Namaku Marilyn. Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara, yang kesemuanya adalah perempuan. Madeline adalah kakak sulungku. Orang-orang menjulukinya Miss Perfect. Karena menurut orang-orang, kakakku itu sempurna dan maha segala. Maddie, begitu biasanya kakakku disapa, sangat cerdas, teliti dan cekatan dalam segala hal. Ditambah dengan kecantikannya yang bersinar terang bagai cahaya mercusuar, tidak ada satu laki-laki pun yang sanggup menolak pesonanya. Dalam keluarga kami, Maddie adalah seorang ratu. Segala titahnya adalah mutlak dan wajib untuk dilaksanakan.
Maureen adalah adik bungsuku. Kami sekeluarga sepakat menjulukinya Miss Glow In The Dark. Reen, biasanya adikku ini disapa, memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dengan IQ yang nyaris mendekati sempurna, Reen menonjol di antara gadis-gadis lainnya. Jika para wanita kebanyakan menonjol karena kecantikan ataupun keseksian mereka, Reen berbeda. Adikku ini mempesona dengan kecerdasan dan kepercayaan dirinya. Kelebihannya ini sangat mendukung karirnya sebagai seorang pengacara muda yang bertalenta. Dengan tatapan khasnya yang sangat intimidatif, Reen sukses setiap kali membantai musuh-musuhnya di pengadilan.
Dan di antara bersinarnya mereka berdua, aku bagaikan sebatang korek api basah nan redup. Aku tidak memiliki kelebihan apapun di antara kedua saudariku, selain kecantikanku yang di atas rata-rata.
Tetapi menurut kedua saudariku, kecantikanku itu bukanlah suatu hal yang perlu dibanggakan. Karena kecantikanku itu kebetulan diturunkan secara genetika oleh kedua orang tuaku. Bukan karena kerja keras apalagi prestasi. Aku tidak perlu melakukan apapun untuk meraihnya. Jadi apa hebatnya? Kecantikan hibahan tanpa perlu kerja keras adalah istilah favorit mereka berdua.
Sedari kecil, ibuku sangat bangga dengan semua talenta yang dimiliki oleh kakak dan adikku. Sampai-sampai ibuku lupa bahwa dia juga memiliki aku sebagai anak kandungnya.
Masih begitu terpatri dalam ingatkanku, kejadian-kejadian sewaktu kami semua masih di Sekolah Dasar. Saat itu kami menghadari acara ulang tahun salah seorang rekan kerja ayahku, di salah satu hotel megah dan mewah. Karena ayahku saat itu mempunyai keperluan lain, ayah berangkat ke acara terlebih dahulu.
Ayah berpesan pada ibu, agar kami semua menyusul saja ke tempat acara. Ayah akan menunggu kami di sana. Dan sepanjang hari itu, aku dan kedua saudariku sangat gembira. Jarang-jarang kami mendapat undangan di tempat mewah seperti acara ini. Dalam benak kami, akan ada kue-kue cantik yang lezat, namun sayang untuk dimakan. Kami bertiga memang cenderung tidak tega memakan kue yang bentuknya indah-indah. Kasihan kuenya bukan?
Waktu yang dinanti akhirnya tiba juga. Dengan memakai pakaian-pakaian terbaik yang kami miliki, ibu membawa kami bertiga ke tempat acara. Maddie memakai gaun princess berwarna merah muda yang cantik. Rok tulenya yang mengembang sempurna, membuat kakakku itu bagaikan seorang putri. Begitu juga dengan Reen. Gaun biru muda melambainya, membuat adikku itu seperti Cinderella. Gaun Cinderella berwarna biru bukan?
Sementara aku menggunakan gaun yang entah apa sebutan warnanya. Kalau disebut putih, tidak juga karena ada kuning-kuningnya. Tapi kalau disebut kuning, ya tidak bisa juga. Karena dasarnya gaun ini berwarna putih. Namun karena kelamaan disimpan di lemari gaun ini berubah warna menjadi kekuningan. Ya, gaunku adalah gaun bekas Maddie yang sudah tidak muat lagi. Sudah menggantung sebetis jika dikenakan olehnya. Makanya gaun ini diberikan kepadaku. Sebenarnya aku sedikit sesak napas juga mengenakan gaun ini karena kesempitan. Tetapi karena hanya tersisa satu gaun itu yang layak pakai, makanya aku memaksakan diri memakainya. Karena aku sangat ingin ikut ke acara.
Ketika kami tiba di lokasi acara, ibu menggandeng tangan Maddie dan Reen di sepanjang koridor hotel, menuju aula tempat acara diadakan. Dan seperti biasa, aku tetap berjalan dalam diam, di belakang mereka bertiga. Sebenarnya aku merasa iri dan ingin digandeng juga. Tetapi tangan ibu hanya dua. Jadi pasti tidak cukup untuk menggandengku juga.
Di sepanjang koridor hotel aku mendengar celotehan riang kakak dan adikku. Mereka menanyakan hal ini dan itu, sembari menunjuk segala dekorasi di sepanjang koridor hotel. Ibuku dengan sabar menjawab pertanyaan mereka satu persatu. Sesekali ibuku tertawa bila pertanyaan kakak dan adikku terasa lucu olehnya. Pemandangan ini sudah biasa aku saksikan setiap hari. Ibuku sangat menyayangi kakak dan adikku.
Ketika aku ikut menanyakan mengapa karpet yang lalui sepanjang jalan berwarna merah, ibu mengabaikannya. Ibu seolah-olah tidak mendengar pertanyaanku. Padahal suaraku sudah cukup keras. Tidak puas, aku menarik tangan ibuku. Mencoba meraih perhatiannya. Ibu malah menepis tanganku dan memarahiku. Ibu mengatakan agar aku jangan banyak bertanya dan jangan nakal. Padahal aku hanya bertanya satu kali. Sementara kakak dan adikku memborong semua pertanyaan. Dengan apa boleh buat, aku kembali diam dan mengikuti langkah mereka bertiga dari belakang.
Sembari berjalan, aku memperhatikan gerak-gerik anggun ibuku. Ibuku, adalah ibu yang paling sempurna di dunia. Ibu itu cantik, lembut, pintar sekaligus sangat cekatan. Untuk kategori seorang ibu idaman, mungkin ibuku adalah juaranya. Ibuku adalah ibu impian bagi semua anak, kecuali bagiku. Untukku, ibu rasanya begitu sulit untuk kugapai. Aku sendiri bingung. Mengapa rasa-rasanya ibu sangat tidak mencintaiku.
Sesampai di aula, ruangan telah ramai oleh tamu-tamu yang sebagian besar pernah kulihat. Mereka adalah rekan-rekan kerja ayah. Beberapa di antara bapak-bapak dan ibu-ibu berpakaian bagus itu, sebagian besar pernah datang ke rumah menjumpai ayah. Makanya aku mengenali beberapa di antaranya.
Di saat kami semua sedang mengagumi meriahnya acara, seorang ibu-ibu cantik berkebaya merah muda menghampiri kami bertiga.
"Lho, istri Pak Teddy ini ya?" tanya ibu-ibu cantik itu pada ibu. Sepertinya ibu itu mengenal ayahku. Ibu segera menyalami ibu-ibu cantik itu sembari tersenyum ramah.
"Benar, Bu. Kenalkan, saya Marissa. Seperti yang Ibu katakan tadi, saya adalah istri Pak Teddy," tukas ibuku ramah.
"Saya, Hera. Rekan kerja Pak Teddy," Bu Hera menyambut uluran tangan ibuku.
"Oh iya, ngomong-ngomong dari mana Bu Hera tahu kalau saya adalah istri Pak Teddy?" tanya ibuku.
"Oh, saya pernah melihat photo Bu Rissa dan anak-anak Ibu di ruangan Pak Teddy. Ngomong-ngomong panggil saja saya Hera. Dipanggil Ibu, kok saya jadi mendadak merasa tua," imbuh Bu Hera sembari tertawa.
"Oh begitu toh. Baiklah, kita saling memanggil nama saja ya, biar kita sama-sama merasa muda?" Ibuku tertawa. Dengarlah tawa renyah ibuku. Sangat enak didengar bukan? Renyah dan lembut.
"Oh ya, Hera. Kenalkan ini anak-anakku. Madeline, Marilyn dan Maureen. Ayo anak-anak, salim dulu pada Bu Hera," ucap ibuku ramah.
Dengan patuh kami bertiga menyalami Bu Hera. Saat kakak dan adikku berbisik dan mengatakan kalau Bu Hera cantik seperti artis, aku menggeleng keras. Aku tidak setuju dengan pendapat mereka berdua. Bagiku, ibu tetap yang paling cantik. Titik.
"Anak-anakmu cantik-cantik semua ya, Riss? Kamu ngidam apa sih pas hamilnya? Ngemilin photo artis-artis cantik ya? Hehehe."
Ibu cantik yang bernama Hera itu menjawil pipi Maddie dan Reen dengan gemas. Aku tidak kebagian dijawil, karena aku sudah berdiri di samping ibu. Jarang-jarang aku bisa berdekatan seperti ini pada ibu. Karena biasanya, sisi kanan dan kiri ibu selalu dihuni oleh kakak dan adikku.
"Ah, biasa sajalah, Ra. Kamu terlalu berlebihan," bantah ibu. Namun aku melihat ibu memandang kakak dan adikku dengan tatapan bangga. Sesungguhnya ibuku setuju dengan kalimat Bu Hera.
"Ngomong-ngomong anak-anakmu sekolah di mana, Riss? Mereka berani dan cerdas. Khas anak-anak yang diedukasi dengan baik," puji Bu Hera lagi. Senyum ibu kembali mengembang mendengar pujian dari Bu Hera.
"Di Sutomo, Her. Biar dekat dari rumah."
"Duh, sekolah di sana mahal banget ya, Riss? Mana tempat anak-anak orang kaya semua lagi. Banyak anak-anak pejabat yang bersekolah di sana ya?" imbuh Bu Hera.
"Mahal banget, Ra. Kalau harus membayar penuh juga kayaknya kami tidak mampu. Untungnya Maddie dan Reen bea siswa," tukas ibu bangga.
"Maddie juga aktif ikut olimpiade matematika dan Maureen rajin ikut pentas seni siswa. Piala dan trophy-trophy mereka berjejer di rumah."
Ibu tampak sangat antusias saat menceritakan tentang prestasi Maddie dan Reen. Sedari tadi ibu sedikitpun tidak menyinggung, apalagi menyertakan tentang kegiatanku di sekolah. Selalu begitu. Di mata ibu, aku ini hanyalah seorang anak yang tidak kasat mata. Mungkin karena aku adalah anak yang biasa-biasa saja. Tidak ada satu hal pun didiriku, yang pantas untuk ibuku banggakan.
Pembicaraan selanjutnya tentu saja tentang segudang prestasi-prestasi kakak dan adikku yang lain. Yang ditimpali oleh Bu Hera dengan menceritakan tentang prestasi anak-anaknya juga.
Perlahan aku menyingkir ke sudut ruangan. Aku duduk diam dan memperhatikan kakak dan adikku yang berlarian ke sana ke mari dengan anak-anak yang lain. Kedua saudariku itu memang pandai sekali bersosialisasi. Tidak minderan sepertiku. Sejurus kemudian, ibuku memanggil kami bertiga. Obrolan ibu dengan Bu Hera telah usai.
Ibu menghela lengan kakak dan adikku kembali menuju meja prasmanan. Sementara aku dengan setia mengekor di belakang. Dengan perasaan cemburu aku memandangi langkah kakak dan adikku yang digandeng oleh ibu. Aku sedih. Entah kapan aku bisa menggantikan posisi kakak atau adikku, agar bisa digandeng oleh ibu.
Dulu, aku pernah protes pada ibu. Aku mengatakan bahwa aku juga ingin di gandeng saat berjalan, seperti ibu yang selalu menggandeng tangan kakak dan adikku. Dan ibu menjawab kalau tangan ibu itu cuma dua. Satu dipakai untuk menggandeng kakakku dan yang satu lagi untuk menggandeng adikku. Jadi bagaimana ibu bisa menggandengku juga? Setelah mengatakan hal itu, ibuku berlalu begitu saja sembari menggandeng kakak dan adikku.
Aku yang bersedih, biasanya akan langsung berlari mencari ayah. Karena ayah selalu bilang, kalau ibu sedang sibuk mengurus kedua saudaramu, datanglah pada ayah. Ayah akan mengajakmu bermain seharian, bahkan sampai mataharinya tidur.
Seperti biasa juga, aku pasti akan mengangguk dan menyembunyikan tangis di dada ayah. Karena walau bagaimanapun, sesungguhnya aku juga ingin disayang oleh ibu. Aku ingin bermanja-manja pada ibu seperti kedua saudariku. Terlepas dari semua itu, aku ingin dicintai oleh Ibu seperti halnya dengan dua saudariku yang lain. Aku bukan iri pada saudara sendiri. Aku hanya ingin diperlakukan sama. 'Kan aku juga anak kandungnya?
Walaupun waktu itu usiaku masih delapan tahun, tapi aku bisa melihat tatapan kesedihan dan rasa bersalah di mata ayah, setiap kali ia menatapku. Hanya saja aku tidak tahu, apa penyebab ayah selalu terlihat begitu sedih setiap kali aku mengadu.
Tapi satu yang pasti, ayahku adalah segalanya bagiku. Walaupun ibu tidak begitu mengganggap keberadaanku, tetapi ayahku selalu menjadikanku sebagai pusat dunianya. Kata ayah, aku adalah mataharinya dan sumber segala kebahagiannya. Ayahku bilang, apapun yang membuatku bahagia, maka ayah sepuluh kali lebih bahagia. Sepuluh kali! Sepuluh kali itu banyak sekali bukan? Itulah hal yang menjadikanku kuat dari hari ke hari. Ayahku mencintaiku. Titik.
14 tahun kemudian."Lyn, coba kamu ambilkan sepatu kakak yang berwarna putih dan blazer hitam yang kamu setrika kemarin. Cepat sedikit ya, Lyn? Chris sebentar lagi akan sampai."Teriakan Maddie sukses memutus lamunan masa kecilku. Saat ini, kakakku tengah sarapan di dapur. Sebentar lagi pacarnya akan menjemput. Makanya Maddie sarapan dengan terburu-buru. Christian Diwangkara, pacar Maddie, memang paling anti jika disuruh menunggu."Iya, Kak. Sebentar Lyn cari dulu."Aku segera berlari ke lantai atas. Kamar Maddie memang terletak di lantai dua. Aku segera menyambar blazer hitam dari lemari, dan meraih sepatu dari rak. Aku meletakkan blazer di tempat tidur agar mudah terlihat, dan sepatu di samping pintu kamar, agar mudah terlihat. Aku menyelesaikan titah Maddie secepat mungkin, sebelum ia mengomeliku panjang pendek. Setelahnya aku kembali berlari ke dapur. Aku masih harus mencuci peralatan dapur yang kotor.Tin...
Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB tepat, saat aku menghempaskan pinggul di kursi kerjaku. Napasku masih tersengal-sengal dengan bulir-bulir keringat yang masih menempel di dahi. Tidak heran, karena pagi-pagi aku sudah melakukan lari sprint pagi. Aku nyaris saja terlambat. Untuk itu aku berlari kencang saat abang gojek tiba di kantor.Baru saja bermaksud duduk dan beristirahat, telingaku mendengar suara ribut-ribut di counter sales depan. Sepertinya akan keributan di sana. Aku mempercepat langkah. Ingin mengetahui masalah apa yang sudah melanda pagi-pagi begini."Kan sudah bilang berkali-kali, jangan kalian menagih cicilan motor ini ke rumahku. Biar saya saja yang menyetor cicilan ke sini. Kau ini mengerti tidak Bahasa Indonesia hah?"Kulihat ada seorang bapak-bapak paruh baya yang mengamuk di counter pembayaran kendaraan bermotor. Aku segera menghampiri kerumunan itu. Kulihat mata Mbak Tan
Pukul tujuh lewat lima belas menit. Aku mendengar bell rumah berbunyi. Serentak aku melihat ibu berikut Maddie dan Reen berjalan menuju ke ruang tamu. Sepertinya tamu yang merek tunggu-tunggu telah datang.Sembari mencuci peralatan masak, aku melirik Maddie yang tampil sangat cantik dan canggih. Ya, canggih adalah kata yg tepat buat gaya berpakaiannya. Semua didirinya seolah-olah meneriakkan kata mahal.Sementara Reen yang membuntuti Maddie, terlihat manis dan cerdas dibalik kacamata minusnya. Aura kakak dan adikku memang luar biasa. Mereka canggih dan berkelas. Berbeda denganku yang menurut mereka menang tampang hibah dari sononya saja.Setelah memandangi kakak dan adikku yang rapi, aku memandang diriku sendiri. Aku meninggalkan cucian dan memeriksa tampilanku di wastafel. Aku meringis melihat penampakan rambut acak-acakan dan wajah berminyakku. Aku masih memakai daster batik adem dan rambut di cepol yang sebagian
"Di mana kamu Lyn?"Aku mendengar suara ibu memanggilku, diiringi dengan suara langkah-langkah kakinya yang berderap menuju ke arah dapur.Aku mendorong tubuh Albert, dan berlari ke dapur. Dengan cepat aku memposisikan tubuh di bak cuci piring dengan wajah yang berubah-ubah antara memerah dan memucat. Aku ingin memberi kesan pada ibu, kalau aku masih mencuci piring.Jantung ku masih berdebar-debar hebat mengingat apa yang telah di lakukan Albert di pintu belakang rumahku. Laki-laki itu telah mencuri ciuman pertamaku!"Lyn di sini, Bu. Sedang... sedang mencuci pi—pi piring," jawabku tergagap. Dari sudut mata sekilas aku melihat Albert telah masuk ke toilet belakang."Ya, sudah. Kamu beres-beres saja di belakang. Tidak usah hilir mudik ke sana ke mari seperti setrikaan. Lagi pula kamu juga belum mandi dan berantakan sekali. Bikin malu Ibu saja." Ibu mengomeliku
Tettt... tettt... tett...Bunyi bell terdengar tepat pada saat aku akan memakai sepatu. Hari ini Mbak Tania akan mengajakku ke pembukaan cafe milik temannya.Di kantor cuma Mbak Tania ininlah orang yang benar-bebar tulus ingin berteman denganku. Yang lain-lain cuma baik kalau ada maunya saja. Selebihnya mereka malah lebih suka menggosipkan hal yang tidak-tidak di belakangku.Ceklek! Onde mande, bukan Mbak Tania rupanya. Tetapi Chris, pacar Maddie. Aku menepuk dahiku sendiri, Aku lupa kalau malam ini Maddie akan diundang dinner di rumah calon mertuanya."Kenapa kamu memukul-mukul dahimu sendiri? Kamu terpesona melihat ketampanan luar biasa saya?" ucap Chris datar. Aku mengerutkan kening. Bagaimana bisa seseorang bermaksud bercanda, tetapi dengan air muka yang datar seperti itu. Tidak sinkron sama sekali. Lagi pula Chris ini biasanya sangat irit dalam berbicara. Rasanya aneh saja melihatnya tiba-tiba m
Suasana diruang tamu ini terasa begitu panas. Aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu bersama Chris, sudah disambut oleh caci maki oleh Maddie. Kakakku itu terus saja menangis histeris, sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Memaki-makiku dan Chris tanpa jeda. Aku kebingungan karena menjadi tertuduh, padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Sementara Chris, ia hanya diam seribu bahasa dengan bibir membantuk satu garis lurus. Wajah datarnya tidak menunjukkan reaksi apapun. Wajahnya sedatar tembok.Aku melirik ke arah ibuku. Wajah ibu sudah berubah menjadi ungu saking marahnya. Sedangkan kedua orang tua Chris duduk diam, dan masih tampak shock melihat situasi ini. Dan inilah yang paling aku takutkan. Wajah ayah yang nampak begitu kecewa. Aku tidak takut dimusuhi seluruh dunia, asal jangan ayah! Karena dihidupku hanya ayahlah yang aku punya. Kata Ayah juga ikut membenciku, itu artinya aku tidak diinginkan oleh siapa-siapa lagi bukan?Chr
"Lepas- hemmptt! Aku merasa bibir Chris mulai melahap bibirku ganas. Mengulumnya dan memagutnya dengan buas. Aku terengah-engah ketakutan. Sepertinya Chris sedang frustasi dan ingin melampiaskannya kepadaku."Buka mulutmu, sayang. Biar saya berikan apa yang sebenarnya sangat kamu inginkan."Aku tergagap. Ini bukan, Chris. Kemarahan sepertinya telah menumpulkan akal sehatnya. Ketika Chris kembali mencoba untuk membuka mulutku, aku bertahan. Aku berusaha menutup mulutnya rapat-rapat di antara air mata ketakutan yang terus berderaian.Tiba-tiba aku merasakan tangannya masuk ke dalam kaos tank topku dan merenggut pakaian dalamku dengan sekali sentak. Karena terkejut aku langsung berteriak. Dan saat itulah Chris memasukkan lidahnya dan membelit lidahku.Aku menangis ketakutan. Namun aku tidak bisa mengeluarkan suara. Chris menutup bibirku dengan bibirnya sendiri. Aku makin ketakutan. Sekujur
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku didekap erat dalam dada bidangnya. Samar-samar aku mencium campuran antara aroma tembakau dan parfum yang bersumber dari tubuh kekarnya. Aku mendorong dadanya. Namun Albert tetap mempertahankan dekapannya.Suara langkah-langkah kaki yang terdengar menuju dapur, membuatkan makin kuat mendorong. Albert melepaskanku begitu saja. Aku pun dengan segera melanjutkan kegiatan mencuci piring-piring kotor. Rasanya degup jantungku masih belum berdetak normal. Wajahku juga masih terasa begitu panas."Ngapain kamu berada di sini, Al?" Ternyata Maddie yang datang. Maddie menjungkitkan alisnya yang rapi ke atas, begitu melihat Albert berduaan denganku di bak cuci piring ini."Kenapa? Masalah buat kamu?" Albert malah balik bertanya sambil memainkan gelas minumnya. Tampak sekali kalau ia malas menanggapi pertanyaan Maddie alih-alih menjawabnya."Bukan begitu, Al. Jamu dip
"Ssstt... tidurlah sayang. Tidak akan terjadi apa-apa. Saya akan menjagamu. Saya akan selalu menjagamu..."Aku membuka mataku perlahan. Ah mimpi itu datang lagi. Suara bariton yang berulang kali memanggilku sayang. Siapa dia? Benarkah itu, Eldath?Mendadak aku merasakan lenganku dijalari rasa hangat. Pandanganku jatuh pada sosok gagah Chris yang tertidur dengan posisi duduk di samping bedku. Ia tertidur dalam posisi menggenggam erat tanganku.Untuk pertama kalinya aku bisa menatapi wajahnya sedekat ini. Rahangnya yang kokoh, alis mata yang tebal, hidung yang sangat mancung, terlebih lagi bulu-bulu yang bertebaran di rahangnya. Chris sungguh tampan dan sangat manly."Sudah puas menatapi wajah saya ?" Aku kaget saat tiba-tiba Chris membuka matanya. Aku malu sekali karena ketahuan memandangi wajahnya."Suka dengan yang kamu lihat?" Lagi-lagi Chris membuatku tidak bisa berbicara. Tetapi berbohong
Author POVMaddie mulai menyusun barang bawaan sekaligus pakaian dalam untuk Marilyn. Si tuan posesif Chris berulang-ulang kali mengingatkannya bahwa adiknya itu hanya dibalut jas dan selimut, sewaktu dibawa ke rumah sakit, tanpa dalaman sama sekali.Rasanya tidak puas-puasnya dia memaki Albert dalam hati. Ia nyaris tidak percaya, seorang Albert Tjandrawinata yang merupakan incaran para wanita abad ini, bisa melakukan hal keji seperti itu pada adiknya.Ia semakin kesal bila teringat akan kebodohannya hingga sampai mencelakakan adiknya sendiri,ndemi ingin memiliki tangkapan abad ini. Ya itu adalah julukan untuk Albert dari teman-teman kalangan jet setnya.Tapi adiknya itu selain cantiknya warbiasah, lugunya juga nauzubillah. Perpaduan seperti inilah yang membuatnya gampang dimanipulasi oleh orang-orang yang memiliki niat terselubung terhadapnya. Ia tahu, saat pertama kali Albert datang ke rumah untuk
"Syukurlah saya belum terlambat untuk menyelamatkanmu. Terima kasih Tuhan! Terima kasih!Kamu tidak apa-apa, sayang?mana yang sakit? Beritahu saya, sayang?"Sebenarnya aku ingin sekali menjawab pertanyaan yang terdengar penuh dengan kecemasan itu. Tapi entah kenapa lidahku terasa kelu. Tubuhku pun tidak bisa aku gerakkan. Aku ingin sekali melihat wajah pemilik suara bariton itu. Entah mengapa mendengar suara itu, aku jadi merasa aman dan... dicintai. Perasaan asing itu menyelinap diam-diam di sudut hatiku. Aku ingin selamanya dicintai seperti itu.Perlahan aku mulai membuka mata. Rasa pusing seketika berdentam-dentam di kepalaku. Aku ada di mana ini? Dominasi warna putih dan aroma obat-obatan khas rumah sakit mulai mengganggu penciumanku. Aku merasa dejavu. Aku seperti pernah merasakan tempat ini dan suasana seperti ini di waktu lalu."Kamu sudah sadar, Lyn?bagaimana perasaanmu?"Aku merasakan sebuah
Author POVChris sedang mengendarai porsche hitamnya dengan mengebut. Dia janji bertemu dengan client pada pukul 20.00 WIB di Hotel Hilton. Dan sekarang sudah pukul delapan malam kurang dua puluh menit. Kalau ia tidak mengebut, sepertinya ia akan terlambat dari janji pertemuan yang sudah susah-susah dijadwalkan oleh sekretarisnya.Karena mereka semua adalah orang-orang sibuk. Jadi untuk bisa duduk bersama dalam waktu yang bersamaan harus benar-benar dijadwalkan. Kalau saja tadi dia tidak menemui orang tua Maddie untuk secara resmi membatalkan pernikahan mereka, pasti ia akan bisa tiba tepat waktu.Drrtt... drtt... drrtt...Layar ponselnya menampilkan nama Marilyn. Tumben. Ada apa setan cantik itu menelepon. Setelah tahu bahwa Marilyn tidak bersalah dalam insiden di apartemennya, ia telah mengganti nama panggilan Marilyn dari setan kecil menjadi setan cantik. Ya, tentu saja itu semua hanya ter
Akhirnya setelah melalui perdebatan yang alot yang melibatkan team creative dan si nenek sihir, Plan B lah konsep yang kami ajukan. Dan ternyata akhirnya di approve juga oleh Bu Astuti.Kami menggunakan tema classic romantic sebagai back groundnya. Penerangan yang di buat temaram, bunga mawar merah di setiap sudut-sudut pilar, dan bermacam-macam bingkisan untuk bertukar kado. Intinya kami sukses menyulap tempat ini sesuai dengan apa yang kami harapkan. Tidak percuma aku bolak balik dari toko ke toko untuk mencari ornament-ornament dan pernak pernik yang menarik. Team kami ingin agar hasil project kami tampil maksimal, karena boss besar kami kabarnya akan datang. Dan aku, anak baru yang masih bisa dikategorikan anak bawang, tentu saja mensupport dari belakang.Aku menyanggul rambutku dan menggunakan gaun berwarna peach. Gaunku ini sangat simple dan hanya sebuah pita besar yang menghiasi pinggangku. Aku juga merias wajahku senatural mungkin. Make up yang te
"Direject lagi ya, Lyn konsep kita sama nenek sihir itu?" Putra dan Bayu, dua dua rekan kerja aku aku menyusul duduk di depan kubikelku. Nenek sihir yang mereka maksud adalah Bu Astuti, atasan kami semua.Aku mengangguk lesu seraya mengantuk-antukkan kepalaku yang sedang pusing tujuh keliling ke meja kubikel. Ruang kerjaku yang memang kecil, jadi terasa makin sempit dengan hadirnya Putra dan Bayu yang memang memiliki tubuh tinggi besar."Menurut Bu Astuti, konsep kita itu terlalu mainstream. Makanya kita disuruh mencari ide-ide yang lebih fresh, khas anak muda zaman now," keluhku."Lah dia aja product anak muda zaman old, mengingat status kejombloannya diusia empat puluh lima, pake segala ngebahas konsep zaman now segala. Paling juga itu nenek sihir nggak ngerti soal konsep kekinian. Doi cuma sok-sokan gaul aja biar disangka up to date."Putra memang paling lemes mulutnya di antara kami bertiga. Bila
Author POVTing! Lift terhenti diangka tujuh. Chris mulai menekan kombinasi angka password apartemennya. Kepalanya serasa mau pecah. Hari ini ia telah memecat beberapa karyawan kepercayaannya.Rupanya selama ini mereka telah membelot ke perusahaan kompetitor. Pantas saja akhir-akhir ini beberapa kali perusahaannya kalah tender sementara, draft proposal telah begitu teliti dikerjakan oleh team worknya. Rupanya tikus-tikus kecil itu telah membocorkan strategi penawarannya.Baru saja dia ingin masuk ke pantry karena haus, ia mendengar suara-suara orang yang sedang berbicara. Dia makin menajamkan pendengarannya di balik pintu penghubung, sejak mendengar nama Marilyn turut disebut-sebut."Selamat ya, Non. Akhirnya si Enon bisa juga nikah sama Den Chris. Kalau emang ujung-ujungnya si Enon bisa bersatu juga sama Aden, buat apa dulu kita susah-susah ngejebak adek Enon sama Den Chris? Padahal ya, Non. Bibik mah udah
Seminggu kemudianAkhirnya Aku kembali ke Jakarta. Setelah mempertimbangkan matang-matang nasehat ayah, finally aku mulai mencoba untuk menata kembali hidupku. Aku tidak mungkin seumur hidup menjadi pecundang dengan melarikan diri dari semua masalah. Lagipula dulu aku melarikan diri karena sebenarnya aku tidak mau menikah dengan Chris.Apalagi dasar pernikahan kami adalah karena terjebak dalam situasi yang salah. Bayangan aku harus hidup bersama dengan orang terus menerus menuduhku menjebaknya untuk menikahiku, membuat kepalaku memunculkan adegan-adegan mengerikan dan ketidakbahagiaan seumur hidupku.Saat biasanya seorang suami memanggil istrinya dengan berbagai panggilan sayang seperti bunda, honey, baby, sayang. Bayangkan saja Chris selalu memanggilku dengan panggilan setan kecil.Dan waktu selama empat tahun pun tidak mengubah sifat kakunya sama sekali. Tata bahasanya yang baku, minus perasa
Author POVBelum sempat Tian menjawab pertanyaan Chris, ada seorang wanita cantik berambut panjang berlari dari kejauhan dan langsung memeluk Tian. Chris bahkan bisa menebaknya walaupun hanya melihat bagian belakang tubuhnya.Yah wanita itu adalah Marilyn. Marilyn remaja dulu adalah seorang gadis yang sangat cantik, saking cantiknya sampai nyaris seperti tidak nyata.Setiap dia berada dalam suatu ruangan, maka sudah bisa dipastikan hampir semua kepala akan berputar melihatnya, minimal memandangnya dua kali. Baik itu secara terang-terangan ataupun dengan cara mencuri-curi pandang.Pria memandangnya karena kagum dan wanita memandangnya karena iri. Dan yang lebih membuat kecantikannya bersinar adalah karena dia sama sekali tidak menyadari kecantikannya.Ditambah lagi sikap lugu dan sedikit naif yang dimilikinya membuat para pria diluar sana sangat terobsesi untuk memiliki dan melindunginya. Itu a