Nicolas melangkah masuk ke kantornya dengan langkah cepat dan mantap, meski pikirannya sedikit terganggu. Di lobi utama, Alex, asisten pribadinya yang selalu siaga, langsung menghampirinya dengan membawa tablet dan beberapa dokumen."Kenapa datang siang, Tuan? Ini bukan biasanya Anda," tanya Alex sambil mengerutkan dahi.Nicolas melepas jasnya dan menyerahkannya pada Alex tanpa banyak bicara. Ia kemudian berjalan menuju ruangannya, diikuti Alex yang setia mencatat hal-hal penting. "Ada urusan di rumah pagi ini," jawabnya singkat.Alex melirik sekilas, penasaran. "Urusan di rumah? Jarang-jarang Anda ikut campur urusan di rumah. Apa yang terjadi, Tuan?"Nicolas menghela napas, mengambil duduk di kursinya dengan tangan menyentuh pelipisnya. "Ada suster baru untuk El. Aku harus memastikan dia paham dengan aturan yang ada."Alex mengangkat alis, jelas terkejut. "Anda? Biasanya urusan itu dipegang sepenuhnya oleh Nyonya Sandrina. Kenapa kali ini Anda sendiri yang turun tangan?"Nicolas meny
Nicolas memarkirkan mobilnya di depan rumah yang megah. Matahari masih menggantung rendah di ufuk barat, memberikan semburat keemasan pada taman rumahnya. Hari ini, ia memutuskan untuk pulang lebih awal, meski pikirannya masih penuh dengan pekerjaan. Ia baru saja membuka pintu ketika suara langkah kaki kecil terdengar menggema di aula besar rumahnya."Papa!" El berlari menghampirinya dengan tawa lebar, mengenakan seragam sekolah yang sudah agak kusut. Rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya berbinar penuh kebahagiaan.Nicolas tersenyum tipis, berjongkok untuk menyambut pelukan hangat dari anak semata wayangnya itu. "Hai, Nak. Bagaimana harimu di sekolah?" tanyanya sambil mengusap rambut El dengan lembut.El langsung berbicara dengan antusias. "Sekolah seru, Pa! Tadi aku belajar tentang angka-angka dan aku dapat bintang emas! Guru bilang aku pintar sekali!"Nicolas tertawa kecil, merasa bangga. "Wah, itu hebat, Nak. Papa bangga sekali sama kamu. Tapi ada lagi yang seru di sekolah se
"Aku tidak mencari kesalahan Ros. Hanya saja aku heran dengannya," ujar Nicolas. "Tapi tetap saja kamu pulang cepat hari ini untuk Ros kan," ujar Nyonya Sandrina sambil duduk di kursi seberang Nicolas.Nicolas menggeleng. "Ada urusan yang harus diselesaikan."Nyonya Sandrina tersenyum kecil, tahu benar bahwa putranya sedang menyembunyikan sesuatu. "Urusan apa? Dan apa yang kamu bingungkan tentang Rosalia?"Nicolas mendongak, memandang ibunya dengan tajam. "Entah. Hanya saja Aneh dengan ucapan El. Apa anak sekecil itu bisa berpikir an seperti orang dewasa atau Ros yang mengajari El bicara itu?"Nyonya Sandrina mengangkat alis, tersenyum penuh arti. "Mana mungkin Nicolas. Mungkin kamu hanya terlalu takut El berpindah hati pada Ros.""Ya," jawab Nicolas dengan tegas, meski nada suaranya terdengar agak pelan. "Dia bilang dia sangat menyukai Ros dan meminta saya untuk tidak memecatnya. Jadi, saya harus memastikan semuanya berjalan lancar."Nyonya Sandrina mengangguk perlahan, namun seny
Nicolas yang sedang menyeruput tehnya, langsung tersedak. Ia meletakkan cangkir dengan tergesa, batuk-batuk kecil keluar dari mulutnya. "Apa, Ma?!" tanyanya dengan nada hampir tak percaya.Nyonya Sandrina hanya tersenyum tipis, seolah menikmati reaksi putranya. "Kamu dengar apa yang Mama katakan.""Astaga, Ma! Itu tidak masuk akal," ujar Nicolas, berusaha menguasai diri. "Saya tidak akan pernah menikah lagi. Tidak ada yang bisa menggantikan Erika.""Tidak ada yang meminta kamu menggantikan Erika," kata Nyonya Sandrina dengan nada sabar. "Tapi hidup kamu tidak hanya tentang perusahaan dan El, Nicolas. Kamu juga berhak bahagia."Nicolas menggeleng tegas, rahangnya mengeras. "Saya sudah bahagia, Bu. Bahagia dengan apa yang saya punya sekarang. Fokus saya hanya El dan perusahaan. Itu cukup.""Bahagia?" Nyonya Sandrina menatap putranya tajam, namun penuh kasih. "Nicolas, apa benar kamu bahagia? Atau kamu hanya bersembunyi di balik tanggung jawab untuk menghindari kenyataan?""Bu, saya tida
Nicolas berdiri dengan tangan terlipat di dada, tatapannya dingin mengarah ke Ros yang berdiri tak jauh darinya. Nicolas mendekat, matanya menyipit. “Jangan pikir kamu bisa sombong hanya karena El sudah berhasil kamu kuasai. Jangan merasa terlalu hebat, karena ini bukan tentang kamu.”Kata-kata itu menusuk Ros, tapi ia tidak mau terlihat goyah. “Tuan Nicolas, saya tidak pernah merasa sombong. Apalagi menguasai El. Anak itu nyaman dengan saya karena saya memperlakukannya dengan kasih sayang, sesuatu yang mungkin selama ini dia rindukan.”Tatapan Nicolas semakin tajam. “Jangan menggurui saya soal anak saya! Kamu pikir kamu tahu segalanya tentang El? Tentang apa yang dia butuhkan?”Ros tidak mundur. “Tuan, bukan saya yang tahu segalanya, tapi El yang menunjukkan apa yang dia butuhkan. Anda hanya tidak mau melihatnya. Anda sibuk mencari-cari alasan untuk tidak menerima kenyataan bahwa anak Anda merasa aman dengan orang lain, bahkan mungkin lebih dari yang dia rasakan dengan Anda.”Nicola
Ros menutup pintu kamarnya dengan sedikit lebih keras dari biasanya. Dia meletakkan piring kosong di meja kecil di sudut kamar, lalu menjatuhkan diri di atas ranjang. Wajahnya memerah, bukan karena malu, melainkan kesal."Pria itu benar-benar menyebalkan," gumamnya, menatap langit-langit.Ia memikirkan kembali percakapan mereka di dapur. Sederhana saja, hanya soal makan malam, tapi cara Nicolas berkomentar tentang berat badan dan membandingkannya dengan mendiang istrinya benar-benar membuat darahnya mendidih."Kalau makan malam bikin gemuk, lalu kenapa?" Rosa mendesis pada dirinya sendiri. "Aku makan, bukan minta uangnya untuk beli makanan, kan?"Dia menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya. Tapi semakin diingat, semakin kesal dia dibuatnya."Bagaimana mungkin pria semenyebalkan itu punya anak semanis El?" Rosa menggumam sambil memeluk bantalnya. "El itu lucu, manis, dan ramah. Jelas-jelas bukan sifat yang diwariskan dari ayahnya."Rosa terdiam, memikirkan El yang tadi sore
Ros mengantar El ke sekolah seperti biasa. Anak itu tampak ceria di sepanjang perjalanan, menceritakan teman-temannya di sekolah sambil memegang erat tangan Ros. Namun, semuanya berubah ketika mereka tiba di depan pintu kelas. El tiba-tiba berhenti melangkah, wajah cerianya berubah menjadi muram.“El? Kenapa kamu berhenti? Ayo masuk, teman-temanmu sudah menunggu,” ucap Ros lembut sambil berlutut di depan El.Anak itu hanya menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia memalingkan wajah, menatap ke arah lain sambil memainkan ujung seragamnya.“El, ada apa? Apa kamu sakit?” Ros mulai khawatir, tangannya menyentuh dahi El, memastikan anak itu baik-baik saja.El tetap diam, hanya menggeleng perlahan.Ros menarik napas panjang, mencoba mengendalikan kesabarannya. “Sayang, kamu bisa cerita sama Sus Ros. Kenapa kamu nggak mau masuk kelas? Apa ada yang mengganggumu?”Mata El mulai berkaca-kaca, tapi dia tetap tidak mau bicara. Ros, yang menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiran anak
Nicolas menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Lebih baik aku makan malam dengan Ros daripada dengan Bu Maya. Wanita yang sudah berusia, tapi belum mau menikah.”Alex yang sedang mencatat sesuatu di mapnya langsung terhenti. Dia menatap Nicolas dengan ekspresi bingung sekaligus tertarik. “Hah, Ros? Anda tertarik dengan suster El?”Nicolas mendengus, mengambil pulpen di mejanya, lalu memutar-mutarnya di antara jari-jarinya. “Jangan mengada-ada, Alex. Aku hanya bercanda.”Namun, Alex mengenal bosnya dengan baik. Nicolas jarang bercanda, terutama dalam urusan perempuan. “Bercanda atau tidak, saya tetap penasaran. Anda selalu bersikap dingin dengan semua orang, tapi Ros tampaknya menarik perhatian Anda, bukan?”Nicolas terdiam sejenak. Pikirannya kembali ke kejadian semalam, saat dia tanpa sadar mengamati Ros yang tengah malam mencari makan di dapur, lalu pagi ini saat dia menyindirnya di meja makan. Dia bahkan pulang lebih awal kemarin hanya karena El menyebut nama Ros
Ros merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menatap neneknya sekilas, mencoba mencari kepastian dalam tatapan sang wanita tua. Oma Agata tetap tenang, meskipun Ros tahu, di balik ketenangan itu, neneknya pasti juga merasa sedikit waspada."Loh, sepertinya saya mengenal Anda, tapi di mana ya?" tanya Nyonya Sandrina tiba-tiba, matanya menyipit seakan mencoba mengingat sesuatu.Ros buru-buru menegakkan tubuhnya, berusaha terlihat biasa saja. Namun, tangannya mengepal di pangkuan. "Mungkin Nyonya salah mengenali orang," ucapnya dengan nada seramah mungkin.Oma Agata tersenyum kecil, mengangguk setuju. "Bisa saja begitu. Saya memang banyak bepergian, mungkin kita pernah berpapasan di suatu tempat."Nyonya Sandrina mengangguk pelan, meski masih terlihat berpikir. "Ya, mungkin saya salah ingat. Tapi entah kenapa, wajah Anda sangat familiar di mata saya."Ros menelan ludahnya. Ia tidak boleh sampai ketahuan. Tidak sekarang."Apa Oma tinggal di kota ini?" tanya Bu Sandrina
Ros mengangguk. "Bagus kalau begitu. Saya harap Tuan bisa menanganinya dengan baik tanpa membuatnya merasa terluka." Nicolas mendengus pelan. "Kau bicara seolah-olah aku ini ayah yang buruk." Ros menatapnya dengan sorot mata tenang. "Bukan ayah yang buruk, hanya terlalu kaku." Nicolas mendecak, tapi tidak membantah. Ia melirik ke arah Ros sekali lagi sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. "Sudah cukup. Kau boleh pergi," Ucap Nicolas. Ros tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan keluar dari ruangan itu. Namun, bahkan setelah wanita itu pergi, Nicolas masih duduk diam, memikirkan sesuatu yang bahkan tidak ingin diakuinya sendiri. Setelah Ros menutup pintu, Nicolas menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. "Rosalia, kenapa kamu datang dan membuat aku kesulitan?" gumamnya lirih. Pria itu memijat pelipisnya, merasa kepalanya berat dengan segala pikiran yang berputar. Sejak
Nicolas berjalan melewati koridor lantai atas dengan langkah santai, tapi gerakannya terhenti saat mendengar suara El dari dalam kamar. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, dan suara anaknya yang polos terdengar jelas di telinganya. "Suster Ana, kalau acara di sekolah sudah selesai, Cus Ros masih jadi mama aku, kan?" tanya El dengan suara penuh harap. Nicolas mengernyit. Jantungnya berdegup lebih cepat tanpa alasan yang jelas. Suster Ana terkekeh lembut. "El sayang, Cus Ros tetap akan ada di sini untuk menjaga kamu. Tapi soal menjadi mama..." "Apa dia bisa jadi mama aku lagi kalau sudah di rumah?" El memotong dengan cepat. "Papa bisa menikah sama Cus Ros, kan?" Nicolas membelalakkan mata di balik pintu. Anak kecil ini benar-benar serius dengan keinginannya. Suster Ana tampak sedikit ragu untuk menjawab. "Itu semua tergantung Papa kamu, sayang." Tiba-tiba, Nicolas mendorong pintu dan melangkah masuk. El yang sedang duduk di tempat tidur langsung menoleh, wajahnya berbinar melih
Suster Ana tersenyum penuh arti. “Buktinya, dia tidak memecatmu seperti suster-suster sebelumnya. Dan dia bahkan membiarkanmu terlibat dalam hidup El lebih dari siapa pun.” Ros terdiam. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Nicolas memang menyebalkan, tapi dia juga belum pernah benar-benar mencoba menyingkirkan Ros. “Aku hanya ingin mengingatkan satu hal, Ros,” Suster Ana berkata dengan lembut. “Kamu mungkin menganggap ini hanya pekerjaan, tapi hati manusia itu rumit. El menyukaimu, dan mungkin… ada orang lain di rumah ini yang mulai memerhatikanmu lebih dari yang dia sadari.” Ros merasakan dadanya sedikit berdebar. Dia cepat-cepat berdiri. “Aku harus kembali ke atas, Suster Ana.” Suster Ana tersenyum tipis, seolah mengerti sesuatu yang Ros sendiri belum sadari. “Baiklah, Ros. Jangan terlalu dipikirkan, ya.” Ros berjalan keluar dari dapur, tapi pikirannya penuh dengan kata-kata Suster Ana. Apa mungkin Nicolas memang mulai memerhatikannya? Ah, tidak mungkin! Itu hal yang tidak mas
Nicolas menyandarkan tubuhnya ke sofa, kedua tangannya bertaut di depan dada. Tatapan tajamnya tertuju pada sang ibu yang terlihat santai menyeruput teh sore mereka. “Ma, berhenti mengatakan hal aneh seperti itu,” katanya dengan nada dingin. Nyonya Sandrina mengangkat alis. “Hal aneh seperti apa?” “Seperti aku akan mencintai Ros suatu saat nanti.” Ibunya tersenyum kecil, jelas menikmati ekspresi tegang putranya. “Memangnya kenapa? Ros itu gadis yang baik. Dia perhatian pada El, dan aku lihat dia juga cukup tangguh menghadapi kamu.” Nicolas mendengus. “Itu tidak akan mungkin terjadi, Ma.” “Oh?” “Aku tidak mungkin mencintai Ros,” ucapnya tegas. “Itu hal yang tidak masuk akal.” Nyonya Sandrina meletakkan cangkirnya ke meja, menatap Nicolas dengan penuh arti. “Kenapa tidak masuk akal?” Nicolas mengusap wajahnya, frustasi dengan pembicaraan ini. “Aku sudah pernah bilang, aku tidak tertarik menikah lagi. Aku tidak butuh pasangan, tidak butuh wanita lain dalam hidupku. Fokusku hanya
Setelah Ros menghilang dari pandangan, Nicolas masih berdiri di tempatnya, memandangi punggung wanita itu yang sudah menghilang. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganggunya. Perasaan tak nyaman yang enggan dia akui.Menghela napas panjang, dia melangkah menuju ruang keluarga, di mana ibunya masih duduk sambil menyesap teh hangat. Setelah Suster Ana membawa El ke kamarnya, suasana rumah terasa lebih tenang.Nicolas duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, menyandarkan tubuh dengan kelelahan yang tak hanya datang dari fisiknya, tetapi juga pikirannya.“Ma…” Nicolas memecah keheningan.“Hm?” Nyonya Sandrina menoleh, menatap putranya dengan tenang.“Apa aku salah?”Sang ibu menaikkan alisnya. “Salah dalam hal apa?”Nicolas mengusap wajahnya. “Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi El kalau dia ngambek seperti tadi.” Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, nyaris putus asa.Nyonya Sandrina meletakkan cangkir tehnya dan menatap putranya dengan lembut. “Anak kecil memang begitu, Ni
"Sa--saya tidak mengajarkan apa pun pada Tuan Muda El.""Oma, Cus jahat. Dia bilang tidak bisa jadi mama aku. Aku kan mau cus jadi mama aku di acara hari ibu. Masa hari ibu yang datang Papa," ocehan El yang sudah pandai bicara. "El sayang kan ada Oma. Nanti Oma yang datang, bagaimana?"Sementara Nyonya Sandrina membujuk El, Ros malah sejak tadi merasa cemas. Apalagi Tuan Nicolas tak henti memandangnga dengan tatapan sulit diartikan. Ros merasa gelisah. Tatapan Nicolas padanya semakin intens, seolah pria itu mencoba membaca pikirannya. Dia menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menenangkan diri.“El, Sayang.” Nyonya Sandrina mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Oma bisa datang ke acara Hari Ibu, ya? Jadi, El tidak perlu bersedih.”“Tapi, aku maunya Cus!” El bersikeras, bibir mungilnya mengerucut kesal.Ros menelan ludah. “El, Sayang, aku bukan mamamu. Aku hanya pengasuhmu.”“Tapi Cus baik, Cus sayang sama aku. Aku mau Cus jadi mama aku di acara itu!” rengek El sambil menarik tang
Nicolas menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Lebih baik aku makan malam dengan Ros daripada dengan Bu Maya. Wanita yang sudah berusia, tapi belum mau menikah.”Alex yang sedang mencatat sesuatu di mapnya langsung terhenti. Dia menatap Nicolas dengan ekspresi bingung sekaligus tertarik. “Hah, Ros? Anda tertarik dengan suster El?”Nicolas mendengus, mengambil pulpen di mejanya, lalu memutar-mutarnya di antara jari-jarinya. “Jangan mengada-ada, Alex. Aku hanya bercanda.”Namun, Alex mengenal bosnya dengan baik. Nicolas jarang bercanda, terutama dalam urusan perempuan. “Bercanda atau tidak, saya tetap penasaran. Anda selalu bersikap dingin dengan semua orang, tapi Ros tampaknya menarik perhatian Anda, bukan?”Nicolas terdiam sejenak. Pikirannya kembali ke kejadian semalam, saat dia tanpa sadar mengamati Ros yang tengah malam mencari makan di dapur, lalu pagi ini saat dia menyindirnya di meja makan. Dia bahkan pulang lebih awal kemarin hanya karena El menyebut nama Ros
Ros mengantar El ke sekolah seperti biasa. Anak itu tampak ceria di sepanjang perjalanan, menceritakan teman-temannya di sekolah sambil memegang erat tangan Ros. Namun, semuanya berubah ketika mereka tiba di depan pintu kelas. El tiba-tiba berhenti melangkah, wajah cerianya berubah menjadi muram.“El? Kenapa kamu berhenti? Ayo masuk, teman-temanmu sudah menunggu,” ucap Ros lembut sambil berlutut di depan El.Anak itu hanya menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia memalingkan wajah, menatap ke arah lain sambil memainkan ujung seragamnya.“El, ada apa? Apa kamu sakit?” Ros mulai khawatir, tangannya menyentuh dahi El, memastikan anak itu baik-baik saja.El tetap diam, hanya menggeleng perlahan.Ros menarik napas panjang, mencoba mengendalikan kesabarannya. “Sayang, kamu bisa cerita sama Sus Ros. Kenapa kamu nggak mau masuk kelas? Apa ada yang mengganggumu?”Mata El mulai berkaca-kaca, tapi dia tetap tidak mau bicara. Ros, yang menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiran anak