Lima tahun kemudian
Ros sudah sampai di rumah megah milik Nyonya Agata. Dirinya sengaja pulang dulu dan berganti pakaian. Dirinya sangat lelah karena setelah dia bertugas mengecek beberapa pasien anak yang baru saja akan pulang, dirinya pun harus menjaga Oma Agata yang sedang di rawat di rumah sakit. "Non, hari ini apa kondisi Nyonya besar sudah pulih?" tanya Bi Siti. "Alhamdulillah sudah, Bi. Tadi saya enggak bawa baju. Mandi di rumah sakit agak gimana gitu, Bi," ucap Ros. "Iya sih. Non, pokonya kabarin kondisi Nyonya. Sepi banget kalau enggak ada Nyonya besar." Bi Siti kepala pelayan kembali bicara. Ros tersenyum tipis, meskipun hatinya masih sedikit gundah. "Iya, Bi. Saya pasti kabarin terus. Doain aja Nyonya cepat pulih, ya." Bi Siti mengangguk semangat, matanya penuh harap. "Pasti, Non. Saya selalu doain yang terbaik buat Nyonya besar. Kalau Nyonya sudah pulang, rumah ini pasti ramai lagi. Rasanya kosong banget kalau beliau enggak ada." "Non, kalau Non Ros capek, istirahat aja dulu. Jangan terlalu dipaksain. Nyonya pasti enggak mau lihat Non sakit juga," ucap Bi Siti lagi dengan nada perhatian. Ros tersenyum lebih tulus kali ini. "Terima kasih, Bi. Saya tahu Bi Siti selalu perhatian. Nanti kalau ada kabar apa-apa, saya pasti langsung kasih tahu." "Iya, Non. Jangan lupa makan, ya," ujar Bi Siti sebelum berlalu, meninggalkan Ros sendiri dengan pikirannya. Ros menatap langit-langit rumah, menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia berdoa agar semuanya bisa kembali seperti dulu—meski ia tahu, ada bagian dari dirinya yang tak akan pernah sama lagi. *** Ros dengan cepat melangkah masuk ke rumah sakit. Walau dia tahu sang nenek kondisinya sudah baik-baik saja,tapi tetap saja dia cemas. Ros tersentak saat tubuh kecil seorang anak laki-laki tiba-tiba menabraknya. Hanya dalam sekejap, pandangannya tertuju pada darah yang menetes dari tangan kecil anak itu. Selang infusnya terlihat terlepas, meninggalkan luka kecil yang mengeluarkan darah. “Hey! Kamu siapa? Kenapa bisa seperti ini?” Rosa bertanya panik sambil berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang anak. Anak itu tidak menjawab, hanya menatap Rosa dengan mata yang besar dan penuh ketakutan. Napasnya terengah-engah seperti habis berlari jauh, dan tubuhnya gemetar. Rosa bisa melihat wajah anak itu pucat, jelas tidak sehat, namun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Rosa terdiam sejenak. “Infusmu terlepas, kamu terluka,” Rosa berkata dengan suara lebih lembut, mencoba menenangkan anak itu. Ia meraih tasnya, mencari sesuatu untuk menghentikan darah yang masih mengalir. “Kita harus segera mengobatinya.” Namun, anak itu tiba-tiba menariknya. "Aku tidak mau kembali ke kamar, aku bosan. Aku mau main saja." “Baiklah,” kata Rosa lembut, mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu anak itu. “Aku tidak akan membawamu ke mana pun. Tapi aku perlu menghentikan lukamu dulu, oke?” Anak itu memandang Rosa dengan ragu, tetapi akhirnya mengangguk perlahan. Rosa segera mengambil syal dari lehernya, melilitkannya dengan hati-hati di sekitar luka untuk menghentikan darah. “Namamu siapa?” tanya Rosa sambil bekerja, mencoba membuat anak itu merasa lebih nyaman. “...El,” jawab anak itu pelan. "Nama yang bagus." Rosa tidak mungkin membiarkan darah itu terus mengalir. Wanita itu hendak membawa ke ruangan perawatan tapi dia kembali di kejutkan oleh suara pria dewasa. "Mau di bawa ke mana anak itu dan mengapa dia mengeluarkan banyak darah?" Rosa terkejut dengan kemarahan pria itu yang tiba-tiba, apalagi ketika dia menyebut anak laki-laki itu sebagai "anaknya." Namun, yang lebih mengejutkan adalah reaksi El. Alih-alih merasa lega atau senang, anak itu justru semakin erat memeluk Rosa, tubuhnya gemetar seolah-olah pria itu adalah sosok yang paling ia takuti. “Dia anakku! Cepat berikan dia padaku!” Pria itu berkata dengan nada penuh otoritas, langkahnya semakin mendekat. Namun, Rosa segera mundur selangkah, melindungi El dengan tubuhnya. “Tunggu! Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Saya tidak akan menyerahkan dia begitu saja tanpa tahu kebenarannya!” katanya tegas, meski suara dan tubuhnya sedikit bergetar. Pria itu tampak semakin marah, kalau menghampiri sang anak. Wajah itu berubah semringah lalu cemberut. Hal itu sudah biasa dilihatnya dari sang anak. "kamu sengaja berulah karena aku pergi selama beberapa hari?" Anak laki-laki itu tidak menjawabnya wajahnya malah cemberut, lalu menyembunyikan wajahnya di bahu Ros. Nic kembali mencoba membujuk sang anak dengan kembali menoleh mensejajarkan wajah mereka. "kamu marah padaku?" El tidak langsung menjawab, lalu mengangguk pelan. Nicolas menghela napas. "Tapi kita obati dulu tanganmu ya? Lalu kamu bisa lanjut marah padaku." Nicolas kembali berniat mengambil El dari gendongan Ros, tapi bocah itu menolak dan justru mengeratkan pelukannya pada Rosa. Nicolas hendak menegur, tapi Ros kemudian berkata bahwa dia bisa mengobati El dalam gendongannya apabila diperkenankan → suara Ros lembut dan keibuan membuat Nicolas sedikit melunak dan berhubung El tak mau lepas dari wanita itu. ***Nicolas mencoba menarik napas dan menghilangkan egonya. sang anak sangat nyaman dengan Ros. mana mungkin dia asal mengambilnya. Nicolas memperhatikan Rosa dengan tatapan tak lepas, bagaimana wanita itu dengan penuh kesabaran membersihkan darah yang mengalir di sekitar infus di tangan kecil El. Gerakannya begitu lembut, hampir seperti takut menyakiti bocah itu. Sesekali, Rosa berbicara pelan pada El, menenangkan anak itu dengan senyuman yang tulus. Nicolas berusaha memahami perasaan aneh yang menjalari hatinya. Pandangannya bergantian tertuju pada Rosa dan El—dua sosok yang tampak begitu serasi dalam momen ini. "Apakah karena El tak pernah punya ibu," gumam Nicolas lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri, "aku jadi melihat keduanya seperti ibu dan anak kandung?" Rosa mendongak sebentar, memberi anggukan kecil. "Sudah selesai," katanya singkat, suaranya tetap lembut. Ia kembali mengelus kepala El. Nicolas menelan ludah, perasaan rumit menggelayuti benaknya. Dari k
Rosa menunduk sejenak, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Tawaran itu begitu menggiurkan, tapi juga membingungkan. Ia tidak pernah membayangkan akan dihadapkan pada pilihan seperti ini."Terima kasih atas tawarannya, Nyonya," jawab Rosa akhirnya, suaranya tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. "Tapi... ini adalah keputusan besar. Bolehkah saya minta waktu untuk memikirkannya?"Nyonya Sandrina tersenyum tipis, seolah telah menduga jawaban itu. "Tentu saja, Rosa. Saya tidak meminta keputusan segera. Pikirkan baik-baik. Saya hanya ingin yang terbaik untuk El, dan saya percaya, kamu adalah orang yang tepat."Rosa mengangguk pelan. Matanya kembali terarah pada El. Dalam benaknya, bayangan tentang pekerjaan baru itu mulai terbentuk—kesempatan besar, namun penuh tanggung jawab. Di satu sisi, banyak hal yang akan tertunda. Semua yang sudah di planing olehnya mungkin akan dia jadwal ulang kembali. "Saya akan memberi kabar secepatnya, Nyonya," kata Rosa, menatap Nyonya S
"Tuan, di mana kita pernah bertemu?" tanya Ros. Ros merasa aneh, pria kaya dan tampan seperti Nicolas pernah bertemu dengannya, tapi di mana? "Ah, sudah lupakan. Ros, saya pergi dulu." Rosa mengernyit mendengar jawaban itu. Ada sesuatu yang terasa ganjil, seperti ada cerita yang belum diungkapkan sepenuhnya oleh Nicolas. Tapi sebelum ia sempat menanyakan lebih lanjut, pria itu sudah berbalik. "Tuan Nicolas, tunggu," panggil Rosa. Ia melangkah maju, merasa ada sesuatu yang penting untuk dipahami. "Kenapa Anda bilang kita harus melupakan? Kalau memang kita pernah bertemu, saya ingin tahu." Nicolas berhenti sejenak, punggungnya masih menghadap Rosa. Ia tampak ragu, seperti sedang mempertimbangkan apakah ia harus menjelaskan atau tetap diam. "Ada banyak hal dalam hidup yang lebih baik dibiarkan berlalu, Rosa," ucap Nicolas tanpa menoleh. "Tapi—" Rosa ingin menyela, namun Nicolas melanjutkan. "Dan tentang tawaran ibuku," ia berbalik sedikit, matanya bertemu dengan Rosa. "A
Ros tergesa-gesa menghampiri ruangan El karna cemas anak itu menangis dan tidak tenang. "Bagaimana Tuan muda El? tanya RosKetika Rosa masuk ke ruangan El, ia melihat Suster Ana sedang mencoba menenangkan anak itu yang tampak gelisah di tempat tidurnya. Wajah El memerah, dan ia menggerakkan tangan kecilnya dengan resah."Tuan muda El kenapa?" tanya Rosa dengan nada cemas, segera menghampiri tempat tidur.Suster Ana menoleh, ekspresinya penuh kelelahan. "Dia terbangun mendadak dan menangis terus-menerus. Sepertinya dia merasa tidak nyaman atau sedang mencari seseorang."Rosa segera duduk di samping El dan menyentuh pipi kecilnya dengan lembut. "Tuan muda El, ini aku, Rosa," katanya dengan suara menenangkan. Anak itu membuka mata perlahan, lalu memandang Rosa dengan sorot mata yang masih basah oleh air mata.Seketika, tangis El mereda. Ia menggenggam jari Rosa dengan erat, seolah menemukan kenyamanan yang telah hilang.Suster Ana memperhatikan dengan takjub. "Sepertinya dia memang sang
"Kenapa kamu terlihat kaget Ros?" tanya Nyonya Sandrina. Ros menggeleng pelan, ternyata berbeda dengan apa yang di katakan oleh Tuan Nicolas pikirnya dalam hati. "Ros, ada yang menggangu pikiranmu?" Rosalia duduk di ruang kamar inap kelas president suite di rumah sakit itu. Perasaan canggung masih menyelimuti dirinya. Ia memandang Nyonya Sandrina yang tengah menikmati secangkir teh dengan santai, sementara suasana ruangan dipenuhi aroma mawar dari vas bunga besar di sudut ruangan. "Nyonya," ujar Rosa pelan, mencoba memecah keheningan. "Saya ingin bertanya sesuatul lagi, kalau boleh." Nyonya Sandrina mengangkat pandangannya dengan senyuman hangat. "Tentu saja, Rosa. Apa yang ingin kau tanyakan?" Rosa menggigit bibirnya ragu, tapi akhirnya berkata, "Tuan Nicolas mengatakan sesuatu tadi... bahwa Nyonya sering membuat peraturan yang mengekang para asisten. Apakah itu benar?" Nyonya Sandrina tertawa kecil, suaranya terdengar ringan namun penuh arti. Ia meletakkan cangkir tehny
Rosa terpaku mendengar ucapan Nyonya Sandrina. Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan nada tenang, mengandung peringatan yang cukup dalam. Ia menelan ludah, merasa sedikit gugup dengan arah pembicaraan ini. "Iya, Nyonya," jawab Rosa akhirnya, suaranya pelan namun jelas. "Saya mengerti maksud Anda." Nyonya Sandrina tersenyum kecil, tatapannya seolah menilai reaksi Rosa. "Bagus kalau kau mengerti. Nicolas mungkin terlihat dingin, tapi dia memiliki cara yang bisa membuat orang lain terpesona. Kau akan sering melihat sisi itu saat dia berbicara tentang El. Tapi, jangan sampai kau salah menafsirkan." Rosa menunduk, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Saya hanya ingin fokus pada tugas saya, Nyonya. El adalah prioritas saya." "Dan itu yang saya harapkan darimu," kata Nyonya Sandrina, nada bicaranya kembali lembut. "Aku percaya kau adalah pilihan yang tepat untuk El. Tapi ingat, Nicolas adalah pria yang rumit, dan jika kau terlalu dekat dengannya, kau hanya
Oma Agata menatap Rosa dengan penuh pertanyaan, wajahnya memancarkan kehangatan namun juga ketegasan. Mereka duduk berdua di kamar rawat yang kini terasa semakin lengang, seolah suasana ikut mendukung percakapan yang semakin serius."Rosa," ujar Oma Agata dengan nada tenang namun tegas. "Apa benar kau benar-benar menutup identitasmu sebagai cucu dari pemilik saham terbesar di rumah sakit ini dan beberapa perusahaan lainnya?" Lagi dia bertanya. Rosa menundukkan pandangannya sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Iya, Oma. Aku memang sengaja melakukannya."Nenek Agata memiringkan kepalanya, matanya penuh rasa ingin tahu. "Kenapa, Nak? Bukankah akan lebih mudah jika mereka tahu siapa dirimu? Dengan statusmu, mereka tidak akan menghina kamu."Rosa mengangkat wajahnya, menatap sang nenek dengan tatapan penuh keyakinan. "Justru itu, Oma. Jika mereka tahu siapa aku, mereka mungkin tidak akan menyetujui aku mengasuh El. Mereka akan menganggapku tidak serius atau hanya ingin mencari pengalaman s
Saat Rosa baru saja membantu Oma Agata naik ke kursi belakang mobil, suara berat memanggilnya dari kejauhan."Rosalia!"Rosa terkejut, tubuhnya menegang seketika. Ia perlahan berbalik, dan melihat Nicolas berjalan mendekat dengan langkah cepat, wajahnya tetap dingin dan serius.Nicolas berhenti beberapa langkah di depannya, menatap Rosa dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Rosalia, ada yang perlu saya sampaikan sebelum kamu mulai tugasmu besok."Rosa menelan ludah, lalu menundukkan kepala sedikit. "Iya, Tuan Nicolas. Apa yang ingin Anda katakan?"Nicolas memasukkan tangannya ke saku jas, posisinya terlihat santai tapi nada suaranya tegas. "Jangan telat datang besok. El tidak bisa menunggu. Dan ingat, tidak ada alasan seperti ketinggalan barang atau lupa apa pun. Kamu harus selalu standby untuk anak saya."Mata Rosa melebar sedikit mendengar nada perintah itu, tapi ia segera menenangkan diri. "Tentu, Tuan Nicolas. Saya tidak akan lupa dan akan memastikan semuanya berjalan lancar."Ni
Suasana tegang saat Nicolas datang bersama dengan Alex. Lalu, Aldo bersama dengan Maya, melihat hal itu Nicolas seperti bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi."Nicolas, apa kabar? Hmm... Apa kabarmu sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar kontrak yang sedang di ambang kerugian."Maya kini merasa menang dan di atas awan. Nicolas hanya menanggapi semua dengan tenang walau hatinya ketar ketir.Nicolas menghembuskan napas perlahan, menahan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Maya. Ia melirik Aldo yang duduk dengan ekspresi santai, seolah menikmati situasi yang sedang berlangsung."Aku baik-baik saja, Bu Maya. Justru aku penasaran, apa Anda yang sedang dalam kondisi baik setelah bermain api dengan kontrak ini?" jawab Nicolas dengan nada datar namun penuh makna.Maya menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai. "Oh, Nicolas, bisnis itu tentang siapa yang lebih cerdas membaca peluang. Sayangnya, kali ini kau kalah cepat."Alex yang berdiri di samping Nicolas m
Rosalia tersenyum untuk pertama kalinya pada Nicolas. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ros bangkit dan hendak masuk.."Ros, tetap di sini. Apa kamu mau pergi meninggalkan aku yang sedang tidak baik-baik saja?" tanya Nicolas."Tuan, aku mau kedalam. Sudah malam, lebih baik Anda juga tidur. Besok bukannya mau bertemu dengan Tuan Tian?"Nicolas menghela napas panjang, menatap Ros dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku hanya ingin berbicara sebentar, Ros. Aku lelah dengan semua ini, dengan pekerjaan, dengan perasaan yang terus-menerus tak bisa aku kendalikan."Ros menggigit bibirnya, ragu untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi melihat ekspresi Nicolas, sesuatu dalam hatinya melunak. "Baiklah, sebentar saja," ujarnya pelan.Nicolas tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. "Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan serumit ini. Semua berjalan begitu cepat, dan sekarang… aku takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya aku genggam."Rosalia menunduk, merasakan geta
"Kenapa begitu tiba-tiba Tuan Aldo dari perusahaan Nyonya Agata mengambil alih project kita?" tanya Nicolas.Nicolas kaget saat tiba-tiba Alex mengabarkan berita yang tak terduga.Alex menyesuaikan kacamatanya sebelum menjawab. "Aku juga baru menerima laporan ini, Tuan. Tuan Aldo mengklaim kepemilikan atas sebagian saham proyek ini dengan dalih perjanjian lama yang tidak diperbarui."Nicolas menghela napas, ekspresinya mengeras. "Dan kenapa kita tidak tahu soal perjanjian itu sebelumnya?""Karena dokumen lama itu seharusnya tidak berlaku lagi. Tapi, entah bagaimana, Aldo berhasil mendapatkan celah hukum untuk menggunakannya."Nicolas mengepalkan tangannya. "Aldo tidak mungkin bergerak sendiri. Aku ingin kau cari tahu siapa yang ada di belakangnya."Alex mengangguk. "Baik, Tuan. Saya juga sudah menghubungi tim legal untuk meninjau ulang semua dokumen terkait. Tapi, sebaiknya Anda juga berbicara langsung dengan Nyonya Agata."Nicolas menatap lurus ke arah jendela kantornya, pikirannya d
"Ros, sampai kapan kamu menutupi identitas kamu? Jika kamu menikah, Nicolas harus tahu siapa kamu," ujar Oma Agata. Ros menegang mendengar perkataan Oma Agata. Rahasianya selama ini menjadi beban yang terus menghantui. Dia tahu cepat atau lambat Nicolas akan tahu, tapi dia tidak siap untuk menghadapi reaksi pria itu."Oma... apa itu penting sekarang?" suara Ros terdengar lemah. Matanya menatap lantai, menghindari tatapan tajam Oma Agata dan Tian."Sangat penting, Ros," Oma Agata menegaskan. "Jika kamu menikah dengannya tanpa mengungkapkan siapa dirimu sebenarnya, kamu tidak hanya menipu Nicolas, tapi juga dirimu sendiri. Pernikahan tidak bisa dibangun di atas kebohongan."Ros menghela napas panjang. Pikirannya bercampur aduk antara ketakutan, keraguan, dan rasa bersalah."Aku takut, Oma... jika dia tahu semuanya, dia mungkin tidak akan menerimaku." suara Ros bergetar.Tian mendekat, menatap Ros dengan lembut. "Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia akan mengerti. Kamu berhak dicint
" Jangan paksa jika memang tidak ada raasa," Ujar Tian. Pria itu duduk bersebelahan dengan omanya.Ros tersenyum getir. "Demi El, aku akan melakukan apa pun."Tian menghela napas panjang, pandangannya bergeser ke arah Ros yang tampak resah. "Ros, membangun hidup dengan seseorang hanya demi anak tanpa ada cinta di antara kalian... itu berat."Oma Agata menambahkan dengan lembut, "Cinta bisa tumbuh, Ros. Tapi kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Jangan memaksakan sesuatu yang hatimu tolak."Ros menunduk, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Aku hanya tidak ingin El terluka. Dia sudah terlalu banyak kehilangan."Tian menatap Ros dengan serius. "El lebih membutuhkan seorang ibu yang bahagia daripada melihatmu terjebak dalam hubungan yang tidak membuatmu nyaman."Ros menyeka sudut matanya yang mulai basah. "Aku... aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk El. Jika menikah dengan Nicolas adalah jalannya, mungkin aku harus mencobanya."Oma Agata menggenggam tangan Ros dengan erat.
Ros meminta izin ke rumah sang nenek. Dia meminta Tian menjemputnya. Sepupunya itu langsung saja bertanya tentang Nicolas. Ada hubungan apa dan bagaimana bisa, pikir Tian. Tian menyandarkan tubuhnya ke mobil, menatap Rosalia dengan senyum samar. "Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Nicolas sekarang?" tanyanya santai, tapi ada sedikit ketertarikan dalam nada suaranya.Ros menghela napas, menyilangkan tangan di depan dada. "Entahlah, Tian. Dia tiba-tiba mengajak menikah, tapi aku tahu itu hanya karena El."Tian mengangguk pelan, lalu menyipitkan mata. "Dan menurutmu, hanya karena El?"Ros terdiam. Pertanyaan Tian seperti menamparnya. Dia ingin percaya kalau Nicolas hanya bertanggung jawab, tidak lebih. Tapi… ada momen-momen di mana tatapan Nicolas terasa berbeda, lebih dalam, lebih hangat."Aku tidak tahu, Tian. Aku takut berharap."Tian tersenyum miring, menepuk pundak Ros pelan. "Yang aku tahu, Nicolas bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa alasan yang kuat. Kalau dia ingin menik
Ros mendesah pelan, menatap Nicolas dengan mata yang masih menyimpan luka. "Nicolas, hidupku bukan hanya tentang El. Aku juga punya perasaan, punya masa lalu yang menyakitkan, dan aku tidak yakin bisa menerima semua ini begitu saja."Nicolas melangkah mendekat, wajahnya serius. "Aku tahu, Ros. Aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan. Tapi aku juga tahu satu hal—aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu dan El."Ros tertawa kecil, getir. "Kau hanya takut kehilangan El. Bukan aku."Nicolas terdiam sejenak sebelum mengangkat tangannya, menyentuh lembut wajah Ros. "Aku tidak akan memaksa jika kamu benar-benar tidak mau. Tapi aku ingin kamu tahu... sejak kamu muncul lagi dalam hidupku, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Dan aku ingin memperjuangkan itu."Ros menatap mata Nicolas, mencari kebohongan di sana—tapi yang ia temukan justru ketulusan. Dadanya berdebar, pikirannya berantakan."Beri aku waktu," bisiknya akhirnya.Nicolas mengangguk pelan, sudut bibirnya terangkat sedikit.
Mobil melaju dalam keheningan. Nicolas menggenggam kemudi lebih erat, pikirannya berkecamuk. Dia ingin menjawab, tapi bibirnya seolah terkunci.Ros menunggu, namun saat Nicolas tetap diam, ia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Angin malam meniup lembut wajahnya, tapi dada Ros terasa sesak. "Jika Anda tidak bisa menjawabnya, mungkin memang sebaiknya saya pergi," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Nicolas mendadak menginjak rem, membuat tubuh Ros sedikit terdorong ke depan. "Kau tidak akan pergi ke mana pun, Ros!" suaranya terdengar tegas, tapi ada kegelisahan di baliknya.Ros menoleh, menatap Nicolas yang kini menatapnya dengan tatapan tajam. "Kenapa? Kenapa Anda menahan saya?"Nicolas mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Karena aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Karena... aku tidak ingin kehilanganmu lagi. El, bisa ngambek terus.""El mungkin aku bawa, dia anakku."Nicolas tersentak, sorot matanya menggelap. "Apa maksudmu, Ros?"Ros mena
"Kita pulang, sepertinya sudah selesai semua," ujar Nicolas.Namun, Bu Maya seperti tidak suka. Apa yang di lakukan Rosalia membuat dia malu. Bu maya menghampiri Nicolas. "Apa bisa bicara sebentar?"Nicolas melirik sekilas ke arah Rosalia, lalu mengangguk pelan. "Tunggu di mobil," perintahnya pada Ros sebelum akhirnya mengikuti Bu Maya ke sudut ruangan yang lebih sepi.Bu Maya menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya masih penuh ketidaksukaan. "Nicolas, kau tahu sendiri bagaimana lingkungan kita. Wanita seperti dia... tidak pantas untukmu."Nicolas menghela napas, sudah menduga ke mana arah pembicaraan ini. "Bu Maya, saya menghargai pendapat Anda, tapi ini bukan urusan siapa-siapa selain saya."Bu Maya terkekeh sinis. "Kau berpikir seperti itu sekarang. Tapi nanti? Ketika semua orang mulai membicarakanmu? Nama baik keluargamu, perusahaanmu... Apa kau yakin dia pantas berdampingan denganmu?"Mata Nicolas menajam, rahangnya mengeras. "Saya tidak memilih pasangan berdasarkan omonga