Setiap kata yang keluar dari Vivian, menusuk hati Kirana.
Walau dia sudah mengira jika istri pertama Thomas itu tidak menerima dirinya sebagai istri kedua, rasanya Kirana tetap saja sakit hati.
Dia bahkan ingin berteriak, mengapa hanya dia yang disalahkan?
Apa karena dia menerima 5 miliar? Tapi apakah itu salah setelah dia menggadaikan hidup dan harga diri?
Itu bahkan tak sepadan!
Jika bukan demi keluarganya....
“Paham?” sentak Vivian menyadarkan Kirana dari lamunan.
Gadis itu sontak mengangguk. “Paham, Nyonya.”
Tak ada lagi yang bisa dia lakukan, bukan?
“Astaga, sekarang saja aku sudah mual melihatmu,” ucap Vivian lagi, "Ingat! Mama mertuaku mungkin menginginkanmu, tapi jangan pernah bermimpi lebih. Asal kamu tahu, keturunan tidaklah penting untukku kalau bukan karena reputasi keluarga ini.”
Lagi, Kirana hanya bisa tertunduk.
Dia tidak menyangka hari-hari pertamanya di kediaman Adijaya dimulai dengan ancaman langsung dari istri pertama Thomas.
“Saya tahu posisi saya, Nyonya Vivian,” Kirana akhirnya buka suara. “Saya tidak akan merebut apapun dari Nyonya. Saya hanya melakukan kesepakatan kontrak itu. Lagi pula saya terpaksa melakukan semua ini. Saya…saya enggak punya pilihan.”
Tawa dingin Vivian berderai.
Tanpa basa-basi, dia menyunggingkan senyuman penuh ejekan. “Tidak punya pilihan lain? Semua orang selalu punya pilihan dan kamu memilih uang. Kamu tak ubahnya pelacur. Dasar perempuan murahan, matrealistis, tolol dan tidak punya harga diri.”
Bibir Kirana bergetar hebat.
Matanya mulai menggenang, namun dia berusaha sekuat tenaga menahannya agar tidak jatuh.
Dia ingin membalas perkataan Vivian tapi dia tahu hal itu hanya akan menambah bahan bakar bagi amarah Vivian.
Setelah puas menghardik Kirana, Vivian meninggalkan perempuan itu dalam keheningan yang dalam.
Pipi Kirana seketika basah. Dia sudah tidak mampu lagi menahan air mata yang menggantung di sudut matanya.
Meski demikian, Kirana harus kuat. Semua demi lima miliar.
Orang miskin seperti dirinya tidak boleh sakit hati dan menyerah begitu saja.
Dia hanya butuh bertahan, melahirkan anak lalu pergi dari rumah menyesakkan ini.
***
“Jadi, bagaimana keadaanmu di sana, Nak?” tanya sang Bude begitu sambungan telepon terhubung.
Jelas sekali, dia cemas. Memang saudari ibunya itu sempat menentang ide gila Kirana. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menolong, sehingga menyerah.
Kirana tersenyum miris mengingat itu semua.
“Bude, tenang saja. Aku baik-baik saja kok,” balasnya, berusaha bersikap tenang. “Gimana keadaan Ibu?”
“Kemarin dia sudah menjalani kemoterapi pertamanya. Sepertinya dia kelelahan dan masih tertidur,” jawab Mirah sambil mendesah pelan.
“Pokoknya, Bude sama Ibu tenang aja. Setelah aku mendapatkan sebagian uangnya, Ibu bisa pindah ke RS yang lebih baik.”
Mirah mendesah pelan. “Kirana…sebenarnya kamu enggak perlu mengorbankan diri seperti ini, Nak. Pernikahan itu–”
“Sudahlah, Bude. Semua sudah terjadi. Lagi pula, imbalannya lima miliar. Dengan uang sebanyak itu, kita bisa hidup lebih dari layak. Aku hanya harus bertahan beberapa tahun di rumah ini. Itu saja,” Kirana berusaha menenangkan bude-nya.
“Hah, andai adikmu yang enggak berguna itu enggak terlilit utang judi…”
“Aku juga akan membayar utang Romi. Jadi, ibu enggak perlu menggadaikan rumahnya.”
“Sebenarnya....” Mirah berhenti sejenak. Dia nampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Sebenarnya apa, Bude?"
Terdengar helaan napas berat dari seberang.
Entah mengapa, Kirana menjadi gusar. ‘Ada apa lagi?’
“Kemarin, setelah Bude dan ibumu pulang dari rumah sakit, ada debt collector yang datang. Mereka mau menyita rumah ini kalau Romi enggak bisa melunasi utangnya sebesar 350 juta minggu depan,” ucap sang Bude pada akhirnya.
Deg!
“A-apa?! Minggu depan?” panik Kiara.
Tapi, bagaimana bisa? Bukankah dia sudah membayar sebagian?
“Diam-diam, Rommy malah sudah menggadaikan rumah ibu kalian, Kirana." Mirah menukas lesu.
Rasanya, dunia Kirana runtuh.
Tak bisakah saudaranya itu berhenti membuat masalah?
Jika saja ibunya mau menghapus Romi dari hidup mereka....
Tapi, biar bagaimanapun Kirana tahu ibunya yang baik hati itu tak akan bisa.
“Astaga…” Kedua bahu Kirana lunglai ke bawah. “Ya sudah, aku akan segera melunasi utang Romi.”
Kirana memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari kamarnya dan menemui sang mertua untuk meminta tolong.
Hanya saja, siapa sangka Thomas ada di dekat wanita itu?
Pria itu langsung menatapnya dingin.
“Maaf, tapi saya butuh uang pembayaran tahap pertamanya sekarang, Nyonya…” Kirana berujar pelan sambil menggerakkan tangannya dengan gelisah.
Dia mencoba tenang di bawah tekanan Thomas yang mulai mendengus keras.
“Dasar perempuan mata duitan,” gumam pria itu pelan.
Namun, Kirana masih bisa mendengar ucapan Thomas tadi.
Di sisi lain, Melinda membenarkan posisi kacamata bacanya yang turun. “Menurut kontrak, pembayaran pertama hanya bisa dilakukan setelah kamu positif hamil.”
“Tapi, Nyonya…saya benar-benar membutuhkan uang.” Kirana berujar lirih.
Dia tidak bisa membiarkan ibunya diusir dari rumah dalam keadaan sakit.
“Memang berapa yang kamu butuhkan?” tanya Melinda.
“350 juta, Nyonya…”
Thomas berdecak. “Wow, untuk apa uang sebanyak itu? Apa kamu tidak tahan untuk segera berfoya-foya?”
Kirana berusaha mengacuhkan ejekan Thomas.
“Untuk apa uang itu, Kirana?” desak Melinda.
Kini Kirana malah terdiam. Dia malu untuk memberi tahu kalau sebenarnya adiknya terlilit utang judi. Sudah miskin, bermain judi pula.
“Itu…itu untuk…”
“Sudah pasti untuk beli tas baru. Atau ponsel keluaran terbaru?” sela Thomas, bergerak mendekat ke arah istri keduanya. “Kirana, kamu harus mematuhi setiap pasal di kontrak pernikahan itu. Jangan meminta apa yang belum jadi hakmu. Penuhi dulu kewajibanmu, mengerti?”
Thomas menepuk pelan pundak Kirana dan melenggang santai keluar dari ruangan.
Sementara itu, Kirana tertunduk. Lagi-lagi, dia berusaha menahan laju air matanya yang sudah menggenang.
‘Sampai kapan aku mengalami penghinaan ini, Tuhan?’ Lirih Kirana dalam hati.
“Ambilah. Aku tahu hidupmu sulit,” tukas Melinda ketika mereka ada di ruang baca kemarin, sesaat setelah Thomas pergi. “Pergunakan uang itu sebaik-baiknya. Tapi ingat, jangan pernah coba kabur dari rumah ini.”Kirana mengangguk. Perlahan tangannya meraih selembar cek yang dijulurkan Melinda.Ditatapnya selembar cek di tangannya, hatinya campur aduk antara lega dan juga kesal.Lima ratus juta rupiah. Mata Kirana mengerjap-ngerjap memandangi nominalnya. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang dimintanya.Akhirnya, Melinda memberikan cek itu meskipun Kirana belum memenuhi salah satu syarat dari perjanjian kontrak pernikahan tersebut—yaitu hamil.“Terima kasih, Nyonya…” Kirana tidak kuasa untuk menangis. “Saya…saya benar-benar membutuhkan uang ini…”Melinda hanya tersenyum tipis menanggapinya.Sejenak, Kirana merasa ada sesuatu yang tulus dari tatapan ibu mertuanya itu. Namun, Kirana sebaiknya tidak terlalu banyak berasumsi. Hubungan mereka hanyalah bisnis yang disamarkan dengan ikatan pe
“Tuan Thomas! Hentikan! Dia adikku!” Kirana memekik panik.Mendengarnya, pewaris Adijaya itu langsung melepaskan genggamannya di kerah baju Romi.Namun, tatapan penuh amarah yang dia layangkan pada Romi tetap tidak berubah.“Astaga, suami Mbak benar-benar gila!” Romi merengut sambil mengelus pipinya yang membiru. Pukulan Thomas seperti batu yang menghantam rahangnya.“Benar dia adikmu?” tanya Thomas, masih tidak percaya pada Kirana.“Iya, Tuan. Namanya Romi. Dia…dia ke sini untuk menjengukku,” balas Kirana cepat.“Tuan? Kenapa Mbak manggil dia Tuan? Dia kan suami, Mbak?” Romi melirik Thomas dengan penuh kebencian.Meski miskin, bukankah suami kakaknya itu harus tetap menghormatinya? Pikir Romi.Di sisi lain, mata Kirana melotot. Diberikannya peringatan pada Romi untuk diam.“Ya sudah, aku pergi dulu, Mbak.” Romi masih menatap suami kakaknya dengan sinis.“Sampaikan salamku untuk ibu dan bude,” ujar Kirana, melepas kepergian Romi.“Kamu pikir aku percaya begitu saja kalau dia adikmu?”
“Mama enggak sedang bercanda kan?” Thomas terdengar begitu syok.“Bercanda? Untuk apa Mama bercanda Thomas?!” balas Melinda dari seberang sana. “Buat apa kamu melanjutkan pernikahan kontrak itu kalau Kirana enggak bisa hamil secepatnya. Ingat, pernikahan ini terjadi demi melahirkan keturunan bagi keluarga kita, Thomas.”“Ya, ya, aku tahu, Ma…” Thomas mengusap punggung lehernya dengan gelisah.“Oh, iya. Supaya cepat hamil, usahakan kalian melakukannya di masa subur Kirana. Kalau kamu memang enggak terlalu bernafsu sama dia, sebaiknya kamu belikan saja dia lingerie yang seksi!” “Lingerie?” Kening Thomas mengernyit.“Iya, Thomas. Pokoknya kalau dia belum hamil juga, kamu harus ceraikan dia dan menikah lagi!”“Ma–”Tut!Belum sempat Thomas membalas ucapan Melinda, wanita itu sudah memutus sambungan teleponnya.Kini kata lingerie menyusup ke dalam benak Thomas. Entah kenapa dia jadi memikirkan saran ibunya.“Lingerie? Aku pasti sudah gila,” Thomas menggelengkan kepalanya. Namun, perkataan
Sebulan sudah Kirana resmi menjadi istri kedua Thomas Adijaya. Namun, dirinya tidak kunjung hamil juga.“Kamu tidak boleh keluar kali ini, setidaknya sampai dirimu hamil. Ingat, prioritasmu adalah melahirkan anak untuk kami,” tegas Melinda, “Kalau kamu gagal hamil, maka kembalikan cek lima ratus juta itu.”Raut wajah Melinda nampak kesal saat mengucapkannya. Sebenarnya, dia tidak terlalu mempermasalahkan Kirana yang belum hamil. Toh, masih ada waktu. Hanya saja, Melinda tak sengaja melihat Vivian melempar beberapa baju kotor miliknya pada Kirana–menyuruh Kirana untuk mencucinya.Istri pertama Thomas itu bilang, jangan-jangan Kirana juga mandul, sama seperti dirinya, lalu Vivian tertawa!Mendengar hal itu, Melinda merasa dia ikut ditertawakan karena ide pernikahan kontrak Kirana dan Thomas berasal dirinya!Jadi, ia pun nampak senewen dan semakin mengekang Kirana yang tidak bisa berbuat apa-apa.Tok, tok, tok!Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Kirana terkejut dan segera b
Seharusnya kalimat itu yang meluncur dari mulutnya yang kaku. Tetapi sayangnya, kalimat itu hanya menggantung di benaknya. Atau mungkin dia akan membiarkannya terus mengendap selamanya?“Apa Tuan?” tanya Kirana, terheran.Thomas melepaskan lengan Kirana agak kasar. “Sebenarnya…aku enggak bermaksud menyakiti hatimu. Maafkan aku. Pernikahan ini sungguh mendadak."Kirana mengangguk pelan, lalu kembali menyeret kopernya ke dalam kamar.Ya, siapapun tidak akan menerima pernikahan mendadak seperti ini. Apalagi, untuk Thomas, kan?Pria itu jelas merasa menurunkan standar untuk bersamanya. Diam-diam Kirana merasakan hatinya kembali sakit.Di sisi lain, Thomas memutar tubuhnya, menghela napas lega membiarkan jantungnya kembali berdetak normal.Malam kian larut.Thomas dan Kirana sibuk dengan kegiatannya masing-masing.Setelah makan malam, Kirana menghabiskan waktu di kamar, sementara Thomas mengganti-ganti saluran televisi.Diliriknya jam yang menempel di dinding. Sudah pukul setengah sepuluh
“Huh!” Vivian mendengus sinis saat menatap layar ponselnya.Membaca pesan dari Thomas yang memberi tahu dirinya bahwa dia tidak pulang malam ini, membuatnya langsung tahu jika suaminya itu sedang bersama wanita sialan bernama Kirana itu.Dalam kesendirian, Vivian menyesap wine di kamarnya, berusaha menghempaskan pikiran suaminya sedang bergumul dengan wanita itu.“Tenang, Vivian,” ucapnya pada diri sendiri. “Setelah wanita sialan itu melahirkan, maka hidupmu akan tambah sempurna.”Ya, tiga tahun pernikahannya dengan Thomas, orang-orang di luar sana selalu menanyakan kapan dirinya hamil.Terus terang, pertanyaan itu membuatnya tertekan. Gosip bahwa dirinya mandul pun mulai tersebar–yang pada akhirnya menjadi kenyataan.Meski kesal, tapi Melinda sudah mempersiapkan semuanya. Vivian akan memakai semacam perut palsu yang bahkan sudah Melinda pesan dari Amerika. Lalu menjelang Kirana melahirkan, Vivian akan pergi ke Singapura dan pura-pura melahirkan di sana.Wanita itu tersenyum tipis. Di
‘Thomas! Berani-beraninya dia membohongiku!’ Amarah Vivian membludak seiring dengan langkahnya yang panjang.Brak!Pintu ruangan Thomas membuka keras. Dari balik meja, pria itu mendongak terkejut, mendapati Vivian yang menatapnya tajam.Thomas sama sekali tidak menyadari bakal ada badai yang hendak menerjang dirinya.“Thomas,” Vivian menggeram sambil bergerak ke arah suaminya.Thomas semakin menyadari bahwa sorot mata Vivian nampak diliputi amarah. “Apa yang terjadi, Sayang? Kenapa kamu terlihat marah seperti ini?” tanya Thomas bingung.Bagian bawah tas kulit milik Vivian menghentak permuk
“Nyo-Nyonya??” Suara Kirana tersendat. Dia benar-benar syok dengan tamparan itu. “Saya enggak pernah berpikiran seperti itu…”Kedua bola mata Vivian melebar, seakan hendak keluar dari rongga matanya.“Kamu mungkin bisa mengecoh orang lain, tapi tidak dengan diriku. Aku tahu siasatmu, Kirana. Kamu berlagak polos. Tapi aku tahu apa yang sebenarnya kamu incar. Kamu menginginkan Thomas dan kekayaannya. Iya kan? Dasar perempuan murahan! Aku yakin mama mertuaku pasti menyesal sudah memilihmu jadi istri kedua Thomas!”Apa yang dikatakan Vivian tidak sepenuhnya salah. Dia memang sudah jatuh cinta pada Thomas. Tapi dia bukan perempuan murahan. Setelah kontrak pernikahannya selesai, dia akan pergi dan melupakan Thomas.Tidak mungkin dia m