Share

2. Jangan Berharap Lebih

Setiap kata yang keluar dari Vivian, menusuk hati Kirana.

Walau dia sudah mengira jika istri pertama Thomas itu tidak menerima dirinya sebagai istri kedua, rasanya Kirana tetap saja sakit hati.

Dia bahkan ingin berteriak, mengapa hanya dia yang disalahkan?

Apa karena dia menerima 5 miliar? Tapi apakah itu salah setelah dia menggadaikan hidup dan harga diri?

Itu bahkan tak sepadan!

Jika bukan demi keluarganya....

“Paham?” sentak Vivian menyadarkan Kirana dari lamunan.

Gadis itu sontak mengangguk. “Paham, Nyonya.”

Tak ada lagi yang bisa dia lakukan, bukan? 

“Astaga, sekarang saja aku sudah mual melihatmu,” ucap Vivian lagi, "Ingat! Mama mertuaku mungkin menginginkanmu, tapi jangan pernah bermimpi lebih. Asal kamu tahu, keturunan tidaklah penting untukku kalau bukan karena reputasi keluarga ini.” 

Lagi, Kirana hanya bisa tertunduk. 

Dia tidak menyangka hari-hari pertamanya di kediaman Adijaya dimulai dengan ancaman langsung dari istri pertama Thomas.

“Saya tahu posisi saya, Nyonya Vivian,” Kirana akhirnya buka suara. “Saya tidak akan merebut apapun dari Nyonya. Saya hanya melakukan kesepakatan kontrak itu. Lagi pula saya terpaksa melakukan semua ini. Saya…saya enggak punya pilihan.”

Tawa dingin Vivian berderai. 

Tanpa basa-basi, dia menyunggingkan senyuman penuh ejekan. “Tidak punya pilihan lain? Semua orang selalu punya pilihan dan kamu memilih uang. Kamu tak ubahnya pelacur. Dasar perempuan murahan, matrealistis, tolol dan tidak punya harga diri.”

Bibir Kirana bergetar hebat. 

Matanya mulai menggenang, namun dia berusaha sekuat tenaga menahannya agar tidak jatuh.

Dia ingin membalas perkataan Vivian tapi dia tahu hal itu hanya akan menambah bahan bakar bagi amarah Vivian.

Setelah puas menghardik Kirana, Vivian meninggalkan perempuan itu dalam keheningan yang dalam. 

Pipi Kirana seketika basah. Dia sudah tidak mampu lagi menahan air mata yang menggantung di sudut matanya.

Meski demikian, Kirana harus kuat. Semua demi lima miliar. 

Orang miskin seperti dirinya tidak boleh sakit hati dan menyerah begitu saja.

Dia hanya butuh bertahan, melahirkan anak lalu pergi dari rumah menyesakkan ini.

***

“Jadi, bagaimana keadaanmu di sana, Nak?” tanya sang Bude begitu sambungan telepon terhubung.

Jelas sekali, dia cemas. Memang saudari ibunya itu sempat menentang ide gila Kirana. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menolong, sehingga menyerah.

Kirana tersenyum miris mengingat itu semua.

“Bude, tenang saja. Aku baik-baik saja kok,” balasnya, berusaha bersikap tenang. “Gimana keadaan Ibu?”

“Kemarin dia sudah menjalani kemoterapi pertamanya. Sepertinya dia kelelahan dan masih tertidur,” jawab Mirah sambil mendesah pelan.

“Pokoknya, Bude sama Ibu tenang aja. Setelah aku mendapatkan sebagian uangnya, Ibu bisa pindah ke RS yang lebih baik.”

Mirah mendesah pelan. “Kirana…sebenarnya kamu enggak perlu mengorbankan diri seperti ini, Nak. Pernikahan itu–”

“Sudahlah, Bude. Semua sudah terjadi. Lagi pula, imbalannya lima miliar. Dengan uang sebanyak itu, kita bisa hidup lebih dari layak. Aku hanya harus bertahan beberapa tahun di rumah ini. Itu saja,” Kirana berusaha menenangkan bude-nya.

“Hah, andai adikmu yang enggak berguna itu enggak terlilit utang judi…”

“Aku juga akan membayar utang Romi. Jadi, ibu enggak perlu menggadaikan rumahnya.”

“Sebenarnya....” Mirah berhenti sejenak. Dia nampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Sebenarnya apa, Bude?"

Terdengar helaan napas berat dari seberang.

Entah mengapa, Kirana menjadi gusar. ‘Ada apa lagi?’

“Kemarin, setelah Bude dan ibumu pulang dari rumah sakit, ada debt collector yang datang. Mereka mau menyita rumah ini kalau Romi enggak bisa melunasi utangnya sebesar 350 juta minggu depan,” ucap sang Bude pada akhirnya.

Deg!

“A-apa?! Minggu depan?” panik Kiara.

Tapi, bagaimana bisa? Bukankah dia sudah membayar sebagian?

“Diam-diam, Rommy malah sudah menggadaikan rumah ibu kalian, Kirana." Mirah menukas lesu.

Rasanya, dunia Kirana runtuh.

Tak bisakah saudaranya itu berhenti membuat masalah?

Jika saja ibunya mau menghapus Romi dari hidup mereka....

Tapi, biar bagaimanapun Kirana tahu ibunya yang baik hati itu tak akan bisa.

“Astaga…” Kedua bahu Kirana lunglai ke bawah. “Ya sudah, aku akan segera melunasi utang Romi.”

Kirana memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari kamarnya dan menemui sang mertua untuk meminta tolong.

Hanya saja, siapa sangka Thomas ada di dekat wanita itu?

Pria itu langsung menatapnya dingin.

“Maaf, tapi saya butuh uang pembayaran tahap pertamanya sekarang, Nyonya…” Kirana berujar pelan sambil menggerakkan tangannya dengan gelisah.

Dia mencoba tenang di bawah tekanan Thomas yang mulai mendengus keras. 

“Dasar perempuan mata duitan,” gumam pria itu pelan.

Namun, Kirana masih bisa mendengar ucapan Thomas tadi.

Di sisi lain, Melinda membenarkan posisi kacamata bacanya yang turun. “Menurut kontrak, pembayaran pertama hanya bisa dilakukan setelah kamu positif hamil.”

“Tapi, Nyonya…saya benar-benar membutuhkan uang.” Kirana berujar lirih.

Dia tidak bisa membiarkan ibunya diusir dari rumah dalam keadaan sakit.

“Memang berapa yang kamu butuhkan?” tanya Melinda.

“350 juta, Nyonya…”

Thomas berdecak. “Wow, untuk apa uang sebanyak itu? Apa kamu tidak tahan untuk segera berfoya-foya?”

Kirana berusaha mengacuhkan ejekan Thomas.

“Untuk apa uang itu, Kirana?” desak Melinda.

Kini Kirana malah terdiam. Dia malu untuk memberi tahu kalau sebenarnya adiknya terlilit utang judi. Sudah miskin, bermain judi pula.

“Itu…itu untuk…”

“Sudah pasti untuk beli tas baru. Atau ponsel keluaran terbaru?” sela Thomas, bergerak mendekat ke arah istri keduanya. “Kirana, kamu harus mematuhi setiap pasal di kontrak pernikahan itu. Jangan meminta apa yang belum jadi hakmu. Penuhi dulu kewajibanmu, mengerti?”

Thomas menepuk pelan pundak Kirana dan melenggang santai keluar dari ruangan.

Sementara itu, Kirana tertunduk. Lagi-lagi, dia berusaha menahan laju air matanya yang sudah menggenang.

‘Sampai kapan aku mengalami penghinaan ini, Tuhan?’ Lirih Kirana dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status