Lampu blitz kamera tampak bercahaya menyorot sosok bertubuh indah di lantai pemotretan. Wanita beraparas cantik, lekuk tubuh nan indah, dan kulit putih bercahaya, dia adalah Neona Bagaskoro.
Sejak membintangi iklan produk kecantikan di salah satu perusahaan ternama, sejak saat itu nama Neona melejit dalam kurun waktu satu tahun. Karirnya melonjak menyetarai artis Diva Indonesia.
“Smile, Mbak Neona!” seru Rio, sang kamerawan, yang sedari tadi mengambil beberapa gambar dari pose Neona yang berbeda-beda.
Setelah satu jam pemotretan, Neona menuruni panggung pemotretan. Dia berjalan ke kursi santainya. Dua wanita dating menyambutnya. Rara—Penata rias Neona—memoles spon bedak di pipi Neona, sedangkan Tuti—manager Neona—langsung menjabarkan jadwal Neona untuk besok.
“Besok, lo tanda tangan kontrak Smell Production, Na. Terus syuting FTV di Bogor. Lalu, pemotretan gaun pengantin di Lapante Boutique,” jabar Tuti sembari membalikkan kertas jadwal Neona.
Neona mendengus kesal. Ia merasa begitu jengkel mendengar serentetan jadwal kegiatannya yang tak habis-habis. Neona memejamkan mata sejenak. “Huft,” Neona mengendus kesal, “Tut, ada nggak lo agendakan istirahat buat gue? Please, Tut, gue manusia bukan robot.”
“Ada, besok jam satu siang kita ke Darris Hotel, berendam air hangat. Gimana? Lo mau?” cetus Tuti.
Seketika ekspresi sumringah tergambar di wajah Neona. Tatapannya kini tertuju ke layar iPad, membaca sederetan komentar netizen akan sosok dirinya. Seulas senyum menyungging di ujung bibir. Tuti dan Rara saling berpandangan, tatapan mereka penuh tanda tanya, kenapa senyum itu muncul.
“Lo kenapa, Na?” tanya Rara.
“Iya, tingkah lo aneh,” sambung Tuti.
“Hm, gue geli aja baca komentar netizen,” jawab Neona.
“Terus?” Suara Tuti menyidik.
“Andai mereka tau, siapa gue sebenarnya … dulu,” lirih Neona sembari membuang pandangnya.
Rio dan kru yang lainnya sudah bersiap-siap untuk pulang, di sisi lain Neona dan tim manajemennya masih tinggal di ruangan.
Sebelum Tuti melanjutkan kalimatnya, mendadak suara tapak sepatu datang dari arah pintu masuk studio. Ditambah lagi terdapat satu buket bunga mawar di tangannya. Orang itu berhasil mengalihkan perhatian semua orang.
Zenan Alexander, putra pengusaha sukses Gian Alexander, seorang perwira polisi berpangkat Letnan. Lelaki berkepala pelontos itu mendatangi studio tempat Neona bekerja. Ia memang sengaja datang untuk memberikan apresiasi kepada gadis pujaannya.
“Neona, apa kabarmu?” sapa Zenan. Dia menyodorkan buket bunga yang ia bawa khusus untuk Neona.
“Baik,” jawab Neona sekedarnya.
Rio dan beberapa kru lainnya, yang semula hendak meninggalkan tempat itu, kini berhenti dan memilih tinggal. Menonton apa yang akan terjadi kali ini pada lelaki yang selama tiga minggu selalu mendatangi Neona. Hasilnya? Lelaki itu selalu mendapat jawaban berupa tamparan. Rara dan Tuti bahkan sudah lelah menasehati Neona agar tidak berperilaku kasar kepada lelaki yang faktanya masuk kategori lelaki idaman setiap wanita. Entah alasan apa. Bagi seorang Neona, lelaki itu tak jauh seperti sampah.
Neona berjalan mendekat dan menerima pemberian bunga Zenan. Auranya terlihat tenang, tanpa sorot tajam. Rara dan Tuti cukup lega melihat penerimaan Neona tatkala itu, begitu juga dengan Rio yang mengurut dada karena matanya tidak akan ternoda oleh aksi sarkas Neona lagi.
“Kamu nggak capek ya, Ze?” suara Neona yang mulai terdengar mengerikan.
“Sampai kapan pun aku akan tetap mengejar kamu Neona,” tegas Zenan.
“Sampai kapan?”
“Sampai kamu nerima aku,” pungkas Zenan.
Neona menatap sesaat ke arah bunga mawar yang kini berada di tangannya. Ia pun menghela napas dalam dan kembali menatap Zenan denga senyum seringai yang membingungkan.
"Kenapa kamu senyum gitu,Na? Ada yang salah?"tanya Zenan menyidik.
"Kenapa,Ze? Kenapa setelah papa Buyung meninggal,kamu baru baik kayak gini ke aku?Asal kamu tau,jika cinta kamu begitu mahal untuk ku miliki,maka aku lebih memilih untuk tidak memiliki cintamu itu. Jadi Zenan Alexander, berhentilah." Pungkasnya.
Tak berselang lama, ia pun membuang buket mawar, lalu menginjak-injak dan mengusut-ngusut dengan kaki. Sepatu high heels berhasil menggiling dedaunan mawar hingga menempel pada karpet lantai.
Sontak aksi Neona membuat seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan terkejut. Mereka tak menyangka jika sosok artis terkenal dan terhormat seperti Neona begitu kejam dan tak berperasaan terhadap sosok lelaki yang datang dengan ketulusan.
Rio menutup wajah, Rara dan Tuti hanya menutup mulut lebar. Mereka yang terkejut dengan perbuatan Neona yang sudah di luar batas.
“Gila si Neona,” lirih Rio yang membelalak.
“Mbak Tuti, kok ayang bebe kek gitu ya, ih jadi atut Yaya,” kata Rara capruk.
“Dah, Ra. Kita jangan ikut-ikutan, gue aja ngeri lihatnya. Salah apa, sih, tuh cowok sampai neng geulis kek gitu?” tanggap Tuti setengah berbisik.
GLEK
Zenan menelan ludah dalam kerongkongan yang kering. Ia tak menyangka cara kali ini pun tak mampu melunakkan hati Neona yang mengeras. Bayangan masa lalu itu kembali melintasi pikirannya. Bola mata Zenan hanya bisa menatap kosong ke bunga mawar yang sudah dibeli dengan hati tulus.
Dengan santai Neona berjalan melewati Zenan tanpa berucap sepatah kata pun. Rara dan Tuti segera menyusul Neona yang meninggalkan Zenan yang masih mematung.
Sejak saat itu, Zenan memilih mengurung diri beberapa hari dalam kamarnya tanpa aktivitas apapun. Gian cukup terpukul dengan perilaku Zenan yang berubah murung. Kesedihan dan duka yang tak berkesudahan sejak kembali dari L.A beberapa waktu lalu.
Di salah satu sudut ruang yang tak begitu gelap, seorang lelaki bertubuh tinggi tengah menerima panggilan seluler dari sahabat yang sangat akrab dengannya. Laki-laki yang selama hidupnya belum mendapatkan cinta yang diharapkan dari sosok Neona. Seorang laki-laki yang masih berstatus Kakak bagi gadis hatinya, Neona.
“Ya, Nan. Neona berubah. Gue banyak dengar dari manajer dia. Sudah berapa kali beredar gosip miring soal Neona, Nan,” jelas Theo dari seberang.
“Ya gue tahu, gue akan atasi. Intinya jangan sampai itu mempengaruhi karir dia sekarang ini. Gue minta tolong sama lo ya,” pinta Adnan.
“Ya tapi mau sampai kapan, Nan? Lo juga, mau sampai kapan lo tolerir sikap dia kayak gini, Nan?” tukas Theo yang terdengar mulai kesal.
Adnan bersandar di sofa apartemen, pandangan dan pikiran pria itu menerawang pada sosok dara berusia 19 tahun. Neona Bagaskoro, gadis yang pernah menjadi adik baginya dan gadis yang sangat ia cintai. Sayangnya, sejak peristiwa mengerikan menimpanya, gadis berhati peri itu kini berubah drastis menjadi sosok yang berbeda, angkuh, kasar, acuh, dan dingin. Namun meski demikian, Neona masih menjaga lisannya, gadis itu tak pernah mencaci, menghujat ataupun menyumpahi orang lain. Kepada Adnan, Neona lebih memilih menghindari atau bersuara dingin kepada lelaki itu.
Hari ini, Neona bersama dua orang asistennya menyelesaikan agenda mereka dengan lancar. Kini tiba waktunya Neona untuk menyelesaikan agenda terakhir yaitu syuting FTV. Rara tampak sibuk dengan beberapa kostum dari wardrobe dan beberapa aksesoris lainnya.Neona masih sibuk dengan hafalan naskah dialog. Sementara Tuti sibuk dengan iPad-nya, membaca beberapa trending topik saat itu.“Gila, nih, penggemar lo hebat banget, Na,” tanggapnya.“Kenapa, mbak Tut?” tanya Rara menyela.“Bayangin, dia bisa menutup mulut netizen yang berkomentar negatif soal kejadian kemarin. Gue jadi penasaran siapa, sih, ni orang? Na, lo tau nggak orang ini siapa?” Tuti menatap Neona lekat dengan raut menyidiknya.“Seseorang….” Neona menjawab, lalu menjeda.Yang sangat mencintai gue, Mbak dan gue juga mencintainya. Tapi hati gue sudah terlanjur hancur oleh ulah mereka
Gian—ayah Zenan—masih berusaha mendobrak pintu kamar Zenan yang terkunci. Sejak pulang jam satu dini hari, sejak saat itu putra semata wayangnya itu mengurung diri. Sesekali terdengar pecahan beling dan sesekali terdengar jeritan frustrasi Zenan. Makian, kalimat penyesalan, bermunculan dari mulut Zenan. Suara pukulan beberapa benda pun terdengar. Hal itu membuat Gian sangat mengkhawatirkan kondisi mental Zenan. Ia takut jika putranya itu melakukan hal yang bodoh.“Zenan! Zenan! Buka pintunya, Nak! Jangan siksa dirimu seperti ini! Kita masih punya jalan keluar!” teriaknya berusaha menyadarkan Zenan.Usaha Gian sia-sia, tak ada jawaban apapun dari dalam kamar Zenan. Hanya suara jeritan tangis penyesalan dari mulut lelaki hebat itu.“Papi akan menemui Neona, hari ini,” tegasnya.***Tuti dan Rara terkejut dengan kedatangan sosok dua pria luar biasa. Benar, Theo dan Adnan memutuskan datang untuk menjenguk Neona
Segera hentikan berita itu, atau kalian akan menyesal seumur hidup kalian,” tekan Tuti.Malam beranjak menjemput, Zenan kini sudah mulai melakukan aktivitas ringan setelah bujukan Laras siang tadi. Siang itu memang Laras tanpa sengaja mengunjungi kediaman Alexander, hanya sekedar bertegur sapa. Namun sayang setiba di teras depan rumah bak istana itu, telinganya dikejutkan dengan suara jeritan dan teriakan beberapa orang dari dalam rumah. Ia pun mempercepat langkahnya, menerobos ruang utama dan menemukan Gian dan beberapa pelayan lainnya, tengah memegangi Zenan yang mengamuk. “Ya tuhan, Om. Ada apa ini?” tanyanya heran. “Bantu Om, Laras. Zenan mau bunuh diri,” lirih Gian, di saat ia masih kuat memegangi tubuh Zenan yang meronta.
Di sebuah apartemen, seorang wanita berambut Blonde, tengah duduk menghadap televise. Siaran malam itu menayangkan berita topik utama tentang perselisihan antara Gian Alexander dengan artis terkenal Neona. Sebuah serigai sinis yang berubah menjadi suara tawa yang lebar dan menggelegar. Suara yang memenuhi seluruh langi-langit ruang tengah apartemen itu. “Hahahaha, akhirnya! Akhirnya,Neona! Kehancuran lo sudah tiba, sekarang gue yakin seratus persen, baik Zenan maupun Adnan akan benar-benar menjauhi lo. Dan lo akan segera membusuk di Bui, Neona sombong.!” Hujatnya. Sekali lagi Jesline melambungkan suara tawa mengerikannya itu. ia tak ubahnya seperti wanita yang mengalami gangguan kejiwaan. Ia terus tertawa dan tertawa hingga membanting tubuhnya di atas sofa, masih dalam keadaan tertawa lebar. Di tempat lain, Tuti tengah berada dalam perjalanan. Ia hendak menuju kediaman Sarah, sepupunya. Sosok wanita yang memperkenalkan ia dengan Neona, d
Siang ini, Neona dan kedua sahabatnya, Moly dan Laras, berjalan menelusuri lobi Mall. Ketiganya tampak bahagia dan bersemangat. Huntig asesoris lucu dan unik adalah kesenangan mereka. “Ini lucu, deh, Na” lirik Laras memperlihatkan sebuah anting unik. Neona meraih dan segera memajang diri pada sebuah cermin untuk melihat kecocokannya. Saat gadis itu menikmati pantulan wajahnya dengan asesoris anting, yang sudah menempel pada daun telinganya, sebuah suara sinis menggema dari sisi kirinya. “Antingnya memang cantik, sayang yang pakai nggak cantik, jadi, ya, terlihat jelek, deh.” Sindir wanita betubuh semampai dengan atasan Blouse berpadu Jeans yang juga tengah memilih pernak-pernik asesoris. “Hei, tante-tante, maksudnya apa ngomong, gitu?!” ketus Neona, yang sudah mulai terdengar kesal. “Aku hanya mencoba membangunkan putri tidur, agar dia menghadapi kenyataan, kalau memang dasarnya jelek mau pakai apapun akan tetap terlih
Hari minggu, Buyung dan Adnan lebih memilih berolah raga di gedung Gelora Bung Karno (GBK). Sementara Khadijah dengan kegiatan paginya , memasak dan mencuci. Pembantu , ada tapi urusan memasak, Khadijah paling anti mempercayakan orang lain. Neona masih dengan rutinitasnya, bersantai sambil ngupil. Ya entah itu penyakit atau kelainan, Neona memiliki produksi Upil yang lebih, sehingga tak jarang gadis kriwil itu memiliki kegiatan hobby MENGUPIL. Tapi ia juga sangat menjaga privasinya, untuk melakukan hobynya itu ia memilih tempat tertutup atau tersembunyi. “Non Neona, nyonya minta Non turun untuk sarapan,” ucap bi Sanah, pembantu keluarga Bagaskoro. “Bentar Bi, tanggung.” Ketus Neona, acuh. Bi Sanah hanya terdiam, wanita bertubuh semampai dengan baju kebayanya, hanya berdiri menunggu reaksi Neona selanjutnya. “Loh, kok bibi masih di situ? Mau makan upilku?” ejek Neona berbalik melirik ke arah bi Sanah yang sudah menyeringai jijik. “Ih, si
Malam itu Gian dan Zenan bertandang ke kediaman Bagaskoro. Untuk pertamakalinya kedua sahabat itu saling berkunjung untuk membicarakan niat hati mengikat hubungan. Khadijah sudah memberitahukan Neona akan kedatangan tamunya itu. ia pun membantu Neona dalam berdandan. Adnan sudah menyiapkan gaun indah pilihannya. Dres putih selutut. Rambut kritng Neona diikat setinggi ujung kepala. Sentuhan make up natural dan lip balm, membuat Neona terlihat cantik, alami. “Duh anak Mami cantik.” Komentar Khadijah setelah selesai memoles bibir Neona. Tak lama Adnan pun ikut masuk dan menatap adiknya itu, dengan sebuah kado kecil menyelip di belakang tubuhnya. Khadijah segera meninggalkan keduanya. “Happy Birth Day adikku tersayang!” ucapnya mengecup pipi Neona dan menyodorkan kotak kecil berisi liontin berlian bermata sebentuk hati yang memasang foto keduanya. “Whoa, kakak ingat ulang tahunku?” “Hm, mana mungkin kakak lupa. Malam ini, kamu juga akan mendapatk
Pagi ini, Neona dan kedua sahabatnya Moly dan Laras menapaki halaman sekolah mereka. Sekolah yang sudah berhasil membuat Neona tak mengajukan pindah. Berkat Moly dan Laras, gadis itu bisa bertahan sampai detik ini. Meskipun Agnes, rival Neona kerap mengganggu gadis itu dengan berbagai bullyannya. “Apa kabar, Lo?” sapa Agnes dengan gengnya, Nensi dan Mega. Tiga gadis centil dan cantik namun sombong. Mereka selalu mengganggu anak baru dan menganggap diri, cewek paling popular di sekolah mereka. “Nes, gue heran sama lo, keberatan banget ngelihat gue bahagia, lo nggak ada kerjaan ya?” sahut Neona berkacak pinggang. “Ya, Nes, Neona benar, lo nggak ada kerjaan lain selain gangguin dia? Nggak kapok lo sama akibatnya ganggu anak Jendral?” timpal Moly. Sejak mengecam pendidikan di sekolah itu, entah berapa kali Agnes mengalami hukuman dari pihak sekolah karena pengaduan Neona pada ayahnya. Tak hanya itu, ketika Adnan mulai bertindak untuk menyelamatkan Sang ad