Malam itu, angin dingin berhembus menerpa wajah Alex saat ia mengikuti Alexa melewati lorong gelap yang berkelok-kelok di dalam bangunan tua. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi, menyelubungi dirinya dengan aura ketegangan. Langit malam di luar hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang pucat, namun di dalam ruangan ini, suasananya terasa seperti di luar waktu, dengan bayang-bayang yang bergerak aneh di sekitar mereka.
Alex menggigit bibirnya, mencoba menenangkan pikiran yang mulai kacau. Selama ini, ia adalah seorang detektif yang terlatih menghadapi situasi sulit, tapi hal yang ia hadapi malam ini jauh lebih menyeramkan dari apa pun yang pernah ia temui. Tato di dahinya, bayang-bayang kematian yang tak terjelaskan, semua itu seperti mimpi buruk yang semakin nyata. "Tenang, Alex. Semua ini akan lebih jelas setelah kau bertemu Victor," kata Alexa, suaranya terdengar seolah-olah ia sudah mengetahui apa yang ada dalam pikiran Alex. Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruang besar, dengan langit-langit yang tinggi dan dinding yang tampaknya telah lama ditinggalkan. Di ujung ruangan, seorang pria sedang duduk di atas kursi kayu, tampak tenang meskipun atmosfer di sekelilingnya begitu menegangkan. Pria itu mengenakan pakaian hitam yang sederhana, dengan mata tajam yang memancarkan kebijaksanaan dan misteri. "Selamat datang, Alex," ujar pria itu, suaranya dalam dan penuh wibawa. Alex ragu-ragu, namun langkahnya tak terhindarkan. Ia mendekat, merasa seolah-olah ada sesuatu yang menariknya untuk mendekati Victor, meskipun nalurinya berteriak untuk berhati-hati. Victor mengamati wajah Alex dengan teliti, lalu berkata, "Kau merasa ada yang aneh, bukan? Sejak kau mulai melihat bayang-bayang itu." Alex mengangguk, "Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Victor tersenyum tipis, namun matanya tidak menunjukkan kegembiraan. "Kau terpilih, Alex. Bayang-bayang kematian yang terukir di dahimu adalah tanda bahwa hidupmu telah dihitung. Setiap orang memiliki takdirnya masing-masing, dan kau... kau akan menjadi seorang pemburu." "Pemburu?" Alex terdiam, memproses kata-kata itu. "Pemburu apa?" "Pemburu bayang-bayang kematian. Kekuatan yang akan kau pelajari di sini adalah kemampuan untuk melihat bayang-bayang yang menandakan akhir hidup seseorang. Kekuatan itu ada di dalam dirimu, tapi kau harus belajar mengendalikannya. Bayang-bayang itu bukanlah hal yang harus ditakuti, tetapi hal yang perlu diburu." Alex merasa seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya. "Jadi, kau ingin aku memburu orang-orang yang akan mati?" "Lebih dari itu," jawab Victor, "Kau tidak hanya akan melihat siapa yang akan mati, tapi juga bagaimana mereka akan mati. Dan dalam beberapa kasus, kau akan memiliki pilihan untuk mengubah takdir mereka. Itu sebabnya kau harus berlatih keras." Alexa menatap Alex dengan penuh keyakinan. "Kau tidak sendirian dalam hal ini. Aku juga dulu seperti dirimu, bingung dan takut. Tapi setelah pelatihan ini, kau akan mengerti betapa berharganya kemampuan ini. Kekuatan untuk menentukan hidup dan mati." Alex terdiam, pikirannya bercabang. Takdir yang dipaksakan padanya terasa sangat berat, namun di sisi lain, keinginan untuk memahami kekuatan ini, untuk mengendalikan apa yang selama ini tak pernah ia pahami, muncul begitu kuat. Akankah ia menjadi bagian dari kekuatan ini, ataukah ia akan melawannya? "Kalau aku memilih untuk menolak?" tanya Alex pelan, suaranya penuh keraguan. Victor menatapnya tajam. "Kekuatan ini tidak akan melepaskanmu, Alex. Kau akan selalu bisa merasakannya di dalam dirimu. Itu adalah bagian dari takdirmu. Tapi ingatlah, ada harga yang harus dibayar jika kau mencoba melawannya." Alex menarik napas dalam-dalam, merasakan beratnya keputusan yang ada di tangannya. Saat ini, dunia yang ia kenal sudah berubah. Kini, ia tidak hanya menjadi detektif biasa—ia adalah seseorang yang ditandai oleh bayang-bayang kematian itu. "Bagaimana aku mulai?" tanyanya akhirnya, dengan tekad yang baru lahir di dalam dirinya. Victor dan Alexa saling berpandangan sejenak sebelum Victor berdiri dan mengangguk. "Langkah pertama adalah belajar untuk mengendalikan indera keenammu. Pelatihan dimulai sekarang." Dan dengan itu, perjalanan Alex yang baru saja dimulai, penuh dengan misteri, ancaman, dan kekuatan yang tak terbayangkan. ~~~~ Pagi pertama yang cerah menyelimuti kota, namun di dalam bangunan tua itu, suasana tetap suram dan penuh ketegangan. Alex duduk di atas tikar meditasi, keringat mulai mengalir di pelipisnya, meskipun udara di ruangan itu terasa sejuk. Di sekelilingnya, hanya ada Alexa dan Victor yang berdiri tegak, memandunya untuk memulai pelatihan pertama. "Fokuskan pikiranmu," kata Victor dengan suara tenang. "Jangan biarkan apapun mengganggu. Rasakan setiap detak jantungmu, setiap napas yang masuk dan keluar. Kau harus bisa menyatu dengan bayang-bayang kematian yang ada di dalam dirimu." Alex mengikuti instruksi Victor, berusaha untuk menenangkan pikirannya yang kacau. Sesekali, matanya terpejam, mencoba mencari ketenangan di dalam kekosongan, namun bayang-bayang kematian itu selalu kembali menghantuinya. Ia bisa merasakannya di dalam tubuhnya,sesuatu yang berat dan tak terlukiskan. Suatu rasa yang mengingatkannya akan setiap jiwa yang akan ia lihat pergi. "Tahan!" teriak Alexa, suaranya tiba-tiba memecah kesunyian yang membungkus mereka. "Kau mulai membuka indera keenam mu, tapi jangan terburu-buru. Ingat, pengendalian itu penting. Setiap bayang-bayang yang kau lihat bukan hanya tanda kematian, itu adalah peringatan. Kau harus bisa memahami apa yang sedang terjadi sebelum bertindak." Alex membuka matanya perlahan, matanya terfokus pada wajah Alexa yang penuh harap. Ia merasa bingung, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan "memahami" itu? Bukankah bayang-bayang itu hanya menunjukkan bahwa seseorang akan mati? Tapi kenapa ia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar di baliknya? Victor, yang sejak tadi hanya mengamati tanpa berkata banyak, akhirnya mendekat. "Setiap bayang-bayang kematian bukanlah hal yang sama. Beberapa di antaranya adalah pilihan. Yang lain adalah takdir. Jika kau ingin benar-benar memahami kekuatan ini, kau harus bisa membedakan mana yang bisa kau ubah dan mana yang harus kau biarkan terjadi." Alex mengangguk pelan. Perasaan bingung dan cemas semakin kuat, tetapi di sisi lain, ada keinginan besar untuk menguasai kemampuan ini. Tidak hanya untuk memahami, tetapi untuk mengubah nasibnya sendiri. Apakah mungkin ia bisa mengubah takdir orang-orang yang ia lihat akan mati? Hari demi hari, pelatihan itu terus berlanjut. Alex mulai merasakan perubahan. Ia bisa melihat bayang-bayang kematian dengan lebih jelas, suatu bentuk gelap yang melingkupi orang-orang di sekitarnya, bergerak seperti awan gelap yang tak tampak oleh mata biasa. Namun, ia juga mulai merasakan tekanan mental yang semakin besar, karena setiap kali ia melihat bayang-bayang itu, ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggunya. Pada suatu malam, ketika mereka berlatih di luar bangunan tua, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Victor mengajaknya untuk melangkah lebih jauh. "Kali ini, kita akan menguji kemampuanmu dalam situasi yang nyata," kata Victor sambil menatap Alex dengan serius. "Hari ini, kita akan menemui seseorang yang sedang berada di ambang kematian. Tugasmu adalah menentukan apakah kau bisa mengubah takdirnya." "Siapa orang itu?" tanya Alex, hatinya berdebar-debar. "Ada seorang pria di kota ini, seorang pejabat tinggi yang telah terlibat dalam banyak kasus korupsi. Meskipun ia tidak terlihat, bayang-bayang kematian sudah mengikutinya selama beberapa minggu terakhir. Dia akan mati dalam beberapa jam. Tugasmu adalah memutuskan, apakah hidupnya patut diselamatkan, atau apakah ia harus menjalani takdirnya?" jawab Victor, suaranya penuh tantangan. Alex merasa mulutnya kering. Ini bukan hanya tentang melihat kematian lagi, ini adalah tentang pilihan hidup dan mati, sesuatu yang jauh lebih besar dan berat dari yang pernah ia bayangkan. "Apakah aku harus... membunuhnya?" tanya Alex, takut pada jawabannya sendiri. Victor menggelengkan kepala. "Kau tidak akan membunuhnya, Alex. Kau hanya akan memilih untuk mengubah takdirnya, atau membiarkan takdir itu mengambil alih. Tetapi ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya. Kekuatan ini bukan sesuatu yang bisa digunakan dengan sembarangan." Seluruh tubuh Alex bergetar. Ia tahu bahwa malam ini akan menentukan arah hidupnya. Ia tidak hanya belajar untuk melihat bayang-bayang kematian, tetapi juga untuk memahami bahwa takdir bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. "Mari kita pergi," kata Victor, berjalan menuju pintu. "Waktumu hampir habis, dan kau harus memutuskan dengan cepat." Alex menatap ke luar jendela. Kota yang tampak damai di luar sana kini terasa jauh lebih menakutkan. Bayang-bayang yang membayangi kehidupannya semakin nyata. Ia tidak bisa lagi mengabaikan kekuatan yang ada di dalam dirinya, kekuatan yang membawanya pada pilihan yang akan menentukan takdir bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk orang-orang di sekitarnya. Dengan satu tarikan napas yang dalam, Alex mengikuti Victor dan Alexa, siap menghadapi takdir yang sedang menunggunya.Alex menapaki jalanan sempit kota yang terbungkus dalam kegelapan malam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah jalan itu mengarah ke ujung yang tak terduga. Langit dipenuhi dengan awan gelap, menghalangi cahaya rembulan yang seharusnya menerangi. Di sampingnya, Alexa bergerak tenang, seperti sudah terbiasa dengan kegelapan ini. Sementara itu, Victor berjalan di depan, langkahnya cepat dan mantap, seolah-olah ia tahu persis kemana mereka menuju. Di kejauhan, Alex bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sebuah energi yang gelap, menekan udara di sekitar mereka. Bayang-bayang kematian itu kembali muncul dalam pikirannya, bayang-bayang yang kini bukan hanya sekadar pertanda, tetapi juga sebuah tantangan besar yang harus ia hadapi. Rasanya seperti ada kekuatan lain yang bersembunyi di dalam bayang-bayang itu, menunggunya untuk salah langkah. "Apa yang akan terjadi jika aku gagal?" tanya Alex, suaranya penuh keraguan. Ia memandang Victor dengan tatapan serius, seakan menunggu
Langit pagi itu tampak sepi, seolah-olah dunia sedang menunggu sesuatu yang besar untuk terjadi. Suara angin yang berdesir melintasi jalanan kosong, membawa aroma tanah basah dan udara segar. Namun, meskipun tampak tenang, Alex merasakan ketegangan yang membelit dirinya. Apa yang akan terjadi hari ini bukan sekadar latihan biasa, ini adalah ujian sejati. Ujian yang akan menguji sejauh mana ia bisa mengendalikan kekuatan yang baru saja ia pelajari dan, lebih penting lagi, apakah ia siap menghadapi konsekuensi dari keputusan-keputusan yang telah ia buat.Victor berhenti di depan sebuah bangunan yang tampaknya tak jauh berbeda dengan yang mereka temui sebelumnya, namun kali ini suasana di sekitar mereka terasa lebih berat. Bangunan itu lebih besar, lebih kokoh, dan tampak lebih penuh dengan rahasia. Di luar, suasana seperti dipenuhi oleh aura yang tak bisa dijelaskan—sebuah perasaan tidak nyaman yang mulai meresap ke dalam jiwa Alex. Mereka bukan hanya datang untuk berlatih, mereka datan
Langkah kaki mereka membawa mereka lebih jauh ke dalam dimensi yang terdistorsi, di mana waktu dan ruang tampak tumpang tindih. Dunia ini terasa seperti sebuah bayang-bayang yang hidup, penuh ketidakpastian dan ancaman yang tak terlihat. Setiap detik berjalan terasa begitu lambat, namun atmosfernya begitu intens, seolah-olah mereka sedang terjebak dalam suatu lingkaran yang tak bisa dihentikan.Alex merasa setiap langkahnya semakin berat, seakan ada sesuatu yang menariknya kembali ke dunia yang ia kenal. Namun, ia tahu bahwa jalan ini tidak bisa dipilih mundur. Kekuatan yang telah ia bangkitkan tak dapat dibatalkan begitu saja. Hanya ada satu pilihan, terus maju, meskipun tak tahu apa yang menunggu di depan.Victor di sampingnya tetap diam, namun ada kekhawatiran yang tersirat di wajahnya. Beberapa kali ia melirik sekeliling mereka, memastikan bahwa mereka tak terjebak dalam perangkap yang lebih besar. Namun, meskipun Victor tampak tenang, Alex bisa merasakan ketegangan yang sama. Mer
Di tengah ruang itu, sebuah altar besar berdiri kokoh, terbuat dari batu hitam berkilauan, dihiasi dengan simbol-simbol yang tak dikenal. Di atasnya, ada sebuah batu besar yang berpendar dengan cahaya merah. Di sekeliling altar, ada sosok-sosok yang tidak jelas wujudnya, lebih seperti bayang-bayang yang hidup, mengawasi mereka dengan mata yang tak terlihat.Victor berhenti, menatap altar itu dengan penuh perhatian. "Tempat ini adalah tempat ujian kita, Alex. Di sini, kita akan diuji tidak hanya kemampuan kita untuk mengendalikan kekuatan, tetapi juga sejauh mana kita siap menerima konsekuensi dari keputusan kita."Alex menelan ludahnya. Bagaimana dia bisa siap? Setiap sel tubuhnya merasa tergetar oleh energi yang melingkupi ruangan itu. Sepertinya kekuatan ini bukanlah sesuatu yang bisa mereka kendalikan begitu saja. Dunia ini memiliki hukum yang tak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa. Mereka berdiri di ambang sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa yang pernah mereka bayang
Di tengah ruang itu, sebuah altar besar berdiri kokoh, terbuat dari batu hitam berkilauan, dihiasi dengan simbol-simbol yang tak dikenal. Di atasnya, ada sebuah batu besar yang berpendar dengan cahaya merah. Di sekeliling altar, ada sosok-sosok yang tidak jelas wujudnya, lebih seperti bayang-bayang yang hidup, mengawasi mereka dengan mata yang tak terlihat.Victor berhenti, menatap altar itu dengan penuh perhatian. "Tempat ini adalah tempat ujian kita, Alex. Di sini, kita akan diuji tidak hanya kemampuan kita untuk mengendalikan kekuatan, tetapi juga sejauh mana kita siap menerima konsekuensi dari keputusan kita."Alex menelan ludahnya. Bagaimana dia bisa siap? Setiap sel tubuhnya merasa tergetar oleh energi yang melingkupi ruangan itu. Sepertinya kekuatan ini bukanlah sesuatu yang bisa mereka kendalikan begitu saja. Dunia ini memiliki hukum yang tak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa. Mereka berdiri di ambang sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa yang pernah mereka bayang
Langkah kaki mereka membawa mereka lebih jauh ke dalam dimensi yang terdistorsi, di mana waktu dan ruang tampak tumpang tindih. Dunia ini terasa seperti sebuah bayang-bayang yang hidup, penuh ketidakpastian dan ancaman yang tak terlihat. Setiap detik berjalan terasa begitu lambat, namun atmosfernya begitu intens, seolah-olah mereka sedang terjebak dalam suatu lingkaran yang tak bisa dihentikan.Alex merasa setiap langkahnya semakin berat, seakan ada sesuatu yang menariknya kembali ke dunia yang ia kenal. Namun, ia tahu bahwa jalan ini tidak bisa dipilih mundur. Kekuatan yang telah ia bangkitkan tak dapat dibatalkan begitu saja. Hanya ada satu pilihan, terus maju, meskipun tak tahu apa yang menunggu di depan.Victor di sampingnya tetap diam, namun ada kekhawatiran yang tersirat di wajahnya. Beberapa kali ia melirik sekeliling mereka, memastikan bahwa mereka tak terjebak dalam perangkap yang lebih besar. Namun, meskipun Victor tampak tenang, Alex bisa merasakan ketegangan yang sama. Mer
Langit pagi itu tampak sepi, seolah-olah dunia sedang menunggu sesuatu yang besar untuk terjadi. Suara angin yang berdesir melintasi jalanan kosong, membawa aroma tanah basah dan udara segar. Namun, meskipun tampak tenang, Alex merasakan ketegangan yang membelit dirinya. Apa yang akan terjadi hari ini bukan sekadar latihan biasa, ini adalah ujian sejati. Ujian yang akan menguji sejauh mana ia bisa mengendalikan kekuatan yang baru saja ia pelajari dan, lebih penting lagi, apakah ia siap menghadapi konsekuensi dari keputusan-keputusan yang telah ia buat.Victor berhenti di depan sebuah bangunan yang tampaknya tak jauh berbeda dengan yang mereka temui sebelumnya, namun kali ini suasana di sekitar mereka terasa lebih berat. Bangunan itu lebih besar, lebih kokoh, dan tampak lebih penuh dengan rahasia. Di luar, suasana seperti dipenuhi oleh aura yang tak bisa dijelaskan—sebuah perasaan tidak nyaman yang mulai meresap ke dalam jiwa Alex. Mereka bukan hanya datang untuk berlatih, mereka datan
Alex menapaki jalanan sempit kota yang terbungkus dalam kegelapan malam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah jalan itu mengarah ke ujung yang tak terduga. Langit dipenuhi dengan awan gelap, menghalangi cahaya rembulan yang seharusnya menerangi. Di sampingnya, Alexa bergerak tenang, seperti sudah terbiasa dengan kegelapan ini. Sementara itu, Victor berjalan di depan, langkahnya cepat dan mantap, seolah-olah ia tahu persis kemana mereka menuju. Di kejauhan, Alex bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sebuah energi yang gelap, menekan udara di sekitar mereka. Bayang-bayang kematian itu kembali muncul dalam pikirannya, bayang-bayang yang kini bukan hanya sekadar pertanda, tetapi juga sebuah tantangan besar yang harus ia hadapi. Rasanya seperti ada kekuatan lain yang bersembunyi di dalam bayang-bayang itu, menunggunya untuk salah langkah. "Apa yang akan terjadi jika aku gagal?" tanya Alex, suaranya penuh keraguan. Ia memandang Victor dengan tatapan serius, seakan menunggu
Malam itu, angin dingin berhembus menerpa wajah Alex saat ia mengikuti Alexa melewati lorong gelap yang berkelok-kelok di dalam bangunan tua. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi, menyelubungi dirinya dengan aura ketegangan. Langit malam di luar hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang pucat, namun di dalam ruangan ini, suasananya terasa seperti di luar waktu, dengan bayang-bayang yang bergerak aneh di sekitar mereka. Alex menggigit bibirnya, mencoba menenangkan pikiran yang mulai kacau. Selama ini, ia adalah seorang detektif yang terlatih menghadapi situasi sulit, tapi hal yang ia hadapi malam ini jauh lebih menyeramkan dari apa pun yang pernah ia temui. Tato di dahinya, bayang-bayang kematian yang tak terjelaskan, semua itu seperti mimpi buruk yang semakin nyata. "Tenang, Alex. Semua ini akan lebih jelas setelah kau bertemu Victor," kata Alexa, suaranya terdengar seolah-olah ia sudah mengetahui apa yang ada dalam pikiran Alex. Akhirnya, merek