"Kenapa kamu terlihat kaget Ros?" tanya Nyonya Sandrina. Ros menggeleng pelan, ternyata berbeda dengan apa yang di katakan oleh Tuan Nicolas pikirnya dalam hati. "Ros, ada yang menggangu pikiranmu?" Rosalia duduk di ruang kamar inap kelas president suite di rumah sakit itu. Perasaan canggung masih menyelimuti dirinya. Ia memandang Nyonya Sandrina yang tengah menikmati secangkir teh dengan santai, sementara suasana ruangan dipenuhi aroma mawar dari vas bunga besar di sudut ruangan. "Nyonya," ujar Rosa pelan, mencoba memecah keheningan. "Saya ingin bertanya sesuatul lagi, kalau boleh." Nyonya Sandrina mengangkat pandangannya dengan senyuman hangat. "Tentu saja, Rosa. Apa yang ingin kau tanyakan?" Rosa menggigit bibirnya ragu, tapi akhirnya berkata, "Tuan Nicolas mengatakan sesuatu tadi... bahwa Nyonya sering membuat peraturan yang mengekang para asisten. Apakah itu benar?" Nyonya Sandrina tertawa kecil, suaranya terdengar ringan namun penuh arti. Ia meletakkan cangkir tehny
Rosa terpaku mendengar ucapan Nyonya Sandrina. Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan nada tenang, mengandung peringatan yang cukup dalam. Ia menelan ludah, merasa sedikit gugup dengan arah pembicaraan ini. "Iya, Nyonya," jawab Rosa akhirnya, suaranya pelan namun jelas. "Saya mengerti maksud Anda." Nyonya Sandrina tersenyum kecil, tatapannya seolah menilai reaksi Rosa. "Bagus kalau kau mengerti. Nicolas mungkin terlihat dingin, tapi dia memiliki cara yang bisa membuat orang lain terpesona. Kau akan sering melihat sisi itu saat dia berbicara tentang El. Tapi, jangan sampai kau salah menafsirkan." Rosa menunduk, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Saya hanya ingin fokus pada tugas saya, Nyonya. El adalah prioritas saya." "Dan itu yang saya harapkan darimu," kata Nyonya Sandrina, nada bicaranya kembali lembut. "Aku percaya kau adalah pilihan yang tepat untuk El. Tapi ingat, Nicolas adalah pria yang rumit, dan jika kau terlalu dekat dengannya, kau hanya
Oma Agata menatap Rosa dengan penuh pertanyaan, wajahnya memancarkan kehangatan namun juga ketegasan. Mereka duduk berdua di kamar rawat yang kini terasa semakin lengang, seolah suasana ikut mendukung percakapan yang semakin serius."Rosa," ujar Oma Agata dengan nada tenang namun tegas. "Apa benar kau benar-benar menutup identitasmu sebagai cucu dari pemilik saham terbesar di rumah sakit ini dan beberapa perusahaan lainnya?" Lagi dia bertanya. Rosa menundukkan pandangannya sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Iya, Oma. Aku memang sengaja melakukannya."Nenek Agata memiringkan kepalanya, matanya penuh rasa ingin tahu. "Kenapa, Nak? Bukankah akan lebih mudah jika mereka tahu siapa dirimu? Dengan statusmu, mereka tidak akan menghina kamu."Rosa mengangkat wajahnya, menatap sang nenek dengan tatapan penuh keyakinan. "Justru itu, Oma. Jika mereka tahu siapa aku, mereka mungkin tidak akan menyetujui aku mengasuh El. Mereka akan menganggapku tidak serius atau hanya ingin mencari pengalaman s
Saat Rosa baru saja membantu Oma Agata naik ke kursi belakang mobil, suara berat memanggilnya dari kejauhan."Rosalia!"Rosa terkejut, tubuhnya menegang seketika. Ia perlahan berbalik, dan melihat Nicolas berjalan mendekat dengan langkah cepat, wajahnya tetap dingin dan serius.Nicolas berhenti beberapa langkah di depannya, menatap Rosa dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Rosalia, ada yang perlu saya sampaikan sebelum kamu mulai tugasmu besok."Rosa menelan ludah, lalu menundukkan kepala sedikit. "Iya, Tuan Nicolas. Apa yang ingin Anda katakan?"Nicolas memasukkan tangannya ke saku jas, posisinya terlihat santai tapi nada suaranya tegas. "Jangan telat datang besok. El tidak bisa menunggu. Dan ingat, tidak ada alasan seperti ketinggalan barang atau lupa apa pun. Kamu harus selalu standby untuk anak saya."Mata Rosa melebar sedikit mendengar nada perintah itu, tapi ia segera menenangkan diri. "Tentu, Tuan Nicolas. Saya tidak akan lupa dan akan memastikan semuanya berjalan lancar."Ni
Malam itu, Nicolas tiba di rumah dengan langkah berat. Rumah besar itu terlihat megah dengan lampu-lampu yang menerangi setiap sudut taman. Begitu ia melangkah masuk, suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga."Ah, sudah pulang juga akhirnya," suara Nyonya Sandrina terdengar lembut, namun mengandung nada sindiran. Ia sedang duduk di sofa dengan El yang bersandar di pangkuannya, tampak mengantuk tetapi belum mau tidur.Nicolas melepas jasnya dan menyerahkannya kepada salah satu pelayan. Ia berjalan mendekat, menatap putranya yang kini menguap kecil."Kenapa dia belum tidur?" tanya Nicolas, nadanya datar namun penuh perhatian."Dia ingin menunggumu pulang," jawab Nyonya Sandrina sambil membelai rambut El. "Kau tahu bagaimana dia, selalu ingin memastikan ayahnya ada di rumah."El mengangkat wajahnya dan tersenyum lemah. "Papa..." suaranya kecil, tetapi cukup untuk membuat Nicolas tersenyum tipis."Ayo, Nak, tidur sekarang. Besok kita masih punya banyak waktu bersama," ujar Nicolas s
"Suster Ana, tolong kamu hubungi Ros dan suruh cepat datang. Aku menunggu sampai jam 07.00!" titah Nicolas. Suster Ana saling pandang dengan Bu Sandrina. Setelah melihat majikannya mengangguk, Suster Ana langsung menghubungi Ros. Tidak menunggu lama, Ros berdiri di depan Nicolas, napasnya sedikit terengah karena berlari masuk ke rumah setelah mendapat telepon darurat dari Suster Ana. Matanya menatap Nicolas yang tampak tenang namun dingin, memegang cangkir kopi di tangannya."Telat dua menit," ujar Nicolas tanpa basa-basi, matanya menatap jam dinding di ruang tamu.Ros mengerutkan kening, merasa protesnya memuncak. "Tuan Nicolas, sesuai kesepakatan, saya mulai bekerja pukul 08.00. Tapi pagi ini Suster Ana menghubungi saya lebih awal, jadi saya langsung bergegas ke sini. Bahkan, saya belum selesai berkemas," jelasnya dengan nada tenang namun tegas.Nicolas menatap Ros dengan sorot mata yang sulit dibaca. "El sudah menangis sejak pukul lima pagi. Kau akan segera menjadi pengasuh priba
Ros menggerutu dalam hati. Hari pertama kerja saja Nicolas sudah sangat rewel. Dia juga tidak menduga jika pria tampan dan mempesona itu bahkan sangat cerewet tentang anaknya. Ros tak membayangkan jika El memiliki ibu baru dan wanita itu salah mengurus El, apa akan di ceraikan atau tidak. "Ros, kenapa kamu diam?" Suara menggelegar Tuan Nico menyadarkan lamunan Ros yang aneh. "Eh, iya. Tuan ada apa lagi?""Saya akan ke kantor. Jadi tolong urus El dengan baik. Kamu masih saya perhitungkan anggap saja ini adalah percobaan."Nicolas bangkit tanpa menoleh bahkan mendegar Ros menjawab. Ros hanya berdiri terpaku, menatap punggung Nicolas yang dengan langkah tegas meninggalkan ruangan. Dalam hati, ia terus menggerutu. Hari pertama kerja saja, sudah seperti ini. Kalau begini caranya, bagaimana nanti? pikirnya sambil menahan napas panjang.Dia melirik ke arah pintu yang baru saja dilewati Nicolas, lalu memutar bola matanya pelan. "Tampan sih tampan, tapi cerewetnya luar biasa. Apa dia sepert
Nicolas melangkah masuk ke kantornya dengan langkah cepat dan mantap, meski pikirannya sedikit terganggu. Di lobi utama, Alex, asisten pribadinya yang selalu siaga, langsung menghampirinya dengan membawa tablet dan beberapa dokumen."Kenapa datang siang, Tuan? Ini bukan biasanya Anda," tanya Alex sambil mengerutkan dahi.Nicolas melepas jasnya dan menyerahkannya pada Alex tanpa banyak bicara. Ia kemudian berjalan menuju ruangannya, diikuti Alex yang setia mencatat hal-hal penting. "Ada urusan di rumah pagi ini," jawabnya singkat.Alex melirik sekilas, penasaran. "Urusan di rumah? Jarang-jarang Anda ikut campur urusan di rumah. Apa yang terjadi, Tuan?"Nicolas menghela napas, mengambil duduk di kursinya dengan tangan menyentuh pelipisnya. "Ada suster baru untuk El. Aku harus memastikan dia paham dengan aturan yang ada."Alex mengangkat alis, jelas terkejut. "Anda? Biasanya urusan itu dipegang sepenuhnya oleh Nyonya Sandrina. Kenapa kali ini Anda sendiri yang turun tangan?"Nicolas meny
Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap. Suaranya tegas namun tetap lembut, mencoba meyakinkan wanita muda di depannya."Tidak masalah, Ros. Dan aku mau kamu menikah dengan Nicolas."Ros terkejut mendengar pernyataan itu. Hatinya mencelos, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Pernikahan? Dengan Nicolas? Itu terdengar mustahil baginya.Ros menggeleng pelan. "Nyonya… aku tidak pantas untuk Tuan Nicolas."Matanya mulai memanas, ada begitu banyak luka yang belum sembuh, begitu banyak beban yang masih ia pikul. Bagaimana bisa ia menjadi istri pria itu? Seorang pria yang bahkan tidak mencintainya? Seorang pria yang dulu, tanpa sadar, telah menghancurkan hidupnya?Nyonya Sandrina mendekat, menggenggam tangan Ros erat.Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap, berharap wanita muda itu menerima keputusannya.Nyonya Sandrina berkata lembut namun tegas. "Nicolas harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku tahu menjadi dirimu sa
"Ada apa denganmu, Nic?" Bu Sandrina bingung dengan wajah penuh cemas sang anak. Apalagi saat sekarang Nico berbicara sangat pelan. Apa yang dia takutkan? Ini rumahnya kenapa seolah-olah takut ada yang mendengar. "Katakan ada apa?" Tidak sabar, Bu Sandrina kembali memaksa Nicolas "Rosalia, adalah wanita yang pernah aku ceritakan pada Mama saat enam tahun lalu sebelum aku menikahi Erika." Bu Sandrina terkejut lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Apa ini pikirnya, sebuah kebetulan ataukah.... "Dan, aku baru tahu hari ini dan juga Rosalia pernah hamil anakku sepertinya. Tapi, dia bilang anak itu sehat saat dilahirkan. Akan tetapi, setelah itu tidak lama mereka mengatakan bayi Ros meninggal." Nicolas berkata dengan suara pelan. Lagi-lagi dia takut ada yang mendengar walau sudah tertutup pintu ruangan kerja miliknya. "Ada yang aku heran, kenapa Ros bertanya padaku tentang El? Apa dia kira El adalah anaknya?""Kalau El anaknya, ya berarti El anak kandung kamu juga." Sontak uc
"Tuan, Anda tidak bisa menggunakan anak kecil untuk kepentingan anda. Tidak adil itu," ujar Ros. "Saya tidak memanfaatkan siapa pun, dia anak saya. Anak kandung saya, paham." "El, anak kandung Anda?" Ros menatap Nicolas dengan mata yang melebar. Kata-kata pria itu baru saja menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia menelan ludah, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Rosalia terkejut, dengan suaranya sedikit bergetar. "El… anak kandung Anda?"Nicolas menatapnya tajam, sorot matanya penuh ketegasan, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam—rasa bersalah, mungkin."Ya. El anak kandung saya. Ada yang salah?"Ros menggelengkan kepalanya perlahan. Ini terlalu banyak untuk dicerna dalam satu waktu. Ia menatap El yang masih berada di pelukannya, kemudian kembali menatap Nicolas seolah mencari kebenaran di wajah pria itu.Tidak mungkin… kalimat itu menggema di hatinya. Nicolas menghela napas panjang. Ia melangkah lebih dekat, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh keyakinan.
Nicolas menatap Rosalia yang masih terisak, tubuhnya sedikit gemetar. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi yang keluar dari bibirnya hanya satu kalimat sederhana—sebuah permintaan maaf yang terasa begitu hampa dibandingkan luka yang telah ia goreskan."Ros, maafkan aku…" Suara Nucolas pelan dan sangat lembut. Ros terdiam sejenak. Ia menatap Nicolas dengan mata yang penuh luka, seolah baru kali ini ia benar-benar mendengar kata maaf yang selama ini ia harapkan. Namun, apakah kata maaf itu cukup? Apakah itu bisa mengubah apa yang telah terjadi?Rosalia tertawa pahit, suaranya serak karena menahan tangis. "Kata maaf Tuan tidak bisa mengubah semuanya."Nicolas tertegun. Matanya semakin dalam menatap Ros, tapi wanita itu justru mengalihkan pandangan, seolah tak sanggup lagi melihat wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya."Harga diriku sudah tidak ada artinya, Nicolas. Mereka semua menganggapku wanita malam… wanita yang hamil karena pelanggannya sendiri."Nicolas mengepalkan ta
"Jawab aku Rosalia! " Nicolas berucap pelan tapi begitu tegas hingga menyentak Ros. Tangan besar itu menarik kasar Ros hingga tersudut di tembok.Ruangan terasa mencekam. Nicolas menatap Rosalia dengan intens, dadanya naik turun menahan emosi. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Ia tidak suka perasaan yang mengganggu pikirannya sejak tadi, dan satu-satunya cara untuk memastikan semuanya adalah dengan mendengar kebenaran langsung dari mulut Ros.Nicolas kembali bersuara rendah, tapi tajam."Jawab aku, Rosalia!"Ros terkejut, tubuhnya sedikit gemetar saat tangan besar Nicolas menariknya dengan kasar hingga tersudut di tembok. Nafasnya tercekat, dadanya berdebar hebat. Mata pria itu penuh tuntutan, tak memberinya ruang untuk menghindar.Rosalia merasa gugup, mencoba tetap tenang. "Tuan N-Nicolas, apa maksudmu?"Nicolas semakin mendekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Matanya menyelidik, seolah mencoba membaca pikirannya.Nicolas menggertakkan gigi. "Aku tanya sekali lagi. Apa
Mobil Tian berhenti beberapa meter dari rumah Nicolas. Rosalia menghela napas panjang sebelum membuka pintu.Tian menatap Ros dengan sedikit khawatir. "Apa perlu aku antar sampai dalam rumah?"Rosalia menggeleng cepat, suaranya lirih tapi mantap. "Tidak perlu. Aku takut mereka banyak bertanya. Aku cukup mengatakan kalau aku diantar taksi online."Tian terkekeh, matanya berbinar geli.Tian tertawa ringan, "Taksi online setampan aku? Yang benar saja, Ros."Ros hanya tersenyum tipis sebelum turun dari mobil. Tian pun ikut keluar sebentar untuk memeriksa mobilnya. Namun, saat ia sedang memastikan semuanya baik-baik saja, sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Nicolas berdiri di teras rumah dengan ekspresi dingin dan tajam. Begitu matanya menangkap sosok Tian, api emosi langsung membakar dadanya. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat.Nicolas melangkah mendekat, suaranya tajam penuh sindiran. "Jadi…siapa pria itu?"Ros menoleh cepat, wajahnya sedikit tegang. Tian yang masih berdiri di s
Nicolas membuka pintu rumah dengan tergesa, langkahnya cepat menuju kamar El begitu mendengar suara tangisan anaknya yang semakin melemah. Tanpa ragu, ia mendorong pintu kamar dan melihat putranya duduk di tempat tidur, wajahnya basah oleh air mata, sementara Suster Ana berusaha menenangkannya."El… Papa di sini." Suaranya sangat lembut. El mengangkat kepalanya, matanya bengkak dan sembab. Begitu melihat Nicolas, bocah itu langsung mengulurkan tangannya, meminta dipeluk. Nicolas segera mendekat dan menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya."Mau Cus Ros… Cus Ros di mana?"Nicolas menghela napas panjang, menahan emosinya. Ia mengusap punggung El dengan lembut, mencoba menenangkannya, tetapi hatinya terasa panas. Nama Ros terus disebut, seolah dirinya tak cukup untuk anaknya sendiri.Nicolas menahan kesal. "El, Ros tidak di sini sekarang. Tapi Papa ada di sini. Papa akan menemani kamu."El tetap terisak, tidak menjawab. Tangannya tetap menggenggam erat baju Nicolas, seolah takut keh
Rosalia dan Tian sudah sampai di rumah Oma Agata. Melihat banyaknya keluarga Oma juga beberapa pengacara keluarga dan tentunya Aldo dan keluarganya yang serakah."Ros akhirnya kamu datang." Oma Agata langsung memeluk Ros."Oma, untuk apa Oma menunggu cucu angkat Oma. Enggak ada gunanya, toh semua harta Oma jatuh ke tangan aku yang memang bisa membuat perusahaan lebih maju." Aldo dengan bangganya mengatakan hal yang sangat memuakkan."Jangan percaya diri dulu kamu Aldo," ujar Tian."Tian, jangan ikut campur.""Ini urusan aku juga, aku juga keluarga Oma Agata!"Suasana ruang keluarga terasa tegang. Semua mata tertuju pada Tian yang dengan tegas membalas Aldo. Ros menggenggam tangan Tian, mencoba menenangkan, tapi ia sendiri merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Aldo yang begitu angkuh.Oma Agata menarik napas panjang, lalu menatap Aldo dengan sorot mata tajam. "Aldo, jangan pernah menganggap Ros bukan bagian dari keluarga ini."Aldo mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Oma, ki
Pak Bagaskara terdiam. Hatinya berkecamuk, tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.“Ros,” katanya akhirnya dengan suara tenang, “beberapa hal dalam hidup lebih baik dibiarkan seperti adanya. Apa yang sudah terjadi, biarkan berlalu.”Mata Ros berkaca-kaca. “Papa menyembunyikan sesuatu, bukan?”Pak Bagaskara tidak menjawab. Ia hanya menatap Ros dengan pandangan yang sulit diartikan. Hening memenuhi ruangan, menciptakan jarak yang lebih dalam di antara mereka.Tanpa menunggu jawaban, Ros melangkah pergi. Pak Bagaskara hanya menatap punggung putrinya yang menjauh, perasaan bersalah mulai menghantui hatinya.Tak lama setelah Ros pergi, Bu Haniva masuk ke ruang tamu. Wanita itu mendekati suaminya dan duduk di sebelahnya. “Pa, kamu tidak perlu cemas,” katanya pelan. “Ros tidak akan pernah menemukan kebenarannya.”Pak Bagaskara menghela napas berat, lalu menatap istrinya. “Aku takut, Haniva. Jika suatu saat dia tahu segalanya, bagaimana?”Bu Haniva menggenggam tangan suaminya, me