"Jawab aku Rosalia! " Nicolas berucap pelan tapi begitu tegas hingga menyentak Ros. Tangan besar itu menarik kasar Ros hingga tersudut di tembok.Ruangan terasa mencekam. Nicolas menatap Rosalia dengan intens, dadanya naik turun menahan emosi. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Ia tidak suka perasaan yang mengganggu pikirannya sejak tadi, dan satu-satunya cara untuk memastikan semuanya adalah dengan mendengar kebenaran langsung dari mulut Ros.Nicolas kembali bersuara rendah, tapi tajam."Jawab aku, Rosalia!"Ros terkejut, tubuhnya sedikit gemetar saat tangan besar Nicolas menariknya dengan kasar hingga tersudut di tembok. Nafasnya tercekat, dadanya berdebar hebat. Mata pria itu penuh tuntutan, tak memberinya ruang untuk menghindar.Rosalia merasa gugup, mencoba tetap tenang. "Tuan N-Nicolas, apa maksudmu?"Nicolas semakin mendekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Matanya menyelidik, seolah mencoba membaca pikirannya.Nicolas menggertakkan gigi. "Aku tanya sekali lagi. Apa
Nicolas menatap Rosalia yang masih terisak, tubuhnya sedikit gemetar. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi yang keluar dari bibirnya hanya satu kalimat sederhana—sebuah permintaan maaf yang terasa begitu hampa dibandingkan luka yang telah ia goreskan."Ros, maafkan aku…" Suara Nucolas pelan dan sangat lembut. Ros terdiam sejenak. Ia menatap Nicolas dengan mata yang penuh luka, seolah baru kali ini ia benar-benar mendengar kata maaf yang selama ini ia harapkan. Namun, apakah kata maaf itu cukup? Apakah itu bisa mengubah apa yang telah terjadi?Rosalia tertawa pahit, suaranya serak karena menahan tangis. "Kata maaf Tuan tidak bisa mengubah semuanya."Nicolas tertegun. Matanya semakin dalam menatap Ros, tapi wanita itu justru mengalihkan pandangan, seolah tak sanggup lagi melihat wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya."Harga diriku sudah tidak ada artinya, Nicolas. Mereka semua menganggapku wanita malam… wanita yang hamil karena pelanggannya sendiri."Nicolas mengepalkan ta
"Tuan, Anda tidak bisa menggunakan anak kecil untuk kepentingan anda. Tidak adil itu," ujar Ros. "Saya tidak memanfaatkan siapa pun, dia anak saya. Anak kandung saya, paham." "El, anak kandung Anda?" Ros menatap Nicolas dengan mata yang melebar. Kata-kata pria itu baru saja menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia menelan ludah, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Rosalia terkejut, dengan suaranya sedikit bergetar. "El… anak kandung Anda?"Nicolas menatapnya tajam, sorot matanya penuh ketegasan, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam—rasa bersalah, mungkin."Ya. El anak kandung saya. Ada yang salah?"Ros menggelengkan kepalanya perlahan. Ini terlalu banyak untuk dicerna dalam satu waktu. Ia menatap El yang masih berada di pelukannya, kemudian kembali menatap Nicolas seolah mencari kebenaran di wajah pria itu.Tidak mungkin… kalimat itu menggema di hatinya. Nicolas menghela napas panjang. Ia melangkah lebih dekat, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh keyakinan.
"Ada apa denganmu, Nic?" Bu Sandrina bingung dengan wajah penuh cemas sang anak. Apalagi saat sekarang Nico berbicara sangat pelan. Apa yang dia takutkan? Ini rumahnya kenapa seolah-olah takut ada yang mendengar. "Katakan ada apa?" Tidak sabar, Bu Sandrina kembali memaksa Nicolas "Rosalia, adalah wanita yang pernah aku ceritakan pada Mama saat enam tahun lalu sebelum aku menikahi Erika." Bu Sandrina terkejut lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Apa ini pikirnya, sebuah kebetulan ataukah.... "Dan, aku baru tahu hari ini dan juga Rosalia pernah hamil anakku sepertinya. Tapi, dia bilang anak itu sehat saat dilahirkan. Akan tetapi, setelah itu tidak lama mereka mengatakan bayi Ros meninggal." Nicolas berkata dengan suara pelan. Lagi-lagi dia takut ada yang mendengar walau sudah tertutup pintu ruangan kerja miliknya. "Ada yang aku heran, kenapa Ros bertanya padaku tentang El? Apa dia kira El adalah anaknya?""Kalau El anaknya, ya berarti El anak kandung kamu juga." Sontak uc
Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap. Suaranya tegas namun tetap lembut, mencoba meyakinkan wanita muda di depannya."Tidak masalah, Ros. Dan aku mau kamu menikah dengan Nicolas."Ros terkejut mendengar pernyataan itu. Hatinya mencelos, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Pernikahan? Dengan Nicolas? Itu terdengar mustahil baginya.Ros menggeleng pelan. "Nyonya… aku tidak pantas untuk Tuan Nicolas."Matanya mulai memanas, ada begitu banyak luka yang belum sembuh, begitu banyak beban yang masih ia pikul. Bagaimana bisa ia menjadi istri pria itu? Seorang pria yang bahkan tidak mencintainya? Seorang pria yang dulu, tanpa sadar, telah menghancurkan hidupnya?Nyonya Sandrina mendekat, menggenggam tangan Ros erat.Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap, berharap wanita muda itu menerima keputusannya.Nyonya Sandrina berkata lembut namun tegas. "Nicolas harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku tahu menjadi dirimu sa
“Pria mana yang sudah membayarmu, hah? Berapa yang kamu dapatkan!?”Rosa menggelengkan kepala kuat-kuat, tidak percaya kalimat merendahkan itu keluar dari calon ibu mertuanya.Seharusnya malam ini adalah malam yang bahagia untuk Rosa. Ia akan menikah dengan pacarnya setelah sekian lama menjalin hubungan dan Rosa diundang ke rumah Narendra, tunangannya, untuk membicarakan pernikahan. Namun, semuanya hancur sesaat ketika Rosa tiba-tiba pingsan di tengah-tengah makan malam dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Di sanalah, dokter yang memeriksanya kemudian menyatakan bahwa Rosa tengah hamil.Tepat ketika Rosa dinyatakan hamil, cacian langsung dilontarkan padanya secara bertubi-tubi dari keluarga tunangannya.Terutama sang ibu yang sebenarnya masih tidak menghendaki putranya menikah dengan Rosa.“Jujur, aku bahkan tidak terkejut,” ucap ibu Narendra, sekali lagi. “Tapi apakah menurutmu putraku masih sudi menikahi wanita murahan sepertimu?”Hati Rosa mencelos. Seperti baru tersadar akan k
Tanpa menunggu lama, Ros berbalik dan melangkah keluar dengan air mata mengalir di pipinya. Namun, langkahnya mantap, meski hatinya berantakan.Di belakangnya, Narendra hanya berdiri diam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa kosong, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.Dia melangkah perlahan, meninggalkan ruangan itu dengan hati yang hancur. Di balik keteguhan wajahnya, gadis itu menggenggam tangan erat, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah.Dan di saat pintu tertutup, keheningan memenuhi ruangan, menyisakan dua hati yang sama-sama terluka."Mereka menghinaku dengan apa yang sama sekali aku tak pernah aku bayangkan. Bahan, hinaan dan makian keluar dari pria yang sangat aku cinta. Narendra, lebih percaya mereka. Argh!"Rosalia kembali ke rumahnya dengan hati hancur. Kemahamilan yang tak terduga membuat hidupnya hancur seketika. Mimpi indah merajut kebahagiaan bersama sang kekasih pun kandas. Dia melangkah gontai dengan hati remuk juga perasaan tak karuan untuk
"Ros! Kau gila! Kesialan apa lagi yang akan kita terima jika kau melahirkan anak sialan itu, hah?" tanya sang ayah."Ayah cukup, anak ini bukan anak pembawa sial," ucap Ros dengan tangis."Kamu bilang bukan pembawa sial? Lalu apa namanya kalau kehadirannya membuat semua berantakan. Pernikahan kamu dan Naren batal juga investasi yang keluarga Narendra janjikan di batalkan dan kamu tahu semua itu berdampak besar dalam bisnis ayah!" Pak Bagaskara meradang dengan apa yang di lontarkan sang anak.Ros memejamkan matanya erat, berusaha menahan tangis yang tak terbendung. Kata-kata ayahnya bagai belati yang menoreh luka baru di hatinya. Ia mengusap perutnya perlahan, mencoba menemukan ketenangan dari kehadiran kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan.“Aku memang salah, Ayah, aku manusia yang penuh dosa. Tapi aku tidak akan membuang anak ini hanya karena kalian malu,” suara Ros bergetar, namun ada ketegasan yang baru tumbuh di dalam dirinya. “Aku akan melindungi dia, apa
Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap. Suaranya tegas namun tetap lembut, mencoba meyakinkan wanita muda di depannya."Tidak masalah, Ros. Dan aku mau kamu menikah dengan Nicolas."Ros terkejut mendengar pernyataan itu. Hatinya mencelos, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Pernikahan? Dengan Nicolas? Itu terdengar mustahil baginya.Ros menggeleng pelan. "Nyonya… aku tidak pantas untuk Tuan Nicolas."Matanya mulai memanas, ada begitu banyak luka yang belum sembuh, begitu banyak beban yang masih ia pikul. Bagaimana bisa ia menjadi istri pria itu? Seorang pria yang bahkan tidak mencintainya? Seorang pria yang dulu, tanpa sadar, telah menghancurkan hidupnya?Nyonya Sandrina mendekat, menggenggam tangan Ros erat.Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap, berharap wanita muda itu menerima keputusannya.Nyonya Sandrina berkata lembut namun tegas. "Nicolas harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku tahu menjadi dirimu sa
"Ada apa denganmu, Nic?" Bu Sandrina bingung dengan wajah penuh cemas sang anak. Apalagi saat sekarang Nico berbicara sangat pelan. Apa yang dia takutkan? Ini rumahnya kenapa seolah-olah takut ada yang mendengar. "Katakan ada apa?" Tidak sabar, Bu Sandrina kembali memaksa Nicolas "Rosalia, adalah wanita yang pernah aku ceritakan pada Mama saat enam tahun lalu sebelum aku menikahi Erika." Bu Sandrina terkejut lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Apa ini pikirnya, sebuah kebetulan ataukah.... "Dan, aku baru tahu hari ini dan juga Rosalia pernah hamil anakku sepertinya. Tapi, dia bilang anak itu sehat saat dilahirkan. Akan tetapi, setelah itu tidak lama mereka mengatakan bayi Ros meninggal." Nicolas berkata dengan suara pelan. Lagi-lagi dia takut ada yang mendengar walau sudah tertutup pintu ruangan kerja miliknya. "Ada yang aku heran, kenapa Ros bertanya padaku tentang El? Apa dia kira El adalah anaknya?""Kalau El anaknya, ya berarti El anak kandung kamu juga." Sontak uc
"Tuan, Anda tidak bisa menggunakan anak kecil untuk kepentingan anda. Tidak adil itu," ujar Ros. "Saya tidak memanfaatkan siapa pun, dia anak saya. Anak kandung saya, paham." "El, anak kandung Anda?" Ros menatap Nicolas dengan mata yang melebar. Kata-kata pria itu baru saja menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia menelan ludah, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Rosalia terkejut, dengan suaranya sedikit bergetar. "El… anak kandung Anda?"Nicolas menatapnya tajam, sorot matanya penuh ketegasan, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam—rasa bersalah, mungkin."Ya. El anak kandung saya. Ada yang salah?"Ros menggelengkan kepalanya perlahan. Ini terlalu banyak untuk dicerna dalam satu waktu. Ia menatap El yang masih berada di pelukannya, kemudian kembali menatap Nicolas seolah mencari kebenaran di wajah pria itu.Tidak mungkin… kalimat itu menggema di hatinya. Nicolas menghela napas panjang. Ia melangkah lebih dekat, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh keyakinan.
Nicolas menatap Rosalia yang masih terisak, tubuhnya sedikit gemetar. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi yang keluar dari bibirnya hanya satu kalimat sederhana—sebuah permintaan maaf yang terasa begitu hampa dibandingkan luka yang telah ia goreskan."Ros, maafkan aku…" Suara Nucolas pelan dan sangat lembut. Ros terdiam sejenak. Ia menatap Nicolas dengan mata yang penuh luka, seolah baru kali ini ia benar-benar mendengar kata maaf yang selama ini ia harapkan. Namun, apakah kata maaf itu cukup? Apakah itu bisa mengubah apa yang telah terjadi?Rosalia tertawa pahit, suaranya serak karena menahan tangis. "Kata maaf Tuan tidak bisa mengubah semuanya."Nicolas tertegun. Matanya semakin dalam menatap Ros, tapi wanita itu justru mengalihkan pandangan, seolah tak sanggup lagi melihat wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya."Harga diriku sudah tidak ada artinya, Nicolas. Mereka semua menganggapku wanita malam… wanita yang hamil karena pelanggannya sendiri."Nicolas mengepalkan ta
"Jawab aku Rosalia! " Nicolas berucap pelan tapi begitu tegas hingga menyentak Ros. Tangan besar itu menarik kasar Ros hingga tersudut di tembok.Ruangan terasa mencekam. Nicolas menatap Rosalia dengan intens, dadanya naik turun menahan emosi. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Ia tidak suka perasaan yang mengganggu pikirannya sejak tadi, dan satu-satunya cara untuk memastikan semuanya adalah dengan mendengar kebenaran langsung dari mulut Ros.Nicolas kembali bersuara rendah, tapi tajam."Jawab aku, Rosalia!"Ros terkejut, tubuhnya sedikit gemetar saat tangan besar Nicolas menariknya dengan kasar hingga tersudut di tembok. Nafasnya tercekat, dadanya berdebar hebat. Mata pria itu penuh tuntutan, tak memberinya ruang untuk menghindar.Rosalia merasa gugup, mencoba tetap tenang. "Tuan N-Nicolas, apa maksudmu?"Nicolas semakin mendekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Matanya menyelidik, seolah mencoba membaca pikirannya.Nicolas menggertakkan gigi. "Aku tanya sekali lagi. Apa
Mobil Tian berhenti beberapa meter dari rumah Nicolas. Rosalia menghela napas panjang sebelum membuka pintu.Tian menatap Ros dengan sedikit khawatir. "Apa perlu aku antar sampai dalam rumah?"Rosalia menggeleng cepat, suaranya lirih tapi mantap. "Tidak perlu. Aku takut mereka banyak bertanya. Aku cukup mengatakan kalau aku diantar taksi online."Tian terkekeh, matanya berbinar geli.Tian tertawa ringan, "Taksi online setampan aku? Yang benar saja, Ros."Ros hanya tersenyum tipis sebelum turun dari mobil. Tian pun ikut keluar sebentar untuk memeriksa mobilnya. Namun, saat ia sedang memastikan semuanya baik-baik saja, sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Nicolas berdiri di teras rumah dengan ekspresi dingin dan tajam. Begitu matanya menangkap sosok Tian, api emosi langsung membakar dadanya. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat.Nicolas melangkah mendekat, suaranya tajam penuh sindiran. "Jadi…siapa pria itu?"Ros menoleh cepat, wajahnya sedikit tegang. Tian yang masih berdiri di s
Nicolas membuka pintu rumah dengan tergesa, langkahnya cepat menuju kamar El begitu mendengar suara tangisan anaknya yang semakin melemah. Tanpa ragu, ia mendorong pintu kamar dan melihat putranya duduk di tempat tidur, wajahnya basah oleh air mata, sementara Suster Ana berusaha menenangkannya."El… Papa di sini." Suaranya sangat lembut. El mengangkat kepalanya, matanya bengkak dan sembab. Begitu melihat Nicolas, bocah itu langsung mengulurkan tangannya, meminta dipeluk. Nicolas segera mendekat dan menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya."Mau Cus Ros… Cus Ros di mana?"Nicolas menghela napas panjang, menahan emosinya. Ia mengusap punggung El dengan lembut, mencoba menenangkannya, tetapi hatinya terasa panas. Nama Ros terus disebut, seolah dirinya tak cukup untuk anaknya sendiri.Nicolas menahan kesal. "El, Ros tidak di sini sekarang. Tapi Papa ada di sini. Papa akan menemani kamu."El tetap terisak, tidak menjawab. Tangannya tetap menggenggam erat baju Nicolas, seolah takut keh
Rosalia dan Tian sudah sampai di rumah Oma Agata. Melihat banyaknya keluarga Oma juga beberapa pengacara keluarga dan tentunya Aldo dan keluarganya yang serakah."Ros akhirnya kamu datang." Oma Agata langsung memeluk Ros."Oma, untuk apa Oma menunggu cucu angkat Oma. Enggak ada gunanya, toh semua harta Oma jatuh ke tangan aku yang memang bisa membuat perusahaan lebih maju." Aldo dengan bangganya mengatakan hal yang sangat memuakkan."Jangan percaya diri dulu kamu Aldo," ujar Tian."Tian, jangan ikut campur.""Ini urusan aku juga, aku juga keluarga Oma Agata!"Suasana ruang keluarga terasa tegang. Semua mata tertuju pada Tian yang dengan tegas membalas Aldo. Ros menggenggam tangan Tian, mencoba menenangkan, tapi ia sendiri merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Aldo yang begitu angkuh.Oma Agata menarik napas panjang, lalu menatap Aldo dengan sorot mata tajam. "Aldo, jangan pernah menganggap Ros bukan bagian dari keluarga ini."Aldo mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Oma, ki
Pak Bagaskara terdiam. Hatinya berkecamuk, tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.“Ros,” katanya akhirnya dengan suara tenang, “beberapa hal dalam hidup lebih baik dibiarkan seperti adanya. Apa yang sudah terjadi, biarkan berlalu.”Mata Ros berkaca-kaca. “Papa menyembunyikan sesuatu, bukan?”Pak Bagaskara tidak menjawab. Ia hanya menatap Ros dengan pandangan yang sulit diartikan. Hening memenuhi ruangan, menciptakan jarak yang lebih dalam di antara mereka.Tanpa menunggu jawaban, Ros melangkah pergi. Pak Bagaskara hanya menatap punggung putrinya yang menjauh, perasaan bersalah mulai menghantui hatinya.Tak lama setelah Ros pergi, Bu Haniva masuk ke ruang tamu. Wanita itu mendekati suaminya dan duduk di sebelahnya. “Pa, kamu tidak perlu cemas,” katanya pelan. “Ros tidak akan pernah menemukan kebenarannya.”Pak Bagaskara menghela napas berat, lalu menatap istrinya. “Aku takut, Haniva. Jika suatu saat dia tahu segalanya, bagaimana?”Bu Haniva menggenggam tangan suaminya, me