapa tim medis. Sedangkan tubuh Buyung sudah terbungkus rapi di ruang perawatan. Khadijah langsung berhambur dan menumpahkan tangisnya sejadi jadinya di atas tubuh kaku Buyung.“Papi, papi kenapa mesti kayak gini Pi, kenapa Papi pergi ninggalin Mami” lirih pilu Khadijah.Adnan hanya menutup jarang wajahnya, ia menumpahkan tangis sedihnya di balik tangannya. Tangan yang mengepal, menyesali kelalaiannya. Tak lama seorang dokter datang dengan beberapa orang perawat.“Keluarga pasien” Panggil lelaki bersneli itu.Adna