Suasana diruang tamu ini terasa begitu panas. Aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu bersama Chris, sudah disambut oleh caci maki oleh Maddie. Kakakku itu terus saja menangis histeris, sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Memaki-makiku dan Chris tanpa jeda. Aku kebingungan karena menjadi tertuduh, padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Sementara Chris, ia hanya diam seribu bahasa dengan bibir membantuk satu garis lurus. Wajah datarnya tidak menunjukkan reaksi apapun. Wajahnya sedatar tembok.
Aku melirik ke arah ibuku. Wajah ibu sudah berubah menjadi ungu saking marahnya. Sedangkan kedua orang tua Chris duduk diam, dan masih tampak shock melihat situasi ini. Dan inilah yang paling aku takutkan. Wajah ayah yang nampak begitu kecewa. Aku tidak takut dimusuhi seluruh dunia, asal jangan ayah! Karena dihidupku hanya ayahlah yang aku punya. Kata Ayah juga ikut membenciku, itu artinya aku tidak diinginkan oleh siapa-siapa lagi bukan?
Chris duduk di sofa panjang di hadapan Maddie. Kemudian Chris menggerakkan kepala. Memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya.
Aku menghitung sampai sepuluh dalam hati, sebelum akhirnya menjatuhkan pinggul dengan hati-hati di samping Chris. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai memberi penjelasan.
"Saya ingin menjelaskan tentang semua kesalahpahaman ini. Tadi sewaktu saya masih berada di kafe, saya menerima SMS dari Kak Maddie yang meminta saya untuk datang ke apartemen ini. Kak Maddie ingin saya merapikannya," terangku jujur.
"Pertama-tama saya heran. Karena Kak Maddie biasanya tidak pernah meng-SMS saya. Apalagi nomornya berbeda dari yang biasa. Saya kembali berpikir. Kak Maddie kan memang biasanya suka sekali meminta saya untuk merapikan kembali, apapun yang ia berantakkan. Makanya saya memutuskan untuk menuruti perintah Kak Maddie. Soalnya Kak Maddie biasanya suka mengamuk kalau saya tidak mematuhi perintahnya."
"Kamu jangan suka mengarang bebas ya, Lyn?" Maddie melotot.
"Diam dulu, Maddie. Biarkan adikmu bercerita." Aku menarik napas lega. Walau ayahku aku belum mau memandang wajahku, tetapi ayahku tetap mengizinkanku membela diri. Ayahku ini memang selalu bertindak adil.
"Nah, setibanya di sini, saya sempat kembali heran. Karena apartemen ini terlihat sangat bersih dan rapi. Saya pikir mungkin saja ruangan lain yang kotor. Saya melepas pakaian luar saya, supaya saya lebih leluasa untuk bekerja. Waktu itu saya pikir apartemen dalam keadaan kosong. Saat saya ke kamar, saya mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Saya kira, ada keran yang lupa dimatikan. Dan saya bermaksud untuk mematikannya. Tepat ketika saya ingin membuka pintu kamar mandi, Kak Chris tiba-tiba saja keluar dari dalam kamar mandi keadaan tidak berbusana. Itu saja yang bisa saya katakan." Aku menceritakan semuanya dengan jujur. Tanpa ada yang kutambah atau aku kurangi. Memang seperti itulah keadaan yang sebenarnya.
"Bohong! Pasti kamu mengarang cerita karena sudah ketahuan belangnya. Kamu ini ya, Lyn. Entah kenapa selalu saja suka merebut apapun yang Kakak punya. Selama ini kamu selalu saja memonopoli Ayah."
Kakak juga memonopoli ibu, batinku.
"Semua teman-teman pria yang Kakak suka, juga berusaha kamu rebut perhatiannya."
Dan aku juga tidak mengkhendaki itu semua!
"Rendra, Bayu, Teguh, Darren yang dulunya mendekati Kakak, setelah bertemu dengan kamu, akhirnya mereka semua malah berusaha mencari perhatianmu. Dan kini kamu mau merebut Chris dari Kakak? Mengapa kamu tidak mau mencari satu pacar yang tetap hah? Apa karena kamu memang takut kehilangan para pemujamu ya? Dasar adik tidak tahu diri!" Maddie apa saja berdiri dari sofa dan menjambak keras rambutku. Aku sampai terangkat dari sofa panjang karena kuatnya jambakan tangan Maddie pada rambut panjangku.
Maddie kemudian menghempaskanku ke lantai. Aku meringis kesakitan saat kurasakan Maddie kembali menjambak rambutku dengan sekuat tenaga. Aku hanya berusaha membela diri sebisaku. Kak Maddie sudah mirip dengan orang yang kerasukan setan.
Plakkk!
Aku mulai merasakan pipiku perih berikut rasa besi yang tercecap di mulutku. Tidak puasanya menjambak rambutku, kini Maddie juga menampar pipiku. Aku tahu, saat ini pasti bibirku sudah berdarah karena tamparan kerasnya.
"Sudah! Jangan bersikap seperti anak kecil yang menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan membabi buta. Semuanya bisa kita selesaikan secara baik-baik." Ayah menarik Maddie menjauhiku.
"Kamu Maddie duduk di sana." Ayah menunjuk sofa di samping ibu.
"Dan kamu Lyn, duduk di sini." Ayahku mendudukkanku di sampingnya. Aku duduk di samping Ayah dengan tangan yang tidak bisa berhenti gemetar. Aku kaget diserang tiba-tiba seperti itu oleh kakakku.
"Nah, Lyn. Sekarang jawab pertanyaan ayah, kalau memang kamu menerima SMS dari kakakmu. Mana bukti SMSnya?" Aku mengulurkan tangan. Meminta ponsel berisi SMS dari jakakku itu.
Tunggu sebentar ya ponselnya Lyn letakkan di tas." Aku segera meraih tas yang kuletakkan begitu saja di atas meja. Setelah keluarkan ponsel dari dalam aku memberikannya pada Ayah. Selanjutnya Ayah terlihat mengotak-atik ponselku. Aku memperhatikan dalam diam. Pipiku mulai terasa berdenyut-denyut dan pasti sebentar lagi akan membengkak.
Kulihat ada beberapa helai rambutku berserakan di lantai akibat tercabut karena jambakan Maddy. Aku sungguh-sungguh bingung, siapa yang mengirimkan SMS yang mengakibatkan semua kekacauan ini.
"Apa benar bukan kamu yang mengirimkan SMS ini, Maddie?" Setelah memeriksa ponsel beberapa waktu, ayahku mengajukan pertanyaan pada Maddie. Tatapan ayah sangat tajam. Seolah-olah ingin mengatakan jangan berani berbohong.
"Sudah dua belas tahun Maddie memakai nomor ponsel yang biasa, Yah. Tidak pernah sekalipun Maddie mengganti nomor. Buat apa coba Maddie mengirimkan SMS itu? Apa keuntungan yang Maddie dapat?
Sementara rencana pernikahan Maddie sudah di depan mata? Maddie merasa itu cuma akal-akalan Lyn saja untuk menutupi kebusukannya." Maddie masih keukueh menuduhku berbohong.
"Dasar keturunan jalang!" Ibu menyemburkan kemurkaannya kepadaku.
"Ibu, jangan sembarangan berbicara!" bentak ayah murka.
Keturunan jalang? Maksud Ibu itu apa? Bukankah aku anaknya? Berarti ibu mengatai dirinya sendiri jalang?
Dengan bingung aku bolak balik memandang antara ayah dan ibu.
"Maaf, Ibu terbawa emosi dan salah berbicara tadi." Ibu langsung meralat ucapannya sambil terus berjalan ke belakang. Seolah-olah ingin menghindar karena takut dimarahi oleh ayah.
"Oke, masalah ini kita anggap sebagai salahpahaman saja dan berakhir sampai di sini. Ada yang ingin kamu katakan Maddie?" Ayah menatap kami semua. Ayah memang selalu begitu. Dia selalu berusaha bersikap adil kepada ketiga anaknya.
"Apa konsekuensinya kalau ternyata Lyn berbohong dan memang berhubungan dengan Chris di belakang Maddie, Yah?" Maddie tampak berpikir dan menimbang-nimbang sesuatu.
"Kalau memang terjadi hal yang seperti itu, maka Chris harus menikahi Lyn, demi kebaikan semua pihak." Ayahku sudah menjatuhkan pilihan. Tetapi aku tidak takut. Aku kan memang sama sekali tidak bersalah. Aku bahkan tidak tahu apa-apa sebelum SMS sialan itu menyuruhku kemari.
"Baik, kalau begitu Maddie akan mengungkapkan kebenaran yang baru saja Maddie temukan ini. Ayo ke sini, Yah. Maddie ingin menunjukkan sesuatu pada Ayah."
Walau terlihat bingung, kulihat Ayah mengikuti Maddie yang berjalan cepat menuju ke arah dapur. Aku, Chris dan kedua orang tuanya, akhirnya mengikuti langkah kakak dan ayahku karena penasaran. Apa yang Maddie katakan tadi terdengar ambigu. Maddie berhenti ketika berada di tempat keranjang cucian kotor.
"Lihat ini, Yah! Ini adalah pakaian kerja yang selalu Lyn pakai. Dan juga ini! Ini adalah piyama yang sering sekali ia kenakan karena kainnya sudah tipis. Lyn bilang piyama ini enak dipakai tidur. Ingat kan, Yah? Dan wah! Ini adalah bra kesayanganmu 'kan, Lyn? Kenapa semua ada di sini? Ada dalam keranjang cucian kotor pula? Coba jawab, Lyn!"
Seketika aku terdiam. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti, mengapa ada beberapa pakaian kotorku di sini. Bahkan bra dan piyama dora emonku yang beberapa hari ini kucari-cari, ternyata ada di sini. Di apartemen ini. Apa sebenarnya yang terjadi? Pikiranku mendadak buntu dan kepalaku mulai berdenging. Aku bingung sebingung bingungnya.
"Lyn tidak tahu, Kak. Sebenarnya piyama ini sudah Lyn cari berhari-hari yang lalu. Lyn juga bingung kenapa malah ada di sini. Lyn nggak bohong Kak, Yah! Lyn mohon percayalah pada Lyn." Aku memohon-mohon agar mereka semua percaya kalau aku memang tidak tahu apa-apa.
"Kak Chris, coba katakan pada mereka bahwa semua ini nggak benar kan, Kak? Lyn tidak tahu kenapa semua bisa jadi seperti ini." Aku mengguncang-guncang lengan Chris saking bingungnya. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kulihat Chris menatap tajam wajahku sambil menghela napas kasar.
"Baik. Saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikahi Marilyn secepatnya." Chris yang sedari tadi diam akhirnya mulai bersuara juga. Tetapi apa yang disuarakannya itu membuat aku nyaris tidak percaya. Chris mengakui perbuatan yang sama sekali tidak kami lakukan!
"Kak Chris, Kakak sudah gila ya? Kita kan tidak ada hubungan apa-apa, Kak?Mengapa Kakak menjanjikan hal gila ini? Lyn tidak mau menikah dengan Kakak!"
Aku berteriak histeris dan berusaha menyangkal semua pernyataan Chris. Dengan menikahiku, berarti Chris mengakui adanya hubungan busuk di antara kami di belakang Maddie. Dan demi Tuhan, aku tidak rela dianggap sebagai perusak hubungan orang. Apalagi hubungan kakakku sendiri.
"Saya tunggu lamaran resmi kamu dan kedua orang tuamu di rumah kami secepatnya, Chris." Ayah menjawab datar. Dan itu artinya final! Aku ketakutan. Aku tidak mau menjadi kambing hitam di sini.
"Yah, ini semua cuma salah paham, Yah. Lyn mengatakan hal yang sebenarnya Yah. Percaya sama Lyn yah!" Aku berlutut di hadapan Ayahku sambil terus berusaha menjelaskan.
"Ayah tidak mau mendengar alibi apapun dari kalian berdua, kecuali masalah pernikahan. Ayo kita semua pulang ke rumah. Biarkan mereka berdua menyelesaikan masalah ini." Ayah menepis tanganku dan berjalan melewatiku begitu saja menuju pintu apartemen. Aku tergugu. Dihakimi semua orang tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.
Aku hanya bisa terdiam dengan air mata yang mengalir tanpa suara, melihat mereka semua meninggalkanku di tempat ini. Tempat yang masih sama sekali asing bagiku. Mereka menuduhku berselingkuh dengan Chris. Padahal aku belum juga sepuluh menit menginjakkan kakiku di apartemen ini.
Masih kudengar caci maki dan teriakan histeris Maddie di sepanjang jalan pintu keluar. Kudengar juga kata-kata menenangkan ibu dan usapan tangan ayah pada kepala kakakku. Lalu yang menenangkan aku siapa? Aku juga terluka dan bingung. Tetapi kenapa aku tidak menerima setitik pun penghiburan dari mereka semua? Aku hanya bisa menangis sesenggukan sendiri, tanpa menerima sedikitpun rasa simpati. Perih dan pedih sendiri. Selalu saja begini.
Setelah Semua orang pergi dan apartemen Hanya menyisakan kami berdua, aku kembali duduk di ruang tamu. Suasana di ruang tamu ini mendadak begitu mencekam setelah suasana panas tadi.
Takut-takut aku memandang Chris yang daritadi hanya diam membisu. Kecuali matanya yang menatapku dengan dingin dan penuh kebencian. Tangannya dari tadi kulihat mengepal seakan-akan ingin memukul sesuatu.
"Kak, aku..."
"Diam! Dan jangan coba-coba mengucapkan apapun itu yang saya tahu semua adalah kebohongan. Saya tidak tahu apa tujuan kamu mempermalukan saya seperti ini. Membuat saya seperti seorang pesakitan, tanpa saya bisa mendapatkan bukti untuk membela diri. Tapi saya bisa pastikan, kamu akan menyesal karena sudah coba-coba untuk mengusik hidup saya!" Chris terlihat memukul dinding di sampingnya. Buku-buku jarinya seketika luka-luka berdarah. Tetapi Chris seperti tidak merasakannya.
"Mengapa tadi Kakak tidak mau membela diri? Kakak malah berjanji mau menikahi saya? Bukankah itu sama saja dengan Kakak mengakui tuduhan Kak Maddie?" tanyaku geram. Mata Chris tiba-tiba menggelap. Dia langsung mencengkram rahangku dengan geram.
"Apa yang bisa saya bantah kalau semua bukti memberatkan saya? Kamu bilang datang karena di SMS. Sementara barang-barang pribadi kamu ada di keranjang cucian kotor saya? Coba pakai sedikit saja otakmu?" Geraham Chris saling beradu. Ia melepaskan wajahku. Sebagai gantinya ia menggebrak meja. Chris tampak begitu marah dan kecewa.
Aku maklum melihat kemarahan Chris ini. Christian Diwangkara adalah seorang sosok yang terkenal dingin, sopan dan kehidupannya begitu bersih dari kejahatan yang memalukan. Ia tidak pernah terlibat perkelahian, mabuk-mabukan di club ataupun bergonta-ganti pacar. Dia clean. Kini mendapati dirinya dituduh sebagai tukang selingkuh pasti sangat mencoreng harga dirinya.
Sekonyong-konyong Chris berjalan. Tatap matanya terlihat penuh dendam.
"Baiklah, setelah saya pikir-pikir tidak ada ruginya juga saya ikuti permainan kamu. Kepalang basah, mending mandi saja sekalian," desisnya geram. Chris menatapku tajam dan mulai melangkah mendekatiku.
"Kakak mau ngapain?" Setiap Chris maju selangkah, aku mundur selangkah. Sampai akhirnya aku merasakan punggungku membentur dinding ruang tamu.
Aku berdiri mematung sementara Chris mengurung tubuhku dengan kedua lengan kekarnya.
"Jangan macam-macam, Kak. Atau aku akan berteriak." Aku menatapnya dengan sorot mata ketakutan. Gentar melihat tekad kuat di antara mata kecewanya.
"Coba saja!" tantangnya sembari mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Lepas- hemmptt! Aku merasa bibir Chris mulai melahap bibirku ganas. Mengulumnya dan memagutnya dengan buas. Aku terengah-engah ketakutan. Sepertinya Chris sedang frustasi dan ingin melampiaskannya kepadaku."Buka mulutmu, sayang. Biar saya berikan apa yang sebenarnya sangat kamu inginkan."Aku tergagap. Ini bukan, Chris. Kemarahan sepertinya telah menumpulkan akal sehatnya. Ketika Chris kembali mencoba untuk membuka mulutku, aku bertahan. Aku berusaha menutup mulutnya rapat-rapat di antara air mata ketakutan yang terus berderaian.Tiba-tiba aku merasakan tangannya masuk ke dalam kaos tank topku dan merenggut pakaian dalamku dengan sekali sentak. Karena terkejut aku langsung berteriak. Dan saat itulah Chris memasukkan lidahnya dan membelit lidahku.Aku menangis ketakutan. Namun aku tidak bisa mengeluarkan suara. Chris menutup bibirku dengan bibirnya sendiri. Aku makin ketakutan. Sekujur
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku didekap erat dalam dada bidangnya. Samar-samar aku mencium campuran antara aroma tembakau dan parfum yang bersumber dari tubuh kekarnya. Aku mendorong dadanya. Namun Albert tetap mempertahankan dekapannya.Suara langkah-langkah kaki yang terdengar menuju dapur, membuatkan makin kuat mendorong. Albert melepaskanku begitu saja. Aku pun dengan segera melanjutkan kegiatan mencuci piring-piring kotor. Rasanya degup jantungku masih belum berdetak normal. Wajahku juga masih terasa begitu panas."Ngapain kamu berada di sini, Al?" Ternyata Maddie yang datang. Maddie menjungkitkan alisnya yang rapi ke atas, begitu melihat Albert berduaan denganku di bak cuci piring ini."Kenapa? Masalah buat kamu?" Albert malah balik bertanya sambil memainkan gelas minumnya. Tampak sekali kalau ia malas menanggapi pertanyaan Maddie alih-alih menjawabnya."Bukan begitu, Al. Jamu dip
Suara pintu yang dibanting terasa begitu menakutkan di telingaku. Tidak lama berselang aku didudukan paksa di sudut ranjang. Aku kadang bingung dengan sikap Chris ini. Kadang dingin kadang panas. Moodnya sudah seperti dispenser saja."Jelaskan!"Aku menelan salivaku sendiri. Aku bingung mau jujur atau berbohong saja. Karena prediksiku ternyata salah besar. Aku berpikir Chris akan senang karena batal menikah denganku. Tetapi ini kulihat ia seperti orang yang kebakaran jenggot hanya karena aku mau dilamar orang."Saya menunggu, Lyn. Mau sampai kapan kamu diam?" sentak Chris lagi.Aku berhitung satu sampai sepuluh di dalam hati. Sambil mencoba menenangkan perasaanku sendiri."Waktu mereka sekeluarga datang ke rumah, saya bahkan sama sekali tidak memperkenalkan diri Kak. Saya cuma membantu menghidangkan makanan dan kue-kue kecil saja. Saya bahkan belum mandi dan berpenampilan seperti
Dalam waktu sepuluh menit aku telah berganti dua mobil. Tadi dengan Eldath. Dan sekarang dengan Chris. Suasana juga sama heningnya. Jika dalam mobile Eldath tadi hening karena si pengemudi memang irit berbicara. Dalam mobil ini hening karena si pengemudi marah padanya. Sebenarnya aku ingin berbicara, tapi sedari tadi aku tidak menemukan topik yang tepat."Lain kali jangan coba-coba untuk meninggalkan saya sebelum saya mengizinkan. Paham?" Aku melihat tangannya mencengkram setir begitu kuat,seolah-olah ingin meremukkannya.Satu kebiasaannya yang kutahu, apabila dia sedang dalam mood yang jelek dia akan memijit-mijit keningnya. Belum sempat aku mengiyakan ucapannya, ponselku berdering lagi."Iya Ly, ada apa lagi?" Aku menutup sebelah telingaku agar bisa mendengar suara Lily yang bercampur dengan dentuman musik."Gue lagi di club ini. Besok lo jangan nggak dateng ya?Karena besok malam minggu. Dan you kn
Sebenarnya aku agak-agak bingung dengan sikap Eldath akhir-akhir ini. Ia pernah beberapa kali mengantarkanku pulang dari club, padahal aku sudah berulang kali menolaknya.Aku takut nanti Chris salah paham dan mengira kalau aku berniat untuk menggoda adiknya. Tapi lagi-lagi Eldath beralasan bahwa ia akan menjagaku selama sebulan ini, karena Chris sedang berada di Singapura untuk merintis cabang baru salah satu bisnisnya di sana.Eldath beralasan kalau ia sudah menganggapku seperti kakaknya sendiri. Walau aku heran juga. Kakak dari mana, secara usia Eldath hanya berpaut dua tahun di bawah Chris. Yang artinya usia Eldath adalah delapan tahun di atasku.Selama sebulan ini aku hidup bagaikan di zaman romusha saja. Pulang kantor langsung menyiapkan makan malam, kemudian berangkat kerja ke club. Pulang bekerja pukul dua belas malam. Dan tiba di rumah pukul satu dini hari. Aku bangun jam lima pagi. Menyiapkan sarapan dan berangk
Aku memejamkan mata dan memundurkan sandaran seat mobil Chris. Entah mengapa akhir-akhir ini kepalaku sering sekali terasa pusing. Selera makanku juga menurun drastis. Setiap pagi aku kerap mual-mual, hingga tidak bisa mengkonsumsi apapun. Sarapan pagi ku selalu berakhir di closet kamar mandi. Tubuhku rasanya letih dan lesu."Kamu kenapa lesu begitu Lyn? Capek?" Chris menaikkan persneling ke posisi D saat melihatku terus saja memejamkan kata. Kami berdua baru saja selesai melakukan photo pre wedding, setelah aku terus menerus berusaha menunda-nundanya. Aku sudah kehabisan akal untuk membatalkan pernikahan ini. Di rumah Maddie kerap menyindir dan mengata-ngataiku. Ia menyebutku penghianat, yang senang tertawa di atas penderitaan orang lain. Selama hampir dua bulan ini, aku selalu menjadi bulan-bulanan di rumah. Hingga aku tidak betah berada di rumah aku sendiri.Tinggal sebulan lagi, aku akan resmi menjadi istri Chris. Kakakku makin emosi saj
Aku membuka mataku perlahan. Di mana aku ini? Pandanganku mulai mengitari sekeliling.Melihat ruangan yang serba putih dan bau khas obat-obatan. Ditambah infus di lengan kiriku, aku sudah tahu bahwa aku pasti sedang berada di rumah sakit saat ini. Aku teringat akan kekacauan di rumah. Di mana aku terus diserang dari berbagai sisi. Dan sepertinya aku pingsan karena tidak kuat menahan serangan.Aku melihat semua orang-orang yang tadi ada di rumah semuanya malah berpindah ke sini. Aku mengeluh dalam hati. Tidak bisakah mereka membiarkan aku beristirahat sejenak di sini? Bahkan sampai di rumah sakit pun mereka masih begitu beringas ingin menyakitiku."Huekkk...huekkk..."Tiba-tiba saja aku merasa ingin muntah. Chris langsung menempatkan wadah untuk menampung muntahanku.Tetapi karena perutku yang memang kosong, hanya air dan rasa asam saja yang keluar dari perutku. Aku melihat Chris menekan bell. Pasti dia ingi
Empat tahun kemudianAkhir tahun seperti ini adalah masa-masa tersibuk bagi kami, para pekerja di tempat wisata. Terlebih lagi aku yang bekerja di taman bermain destinasinya orang-orang satu kota Medan. Ya, kini aku bekerja di Disney Holiday.Taman hiburan terbesar di Sumatera Utara. Kami juga memiliki Hotel dan Resort sendiri. Dan hotel mewah bintang lima kami ini saat ini tengah kebanjiran wisatawan, baik yang domestik maupun dari luar negeri.Kini aku tinggal di kota Berastagi, Sumatera Utara. Aku sangat menyukai tempat ini. Suasana sejuknya kota Berastagi seperti menyerupai Puncaknya Jakarta. Tinggal di daerah pegunungan dan tempat wisata seperti ini, membuat suasana seakan-akan setiap hari kita tengah liburan. Selain itu kesibukanku sebagai manager di hotel ini telah menyita hampir seluruh waktuku.Empat tahun sudah aku menetap di kota ini. Melahirkan putra tampanku yang kuberi nama Christian Diwangkara Junio
"Ssstt... tidurlah sayang. Tidak akan terjadi apa-apa. Saya akan menjagamu. Saya akan selalu menjagamu..."Aku membuka mataku perlahan. Ah mimpi itu datang lagi. Suara bariton yang berulang kali memanggilku sayang. Siapa dia? Benarkah itu, Eldath?Mendadak aku merasakan lenganku dijalari rasa hangat. Pandanganku jatuh pada sosok gagah Chris yang tertidur dengan posisi duduk di samping bedku. Ia tertidur dalam posisi menggenggam erat tanganku.Untuk pertama kalinya aku bisa menatapi wajahnya sedekat ini. Rahangnya yang kokoh, alis mata yang tebal, hidung yang sangat mancung, terlebih lagi bulu-bulu yang bertebaran di rahangnya. Chris sungguh tampan dan sangat manly."Sudah puas menatapi wajah saya ?" Aku kaget saat tiba-tiba Chris membuka matanya. Aku malu sekali karena ketahuan memandangi wajahnya."Suka dengan yang kamu lihat?" Lagi-lagi Chris membuatku tidak bisa berbicara. Tetapi berbohong
Author POVMaddie mulai menyusun barang bawaan sekaligus pakaian dalam untuk Marilyn. Si tuan posesif Chris berulang-ulang kali mengingatkannya bahwa adiknya itu hanya dibalut jas dan selimut, sewaktu dibawa ke rumah sakit, tanpa dalaman sama sekali.Rasanya tidak puas-puasnya dia memaki Albert dalam hati. Ia nyaris tidak percaya, seorang Albert Tjandrawinata yang merupakan incaran para wanita abad ini, bisa melakukan hal keji seperti itu pada adiknya.Ia semakin kesal bila teringat akan kebodohannya hingga sampai mencelakakan adiknya sendiri,ndemi ingin memiliki tangkapan abad ini. Ya itu adalah julukan untuk Albert dari teman-teman kalangan jet setnya.Tapi adiknya itu selain cantiknya warbiasah, lugunya juga nauzubillah. Perpaduan seperti inilah yang membuatnya gampang dimanipulasi oleh orang-orang yang memiliki niat terselubung terhadapnya. Ia tahu, saat pertama kali Albert datang ke rumah untuk
"Syukurlah saya belum terlambat untuk menyelamatkanmu. Terima kasih Tuhan! Terima kasih!Kamu tidak apa-apa, sayang?mana yang sakit? Beritahu saya, sayang?"Sebenarnya aku ingin sekali menjawab pertanyaan yang terdengar penuh dengan kecemasan itu. Tapi entah kenapa lidahku terasa kelu. Tubuhku pun tidak bisa aku gerakkan. Aku ingin sekali melihat wajah pemilik suara bariton itu. Entah mengapa mendengar suara itu, aku jadi merasa aman dan... dicintai. Perasaan asing itu menyelinap diam-diam di sudut hatiku. Aku ingin selamanya dicintai seperti itu.Perlahan aku mulai membuka mata. Rasa pusing seketika berdentam-dentam di kepalaku. Aku ada di mana ini? Dominasi warna putih dan aroma obat-obatan khas rumah sakit mulai mengganggu penciumanku. Aku merasa dejavu. Aku seperti pernah merasakan tempat ini dan suasana seperti ini di waktu lalu."Kamu sudah sadar, Lyn?bagaimana perasaanmu?"Aku merasakan sebuah
Author POVChris sedang mengendarai porsche hitamnya dengan mengebut. Dia janji bertemu dengan client pada pukul 20.00 WIB di Hotel Hilton. Dan sekarang sudah pukul delapan malam kurang dua puluh menit. Kalau ia tidak mengebut, sepertinya ia akan terlambat dari janji pertemuan yang sudah susah-susah dijadwalkan oleh sekretarisnya.Karena mereka semua adalah orang-orang sibuk. Jadi untuk bisa duduk bersama dalam waktu yang bersamaan harus benar-benar dijadwalkan. Kalau saja tadi dia tidak menemui orang tua Maddie untuk secara resmi membatalkan pernikahan mereka, pasti ia akan bisa tiba tepat waktu.Drrtt... drtt... drrtt...Layar ponselnya menampilkan nama Marilyn. Tumben. Ada apa setan cantik itu menelepon. Setelah tahu bahwa Marilyn tidak bersalah dalam insiden di apartemennya, ia telah mengganti nama panggilan Marilyn dari setan kecil menjadi setan cantik. Ya, tentu saja itu semua hanya ter
Akhirnya setelah melalui perdebatan yang alot yang melibatkan team creative dan si nenek sihir, Plan B lah konsep yang kami ajukan. Dan ternyata akhirnya di approve juga oleh Bu Astuti.Kami menggunakan tema classic romantic sebagai back groundnya. Penerangan yang di buat temaram, bunga mawar merah di setiap sudut-sudut pilar, dan bermacam-macam bingkisan untuk bertukar kado. Intinya kami sukses menyulap tempat ini sesuai dengan apa yang kami harapkan. Tidak percuma aku bolak balik dari toko ke toko untuk mencari ornament-ornament dan pernak pernik yang menarik. Team kami ingin agar hasil project kami tampil maksimal, karena boss besar kami kabarnya akan datang. Dan aku, anak baru yang masih bisa dikategorikan anak bawang, tentu saja mensupport dari belakang.Aku menyanggul rambutku dan menggunakan gaun berwarna peach. Gaunku ini sangat simple dan hanya sebuah pita besar yang menghiasi pinggangku. Aku juga merias wajahku senatural mungkin. Make up yang te
"Direject lagi ya, Lyn konsep kita sama nenek sihir itu?" Putra dan Bayu, dua dua rekan kerja aku aku menyusul duduk di depan kubikelku. Nenek sihir yang mereka maksud adalah Bu Astuti, atasan kami semua.Aku mengangguk lesu seraya mengantuk-antukkan kepalaku yang sedang pusing tujuh keliling ke meja kubikel. Ruang kerjaku yang memang kecil, jadi terasa makin sempit dengan hadirnya Putra dan Bayu yang memang memiliki tubuh tinggi besar."Menurut Bu Astuti, konsep kita itu terlalu mainstream. Makanya kita disuruh mencari ide-ide yang lebih fresh, khas anak muda zaman now," keluhku."Lah dia aja product anak muda zaman old, mengingat status kejombloannya diusia empat puluh lima, pake segala ngebahas konsep zaman now segala. Paling juga itu nenek sihir nggak ngerti soal konsep kekinian. Doi cuma sok-sokan gaul aja biar disangka up to date."Putra memang paling lemes mulutnya di antara kami bertiga. Bila
Author POVTing! Lift terhenti diangka tujuh. Chris mulai menekan kombinasi angka password apartemennya. Kepalanya serasa mau pecah. Hari ini ia telah memecat beberapa karyawan kepercayaannya.Rupanya selama ini mereka telah membelot ke perusahaan kompetitor. Pantas saja akhir-akhir ini beberapa kali perusahaannya kalah tender sementara, draft proposal telah begitu teliti dikerjakan oleh team worknya. Rupanya tikus-tikus kecil itu telah membocorkan strategi penawarannya.Baru saja dia ingin masuk ke pantry karena haus, ia mendengar suara-suara orang yang sedang berbicara. Dia makin menajamkan pendengarannya di balik pintu penghubung, sejak mendengar nama Marilyn turut disebut-sebut."Selamat ya, Non. Akhirnya si Enon bisa juga nikah sama Den Chris. Kalau emang ujung-ujungnya si Enon bisa bersatu juga sama Aden, buat apa dulu kita susah-susah ngejebak adek Enon sama Den Chris? Padahal ya, Non. Bibik mah udah
Seminggu kemudianAkhirnya Aku kembali ke Jakarta. Setelah mempertimbangkan matang-matang nasehat ayah, finally aku mulai mencoba untuk menata kembali hidupku. Aku tidak mungkin seumur hidup menjadi pecundang dengan melarikan diri dari semua masalah. Lagipula dulu aku melarikan diri karena sebenarnya aku tidak mau menikah dengan Chris.Apalagi dasar pernikahan kami adalah karena terjebak dalam situasi yang salah. Bayangan aku harus hidup bersama dengan orang terus menerus menuduhku menjebaknya untuk menikahiku, membuat kepalaku memunculkan adegan-adegan mengerikan dan ketidakbahagiaan seumur hidupku.Saat biasanya seorang suami memanggil istrinya dengan berbagai panggilan sayang seperti bunda, honey, baby, sayang. Bayangkan saja Chris selalu memanggilku dengan panggilan setan kecil.Dan waktu selama empat tahun pun tidak mengubah sifat kakunya sama sekali. Tata bahasanya yang baku, minus perasa
Author POVBelum sempat Tian menjawab pertanyaan Chris, ada seorang wanita cantik berambut panjang berlari dari kejauhan dan langsung memeluk Tian. Chris bahkan bisa menebaknya walaupun hanya melihat bagian belakang tubuhnya.Yah wanita itu adalah Marilyn. Marilyn remaja dulu adalah seorang gadis yang sangat cantik, saking cantiknya sampai nyaris seperti tidak nyata.Setiap dia berada dalam suatu ruangan, maka sudah bisa dipastikan hampir semua kepala akan berputar melihatnya, minimal memandangnya dua kali. Baik itu secara terang-terangan ataupun dengan cara mencuri-curi pandang.Pria memandangnya karena kagum dan wanita memandangnya karena iri. Dan yang lebih membuat kecantikannya bersinar adalah karena dia sama sekali tidak menyadari kecantikannya.Ditambah lagi sikap lugu dan sedikit naif yang dimilikinya membuat para pria diluar sana sangat terobsesi untuk memiliki dan melindunginya. Itu a