Setelah Ros menghilang dari pandangan, Nicolas masih berdiri di tempatnya, memandangi punggung wanita itu yang sudah menghilang. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganggunya. Perasaan tak nyaman yang enggan dia akui.Menghela napas panjang, dia melangkah menuju ruang keluarga, di mana ibunya masih duduk sambil menyesap teh hangat. Setelah Suster Ana membawa El ke kamarnya, suasana rumah terasa lebih tenang.Nicolas duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, menyandarkan tubuh dengan kelelahan yang tak hanya datang dari fisiknya, tetapi juga pikirannya.“Ma…” Nicolas memecah keheningan.“Hm?” Nyonya Sandrina menoleh, menatap putranya dengan tenang.“Apa aku salah?”Sang ibu menaikkan alisnya. “Salah dalam hal apa?”Nicolas mengusap wajahnya. “Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi El kalau dia ngambek seperti tadi.” Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, nyaris putus asa.Nyonya Sandrina meletakkan cangkir tehnya dan menatap putranya dengan lembut. “Anak kecil memang begitu, Ni
Nicolas menyandarkan tubuhnya ke sofa, kedua tangannya bertaut di depan dada. Tatapan tajamnya tertuju pada sang ibu yang terlihat santai menyeruput teh sore mereka. “Ma, berhenti mengatakan hal aneh seperti itu,” katanya dengan nada dingin. Nyonya Sandrina mengangkat alis. “Hal aneh seperti apa?” “Seperti aku akan mencintai Ros suatu saat nanti.” Ibunya tersenyum kecil, jelas menikmati ekspresi tegang putranya. “Memangnya kenapa? Ros itu gadis yang baik. Dia perhatian pada El, dan aku lihat dia juga cukup tangguh menghadapi kamu.” Nicolas mendengus. “Itu tidak akan mungkin terjadi, Ma.” “Oh?” “Aku tidak mungkin mencintai Ros,” ucapnya tegas. “Itu hal yang tidak masuk akal.” Nyonya Sandrina meletakkan cangkirnya ke meja, menatap Nicolas dengan penuh arti. “Kenapa tidak masuk akal?” Nicolas mengusap wajahnya, frustasi dengan pembicaraan ini. “Aku sudah pernah bilang, aku tidak tertarik menikah lagi. Aku tidak butuh pasangan, tidak butuh wanita lain dalam hidupku. Fokusku hanya
Suster Ana tersenyum penuh arti. “Buktinya, dia tidak memecatmu seperti suster-suster sebelumnya. Dan dia bahkan membiarkanmu terlibat dalam hidup El lebih dari siapa pun.” Ros terdiam. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Nicolas memang menyebalkan, tapi dia juga belum pernah benar-benar mencoba menyingkirkan Ros. “Aku hanya ingin mengingatkan satu hal, Ros,” Suster Ana berkata dengan lembut. “Kamu mungkin menganggap ini hanya pekerjaan, tapi hati manusia itu rumit. El menyukaimu, dan mungkin… ada orang lain di rumah ini yang mulai memerhatikanmu lebih dari yang dia sadari.” Ros merasakan dadanya sedikit berdebar. Dia cepat-cepat berdiri. “Aku harus kembali ke atas, Suster Ana.” Suster Ana tersenyum tipis, seolah mengerti sesuatu yang Ros sendiri belum sadari. “Baiklah, Ros. Jangan terlalu dipikirkan, ya.” Ros berjalan keluar dari dapur, tapi pikirannya penuh dengan kata-kata Suster Ana. Apa mungkin Nicolas memang mulai memerhatikannya? Ah, tidak mungkin! Itu hal yang tidak mas
Nicolas berjalan melewati koridor lantai atas dengan langkah santai, tapi gerakannya terhenti saat mendengar suara El dari dalam kamar. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, dan suara anaknya yang polos terdengar jelas di telinganya. "Suster Ana, kalau acara di sekolah sudah selesai, Cus Ros masih jadi mama aku, kan?" tanya El dengan suara penuh harap. Nicolas mengernyit. Jantungnya berdegup lebih cepat tanpa alasan yang jelas. Suster Ana terkekeh lembut. "El sayang, Cus Ros tetap akan ada di sini untuk menjaga kamu. Tapi soal menjadi mama..." "Apa dia bisa jadi mama aku lagi kalau sudah di rumah?" El memotong dengan cepat. "Papa bisa menikah sama Cus Ros, kan?" Nicolas membelalakkan mata di balik pintu. Anak kecil ini benar-benar serius dengan keinginannya. Suster Ana tampak sedikit ragu untuk menjawab. "Itu semua tergantung Papa kamu, sayang." Tiba-tiba, Nicolas mendorong pintu dan melangkah masuk. El yang sedang duduk di tempat tidur langsung menoleh, wajahnya berbinar melih
Ros mengangguk. "Bagus kalau begitu. Saya harap Tuan bisa menanganinya dengan baik tanpa membuatnya merasa terluka." Nicolas mendengus pelan. "Kau bicara seolah-olah aku ini ayah yang buruk." Ros menatapnya dengan sorot mata tenang. "Bukan ayah yang buruk, hanya terlalu kaku." Nicolas mendecak, tapi tidak membantah. Ia melirik ke arah Ros sekali lagi sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. "Sudah cukup. Kau boleh pergi," Ucap Nicolas. Ros tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan keluar dari ruangan itu. Namun, bahkan setelah wanita itu pergi, Nicolas masih duduk diam, memikirkan sesuatu yang bahkan tidak ingin diakuinya sendiri. Setelah Ros menutup pintu, Nicolas menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. "Rosalia, kenapa kamu datang dan membuat aku kesulitan?" gumamnya lirih. Pria itu memijat pelipisnya, merasa kepalanya berat dengan segala pikiran yang berputar. Sejak
Ros merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menatap neneknya sekilas, mencoba mencari kepastian dalam tatapan sang wanita tua. Oma Agata tetap tenang, meskipun Ros tahu, di balik ketenangan itu, neneknya pasti juga merasa sedikit waspada."Loh, sepertinya saya mengenal Anda, tapi di mana ya?" tanya Nyonya Sandrina tiba-tiba, matanya menyipit seakan mencoba mengingat sesuatu.Ros buru-buru menegakkan tubuhnya, berusaha terlihat biasa saja. Namun, tangannya mengepal di pangkuan. "Mungkin Nyonya salah mengenali orang," ucapnya dengan nada seramah mungkin.Oma Agata tersenyum kecil, mengangguk setuju. "Bisa saja begitu. Saya memang banyak bepergian, mungkin kita pernah berpapasan di suatu tempat."Nyonya Sandrina mengangguk pelan, meski masih terlihat berpikir. "Ya, mungkin saya salah ingat. Tapi entah kenapa, wajah Anda sangat familiar di mata saya."Ros menelan ludahnya. Ia tidak boleh sampai ketahuan. Tidak sekarang."Apa Oma tinggal di kota ini?" tanya Bu Sandrina
Ros merasakan tubuh Oma Agata sedikit bergetar dalam pelukannya. Wanita tua itu mencoba tegar, tetapi kesedihan di matanya tidak bisa disembunyikan."Oma… kenapa tidak pernah cerita soal ini sebelumnya?" tanya Ros pelan, suaranya penuh rasa bersalah.Oma Agata menghela napas panjang sebelum menjawab, "Karena setiap kali membicarakannya, Oma merasa kehilangan itu semakin nyata." Matanya menerawang jauh, seolah kembali ke masa lalu yang penuh luka. "Cucu kandung Oma… dia diambil ayahnya. Entah sekarang berada di mana."Ros semakin mengeratkan pelukannya. "Kenapa Oma tidak mencarinya?"Wanita tua itu tersenyum pahit. "Ros, sudah berpuluh tahun. Usianya mungkin sama denganmu sekarang. Sangat sulit, meskipun aku memiliki banyak koneksi."Ros menarik napas dalam. Ia tahu, meskipun neneknya adalah wanita yang kuat, luka kehilangan seorang anak dan cucu tidak akan pernah benar-benar sembuh."Tapi, Oma… bagaimana kalau dia juga sedang mencari keluarga yang telah lama hilang?" gumam Ros, suaran
"Kamu marah sama mama Nico?" ujar Nyonya Sandrina sambil menuangkan teh ke dalam cangkirnya.Nicolas mendengus, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Mama, kalau mau bicara soal pekerjaan, silakan. Tapi kalau soal Ros, aku malas mendengarnya."Nyonya Sandrina tersenyum kecil. "Kenapa? Apa kau takut akhirnya menyukai gadis itu?"Nicolas mendesah panjang. "Ros bukan tipeku, Ma. Aku sudah bilang berkali-kali."Nyonya Sandrina tertawa pelan, mengaduk tehnya dengan santai. "Cinta itu tidak butuh tipe, Nak. Kadang datang tiba-tiba, bahkan pada orang yang paling kau pikir tidak mungkin."Nicolas menggeleng, merasa frustrasi. "Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya. Dia keras kepala, membantahku setiap saat, dan—""Dan kamu tidak bisa mengabaikannya, kan?" potong Nyonya Sandrina cepat.Nicolas terdiam. Rahangnya mengeras, tapi tidak membantah.Sang ibu tersenyum penuh kemenangan. "Dengar, Nico. Kamu sudah terlalu lama menutup hati. Jika memang Ros bisa membuat El bahagia, kenapa kamu harus menolakny
Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap. Suaranya tegas namun tetap lembut, mencoba meyakinkan wanita muda di depannya."Tidak masalah, Ros. Dan aku mau kamu menikah dengan Nicolas."Ros terkejut mendengar pernyataan itu. Hatinya mencelos, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Pernikahan? Dengan Nicolas? Itu terdengar mustahil baginya.Ros menggeleng pelan. "Nyonya… aku tidak pantas untuk Tuan Nicolas."Matanya mulai memanas, ada begitu banyak luka yang belum sembuh, begitu banyak beban yang masih ia pikul. Bagaimana bisa ia menjadi istri pria itu? Seorang pria yang bahkan tidak mencintainya? Seorang pria yang dulu, tanpa sadar, telah menghancurkan hidupnya?Nyonya Sandrina mendekat, menggenggam tangan Ros erat.Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap, berharap wanita muda itu menerima keputusannya.Nyonya Sandrina berkata lembut namun tegas. "Nicolas harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku tahu menjadi dirimu sa
"Ada apa denganmu, Nic?" Bu Sandrina bingung dengan wajah penuh cemas sang anak. Apalagi saat sekarang Nico berbicara sangat pelan. Apa yang dia takutkan? Ini rumahnya kenapa seolah-olah takut ada yang mendengar. "Katakan ada apa?" Tidak sabar, Bu Sandrina kembali memaksa Nicolas "Rosalia, adalah wanita yang pernah aku ceritakan pada Mama saat enam tahun lalu sebelum aku menikahi Erika." Bu Sandrina terkejut lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Apa ini pikirnya, sebuah kebetulan ataukah.... "Dan, aku baru tahu hari ini dan juga Rosalia pernah hamil anakku sepertinya. Tapi, dia bilang anak itu sehat saat dilahirkan. Akan tetapi, setelah itu tidak lama mereka mengatakan bayi Ros meninggal." Nicolas berkata dengan suara pelan. Lagi-lagi dia takut ada yang mendengar walau sudah tertutup pintu ruangan kerja miliknya. "Ada yang aku heran, kenapa Ros bertanya padaku tentang El? Apa dia kira El adalah anaknya?""Kalau El anaknya, ya berarti El anak kandung kamu juga." Sontak uc
"Tuan, Anda tidak bisa menggunakan anak kecil untuk kepentingan anda. Tidak adil itu," ujar Ros. "Saya tidak memanfaatkan siapa pun, dia anak saya. Anak kandung saya, paham." "El, anak kandung Anda?" Ros menatap Nicolas dengan mata yang melebar. Kata-kata pria itu baru saja menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia menelan ludah, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Rosalia terkejut, dengan suaranya sedikit bergetar. "El… anak kandung Anda?"Nicolas menatapnya tajam, sorot matanya penuh ketegasan, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam—rasa bersalah, mungkin."Ya. El anak kandung saya. Ada yang salah?"Ros menggelengkan kepalanya perlahan. Ini terlalu banyak untuk dicerna dalam satu waktu. Ia menatap El yang masih berada di pelukannya, kemudian kembali menatap Nicolas seolah mencari kebenaran di wajah pria itu.Tidak mungkin… kalimat itu menggema di hatinya. Nicolas menghela napas panjang. Ia melangkah lebih dekat, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh keyakinan.
Nicolas menatap Rosalia yang masih terisak, tubuhnya sedikit gemetar. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi yang keluar dari bibirnya hanya satu kalimat sederhana—sebuah permintaan maaf yang terasa begitu hampa dibandingkan luka yang telah ia goreskan."Ros, maafkan aku…" Suara Nucolas pelan dan sangat lembut. Ros terdiam sejenak. Ia menatap Nicolas dengan mata yang penuh luka, seolah baru kali ini ia benar-benar mendengar kata maaf yang selama ini ia harapkan. Namun, apakah kata maaf itu cukup? Apakah itu bisa mengubah apa yang telah terjadi?Rosalia tertawa pahit, suaranya serak karena menahan tangis. "Kata maaf Tuan tidak bisa mengubah semuanya."Nicolas tertegun. Matanya semakin dalam menatap Ros, tapi wanita itu justru mengalihkan pandangan, seolah tak sanggup lagi melihat wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya."Harga diriku sudah tidak ada artinya, Nicolas. Mereka semua menganggapku wanita malam… wanita yang hamil karena pelanggannya sendiri."Nicolas mengepalkan ta
"Jawab aku Rosalia! " Nicolas berucap pelan tapi begitu tegas hingga menyentak Ros. Tangan besar itu menarik kasar Ros hingga tersudut di tembok.Ruangan terasa mencekam. Nicolas menatap Rosalia dengan intens, dadanya naik turun menahan emosi. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Ia tidak suka perasaan yang mengganggu pikirannya sejak tadi, dan satu-satunya cara untuk memastikan semuanya adalah dengan mendengar kebenaran langsung dari mulut Ros.Nicolas kembali bersuara rendah, tapi tajam."Jawab aku, Rosalia!"Ros terkejut, tubuhnya sedikit gemetar saat tangan besar Nicolas menariknya dengan kasar hingga tersudut di tembok. Nafasnya tercekat, dadanya berdebar hebat. Mata pria itu penuh tuntutan, tak memberinya ruang untuk menghindar.Rosalia merasa gugup, mencoba tetap tenang. "Tuan N-Nicolas, apa maksudmu?"Nicolas semakin mendekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Matanya menyelidik, seolah mencoba membaca pikirannya.Nicolas menggertakkan gigi. "Aku tanya sekali lagi. Apa
Mobil Tian berhenti beberapa meter dari rumah Nicolas. Rosalia menghela napas panjang sebelum membuka pintu.Tian menatap Ros dengan sedikit khawatir. "Apa perlu aku antar sampai dalam rumah?"Rosalia menggeleng cepat, suaranya lirih tapi mantap. "Tidak perlu. Aku takut mereka banyak bertanya. Aku cukup mengatakan kalau aku diantar taksi online."Tian terkekeh, matanya berbinar geli.Tian tertawa ringan, "Taksi online setampan aku? Yang benar saja, Ros."Ros hanya tersenyum tipis sebelum turun dari mobil. Tian pun ikut keluar sebentar untuk memeriksa mobilnya. Namun, saat ia sedang memastikan semuanya baik-baik saja, sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Nicolas berdiri di teras rumah dengan ekspresi dingin dan tajam. Begitu matanya menangkap sosok Tian, api emosi langsung membakar dadanya. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat.Nicolas melangkah mendekat, suaranya tajam penuh sindiran. "Jadi…siapa pria itu?"Ros menoleh cepat, wajahnya sedikit tegang. Tian yang masih berdiri di s
Nicolas membuka pintu rumah dengan tergesa, langkahnya cepat menuju kamar El begitu mendengar suara tangisan anaknya yang semakin melemah. Tanpa ragu, ia mendorong pintu kamar dan melihat putranya duduk di tempat tidur, wajahnya basah oleh air mata, sementara Suster Ana berusaha menenangkannya."El… Papa di sini." Suaranya sangat lembut. El mengangkat kepalanya, matanya bengkak dan sembab. Begitu melihat Nicolas, bocah itu langsung mengulurkan tangannya, meminta dipeluk. Nicolas segera mendekat dan menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya."Mau Cus Ros… Cus Ros di mana?"Nicolas menghela napas panjang, menahan emosinya. Ia mengusap punggung El dengan lembut, mencoba menenangkannya, tetapi hatinya terasa panas. Nama Ros terus disebut, seolah dirinya tak cukup untuk anaknya sendiri.Nicolas menahan kesal. "El, Ros tidak di sini sekarang. Tapi Papa ada di sini. Papa akan menemani kamu."El tetap terisak, tidak menjawab. Tangannya tetap menggenggam erat baju Nicolas, seolah takut keh
Rosalia dan Tian sudah sampai di rumah Oma Agata. Melihat banyaknya keluarga Oma juga beberapa pengacara keluarga dan tentunya Aldo dan keluarganya yang serakah."Ros akhirnya kamu datang." Oma Agata langsung memeluk Ros."Oma, untuk apa Oma menunggu cucu angkat Oma. Enggak ada gunanya, toh semua harta Oma jatuh ke tangan aku yang memang bisa membuat perusahaan lebih maju." Aldo dengan bangganya mengatakan hal yang sangat memuakkan."Jangan percaya diri dulu kamu Aldo," ujar Tian."Tian, jangan ikut campur.""Ini urusan aku juga, aku juga keluarga Oma Agata!"Suasana ruang keluarga terasa tegang. Semua mata tertuju pada Tian yang dengan tegas membalas Aldo. Ros menggenggam tangan Tian, mencoba menenangkan, tapi ia sendiri merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Aldo yang begitu angkuh.Oma Agata menarik napas panjang, lalu menatap Aldo dengan sorot mata tajam. "Aldo, jangan pernah menganggap Ros bukan bagian dari keluarga ini."Aldo mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Oma, ki
Pak Bagaskara terdiam. Hatinya berkecamuk, tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.“Ros,” katanya akhirnya dengan suara tenang, “beberapa hal dalam hidup lebih baik dibiarkan seperti adanya. Apa yang sudah terjadi, biarkan berlalu.”Mata Ros berkaca-kaca. “Papa menyembunyikan sesuatu, bukan?”Pak Bagaskara tidak menjawab. Ia hanya menatap Ros dengan pandangan yang sulit diartikan. Hening memenuhi ruangan, menciptakan jarak yang lebih dalam di antara mereka.Tanpa menunggu jawaban, Ros melangkah pergi. Pak Bagaskara hanya menatap punggung putrinya yang menjauh, perasaan bersalah mulai menghantui hatinya.Tak lama setelah Ros pergi, Bu Haniva masuk ke ruang tamu. Wanita itu mendekati suaminya dan duduk di sebelahnya. “Pa, kamu tidak perlu cemas,” katanya pelan. “Ros tidak akan pernah menemukan kebenarannya.”Pak Bagaskara menghela napas berat, lalu menatap istrinya. “Aku takut, Haniva. Jika suatu saat dia tahu segalanya, bagaimana?”Bu Haniva menggenggam tangan suaminya, me