Di sebuah apartemen, seorang wanita berambut Blonde, tengah duduk menghadap televise. Siaran malam itu menayangkan berita topik utama tentang perselisihan antara Gian Alexander dengan artis terkenal Neona. Sebuah serigai sinis yang berubah menjadi suara tawa yang lebar dan menggelegar. Suara yang memenuhi seluruh langi-langit ruang tengah apartemen itu.
“Hahahaha, akhirnya! Akhirnya,Neona! Kehancuran lo sudah tiba, sekarang gue yakin seratus persen, baik Zenan maupun Adnan akan benar-benar menjauhi lo. Dan lo akan segera membusuk di Bui, Neona sombong.!” Hujatnya. Sekali lagi Jesline melambungkan suara tawa mengerikannya itu. ia tak ubahnya seperti wanita yang mengalami gangguan kejiwaan. Ia terus tertawa dan tertawa hingga membanting tubuhnya di atas sofa, masih dalam keadaan tertawa lebar.
Di tempat lain, Tuti tengah berada dalam perjalanan. Ia hendak menuju kediaman Sarah, sepupunya. Sosok wanita yang memperkenalkan ia dengan Neona, dulu.
“Ra, lo jagain Neona dulu ya. Keknya gue agak malam pulangnya. Atau bisa minta tolong Bipbip jemput gue. Ntar gue kirimi alamatnya.” Ujarnya melalui sambungan telpon.
“I-iya mbak Tut, ayang bebi lagi tidur. Barusan Yaya liyat, tuh.” Capruk Rara.
“Oke, thanks ya, Ra.” Pungkas Tuti.
Pikirannya kembali menerawang. Urat saraf Tuti seakan tengah merangkai kepingan demi kepingan puzel masa lalu Neona. Meskipun ia belum mengetahui dengan begitu jelas. Beberapa menit, iapun tiba di rumah Sarah.
Rumah besar dan minimalis itu, terlihat hening dengan jalanan komplek yang lengang. Sosok tubuh wanita berambut sebahu dengan kacamatanya membukakan Tuti pintu ruang utama.
“Tuti?” lirihnya.
“Apa aku mengganggu, mbak?” tanya Tuti, tak enak hati.
“Masuk.” Pinta Sarah.
Sarah yang beberapa menit lalu sudah mengetahui berita trending magrib itu. wanita itu akhirnya menuntun Tuti ke kursi sofa ruang tamunya. Dengan sanatai menopan kepala menggunakan tangannya, wanita itu menjamu kerabatnya.
“Soal Neona lagi, Tut?” terkanya.
“Iya, mbak.” Jawab Tuti sembari menghela napas jeda dan kembali menatap Sarah setelah mengatur ulang kacamatanya.
“Kali ini, kedatanganku bukan karena berita itu, tapi aku mau tahu masa lalu seperti apa yang dialami Neona, sehingga bisa sekejam itu kepada pak Bagas dan pak Zenan.”
Sarah menghela napas dalam setelah mendengar niat kedatangan Tuti. Wanita itu merubah posisi duduknya dan menatap segaris ke hadapan. Tangannya yang sedari tadi menopang kepala, kini berubah meraih bantalan sofa lalu memeluknya.
“Aku, sih, nggak terlalu banyak tahu, Tut. Tapi yang bisa aku katakana, Neona mulai bekerja di perusahaan Theo setelah ia menikah dengan Adnan Bagaskoro, saat itu hubungan mereka sangat baik. Sejak terakhir kepergian Adnan ke Jepang. Saat itulah semua bermula seperti sekarang ini.
“Tapi yang aku dengar dari Neona, Zenan dulu pernah mencampakkannya. Dan pak Adnan membohonginya hingga pada akhirnya mereka menikah, aku… bingung, mbak.” Lirih Tuti.
“Aku juga nggak begitu faham. Mendingan kamu tanya Neona. Aku yakin jika kamu bicara dari hati ke hati, Neona kooperatif, kok,” saran Sarah.
Tuti menghela napas dalam lagi, ia seakan baru menemuka sepotong keping misteri masa lalu Neona. Tak berselag lama sebuah panggilan telpon membuyarkan pikiran Tuti.
“Ya, Ra?” sapa Tuti
“Gawat mbak Tut! Ayang bebe…ayang bebe…” suara panik Rara dari seberang.
“Maksud, lo, apa? Coba lo yang tenang deh, Ra.” Sahut Tuti semakin panic
“Ayang bebe, anisy- anisy,,yee,, eke atut, hik hik hik, cepet atuh mbak, eke , bebe, auh auh auh…” sahut Rara lagi.
Tuti segera bergegas menuju Bandung. Untungnya Herman, suami Sarah bersedia mengantar gadis itu ke tempat yang sangat jauh tersebut. Teringat akan sumber masalahnya, Tuti menghubungi Theo yang kebetulan tengah bersama Adnan di apartemennya.
“Halo, Pak. Saya ke Bandung, keadaan Neona nggak baik, Pak. Saya takut dia kenapa-napa, saya baru dari rumah mbak Sarah, dan sekarang saya lagi di jalan menuju Bandung.” Lapor Tuti.
“Ok, baik. Aktifkan GPS mu, Tut, saya dan pak Adnan akan segera nyusul kamu ke sana.” Suara Theo yang mengakhiri panggilannya dengan Tuti.
“Ada apa, The?” tanya Adnan melirik cemas.
“Entahlah, Bro. gue nggak jelas, tapi yang penting kondisi Neona nggak baik, Nan. Kita samperin ke sana, ya?” pinta Theo yang disetujui oleh Adnan.
Kedua lelaki itu lantas segera menyusul Tuti ke Bandung. Tempat villa Neona berada. Sementara di Villa itu, suara kamar Neona tampak riuh. Suara teriakan, hempasan benda-benda tak beraturan. Rara masih terlihat mondar-mandir di ruang tengah dengan segumpalan perasaan cemas. Ketakutan sudah sangat melekat pada diri waria itu.
Tak berselang lama, mobil Theo dan Adnan tiba bersamaan dengan mobil Herman. Rara segera berlari menuju pintu untuk menyambut mereka. Wajah panik dan takutnya masih menyambut kedatangan Tuti, Theo, dan Adnan.
“Emang ada apa, sih, Ra?” tanya Tuti begitu mereka memasuki ruang tengah. Sesekali wajah Adnan memandang ke arah pintu kamar Neona yang sudah terdengar suara jeritan dan racauan Neona yang tak jelas. Kalimat makian terlontar, meledak-ledak, dari mulutnya. Semakin membuat Adnan merasa cemas.
“Yayang dapet epon dari si Jeso, terus setel TV, langsung deh, ngamuk, mbak Tut,” tutur Rara berdempet di sisi lengan Tuti.
“Tut, boleh saya minta ruang, berdua dengan Neona?” pinta Adnan. Theo mengangguk meminta Tuti untuk mengabulkan permintaan Adnan. Herman dan Theo lantas membawa keduanya meninggalkan ruang tengah Villa itu. Dengan rasa ragu Tuti menoleh ke belakang melihat punggung Adnan yang mendekati pintu kamar Neona.
TOK TOK TOK
Neona terdiam, tak ada suara ocehan dan amukan lagi. Ia terduduk di sudut bibir ranjangnya. Wajahnya tertunduk bertumpu pada lipatan tangannya yang menopang di atas tekukan kedua kakinya.
“Na! Neona! Ini kakak, kak Adnan! Tolong buka pintunya, kita bicarakan ini baik-baik, Neona,”pekik Adnan, lelaki itu semakin mendekatkan wajahnya ke daun pintu, berharap Neona akan bekerja sama kali ini.
“Na! kakak mohon, tolong buka pintunya.” Pekiknya lagi. Perlahan Neona bangkit dan berjalan mendekati daun pintu. Gadis itu melekatkan wajahnya dan meraba daun pintu yang mendengungkan suara lelaki hatinya itu.
“Na, kakak mohon.” Lagi-lagi suara lirih itu. “Nyonya Bagas…” belum sempat Adnan melanjutkan kalimatnya suara centelan pintu terdengar dari dalam kamar Neona. Sesaat ada perasaan lega dalam hati Adnan mendapatkan respon dari gadis labil itu.
Adnan beringsut masuk, tak lama Neona menyusupkan wajahnya pada dada bidang Adnan, ia menumpahkan semua tangisnya dan tak hanya itu, bahkan ia mengusut tetesan dan gumpalan upil yang sudah memaksa keluar dari hidungnya. Adnan tahu persis kebiasaan gadis itu. dan ia tak berkebaratan dengan sikap jorok Neona. Hingga memutuskan untuk diam, menurut.
“Gimana? Kamu udah tenang?” tanya Adnan setelah beberapa menit melampiaskan kegalauannya.
“Kamu udah minum obat dan suplemen kamu belum?” tanyanya lagi mengalihkan pikiran Neona. Bukannya menjawabi Adnan, Neona hanya diam dan perlahan jari-jarinya mendarat pada deretan kancing baju kemeja Adnan.
Laki-laki itu hanya diam, menurut, karena ia tahu ini kesekian kalinya Neona bersikap demikian. Adnan hanya tidak ingin membuat Neona semakin tak nyaman di tengah emosinya yang sedang meledak saat ini.
“Na…” lirihnya.
“Kemeja kakak kotor, banyak ingus sama upil aku di sana, nanti pinjam bajunya Bipbip aja, nggak apa-apa, kan?” timpal Neona , masih fokus pada tindakannya.
“Hm,”sahut Adnan.
Lama keduanya berdiam diri di dalam kamar, Tuti segera meninggalkan Theo dan yang lainnya. Rasa penasarannya menuntun langkahnya menuju kamar Neona. Namun belum lagi ia melanjutkan langkahnya, telinga Tuti menangkap sebuah desahan yang cukup terdengar jelas. Suara Neona yang sudah terbungkus sensasi gairah. Luapan kata cinta pun terlontar dari mulut wanita itu. Tak lama ia kembali pada sekumpulan orang yang sejak tadi bersamanya.
“Pak Theo, boleh bapak ceritakan dengan jujur apa sebenarnya yang terjadi pada hubungan Neona dan pak Bagas.” Pinta Tuti sekembalinya. Tak tega melihat Tuti yang sudah bertumpuk beban karena sikap Neona, akhirnya Theo pun memutuskan untuk menceritakan masa lalu gadis itu. Theo menghela napas dalam sementara Tuti, Rara, Herman, dan Bipbip mengatur ulang duduk mereka untuk menyimak dengan baik kisah di balik wajah indah Neona.
Siang ini, Neona dan kedua sahabatnya, Moly dan Laras, berjalan menelusuri lobi Mall. Ketiganya tampak bahagia dan bersemangat. Huntig asesoris lucu dan unik adalah kesenangan mereka. “Ini lucu, deh, Na” lirik Laras memperlihatkan sebuah anting unik. Neona meraih dan segera memajang diri pada sebuah cermin untuk melihat kecocokannya. Saat gadis itu menikmati pantulan wajahnya dengan asesoris anting, yang sudah menempel pada daun telinganya, sebuah suara sinis menggema dari sisi kirinya. “Antingnya memang cantik, sayang yang pakai nggak cantik, jadi, ya, terlihat jelek, deh.” Sindir wanita betubuh semampai dengan atasan Blouse berpadu Jeans yang juga tengah memilih pernak-pernik asesoris. “Hei, tante-tante, maksudnya apa ngomong, gitu?!” ketus Neona, yang sudah mulai terdengar kesal. “Aku hanya mencoba membangunkan putri tidur, agar dia menghadapi kenyataan, kalau memang dasarnya jelek mau pakai apapun akan tetap terlih
Hari minggu, Buyung dan Adnan lebih memilih berolah raga di gedung Gelora Bung Karno (GBK). Sementara Khadijah dengan kegiatan paginya , memasak dan mencuci. Pembantu , ada tapi urusan memasak, Khadijah paling anti mempercayakan orang lain. Neona masih dengan rutinitasnya, bersantai sambil ngupil. Ya entah itu penyakit atau kelainan, Neona memiliki produksi Upil yang lebih, sehingga tak jarang gadis kriwil itu memiliki kegiatan hobby MENGUPIL. Tapi ia juga sangat menjaga privasinya, untuk melakukan hobynya itu ia memilih tempat tertutup atau tersembunyi. “Non Neona, nyonya minta Non turun untuk sarapan,” ucap bi Sanah, pembantu keluarga Bagaskoro. “Bentar Bi, tanggung.” Ketus Neona, acuh. Bi Sanah hanya terdiam, wanita bertubuh semampai dengan baju kebayanya, hanya berdiri menunggu reaksi Neona selanjutnya. “Loh, kok bibi masih di situ? Mau makan upilku?” ejek Neona berbalik melirik ke arah bi Sanah yang sudah menyeringai jijik. “Ih, si
Malam itu Gian dan Zenan bertandang ke kediaman Bagaskoro. Untuk pertamakalinya kedua sahabat itu saling berkunjung untuk membicarakan niat hati mengikat hubungan. Khadijah sudah memberitahukan Neona akan kedatangan tamunya itu. ia pun membantu Neona dalam berdandan. Adnan sudah menyiapkan gaun indah pilihannya. Dres putih selutut. Rambut kritng Neona diikat setinggi ujung kepala. Sentuhan make up natural dan lip balm, membuat Neona terlihat cantik, alami. “Duh anak Mami cantik.” Komentar Khadijah setelah selesai memoles bibir Neona. Tak lama Adnan pun ikut masuk dan menatap adiknya itu, dengan sebuah kado kecil menyelip di belakang tubuhnya. Khadijah segera meninggalkan keduanya. “Happy Birth Day adikku tersayang!” ucapnya mengecup pipi Neona dan menyodorkan kotak kecil berisi liontin berlian bermata sebentuk hati yang memasang foto keduanya. “Whoa, kakak ingat ulang tahunku?” “Hm, mana mungkin kakak lupa. Malam ini, kamu juga akan mendapatk
Pagi ini, Neona dan kedua sahabatnya Moly dan Laras menapaki halaman sekolah mereka. Sekolah yang sudah berhasil membuat Neona tak mengajukan pindah. Berkat Moly dan Laras, gadis itu bisa bertahan sampai detik ini. Meskipun Agnes, rival Neona kerap mengganggu gadis itu dengan berbagai bullyannya. “Apa kabar, Lo?” sapa Agnes dengan gengnya, Nensi dan Mega. Tiga gadis centil dan cantik namun sombong. Mereka selalu mengganggu anak baru dan menganggap diri, cewek paling popular di sekolah mereka. “Nes, gue heran sama lo, keberatan banget ngelihat gue bahagia, lo nggak ada kerjaan ya?” sahut Neona berkacak pinggang. “Ya, Nes, Neona benar, lo nggak ada kerjaan lain selain gangguin dia? Nggak kapok lo sama akibatnya ganggu anak Jendral?” timpal Moly. Sejak mengecam pendidikan di sekolah itu, entah berapa kali Agnes mengalami hukuman dari pihak sekolah karena pengaduan Neona pada ayahnya. Tak hanya itu, ketika Adnan mulai bertindak untuk menyelamatkan Sang ad
BRUKK… Sebuah tendangan keras menghantam pintu ruang VIP Alianz Nightclub. Dua orang berotot yang sejak tadi berdiri berjaga, terkejut dan segera mendapat serangan pukulan dari Zenan. Agnes yang tengah sibuk dengan ponselnya merekam aksi Salman dan Neona. Dan Salman, yang sudah memasang kuda- kuda di atas tubuh Neona yang terlentang terkejut melihat aksi brutal seseorang berjaket kulit hitam yang mengamuk. Membuat lelaki berjas hitam itu segera berdiri dan menghindari amukan Zenan. “ Siapa kamu?!” teriak Salman panik. “Polisi, kalian sudah terkepung, menyerahlah!” tegas Zenan. Mata Zenan membulat saat menemukan rok span Neona sudah menyingsing ke atas pahanya dan baju Tang Topnya sudah mengkerut ke atas dua gundukan kenyal itu. Seketika Zenan melepaskan jaket kulit hitamnya dan menutupi sebagian tubuh gadis itu. Sementara Agnes dan Salman berusaha melarikan diri, sayangnya, anak buah Zenan sudah berjaga di depan pintu
Pagi yang indah, Klinik dokter Adam sudah terlihat ramai pada jam delapan. Buyung dan istrinya sudah berdiri menceramahi Neona semenit lalu. Dokter Adam hanya mengulum senyum setiap kali Buyung menceramahi anak-anaknya. Bagaimana tidak, hal itu menghilangkan kesan jikaia seorang Jendral terhormat.“Kamu senang sekali ya bikin Papi dan Mami khawatir, Neona?” ketus Buyung.“Mami sangat cemas sayang, gimana kalau kamu dinodai orang, oh Ya Tuhan, Mami bisa gila, Nak.” Lirih Khadijah yang sudah merangkul putrinya itu.“Maafin Neona, Mi, Pi, Neona nggak tahu bakalan dijebak sama Agnes.”“Agnes lagi?” cetus Buyung dan Adnan bersamaan.“Dia lagi.. dia lagi, tuh, anak memang nggak ada kapoknya.” Gerutu Buyung.“Dahlah, Pi. Na, kakak ke kantor dulu, banyak kerjaan. Oh iya Adnan nggak pulang malam ini, banyak yang harus Adnan urus, Pi, Mi.” ucapnya menciumi punggung tangan ayah dan
Sebuah pertengkaran hebat sedang berlangsung di ruangan yang tampak luas dan berinterior khas luar negeri itu. Zenan Alexander,sosok lelaki yang diusia mudanya sudah menyandang gelar Letnan dalam jenjang kepolisian. Lelaki berumur tiga puluh tahun itu tampak duduk dengan wajah sungutnya. Kedua tangannya melekat apik pada topangan kedua kaki. Zenan enggan untuk menatap wajah ayahnya, Gian Alexander. Lelaki berkacamata yang masih menatapanya dengan penuh amarah. “Pokoknya aku nggak mau nikahi anaknya om Buyung ya, Pi!” ketus Zenan. “Dan Papi tetap menolak pacar kamu yang nggak jelas itu!” hardik Gian yang tak kalah berangnya. “Gadis itu sangat baik, terpandang, dan rendah hati. Kurang apalagi dia coba?!” lanjut Gian. “Kurang cantik,Pi,” sergah Zenan. “Memangnya kecantikan itu penting? Kecantikan fisik itu bisa dibuat tapi kecantikan hati sulit ditemukan, Ze,” balas Gian. “Pokoknya Zenan tetap pada pendirian Zenan. Zenan
Sejak Zenan memperkenalkan Jesline beberapa bulan lalu kepada ayahnya, sejak saat itu diam-diam Gian mengutus seseorang untuk menyelidiki kehidupan Jesline. Tak disangka, gadis yang digandeng Zenan saat berkenalan dengannya waktu itu memiliki cara hidup yang bebas, materialistis, dan kerap berganti pasangan. Dugem,Clubbing, adalah kegiatan wajib Jesline. Tak heran sewaktu - waktu Gian melihat gadis itu bersama pria lain dan berbeda ketika mereka bertemu secara kebetulan.Akan tetapi, cinta telah membutakan Zenan. Dia lebih mempercayai hatinya daripada penuturan Sang ayah.“Papi sudah mengusir Jesline, jadi Papi minta, kamu fokus pada Neona saja. Mulai besok dan seterusnya tugas kamu menemani gadis itu, kemanapun dia pergi, jika tidak, baik kamu maupun wanita itu tidak akan Papi biarkan hidup tenang.” Ancam Gian, saat ia meminta Zenan untuk mulai mendekati Neona.Dua bulan, Zenan dan Neona menjalin hubungan ke