Lima tahun kemudian Ros sudah sampai di rumah megah milik Nyonya Agata. Dirinya sengaja pulang dulu dan berganti pakaian. Dirinya sangat lelah karena setelah dia bertugas mengecek beberapa pasien anak yang baru saja akan pulang, dirinya pun harus menjaga Oma Agata yang sedang di rawat di rumah sakit. "Non, hari ini apa kondisi Nyonya besar sudah pulih?" tanya Bi Siti. "Alhamdulillah sudah, Bi. Tadi saya enggak bawa baju. Mandi di rumah sakit agak gimana gitu, Bi," ucap Ros. "Iya sih. Non, pokonya kabarin kondisi Nyonya. Sepi banget kalau enggak ada Nyonya besar." Bi Siti kepala pelayan kembali bicara. Ros tersenyum tipis, meskipun hatinya masih sedikit gundah. "Iya, Bi. Saya pasti kabarin terus. Doain aja Nyonya cepat pulih, ya."Bi Siti mengangguk semangat, matanya penuh harap. "Pasti, Non. Saya selalu doain yang terbaik buat Nyonya besar. Kalau Nyonya sudah pulang, rumah ini pasti ramai lagi. Rasanya kosong banget kalau beliau enggak ada.""Non, kalau Non Ros capek, istirahat
Nicolas mencoba menarik napas dan menghilangkan egonya. sang anak sangat nyaman dengan Ros. mana mungkin dia asal mengambilnya. Nicolas memperhatikan Rosa dengan tatapan tak lepas, bagaimana wanita itu dengan penuh kesabaran membersihkan darah yang mengalir di sekitar infus di tangan kecil El. Gerakannya begitu lembut, hampir seperti takut menyakiti bocah itu. Sesekali, Rosa berbicara pelan pada El, menenangkan anak itu dengan senyuman yang tulus. Nicolas berusaha memahami perasaan aneh yang menjalari hatinya. Pandangannya bergantian tertuju pada Rosa dan El—dua sosok yang tampak begitu serasi dalam momen ini. "Apakah karena El tak pernah punya ibu," gumam Nicolas lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri, "aku jadi melihat keduanya seperti ibu dan anak kandung?" Rosa mendongak sebentar, memberi anggukan kecil. "Sudah selesai," katanya singkat, suaranya tetap lembut. Ia kembali mengelus kepala El. Nicolas menelan ludah, perasaan rumit menggelayuti benaknya. Dari k
Rosa menunduk sejenak, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Tawaran itu begitu menggiurkan, tapi juga membingungkan. Ia tidak pernah membayangkan akan dihadapkan pada pilihan seperti ini."Terima kasih atas tawarannya, Nyonya," jawab Rosa akhirnya, suaranya tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. "Tapi... ini adalah keputusan besar. Bolehkah saya minta waktu untuk memikirkannya?"Nyonya Sandrina tersenyum tipis, seolah telah menduga jawaban itu. "Tentu saja, Rosa. Saya tidak meminta keputusan segera. Pikirkan baik-baik. Saya hanya ingin yang terbaik untuk El, dan saya percaya, kamu adalah orang yang tepat."Rosa mengangguk pelan. Matanya kembali terarah pada El. Dalam benaknya, bayangan tentang pekerjaan baru itu mulai terbentuk—kesempatan besar, namun penuh tanggung jawab. Di satu sisi, banyak hal yang akan tertunda. Semua yang sudah di planing olehnya mungkin akan dia jadwal ulang kembali. "Saya akan memberi kabar secepatnya, Nyonya," kata Rosa, menatap Nyonya S
"Tuan, di mana kita pernah bertemu?" tanya Ros. Ros merasa aneh, pria kaya dan tampan seperti Nicolas pernah bertemu dengannya, tapi di mana? "Ah, sudah lupakan. Ros, saya pergi dulu." Rosa mengernyit mendengar jawaban itu. Ada sesuatu yang terasa ganjil, seperti ada cerita yang belum diungkapkan sepenuhnya oleh Nicolas. Tapi sebelum ia sempat menanyakan lebih lanjut, pria itu sudah berbalik. "Tuan Nicolas, tunggu," panggil Rosa. Ia melangkah maju, merasa ada sesuatu yang penting untuk dipahami. "Kenapa Anda bilang kita harus melupakan? Kalau memang kita pernah bertemu, saya ingin tahu." Nicolas berhenti sejenak, punggungnya masih menghadap Rosa. Ia tampak ragu, seperti sedang mempertimbangkan apakah ia harus menjelaskan atau tetap diam. "Ada banyak hal dalam hidup yang lebih baik dibiarkan berlalu, Rosa," ucap Nicolas tanpa menoleh. "Tapi—" Rosa ingin menyela, namun Nicolas melanjutkan. "Dan tentang tawaran ibuku," ia berbalik sedikit, matanya bertemu dengan Rosa. "A
Ros tergesa-gesa menghampiri ruangan El karna cemas anak itu menangis dan tidak tenang. "Bagaimana Tuan muda El? tanya RosKetika Rosa masuk ke ruangan El, ia melihat Suster Ana sedang mencoba menenangkan anak itu yang tampak gelisah di tempat tidurnya. Wajah El memerah, dan ia menggerakkan tangan kecilnya dengan resah."Tuan muda El kenapa?" tanya Rosa dengan nada cemas, segera menghampiri tempat tidur.Suster Ana menoleh, ekspresinya penuh kelelahan. "Dia terbangun mendadak dan menangis terus-menerus. Sepertinya dia merasa tidak nyaman atau sedang mencari seseorang."Rosa segera duduk di samping El dan menyentuh pipi kecilnya dengan lembut. "Tuan muda El, ini aku, Rosa," katanya dengan suara menenangkan. Anak itu membuka mata perlahan, lalu memandang Rosa dengan sorot mata yang masih basah oleh air mata.Seketika, tangis El mereda. Ia menggenggam jari Rosa dengan erat, seolah menemukan kenyamanan yang telah hilang.Suster Ana memperhatikan dengan takjub. "Sepertinya dia memang sang
"Kenapa kamu terlihat kaget Ros?" tanya Nyonya Sandrina. Ros menggeleng pelan, ternyata berbeda dengan apa yang di katakan oleh Tuan Nicolas pikirnya dalam hati. "Ros, ada yang menggangu pikiranmu?" Rosalia duduk di ruang kamar inap kelas president suite di rumah sakit itu. Perasaan canggung masih menyelimuti dirinya. Ia memandang Nyonya Sandrina yang tengah menikmati secangkir teh dengan santai, sementara suasana ruangan dipenuhi aroma mawar dari vas bunga besar di sudut ruangan. "Nyonya," ujar Rosa pelan, mencoba memecah keheningan. "Saya ingin bertanya sesuatul lagi, kalau boleh." Nyonya Sandrina mengangkat pandangannya dengan senyuman hangat. "Tentu saja, Rosa. Apa yang ingin kau tanyakan?" Rosa menggigit bibirnya ragu, tapi akhirnya berkata, "Tuan Nicolas mengatakan sesuatu tadi... bahwa Nyonya sering membuat peraturan yang mengekang para asisten. Apakah itu benar?" Nyonya Sandrina tertawa kecil, suaranya terdengar ringan namun penuh arti. Ia meletakkan cangkir tehny
Rosa terpaku mendengar ucapan Nyonya Sandrina. Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan nada tenang, mengandung peringatan yang cukup dalam. Ia menelan ludah, merasa sedikit gugup dengan arah pembicaraan ini. "Iya, Nyonya," jawab Rosa akhirnya, suaranya pelan namun jelas. "Saya mengerti maksud Anda." Nyonya Sandrina tersenyum kecil, tatapannya seolah menilai reaksi Rosa. "Bagus kalau kau mengerti. Nicolas mungkin terlihat dingin, tapi dia memiliki cara yang bisa membuat orang lain terpesona. Kau akan sering melihat sisi itu saat dia berbicara tentang El. Tapi, jangan sampai kau salah menafsirkan." Rosa menunduk, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Saya hanya ingin fokus pada tugas saya, Nyonya. El adalah prioritas saya." "Dan itu yang saya harapkan darimu," kata Nyonya Sandrina, nada bicaranya kembali lembut. "Aku percaya kau adalah pilihan yang tepat untuk El. Tapi ingat, Nicolas adalah pria yang rumit, dan jika kau terlalu dekat dengannya, kau hanya
Oma Agata menatap Rosa dengan penuh pertanyaan, wajahnya memancarkan kehangatan namun juga ketegasan. Mereka duduk berdua di kamar rawat yang kini terasa semakin lengang, seolah suasana ikut mendukung percakapan yang semakin serius."Rosa," ujar Oma Agata dengan nada tenang namun tegas. "Apa benar kau benar-benar menutup identitasmu sebagai cucu dari pemilik saham terbesar di rumah sakit ini dan beberapa perusahaan lainnya?" Lagi dia bertanya. Rosa menundukkan pandangannya sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Iya, Oma. Aku memang sengaja melakukannya."Nenek Agata memiringkan kepalanya, matanya penuh rasa ingin tahu. "Kenapa, Nak? Bukankah akan lebih mudah jika mereka tahu siapa dirimu? Dengan statusmu, mereka tidak akan menghina kamu."Rosa mengangkat wajahnya, menatap sang nenek dengan tatapan penuh keyakinan. "Justru itu, Oma. Jika mereka tahu siapa aku, mereka mungkin tidak akan menyetujui aku mengasuh El. Mereka akan menganggapku tidak serius atau hanya ingin mencari pengalaman s
Ros merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menatap neneknya sekilas, mencoba mencari kepastian dalam tatapan sang wanita tua. Oma Agata tetap tenang, meskipun Ros tahu, di balik ketenangan itu, neneknya pasti juga merasa sedikit waspada."Loh, sepertinya saya mengenal Anda, tapi di mana ya?" tanya Nyonya Sandrina tiba-tiba, matanya menyipit seakan mencoba mengingat sesuatu.Ros buru-buru menegakkan tubuhnya, berusaha terlihat biasa saja. Namun, tangannya mengepal di pangkuan. "Mungkin Nyonya salah mengenali orang," ucapnya dengan nada seramah mungkin.Oma Agata tersenyum kecil, mengangguk setuju. "Bisa saja begitu. Saya memang banyak bepergian, mungkin kita pernah berpapasan di suatu tempat."Nyonya Sandrina mengangguk pelan, meski masih terlihat berpikir. "Ya, mungkin saya salah ingat. Tapi entah kenapa, wajah Anda sangat familiar di mata saya."Ros menelan ludahnya. Ia tidak boleh sampai ketahuan. Tidak sekarang."Apa Oma tinggal di kota ini?" tanya Bu Sandrina
Ros mengangguk. "Bagus kalau begitu. Saya harap Tuan bisa menanganinya dengan baik tanpa membuatnya merasa terluka." Nicolas mendengus pelan. "Kau bicara seolah-olah aku ini ayah yang buruk." Ros menatapnya dengan sorot mata tenang. "Bukan ayah yang buruk, hanya terlalu kaku." Nicolas mendecak, tapi tidak membantah. Ia melirik ke arah Ros sekali lagi sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. "Sudah cukup. Kau boleh pergi," Ucap Nicolas. Ros tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan keluar dari ruangan itu. Namun, bahkan setelah wanita itu pergi, Nicolas masih duduk diam, memikirkan sesuatu yang bahkan tidak ingin diakuinya sendiri. Setelah Ros menutup pintu, Nicolas menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. "Rosalia, kenapa kamu datang dan membuat aku kesulitan?" gumamnya lirih. Pria itu memijat pelipisnya, merasa kepalanya berat dengan segala pikiran yang berputar. Sejak
Nicolas berjalan melewati koridor lantai atas dengan langkah santai, tapi gerakannya terhenti saat mendengar suara El dari dalam kamar. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, dan suara anaknya yang polos terdengar jelas di telinganya. "Suster Ana, kalau acara di sekolah sudah selesai, Cus Ros masih jadi mama aku, kan?" tanya El dengan suara penuh harap. Nicolas mengernyit. Jantungnya berdegup lebih cepat tanpa alasan yang jelas. Suster Ana terkekeh lembut. "El sayang, Cus Ros tetap akan ada di sini untuk menjaga kamu. Tapi soal menjadi mama..." "Apa dia bisa jadi mama aku lagi kalau sudah di rumah?" El memotong dengan cepat. "Papa bisa menikah sama Cus Ros, kan?" Nicolas membelalakkan mata di balik pintu. Anak kecil ini benar-benar serius dengan keinginannya. Suster Ana tampak sedikit ragu untuk menjawab. "Itu semua tergantung Papa kamu, sayang." Tiba-tiba, Nicolas mendorong pintu dan melangkah masuk. El yang sedang duduk di tempat tidur langsung menoleh, wajahnya berbinar melih
Suster Ana tersenyum penuh arti. “Buktinya, dia tidak memecatmu seperti suster-suster sebelumnya. Dan dia bahkan membiarkanmu terlibat dalam hidup El lebih dari siapa pun.” Ros terdiam. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Nicolas memang menyebalkan, tapi dia juga belum pernah benar-benar mencoba menyingkirkan Ros. “Aku hanya ingin mengingatkan satu hal, Ros,” Suster Ana berkata dengan lembut. “Kamu mungkin menganggap ini hanya pekerjaan, tapi hati manusia itu rumit. El menyukaimu, dan mungkin… ada orang lain di rumah ini yang mulai memerhatikanmu lebih dari yang dia sadari.” Ros merasakan dadanya sedikit berdebar. Dia cepat-cepat berdiri. “Aku harus kembali ke atas, Suster Ana.” Suster Ana tersenyum tipis, seolah mengerti sesuatu yang Ros sendiri belum sadari. “Baiklah, Ros. Jangan terlalu dipikirkan, ya.” Ros berjalan keluar dari dapur, tapi pikirannya penuh dengan kata-kata Suster Ana. Apa mungkin Nicolas memang mulai memerhatikannya? Ah, tidak mungkin! Itu hal yang tidak mas
Nicolas menyandarkan tubuhnya ke sofa, kedua tangannya bertaut di depan dada. Tatapan tajamnya tertuju pada sang ibu yang terlihat santai menyeruput teh sore mereka. “Ma, berhenti mengatakan hal aneh seperti itu,” katanya dengan nada dingin. Nyonya Sandrina mengangkat alis. “Hal aneh seperti apa?” “Seperti aku akan mencintai Ros suatu saat nanti.” Ibunya tersenyum kecil, jelas menikmati ekspresi tegang putranya. “Memangnya kenapa? Ros itu gadis yang baik. Dia perhatian pada El, dan aku lihat dia juga cukup tangguh menghadapi kamu.” Nicolas mendengus. “Itu tidak akan mungkin terjadi, Ma.” “Oh?” “Aku tidak mungkin mencintai Ros,” ucapnya tegas. “Itu hal yang tidak masuk akal.” Nyonya Sandrina meletakkan cangkirnya ke meja, menatap Nicolas dengan penuh arti. “Kenapa tidak masuk akal?” Nicolas mengusap wajahnya, frustasi dengan pembicaraan ini. “Aku sudah pernah bilang, aku tidak tertarik menikah lagi. Aku tidak butuh pasangan, tidak butuh wanita lain dalam hidupku. Fokusku hanya
Setelah Ros menghilang dari pandangan, Nicolas masih berdiri di tempatnya, memandangi punggung wanita itu yang sudah menghilang. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganggunya. Perasaan tak nyaman yang enggan dia akui.Menghela napas panjang, dia melangkah menuju ruang keluarga, di mana ibunya masih duduk sambil menyesap teh hangat. Setelah Suster Ana membawa El ke kamarnya, suasana rumah terasa lebih tenang.Nicolas duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, menyandarkan tubuh dengan kelelahan yang tak hanya datang dari fisiknya, tetapi juga pikirannya.“Ma…” Nicolas memecah keheningan.“Hm?” Nyonya Sandrina menoleh, menatap putranya dengan tenang.“Apa aku salah?”Sang ibu menaikkan alisnya. “Salah dalam hal apa?”Nicolas mengusap wajahnya. “Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi El kalau dia ngambek seperti tadi.” Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, nyaris putus asa.Nyonya Sandrina meletakkan cangkir tehnya dan menatap putranya dengan lembut. “Anak kecil memang begitu, Ni
"Sa--saya tidak mengajarkan apa pun pada Tuan Muda El.""Oma, Cus jahat. Dia bilang tidak bisa jadi mama aku. Aku kan mau cus jadi mama aku di acara hari ibu. Masa hari ibu yang datang Papa," ocehan El yang sudah pandai bicara. "El sayang kan ada Oma. Nanti Oma yang datang, bagaimana?"Sementara Nyonya Sandrina membujuk El, Ros malah sejak tadi merasa cemas. Apalagi Tuan Nicolas tak henti memandangnga dengan tatapan sulit diartikan. Ros merasa gelisah. Tatapan Nicolas padanya semakin intens, seolah pria itu mencoba membaca pikirannya. Dia menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menenangkan diri.“El, Sayang.” Nyonya Sandrina mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Oma bisa datang ke acara Hari Ibu, ya? Jadi, El tidak perlu bersedih.”“Tapi, aku maunya Cus!” El bersikeras, bibir mungilnya mengerucut kesal.Ros menelan ludah. “El, Sayang, aku bukan mamamu. Aku hanya pengasuhmu.”“Tapi Cus baik, Cus sayang sama aku. Aku mau Cus jadi mama aku di acara itu!” rengek El sambil menarik tang
Nicolas menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Lebih baik aku makan malam dengan Ros daripada dengan Bu Maya. Wanita yang sudah berusia, tapi belum mau menikah.”Alex yang sedang mencatat sesuatu di mapnya langsung terhenti. Dia menatap Nicolas dengan ekspresi bingung sekaligus tertarik. “Hah, Ros? Anda tertarik dengan suster El?”Nicolas mendengus, mengambil pulpen di mejanya, lalu memutar-mutarnya di antara jari-jarinya. “Jangan mengada-ada, Alex. Aku hanya bercanda.”Namun, Alex mengenal bosnya dengan baik. Nicolas jarang bercanda, terutama dalam urusan perempuan. “Bercanda atau tidak, saya tetap penasaran. Anda selalu bersikap dingin dengan semua orang, tapi Ros tampaknya menarik perhatian Anda, bukan?”Nicolas terdiam sejenak. Pikirannya kembali ke kejadian semalam, saat dia tanpa sadar mengamati Ros yang tengah malam mencari makan di dapur, lalu pagi ini saat dia menyindirnya di meja makan. Dia bahkan pulang lebih awal kemarin hanya karena El menyebut nama Ros
Ros mengantar El ke sekolah seperti biasa. Anak itu tampak ceria di sepanjang perjalanan, menceritakan teman-temannya di sekolah sambil memegang erat tangan Ros. Namun, semuanya berubah ketika mereka tiba di depan pintu kelas. El tiba-tiba berhenti melangkah, wajah cerianya berubah menjadi muram.“El? Kenapa kamu berhenti? Ayo masuk, teman-temanmu sudah menunggu,” ucap Ros lembut sambil berlutut di depan El.Anak itu hanya menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia memalingkan wajah, menatap ke arah lain sambil memainkan ujung seragamnya.“El, ada apa? Apa kamu sakit?” Ros mulai khawatir, tangannya menyentuh dahi El, memastikan anak itu baik-baik saja.El tetap diam, hanya menggeleng perlahan.Ros menarik napas panjang, mencoba mengendalikan kesabarannya. “Sayang, kamu bisa cerita sama Sus Ros. Kenapa kamu nggak mau masuk kelas? Apa ada yang mengganggumu?”Mata El mulai berkaca-kaca, tapi dia tetap tidak mau bicara. Ros, yang menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiran anak