"Lyn, coba kamu ambilkan sepatu kakak yang berwarna putih dan blazer hitam yang kamu setrika kemarin. Cepat sedikit ya, Lyn? Chris sebentar lagi akan sampai."
Teriakan Maddie sukses memutus lamunan masa kecilku. Saat ini, kakakku tengah sarapan di dapur. Sebentar lagi pacarnya akan menjemput. Makanya Maddie sarapan dengan terburu-buru. Christian Diwangkara, pacar Maddie, memang paling anti jika disuruh menunggu.
"Iya, Kak. Sebentar Lyn cari dulu."
Aku segera berlari ke lantai atas. Kamar Maddie memang terletak di lantai dua. Aku segera menyambar blazer hitam dari lemari, dan meraih sepatu dari rak. Aku meletakkan blazer di tempat tidur agar mudah terlihat, dan sepatu di samping pintu kamar, agar mudah terlihat. Aku menyelesaikan titah Maddie secepat mungkin, sebelum ia mengomeliku panjang pendek. Setelahnya aku kembali berlari ke dapur. Aku masih harus mencuci peralatan dapur yang kotor.
Tin... Tin... Tin...
"Duh, si Chris sudah sampai lagi. Kakak malah belum apa-apa," Maddie kelabakan. Ia menghentikan sarapan dan meneguk segelas jus jeruk. Setelahnya ia bersiap naik ke lantai atas. Namun sekonyong-konyong Maddie menghentikan gerakannya. Ia seperti teringat sesuatu.
"Lyn, kamu temui dulu si Chris sebentar ya? Suruh dia masuk dulu. Bilang kalau Kakak sebentar lagi akan turun."
Maddie bergerak menuju tangga. Bersiap naik ke lantai dua. Baru berjalan beberapa undakan, Maddie berbalik. Sepertinya ada hal lain yang ia lupakan.
"Kamu buatkan Chris kopi ya, Lyn? Biar dia betah nungguin kakak. Cepat ya Lyn? Tidak pakai lama!" perintah Maddie lagi. Tanpa menunggu jawabanku, Maddie sudah berlari ke lantai atas.
Aku melongo memandang diri sendiri. Saat ini aku hanya berkaos oblong sepaha dengan rambut yang dicepol asal. Apa pantas penampilan acak kadul begini menemui CEO PT Biru Mitra Wahana Sukses? Jangan-jangan Chris nanti akan terkena serangan jantung pagi-pagi. Karena ia mengira bertemu dengan dedemit berambut singa di pagi hari. Tetapi titah Maddie tetap harus diutamakan. Kalau tidak aku pasti akan ingin mendapat masalah dari si nona besar.
Setelah menarik napas panjang dua kali, aku memberanikan diri berjalan ke ruang tamu. Saat langkahku mencapai ruang tamu, Chris sudah duduk ganteng di sofa depan. Chris memang sudah terbiasa keluar masuk rumah ini. Jadi tidak heran kalau ia tiba-tiba sudah duduk saja, padahal belum dipersilahkan. Tamu rasa tuan rumah sepertinya.
"Selamat pagi, Om. Kata Kak Maddie, Om disuruh tunggu dulu sebentar. Soalnya Kak Maddie belum selesai dandan. Om mau saya buatkan kopi atau tidak?" tanyaku sopan.
Selama berbicara, aku terus menundukkan wajah. Ini adalah gesture favoritku. Aku memang tidak nyaman bila harus bersitatap dengan lawan bicara. Aku sangat introvert dan pemalu. Lebih tepatnya tidak percaya diri. Sekitar tiga menit menunggu dan aku tidak mendengar jawaban apapun dari Chris, membuatku terpaksa mengangkat wajah.
Deg!
Aku refleks melipat kedua tangan ke dada, saat menyadari ke arah mana pandangan Chris berlabuh. Aku baru ingat kalau aku sedang tidak memakai penutup dada. Aku memang mempunyai kebiasaan tidak memakai penutup dada saat tidur, karena alasan kesehatan dan kenyamanan. Akibatnya saat ini bayangan bagian atas dadaku tampak jelas. Kaos tidurku memang tipis karena sering dicuci kering pakai. Pipiku terasa menghangat. Sepertinya sedari tadi Chris sudah memandangnya tanpa kusadari.
Karena aku memandangnya, mata kami berdua saling bersirobok. Chris segera mengalihkan pandangannya dari bawah leherku ke arah wajah. Aku melihatnya menarik napas terlebih dahulu sebelum berujar datar.
"Satu, saya ini bukan om kamu. Saya tidak pernah merasa menikah dengan tantemu."
Ya memang. Aku 'kan memang tidak punya tante.
"Kedua, usia saya baru tiga puluh lima tahun. Jadi jangan memanggil saya dengan sebutan om. Karena saya ini pacar kakakmu, bukan om kamu."
Ya iyalah. Omku memang tidak semuda ini.
"Tiga, jangan pernah menemui pria, kapan pun dan di mana pun dengan pakaian seperti ini. Khususnya no bra, kalau kamu memang tidak bermaksud untuk menggodanya. Jelas!" celetuk Chris pedas.
Aku terdiam. Chris ini seenaknya saja mengumpatiku pagi-pagi. Aku bingung. Chris ini kesal karena Maddie belum selesai berdandan, atau karena aku memanggilnya om ya? Membingungkan.
"Maaf, nomor empatnya, saya pinjam dulu ya, Om eh, Kak Chris. Pertanyaan saya singkat saja. Kak Chris masih mau tidak kopinya?" tanyaku serius. Jujur, aku sering pusing kalau mendengar seseorang berbicara panjang kali lebar, padahal tujuannya sama juga. Mubazir kata bukan?
Hening lagi. Takut-takut aku melirik Chris. Entah hanya perasaanku saja, tapi aku melihat wajah Chris semakin lama semakin kusut saja dari menit ke menit.
"Ganti baju dulu sana, sebelum kamu membawakan kopi untuk saya."
Akhirnya Chris bersuara juga. Merepotkan sekali orang ini. Ingin minum secangkir kopi saja, aku harus berdandan dulu. Padahal kenikmatan rasa kopinya tidak akan berubah kalau aku tidak mengganti pakaian bukan? Tetapi aku ikuti saja perintahnya, agar urusanku di sini cepat selesai.
Aku berjalan ke arah kamar dulu untuk memakai penutup dada, baru ke dapur. Aku membuat secangkir kopi dan meletakkan setoples kue kering, untuk teman minum kopi Chris. Setelahnya, baru aku berjalan ke ruang tamu. Ekor mata Chris langsung menyambarku, saat aku meletakkan baki dan kue di atas meja. Aku merasa risih kembali. Chris menatapku menyeluruh walau hanya dengan ujung mata.
"Kenapa kamu tidak mengganti baju?" ucap Chris datar.
"Kan tadi Kak Chris bilang jangan no bra. Makanya saya sekarang memakai bra. Salah lagi ya?" tanyaku sabar. Orang sabar pahalanya besar bukan?
"Kalau masalah mengganti baju, buat apa juga saya harus menggantinya, Kak? Kan saya tidak ikut kalian pergi? Kak Maddie tidak mengajakku kok," imbuhku lagi.
Chris tidak lagi menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, dan kembali memijat-mijat kepalanya. Aku mengerti sekarang. Mungkin Chris marah-marah terus karena ia sedang sakit kepala. Soalnya ia sendiri juga seperti itu. Kalau sedang sakit kepala, ia juga rasanya ingin marah-marah saja.
"Sudahlah kamu masuk saja ke dalam, dan panggil kakakmu agar cepat menyelesaikan urusannya. Lama-lama saya bisa stroke kalau terus menerus berbicara dengan kamu di sini."
Aku mengangguk takzim berjalan ke belakang. Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku mencuci piring dan setelahnya mandi. Aku takut Chris akan terkena stroke sungguhan. Tidak lucu kalau niatnya ingin makan malam, tapi mampirnya malah ke UGD bukan? Kasihan kakakku juga. Karena sudah berdandan paripurna, tetapi hanya bisa memamerkan kecantikannya di rumah sakit saja. Not worth it. Kalau meminjam istilah kakakku.
Sebenarnya Chris ini sudah hampir setahun menjadi pacar kakakku. Ini adalah rekor terlama bagi Maddie dalam mempertahankan pacar. Karena biasanya kakakku itu selalu berganti pacar dalam hitungan bulan, bahkan minggu.
Kalau menurut Reen, adik bungsuku, Maddie bertahan karena Chrislah yang paling kaya di antara pacar-pacar Maddie yang lain. Chris mampu memenuhi gaya hidup ala sosialita kakakku. Namun dalam kurun waktu setahun itu, aku jarang sekali berinteraksi dengan Chris. Aku lebih suka mengurung diri di kamar apabila pacar kakakku itu datang.
Aku ingat, pertama sekali Chris datang adalah pada saat ia mengantarkan Maddie yang mabuk berat pulang. Pada waktu itu kantornya mengadakan party besar-besaran, karena perusahaan mereka memenangkan beberapa tender raksasa. Dan Chris adalah salah satu owner perusahaannya.
Saat kejadian itu, aku juga mengenakan busana yang sama. Yaitu kaos sepaha dan no bra karena sudah dalam keadaan separuh bermimpi. Bayangkan saja kakakku pulang pada pukul dua pagi.
Waktu itu Chris memapah Maddie yang sempoyongan sambil memandangiku tajam."Kamu gadis muda, jangan pernah membuka pintu dengan pakaian seperti itu, kalau kamu tidak ingin mengundang orang jahat."
Dan Chris masih terus mengomeliku tentang tata cara berbusana yang baik dan benar, sambil terus memapah Maddie ke sofa.
Aku yang kala itu masih separuh bingung antara sadar dan tidak sadar, masih berupaya mengumpulkan nyawa yang bercerai berai di alam mimpi. Pada saat itu aku cuma bisa menggangguk patuh. Padahal aku nyaris tidak mendengarkan apapun yang dikatakannya.
"Saya pulang dulu. Oh ya, kenalkan Saya Christian Diwangkara pimpinan saudarimu di kantor.
Kamu pasti adiknya kan? Wajah kalian mirip, walau pun kamu tampak sangat berbeda karakter dengan kakakmu. Kunci pintu ini setelah saya pulang." Katanya seraya berlalu dan mengunci sendiri pintu pagar.Aku cukup lama terdiam. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu perasaan yang nyaman merasuk di hatiku saat dia secara refleks mengelus kepalaku. Aku adalah orang yang sangat haus kasih sayang. Sebuah pelukan dan ucapan sayang adalah kelemahan terbesarku.
Karena biasanya aku luluh dengan dua hal sederhana itu. Tetapi jangan berharap aku luluh bila diberi harta ataupun pujian yang berlebihan. Karena itu justru membuat aku muak dan merasa dianggap sebagai perempuan materialitis.
"Sudah kamu buatkan minuman untuk Chris, Lyn?" Teriakan Maddie dari lantai atas memutus lamunanku.
"Sudah, Kak," jawabku balas berteriak keras. Tidak lagi terdengar perintah-perintah. Berarti Maddie puas dengan pekerjaanku. Setelah pekerjaan di dapur selesai, aku naik ke lantai dua. Aku harus membersihkan diri dan bersiap-siap ke kantor.
Dua puluh menit kemudian aku telah selesai mandi dan berpakaian rapi. Aku bahkan telah memesan ojek online untuk mengantarku bekerja. Sementara Maddie sepertinya belum selesai berdandan. Karena aku mendengar Maddie mengomel diikuti dengan suara barang-barang yang berjatuhan. Aku menghela napas. Begitu Maddie kalau sedang panik karena dikejar waktu. Gerubukan tidak jelas karena sibuk tidak menentu.
Sejurus kemudian, aku menerima notifikasi kalau ojek online yang kupesan telah tiba di depan rumah. Aku langsung berlari menuruni tangga dan mengenakan sepatu dengan tergesa.
"Aduh!"
Aku nyaris tersandung kaki Chris yg terjulur di dekat sofa."Kalau jalan pakai mata. Kaki sepanjang ini pun tidak kamu lihat. Entah apa saja yang ada di dalam otak kecilmu itu."
Kulihat sambil membaca koran Chris sempat-sempatnya menyindirku. Sialan!
"Kalau jalan pakai mata, ya tidak sampai-sampai ketujuan dong, Om. Kalau jalan pakai kaki, itu baru benar." Sahutku sembari memangginya om kembali agar ia kesal. Kedudukan satu sama sekarang.
"Ngomong apa kamu?"
"Tidak ada siaran ulangan, Kak Chris. Makanya kalau mendengar itu gunakan telinga. Bukan mulut," ejekku iseng. Setelahnya aku terdiam. Kenapa aku jadi seberani ini ya?
Aneh, dengan Chris yang nota bene adalah orang lain, aku berani membela diri dan menjawab sesukaku. Padahal biasanya aku adalah seorang pengalah yang pasrah. Pertanda apakah ini?
Tidak... tidak... tidak! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku berkali-kali. Ingat dia itu pacar kakakmu. Orang yang pasti di luar jangkauanmu. Aku ini cuma ibarat butiran debu di kakinya.
Ok stop it! Waktunya berjibaku dengan masalah lain yang tak kalah peliknya di kantor. Para konsumen dan boss besarku.
Hallo matahari pagi, coba bagikan sedikit sinar keberuntunganmu hari ini padaku ya? Aaminnn.
Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB tepat, saat aku menghempaskan pinggul di kursi kerjaku. Napasku masih tersengal-sengal dengan bulir-bulir keringat yang masih menempel di dahi. Tidak heran, karena pagi-pagi aku sudah melakukan lari sprint pagi. Aku nyaris saja terlambat. Untuk itu aku berlari kencang saat abang gojek tiba di kantor.Baru saja bermaksud duduk dan beristirahat, telingaku mendengar suara ribut-ribut di counter sales depan. Sepertinya akan keributan di sana. Aku mempercepat langkah. Ingin mengetahui masalah apa yang sudah melanda pagi-pagi begini."Kan sudah bilang berkali-kali, jangan kalian menagih cicilan motor ini ke rumahku. Biar saya saja yang menyetor cicilan ke sini. Kau ini mengerti tidak Bahasa Indonesia hah?"Kulihat ada seorang bapak-bapak paruh baya yang mengamuk di counter pembayaran kendaraan bermotor. Aku segera menghampiri kerumunan itu. Kulihat mata Mbak Tan
Pukul tujuh lewat lima belas menit. Aku mendengar bell rumah berbunyi. Serentak aku melihat ibu berikut Maddie dan Reen berjalan menuju ke ruang tamu. Sepertinya tamu yang merek tunggu-tunggu telah datang.Sembari mencuci peralatan masak, aku melirik Maddie yang tampil sangat cantik dan canggih. Ya, canggih adalah kata yg tepat buat gaya berpakaiannya. Semua didirinya seolah-olah meneriakkan kata mahal.Sementara Reen yang membuntuti Maddie, terlihat manis dan cerdas dibalik kacamata minusnya. Aura kakak dan adikku memang luar biasa. Mereka canggih dan berkelas. Berbeda denganku yang menurut mereka menang tampang hibah dari sononya saja.Setelah memandangi kakak dan adikku yang rapi, aku memandang diriku sendiri. Aku meninggalkan cucian dan memeriksa tampilanku di wastafel. Aku meringis melihat penampakan rambut acak-acakan dan wajah berminyakku. Aku masih memakai daster batik adem dan rambut di cepol yang sebagian
"Di mana kamu Lyn?"Aku mendengar suara ibu memanggilku, diiringi dengan suara langkah-langkah kakinya yang berderap menuju ke arah dapur.Aku mendorong tubuh Albert, dan berlari ke dapur. Dengan cepat aku memposisikan tubuh di bak cuci piring dengan wajah yang berubah-ubah antara memerah dan memucat. Aku ingin memberi kesan pada ibu, kalau aku masih mencuci piring.Jantung ku masih berdebar-debar hebat mengingat apa yang telah di lakukan Albert di pintu belakang rumahku. Laki-laki itu telah mencuri ciuman pertamaku!"Lyn di sini, Bu. Sedang... sedang mencuci pi—pi piring," jawabku tergagap. Dari sudut mata sekilas aku melihat Albert telah masuk ke toilet belakang."Ya, sudah. Kamu beres-beres saja di belakang. Tidak usah hilir mudik ke sana ke mari seperti setrikaan. Lagi pula kamu juga belum mandi dan berantakan sekali. Bikin malu Ibu saja." Ibu mengomeliku
Tettt... tettt... tett...Bunyi bell terdengar tepat pada saat aku akan memakai sepatu. Hari ini Mbak Tania akan mengajakku ke pembukaan cafe milik temannya.Di kantor cuma Mbak Tania ininlah orang yang benar-bebar tulus ingin berteman denganku. Yang lain-lain cuma baik kalau ada maunya saja. Selebihnya mereka malah lebih suka menggosipkan hal yang tidak-tidak di belakangku.Ceklek! Onde mande, bukan Mbak Tania rupanya. Tetapi Chris, pacar Maddie. Aku menepuk dahiku sendiri, Aku lupa kalau malam ini Maddie akan diundang dinner di rumah calon mertuanya."Kenapa kamu memukul-mukul dahimu sendiri? Kamu terpesona melihat ketampanan luar biasa saya?" ucap Chris datar. Aku mengerutkan kening. Bagaimana bisa seseorang bermaksud bercanda, tetapi dengan air muka yang datar seperti itu. Tidak sinkron sama sekali. Lagi pula Chris ini biasanya sangat irit dalam berbicara. Rasanya aneh saja melihatnya tiba-tiba m
Suasana diruang tamu ini terasa begitu panas. Aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu bersama Chris, sudah disambut oleh caci maki oleh Maddie. Kakakku itu terus saja menangis histeris, sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Memaki-makiku dan Chris tanpa jeda. Aku kebingungan karena menjadi tertuduh, padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Sementara Chris, ia hanya diam seribu bahasa dengan bibir membantuk satu garis lurus. Wajah datarnya tidak menunjukkan reaksi apapun. Wajahnya sedatar tembok.Aku melirik ke arah ibuku. Wajah ibu sudah berubah menjadi ungu saking marahnya. Sedangkan kedua orang tua Chris duduk diam, dan masih tampak shock melihat situasi ini. Dan inilah yang paling aku takutkan. Wajah ayah yang nampak begitu kecewa. Aku tidak takut dimusuhi seluruh dunia, asal jangan ayah! Karena dihidupku hanya ayahlah yang aku punya. Kata Ayah juga ikut membenciku, itu artinya aku tidak diinginkan oleh siapa-siapa lagi bukan?Chr
"Lepas- hemmptt! Aku merasa bibir Chris mulai melahap bibirku ganas. Mengulumnya dan memagutnya dengan buas. Aku terengah-engah ketakutan. Sepertinya Chris sedang frustasi dan ingin melampiaskannya kepadaku."Buka mulutmu, sayang. Biar saya berikan apa yang sebenarnya sangat kamu inginkan."Aku tergagap. Ini bukan, Chris. Kemarahan sepertinya telah menumpulkan akal sehatnya. Ketika Chris kembali mencoba untuk membuka mulutku, aku bertahan. Aku berusaha menutup mulutnya rapat-rapat di antara air mata ketakutan yang terus berderaian.Tiba-tiba aku merasakan tangannya masuk ke dalam kaos tank topku dan merenggut pakaian dalamku dengan sekali sentak. Karena terkejut aku langsung berteriak. Dan saat itulah Chris memasukkan lidahnya dan membelit lidahku.Aku menangis ketakutan. Namun aku tidak bisa mengeluarkan suara. Chris menutup bibirku dengan bibirnya sendiri. Aku makin ketakutan. Sekujur
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku didekap erat dalam dada bidangnya. Samar-samar aku mencium campuran antara aroma tembakau dan parfum yang bersumber dari tubuh kekarnya. Aku mendorong dadanya. Namun Albert tetap mempertahankan dekapannya.Suara langkah-langkah kaki yang terdengar menuju dapur, membuatkan makin kuat mendorong. Albert melepaskanku begitu saja. Aku pun dengan segera melanjutkan kegiatan mencuci piring-piring kotor. Rasanya degup jantungku masih belum berdetak normal. Wajahku juga masih terasa begitu panas."Ngapain kamu berada di sini, Al?" Ternyata Maddie yang datang. Maddie menjungkitkan alisnya yang rapi ke atas, begitu melihat Albert berduaan denganku di bak cuci piring ini."Kenapa? Masalah buat kamu?" Albert malah balik bertanya sambil memainkan gelas minumnya. Tampak sekali kalau ia malas menanggapi pertanyaan Maddie alih-alih menjawabnya."Bukan begitu, Al. Jamu dip
Suara pintu yang dibanting terasa begitu menakutkan di telingaku. Tidak lama berselang aku didudukan paksa di sudut ranjang. Aku kadang bingung dengan sikap Chris ini. Kadang dingin kadang panas. Moodnya sudah seperti dispenser saja."Jelaskan!"Aku menelan salivaku sendiri. Aku bingung mau jujur atau berbohong saja. Karena prediksiku ternyata salah besar. Aku berpikir Chris akan senang karena batal menikah denganku. Tetapi ini kulihat ia seperti orang yang kebakaran jenggot hanya karena aku mau dilamar orang."Saya menunggu, Lyn. Mau sampai kapan kamu diam?" sentak Chris lagi.Aku berhitung satu sampai sepuluh di dalam hati. Sambil mencoba menenangkan perasaanku sendiri."Waktu mereka sekeluarga datang ke rumah, saya bahkan sama sekali tidak memperkenalkan diri Kak. Saya cuma membantu menghidangkan makanan dan kue-kue kecil saja. Saya bahkan belum mandi dan berpenampilan seperti
"Ssstt... tidurlah sayang. Tidak akan terjadi apa-apa. Saya akan menjagamu. Saya akan selalu menjagamu..."Aku membuka mataku perlahan. Ah mimpi itu datang lagi. Suara bariton yang berulang kali memanggilku sayang. Siapa dia? Benarkah itu, Eldath?Mendadak aku merasakan lenganku dijalari rasa hangat. Pandanganku jatuh pada sosok gagah Chris yang tertidur dengan posisi duduk di samping bedku. Ia tertidur dalam posisi menggenggam erat tanganku.Untuk pertama kalinya aku bisa menatapi wajahnya sedekat ini. Rahangnya yang kokoh, alis mata yang tebal, hidung yang sangat mancung, terlebih lagi bulu-bulu yang bertebaran di rahangnya. Chris sungguh tampan dan sangat manly."Sudah puas menatapi wajah saya ?" Aku kaget saat tiba-tiba Chris membuka matanya. Aku malu sekali karena ketahuan memandangi wajahnya."Suka dengan yang kamu lihat?" Lagi-lagi Chris membuatku tidak bisa berbicara. Tetapi berbohong
Author POVMaddie mulai menyusun barang bawaan sekaligus pakaian dalam untuk Marilyn. Si tuan posesif Chris berulang-ulang kali mengingatkannya bahwa adiknya itu hanya dibalut jas dan selimut, sewaktu dibawa ke rumah sakit, tanpa dalaman sama sekali.Rasanya tidak puas-puasnya dia memaki Albert dalam hati. Ia nyaris tidak percaya, seorang Albert Tjandrawinata yang merupakan incaran para wanita abad ini, bisa melakukan hal keji seperti itu pada adiknya.Ia semakin kesal bila teringat akan kebodohannya hingga sampai mencelakakan adiknya sendiri,ndemi ingin memiliki tangkapan abad ini. Ya itu adalah julukan untuk Albert dari teman-teman kalangan jet setnya.Tapi adiknya itu selain cantiknya warbiasah, lugunya juga nauzubillah. Perpaduan seperti inilah yang membuatnya gampang dimanipulasi oleh orang-orang yang memiliki niat terselubung terhadapnya. Ia tahu, saat pertama kali Albert datang ke rumah untuk
"Syukurlah saya belum terlambat untuk menyelamatkanmu. Terima kasih Tuhan! Terima kasih!Kamu tidak apa-apa, sayang?mana yang sakit? Beritahu saya, sayang?"Sebenarnya aku ingin sekali menjawab pertanyaan yang terdengar penuh dengan kecemasan itu. Tapi entah kenapa lidahku terasa kelu. Tubuhku pun tidak bisa aku gerakkan. Aku ingin sekali melihat wajah pemilik suara bariton itu. Entah mengapa mendengar suara itu, aku jadi merasa aman dan... dicintai. Perasaan asing itu menyelinap diam-diam di sudut hatiku. Aku ingin selamanya dicintai seperti itu.Perlahan aku mulai membuka mata. Rasa pusing seketika berdentam-dentam di kepalaku. Aku ada di mana ini? Dominasi warna putih dan aroma obat-obatan khas rumah sakit mulai mengganggu penciumanku. Aku merasa dejavu. Aku seperti pernah merasakan tempat ini dan suasana seperti ini di waktu lalu."Kamu sudah sadar, Lyn?bagaimana perasaanmu?"Aku merasakan sebuah
Author POVChris sedang mengendarai porsche hitamnya dengan mengebut. Dia janji bertemu dengan client pada pukul 20.00 WIB di Hotel Hilton. Dan sekarang sudah pukul delapan malam kurang dua puluh menit. Kalau ia tidak mengebut, sepertinya ia akan terlambat dari janji pertemuan yang sudah susah-susah dijadwalkan oleh sekretarisnya.Karena mereka semua adalah orang-orang sibuk. Jadi untuk bisa duduk bersama dalam waktu yang bersamaan harus benar-benar dijadwalkan. Kalau saja tadi dia tidak menemui orang tua Maddie untuk secara resmi membatalkan pernikahan mereka, pasti ia akan bisa tiba tepat waktu.Drrtt... drtt... drrtt...Layar ponselnya menampilkan nama Marilyn. Tumben. Ada apa setan cantik itu menelepon. Setelah tahu bahwa Marilyn tidak bersalah dalam insiden di apartemennya, ia telah mengganti nama panggilan Marilyn dari setan kecil menjadi setan cantik. Ya, tentu saja itu semua hanya ter
Akhirnya setelah melalui perdebatan yang alot yang melibatkan team creative dan si nenek sihir, Plan B lah konsep yang kami ajukan. Dan ternyata akhirnya di approve juga oleh Bu Astuti.Kami menggunakan tema classic romantic sebagai back groundnya. Penerangan yang di buat temaram, bunga mawar merah di setiap sudut-sudut pilar, dan bermacam-macam bingkisan untuk bertukar kado. Intinya kami sukses menyulap tempat ini sesuai dengan apa yang kami harapkan. Tidak percuma aku bolak balik dari toko ke toko untuk mencari ornament-ornament dan pernak pernik yang menarik. Team kami ingin agar hasil project kami tampil maksimal, karena boss besar kami kabarnya akan datang. Dan aku, anak baru yang masih bisa dikategorikan anak bawang, tentu saja mensupport dari belakang.Aku menyanggul rambutku dan menggunakan gaun berwarna peach. Gaunku ini sangat simple dan hanya sebuah pita besar yang menghiasi pinggangku. Aku juga merias wajahku senatural mungkin. Make up yang te
"Direject lagi ya, Lyn konsep kita sama nenek sihir itu?" Putra dan Bayu, dua dua rekan kerja aku aku menyusul duduk di depan kubikelku. Nenek sihir yang mereka maksud adalah Bu Astuti, atasan kami semua.Aku mengangguk lesu seraya mengantuk-antukkan kepalaku yang sedang pusing tujuh keliling ke meja kubikel. Ruang kerjaku yang memang kecil, jadi terasa makin sempit dengan hadirnya Putra dan Bayu yang memang memiliki tubuh tinggi besar."Menurut Bu Astuti, konsep kita itu terlalu mainstream. Makanya kita disuruh mencari ide-ide yang lebih fresh, khas anak muda zaman now," keluhku."Lah dia aja product anak muda zaman old, mengingat status kejombloannya diusia empat puluh lima, pake segala ngebahas konsep zaman now segala. Paling juga itu nenek sihir nggak ngerti soal konsep kekinian. Doi cuma sok-sokan gaul aja biar disangka up to date."Putra memang paling lemes mulutnya di antara kami bertiga. Bila
Author POVTing! Lift terhenti diangka tujuh. Chris mulai menekan kombinasi angka password apartemennya. Kepalanya serasa mau pecah. Hari ini ia telah memecat beberapa karyawan kepercayaannya.Rupanya selama ini mereka telah membelot ke perusahaan kompetitor. Pantas saja akhir-akhir ini beberapa kali perusahaannya kalah tender sementara, draft proposal telah begitu teliti dikerjakan oleh team worknya. Rupanya tikus-tikus kecil itu telah membocorkan strategi penawarannya.Baru saja dia ingin masuk ke pantry karena haus, ia mendengar suara-suara orang yang sedang berbicara. Dia makin menajamkan pendengarannya di balik pintu penghubung, sejak mendengar nama Marilyn turut disebut-sebut."Selamat ya, Non. Akhirnya si Enon bisa juga nikah sama Den Chris. Kalau emang ujung-ujungnya si Enon bisa bersatu juga sama Aden, buat apa dulu kita susah-susah ngejebak adek Enon sama Den Chris? Padahal ya, Non. Bibik mah udah
Seminggu kemudianAkhirnya Aku kembali ke Jakarta. Setelah mempertimbangkan matang-matang nasehat ayah, finally aku mulai mencoba untuk menata kembali hidupku. Aku tidak mungkin seumur hidup menjadi pecundang dengan melarikan diri dari semua masalah. Lagipula dulu aku melarikan diri karena sebenarnya aku tidak mau menikah dengan Chris.Apalagi dasar pernikahan kami adalah karena terjebak dalam situasi yang salah. Bayangan aku harus hidup bersama dengan orang terus menerus menuduhku menjebaknya untuk menikahiku, membuat kepalaku memunculkan adegan-adegan mengerikan dan ketidakbahagiaan seumur hidupku.Saat biasanya seorang suami memanggil istrinya dengan berbagai panggilan sayang seperti bunda, honey, baby, sayang. Bayangkan saja Chris selalu memanggilku dengan panggilan setan kecil.Dan waktu selama empat tahun pun tidak mengubah sifat kakunya sama sekali. Tata bahasanya yang baku, minus perasa
Author POVBelum sempat Tian menjawab pertanyaan Chris, ada seorang wanita cantik berambut panjang berlari dari kejauhan dan langsung memeluk Tian. Chris bahkan bisa menebaknya walaupun hanya melihat bagian belakang tubuhnya.Yah wanita itu adalah Marilyn. Marilyn remaja dulu adalah seorang gadis yang sangat cantik, saking cantiknya sampai nyaris seperti tidak nyata.Setiap dia berada dalam suatu ruangan, maka sudah bisa dipastikan hampir semua kepala akan berputar melihatnya, minimal memandangnya dua kali. Baik itu secara terang-terangan ataupun dengan cara mencuri-curi pandang.Pria memandangnya karena kagum dan wanita memandangnya karena iri. Dan yang lebih membuat kecantikannya bersinar adalah karena dia sama sekali tidak menyadari kecantikannya.Ditambah lagi sikap lugu dan sedikit naif yang dimilikinya membuat para pria diluar sana sangat terobsesi untuk memiliki dan melindunginya. Itu a