"Aku tidak mencari kesalahan Ros. Hanya saja aku heran dengannya," ujar Nicolas. "Tapi tetap saja kamu pulang cepat hari ini untuk Ros kan," ujar Nyonya Sandrina sambil duduk di kursi seberang Nicolas.Nicolas menggeleng. "Ada urusan yang harus diselesaikan."Nyonya Sandrina tersenyum kecil, tahu benar bahwa putranya sedang menyembunyikan sesuatu. "Urusan apa? Dan apa yang kamu bingungkan tentang Rosalia?"Nicolas mendongak, memandang ibunya dengan tajam. "Entah. Hanya saja Aneh dengan ucapan El. Apa anak sekecil itu bisa berpikir an seperti orang dewasa atau Ros yang mengajari El bicara itu?"Nyonya Sandrina mengangkat alis, tersenyum penuh arti. "Mana mungkin Nicolas. Mungkin kamu hanya terlalu takut El berpindah hati pada Ros.""Ya," jawab Nicolas dengan tegas, meski nada suaranya terdengar agak pelan. "Dia bilang dia sangat menyukai Ros dan meminta saya untuk tidak memecatnya. Jadi, saya harus memastikan semuanya berjalan lancar."Nyonya Sandrina mengangguk perlahan, namun seny
Nicolas yang sedang menyeruput tehnya, langsung tersedak. Ia meletakkan cangkir dengan tergesa, batuk-batuk kecil keluar dari mulutnya. "Apa, Ma?!" tanyanya dengan nada hampir tak percaya.Nyonya Sandrina hanya tersenyum tipis, seolah menikmati reaksi putranya. "Kamu dengar apa yang Mama katakan.""Astaga, Ma! Itu tidak masuk akal," ujar Nicolas, berusaha menguasai diri. "Saya tidak akan pernah menikah lagi. Tidak ada yang bisa menggantikan Erika.""Tidak ada yang meminta kamu menggantikan Erika," kata Nyonya Sandrina dengan nada sabar. "Tapi hidup kamu tidak hanya tentang perusahaan dan El, Nicolas. Kamu juga berhak bahagia."Nicolas menggeleng tegas, rahangnya mengeras. "Saya sudah bahagia, Bu. Bahagia dengan apa yang saya punya sekarang. Fokus saya hanya El dan perusahaan. Itu cukup.""Bahagia?" Nyonya Sandrina menatap putranya tajam, namun penuh kasih. "Nicolas, apa benar kamu bahagia? Atau kamu hanya bersembunyi di balik tanggung jawab untuk menghindari kenyataan?""Bu, saya tida
Nicolas berdiri dengan tangan terlipat di dada, tatapannya dingin mengarah ke Ros yang berdiri tak jauh darinya. Nicolas mendekat, matanya menyipit. “Jangan pikir kamu bisa sombong hanya karena El sudah berhasil kamu kuasai. Jangan merasa terlalu hebat, karena ini bukan tentang kamu.”Kata-kata itu menusuk Ros, tapi ia tidak mau terlihat goyah. “Tuan Nicolas, saya tidak pernah merasa sombong. Apalagi menguasai El. Anak itu nyaman dengan saya karena saya memperlakukannya dengan kasih sayang, sesuatu yang mungkin selama ini dia rindukan.”Tatapan Nicolas semakin tajam. “Jangan menggurui saya soal anak saya! Kamu pikir kamu tahu segalanya tentang El? Tentang apa yang dia butuhkan?”Ros tidak mundur. “Tuan, bukan saya yang tahu segalanya, tapi El yang menunjukkan apa yang dia butuhkan. Anda hanya tidak mau melihatnya. Anda sibuk mencari-cari alasan untuk tidak menerima kenyataan bahwa anak Anda merasa aman dengan orang lain, bahkan mungkin lebih dari yang dia rasakan dengan Anda.”Nicola
Ros menutup pintu kamarnya dengan sedikit lebih keras dari biasanya. Dia meletakkan piring kosong di meja kecil di sudut kamar, lalu menjatuhkan diri di atas ranjang. Wajahnya memerah, bukan karena malu, melainkan kesal."Pria itu benar-benar menyebalkan," gumamnya, menatap langit-langit.Ia memikirkan kembali percakapan mereka di dapur. Sederhana saja, hanya soal makan malam, tapi cara Nicolas berkomentar tentang berat badan dan membandingkannya dengan mendiang istrinya benar-benar membuat darahnya mendidih."Kalau makan malam bikin gemuk, lalu kenapa?" Rosa mendesis pada dirinya sendiri. "Aku makan, bukan minta uangnya untuk beli makanan, kan?"Dia menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya. Tapi semakin diingat, semakin kesal dia dibuatnya."Bagaimana mungkin pria semenyebalkan itu punya anak semanis El?" Rosa menggumam sambil memeluk bantalnya. "El itu lucu, manis, dan ramah. Jelas-jelas bukan sifat yang diwariskan dari ayahnya."Rosa terdiam, memikirkan El yang tadi sore
Ros mengantar El ke sekolah seperti biasa. Anak itu tampak ceria di sepanjang perjalanan, menceritakan teman-temannya di sekolah sambil memegang erat tangan Ros. Namun, semuanya berubah ketika mereka tiba di depan pintu kelas. El tiba-tiba berhenti melangkah, wajah cerianya berubah menjadi muram.“El? Kenapa kamu berhenti? Ayo masuk, teman-temanmu sudah menunggu,” ucap Ros lembut sambil berlutut di depan El.Anak itu hanya menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia memalingkan wajah, menatap ke arah lain sambil memainkan ujung seragamnya.“El, ada apa? Apa kamu sakit?” Ros mulai khawatir, tangannya menyentuh dahi El, memastikan anak itu baik-baik saja.El tetap diam, hanya menggeleng perlahan.Ros menarik napas panjang, mencoba mengendalikan kesabarannya. “Sayang, kamu bisa cerita sama Sus Ros. Kenapa kamu nggak mau masuk kelas? Apa ada yang mengganggumu?”Mata El mulai berkaca-kaca, tapi dia tetap tidak mau bicara. Ros, yang menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiran anak
Nicolas menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Lebih baik aku makan malam dengan Ros daripada dengan Bu Maya. Wanita yang sudah berusia, tapi belum mau menikah.”Alex yang sedang mencatat sesuatu di mapnya langsung terhenti. Dia menatap Nicolas dengan ekspresi bingung sekaligus tertarik. “Hah, Ros? Anda tertarik dengan suster El?”Nicolas mendengus, mengambil pulpen di mejanya, lalu memutar-mutarnya di antara jari-jarinya. “Jangan mengada-ada, Alex. Aku hanya bercanda.”Namun, Alex mengenal bosnya dengan baik. Nicolas jarang bercanda, terutama dalam urusan perempuan. “Bercanda atau tidak, saya tetap penasaran. Anda selalu bersikap dingin dengan semua orang, tapi Ros tampaknya menarik perhatian Anda, bukan?”Nicolas terdiam sejenak. Pikirannya kembali ke kejadian semalam, saat dia tanpa sadar mengamati Ros yang tengah malam mencari makan di dapur, lalu pagi ini saat dia menyindirnya di meja makan. Dia bahkan pulang lebih awal kemarin hanya karena El menyebut nama Ros
"Sa--saya tidak mengajarkan apa pun pada Tuan Muda El.""Oma, Cus jahat. Dia bilang tidak bisa jadi mama aku. Aku kan mau cus jadi mama aku di acara hari ibu. Masa hari ibu yang datang Papa," ocehan El yang sudah pandai bicara. "El sayang kan ada Oma. Nanti Oma yang datang, bagaimana?"Sementara Nyonya Sandrina membujuk El, Ros malah sejak tadi merasa cemas. Apalagi Tuan Nicolas tak henti memandangnga dengan tatapan sulit diartikan. Ros merasa gelisah. Tatapan Nicolas padanya semakin intens, seolah pria itu mencoba membaca pikirannya. Dia menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menenangkan diri.“El, Sayang.” Nyonya Sandrina mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Oma bisa datang ke acara Hari Ibu, ya? Jadi, El tidak perlu bersedih.”“Tapi, aku maunya Cus!” El bersikeras, bibir mungilnya mengerucut kesal.Ros menelan ludah. “El, Sayang, aku bukan mamamu. Aku hanya pengasuhmu.”“Tapi Cus baik, Cus sayang sama aku. Aku mau Cus jadi mama aku di acara itu!” rengek El sambil menarik tang
Setelah Ros menghilang dari pandangan, Nicolas masih berdiri di tempatnya, memandangi punggung wanita itu yang sudah menghilang. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganggunya. Perasaan tak nyaman yang enggan dia akui.Menghela napas panjang, dia melangkah menuju ruang keluarga, di mana ibunya masih duduk sambil menyesap teh hangat. Setelah Suster Ana membawa El ke kamarnya, suasana rumah terasa lebih tenang.Nicolas duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, menyandarkan tubuh dengan kelelahan yang tak hanya datang dari fisiknya, tetapi juga pikirannya.“Ma…” Nicolas memecah keheningan.“Hm?” Nyonya Sandrina menoleh, menatap putranya dengan tenang.“Apa aku salah?”Sang ibu menaikkan alisnya. “Salah dalam hal apa?”Nicolas mengusap wajahnya. “Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi El kalau dia ngambek seperti tadi.” Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, nyaris putus asa.Nyonya Sandrina meletakkan cangkir tehnya dan menatap putranya dengan lembut. “Anak kecil memang begitu, Ni
Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap. Suaranya tegas namun tetap lembut, mencoba meyakinkan wanita muda di depannya."Tidak masalah, Ros. Dan aku mau kamu menikah dengan Nicolas."Ros terkejut mendengar pernyataan itu. Hatinya mencelos, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Pernikahan? Dengan Nicolas? Itu terdengar mustahil baginya.Ros menggeleng pelan. "Nyonya… aku tidak pantas untuk Tuan Nicolas."Matanya mulai memanas, ada begitu banyak luka yang belum sembuh, begitu banyak beban yang masih ia pikul. Bagaimana bisa ia menjadi istri pria itu? Seorang pria yang bahkan tidak mencintainya? Seorang pria yang dulu, tanpa sadar, telah menghancurkan hidupnya?Nyonya Sandrina mendekat, menggenggam tangan Ros erat.Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap, berharap wanita muda itu menerima keputusannya.Nyonya Sandrina berkata lembut namun tegas. "Nicolas harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku tahu menjadi dirimu sa
"Ada apa denganmu, Nic?" Bu Sandrina bingung dengan wajah penuh cemas sang anak. Apalagi saat sekarang Nico berbicara sangat pelan. Apa yang dia takutkan? Ini rumahnya kenapa seolah-olah takut ada yang mendengar. "Katakan ada apa?" Tidak sabar, Bu Sandrina kembali memaksa Nicolas "Rosalia, adalah wanita yang pernah aku ceritakan pada Mama saat enam tahun lalu sebelum aku menikahi Erika." Bu Sandrina terkejut lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Apa ini pikirnya, sebuah kebetulan ataukah.... "Dan, aku baru tahu hari ini dan juga Rosalia pernah hamil anakku sepertinya. Tapi, dia bilang anak itu sehat saat dilahirkan. Akan tetapi, setelah itu tidak lama mereka mengatakan bayi Ros meninggal." Nicolas berkata dengan suara pelan. Lagi-lagi dia takut ada yang mendengar walau sudah tertutup pintu ruangan kerja miliknya. "Ada yang aku heran, kenapa Ros bertanya padaku tentang El? Apa dia kira El adalah anaknya?""Kalau El anaknya, ya berarti El anak kandung kamu juga." Sontak uc
"Tuan, Anda tidak bisa menggunakan anak kecil untuk kepentingan anda. Tidak adil itu," ujar Ros. "Saya tidak memanfaatkan siapa pun, dia anak saya. Anak kandung saya, paham." "El, anak kandung Anda?" Ros menatap Nicolas dengan mata yang melebar. Kata-kata pria itu baru saja menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia menelan ludah, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Rosalia terkejut, dengan suaranya sedikit bergetar. "El… anak kandung Anda?"Nicolas menatapnya tajam, sorot matanya penuh ketegasan, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam—rasa bersalah, mungkin."Ya. El anak kandung saya. Ada yang salah?"Ros menggelengkan kepalanya perlahan. Ini terlalu banyak untuk dicerna dalam satu waktu. Ia menatap El yang masih berada di pelukannya, kemudian kembali menatap Nicolas seolah mencari kebenaran di wajah pria itu.Tidak mungkin… kalimat itu menggema di hatinya. Nicolas menghela napas panjang. Ia melangkah lebih dekat, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh keyakinan.
Nicolas menatap Rosalia yang masih terisak, tubuhnya sedikit gemetar. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi yang keluar dari bibirnya hanya satu kalimat sederhana—sebuah permintaan maaf yang terasa begitu hampa dibandingkan luka yang telah ia goreskan."Ros, maafkan aku…" Suara Nucolas pelan dan sangat lembut. Ros terdiam sejenak. Ia menatap Nicolas dengan mata yang penuh luka, seolah baru kali ini ia benar-benar mendengar kata maaf yang selama ini ia harapkan. Namun, apakah kata maaf itu cukup? Apakah itu bisa mengubah apa yang telah terjadi?Rosalia tertawa pahit, suaranya serak karena menahan tangis. "Kata maaf Tuan tidak bisa mengubah semuanya."Nicolas tertegun. Matanya semakin dalam menatap Ros, tapi wanita itu justru mengalihkan pandangan, seolah tak sanggup lagi melihat wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya."Harga diriku sudah tidak ada artinya, Nicolas. Mereka semua menganggapku wanita malam… wanita yang hamil karena pelanggannya sendiri."Nicolas mengepalkan ta
"Jawab aku Rosalia! " Nicolas berucap pelan tapi begitu tegas hingga menyentak Ros. Tangan besar itu menarik kasar Ros hingga tersudut di tembok.Ruangan terasa mencekam. Nicolas menatap Rosalia dengan intens, dadanya naik turun menahan emosi. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Ia tidak suka perasaan yang mengganggu pikirannya sejak tadi, dan satu-satunya cara untuk memastikan semuanya adalah dengan mendengar kebenaran langsung dari mulut Ros.Nicolas kembali bersuara rendah, tapi tajam."Jawab aku, Rosalia!"Ros terkejut, tubuhnya sedikit gemetar saat tangan besar Nicolas menariknya dengan kasar hingga tersudut di tembok. Nafasnya tercekat, dadanya berdebar hebat. Mata pria itu penuh tuntutan, tak memberinya ruang untuk menghindar.Rosalia merasa gugup, mencoba tetap tenang. "Tuan N-Nicolas, apa maksudmu?"Nicolas semakin mendekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Matanya menyelidik, seolah mencoba membaca pikirannya.Nicolas menggertakkan gigi. "Aku tanya sekali lagi. Apa
Mobil Tian berhenti beberapa meter dari rumah Nicolas. Rosalia menghela napas panjang sebelum membuka pintu.Tian menatap Ros dengan sedikit khawatir. "Apa perlu aku antar sampai dalam rumah?"Rosalia menggeleng cepat, suaranya lirih tapi mantap. "Tidak perlu. Aku takut mereka banyak bertanya. Aku cukup mengatakan kalau aku diantar taksi online."Tian terkekeh, matanya berbinar geli.Tian tertawa ringan, "Taksi online setampan aku? Yang benar saja, Ros."Ros hanya tersenyum tipis sebelum turun dari mobil. Tian pun ikut keluar sebentar untuk memeriksa mobilnya. Namun, saat ia sedang memastikan semuanya baik-baik saja, sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Nicolas berdiri di teras rumah dengan ekspresi dingin dan tajam. Begitu matanya menangkap sosok Tian, api emosi langsung membakar dadanya. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat.Nicolas melangkah mendekat, suaranya tajam penuh sindiran. "Jadi…siapa pria itu?"Ros menoleh cepat, wajahnya sedikit tegang. Tian yang masih berdiri di s
Nicolas membuka pintu rumah dengan tergesa, langkahnya cepat menuju kamar El begitu mendengar suara tangisan anaknya yang semakin melemah. Tanpa ragu, ia mendorong pintu kamar dan melihat putranya duduk di tempat tidur, wajahnya basah oleh air mata, sementara Suster Ana berusaha menenangkannya."El… Papa di sini." Suaranya sangat lembut. El mengangkat kepalanya, matanya bengkak dan sembab. Begitu melihat Nicolas, bocah itu langsung mengulurkan tangannya, meminta dipeluk. Nicolas segera mendekat dan menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya."Mau Cus Ros… Cus Ros di mana?"Nicolas menghela napas panjang, menahan emosinya. Ia mengusap punggung El dengan lembut, mencoba menenangkannya, tetapi hatinya terasa panas. Nama Ros terus disebut, seolah dirinya tak cukup untuk anaknya sendiri.Nicolas menahan kesal. "El, Ros tidak di sini sekarang. Tapi Papa ada di sini. Papa akan menemani kamu."El tetap terisak, tidak menjawab. Tangannya tetap menggenggam erat baju Nicolas, seolah takut keh
Rosalia dan Tian sudah sampai di rumah Oma Agata. Melihat banyaknya keluarga Oma juga beberapa pengacara keluarga dan tentunya Aldo dan keluarganya yang serakah."Ros akhirnya kamu datang." Oma Agata langsung memeluk Ros."Oma, untuk apa Oma menunggu cucu angkat Oma. Enggak ada gunanya, toh semua harta Oma jatuh ke tangan aku yang memang bisa membuat perusahaan lebih maju." Aldo dengan bangganya mengatakan hal yang sangat memuakkan."Jangan percaya diri dulu kamu Aldo," ujar Tian."Tian, jangan ikut campur.""Ini urusan aku juga, aku juga keluarga Oma Agata!"Suasana ruang keluarga terasa tegang. Semua mata tertuju pada Tian yang dengan tegas membalas Aldo. Ros menggenggam tangan Tian, mencoba menenangkan, tapi ia sendiri merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Aldo yang begitu angkuh.Oma Agata menarik napas panjang, lalu menatap Aldo dengan sorot mata tajam. "Aldo, jangan pernah menganggap Ros bukan bagian dari keluarga ini."Aldo mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Oma, ki
Pak Bagaskara terdiam. Hatinya berkecamuk, tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.“Ros,” katanya akhirnya dengan suara tenang, “beberapa hal dalam hidup lebih baik dibiarkan seperti adanya. Apa yang sudah terjadi, biarkan berlalu.”Mata Ros berkaca-kaca. “Papa menyembunyikan sesuatu, bukan?”Pak Bagaskara tidak menjawab. Ia hanya menatap Ros dengan pandangan yang sulit diartikan. Hening memenuhi ruangan, menciptakan jarak yang lebih dalam di antara mereka.Tanpa menunggu jawaban, Ros melangkah pergi. Pak Bagaskara hanya menatap punggung putrinya yang menjauh, perasaan bersalah mulai menghantui hatinya.Tak lama setelah Ros pergi, Bu Haniva masuk ke ruang tamu. Wanita itu mendekati suaminya dan duduk di sebelahnya. “Pa, kamu tidak perlu cemas,” katanya pelan. “Ros tidak akan pernah menemukan kebenarannya.”Pak Bagaskara menghela napas berat, lalu menatap istrinya. “Aku takut, Haniva. Jika suatu saat dia tahu segalanya, bagaimana?”Bu Haniva menggenggam tangan suaminya, me