"Satu juta ...!" Herman melongo saat calon besannya memberikan uang dapur untuk keperluan pernikahan kedua anak meraka.
"Iya, saya rasa itu sudah cukup." Nurma terlihat tak suka dengan reaksi Herman yang menurutnya terlalu berlebihan."Uang satu juta memang cukup untuk apa bu Nurma? untuk biaya dapur saja tentu sangat kurang, belum lagi biaya tenda dan yang lainnya, sedangkan bu Nurma sendiri ingin pernikahan yang mewah." Herman menggelengkan kepalanya. Bahu bidangnya terlihat naik turun menahan emosi."Pak Herman tak terima dengan pemberian uang dapur dari kami? seharusnya Bapak itu bersyukur karena Azam masih mau menikahi Mira dan kami masih mau memberikan u*ng dapur kepada kalian.""Saya lebih bersyukur kalau anak saya tidak jadi menikah dengan Azam.""Jaga bicara anda, pak Herman! Azam itu anak laki-laki kami yang sempurna dengan paras yang tampan. Azam juga sudah punya pekerjaan tetap di Bank swasta. Berbeda dengan Mira, bisa-bisanya dia melayani lelaki yang bukan muhrimnya saat akan menikah dengan Azam.""Cukup bu Nurma! anda sudah terlalu banyak menghina keluarga saya, Mira bukan orang yang seperti anda tuduhkan. Kalau memang Azam sudah mapan mana mungkin hanya memberi uang dapur sebesar satu juta." Herman melihat ke arah Azam yang hanya tertunduk tanpa mengeluarkan satu patah kata pun. Sementara Mira menangis dalam pelukan Ibunya. "Pintu sudah terbuka lebar kalian juga tahu jalan pulang bukan?" "Anda mengusir kami?" teriak Nurma yang menggema di dalam ruangan. "Cih, sombong sudah miskin sombong, Ayo Zam kita pulang." Nurma berdiri hendak meninggalkan rumah tersebut.Tangis Mira sudah tak terkendali dalam pelukan Ibunya, matanya terasa berkunang-kunang, perlahan kesadarannya mulai hilang."Mira, Mira, sadar Mira" Sartinah menggoyang tubuh anaknya. "Pak, Mira pingsan Pak."Azam yang hendak meninggalkan rumah tersebut terhenti dengan teriakan Ibunya Mira, ada rasa khawatir pada matanya. Ketika Azam berbalik dan ingin membantu Mira, dengan cekatan bu Nurma menarik tangan Azam dan membawanya pergi. Sebelum bu Nurma benar-benar pergi meninggalkan rumah tersebut, ia berpesan."Untuk cincin tunangan dan seserahan dari Azam tolong segera dikembalikan kepada kami." Bu Nurma langsung meleos pergi meninggalkan rumah Mira dengan langkah yang panjang diikuti oleh Azam.Pak Herman nampak kesal, ia tak menyangka ada manuisa seperti keluarga Azam, akan tetapi ia benar-benar bersyukur jika Mira tak jadi menikah dengan Azam.Pak Herman membopong tubuh Mira ke kamarnya yang diikuti langkah sang istri."Gimana ini Pak," ujar Sartinah yang nampak khawatir dengan anaknya."Nggak apa-apa bu, sebentar lagi juga Mira sadar. Coba dioleskan minyak angin pada perut dan juga hidungnya." Bu Sartinah langsung mengambil minyak angin dan mengoleskan pada putrinya."Mira sadar neng," ujar Ibunya sembari memijat-mijat tangannya.Kepala Mira terasa berat, iya sudah sadar, Mira bisa mendengar suara bu Sartinah memanggil namanya, namun badannya masih sangat lemas untuk merespon.Bulir-bulir air mata Mira kembali menetes mengingat kejadian tadi."Bu," Hanya itu yang terucap dari bibir mungilnya sambil menangis tersedu.Herman melangkahkan kaki mencoba mendekati anaknya."Maafkan Bapak karena telah membatalkan pernikahanmu, tapi percayalah itu semua demi kebaikanmu." Herman pergi meninggalkan Mira bersama bu Sartinah yang kini semakin menangis tersedu."Yang sabar ya nak, yang kuat." Sartinah berusaha membuat Mira tegar dan kuat menghadapi kenyataan pahit."Ibu yakin yang dilakukan Bapakmu itu demi kebaikanmu. Tidak ada orang tua yang tega membuat anaknya menderita." Mira mengangguk mengerti perkataan Ibunya.Mira hanya kecewa pada Azam, laki-laki yang telah bersamanya, semasih mereka duduk dibangku SMA. Laki-laki yang telah berjanji akan memperjuangkan cintanya apapun yang terjadi, seolah sirnah begitu saja saat membiarkan keluarga Mira dihina oleh Ibunya Azam.Bersambung."Mir, dari tadi kok nasinya belum dimakan," ujar bu Sartinah pada anaknya.Mira menggelengkan keplanya "Belum lapar bu." Mira masih meringkuk diatas tempat tidurnya. "Masa belum lapar, dari pagi kamu belum makan apa-apa. Nanti asam lambungmu naik." Mira masih bergeming dengan posisinya."Ya sudah kalau memang belum lapar, tapi nanti dimakan ya nak." Bu Sartinah melihat raut wajah putrinya yang masih sendu. Nampaknya Mira masih belum bisa menerima yang terjadi saat ini. Wajarlah jika memang masih ada luka dihatinya. Mira dan Azam sudah cukup lama menjalin hubungan, memang tak semudah itu menerima kenyataan."Cincin tunangan dan semua seserahan sudah dikumpulkan bu?" tanya pak Herman pada istrinya yang sedang asik melipat pakaian yang sudah kering dijemur."Sudah pak." "Bagus lah, biar nanti pak Gimin yang antarkan ke rumah bu Nurma. Pokoknya jangan sampai ada yang tidak dikembalikan, Bapak sudah tak mau berurusan lagi dengan mereka.""Iya Pak ... Pak, Mira dari tadi pagi belum mau m
"Betul firasat Bapak, keluarga Azam memang tidak baik." Bu Sartinah menimpali cerita pak Gimin.Setelah mengantarkan barang dan cincin ke rumah bu Nurma, pak Gimin kembali ke rumah pak Herman dan menceritakan semua kejadian disana. Pak Gimin nampak kurang suka dengan prilaku bu Nurma saat pertama kali ia datang kesana."Sudahlah masih banyak pria baik diluar sana Bapak yakin diantara orang baik tersebut ada yang berjodoh dengan Mira," celetuk pak Herman merasa telah mengambil keputusan yang tepat.Diam-diam percakapan ketiga orang tersebut didengarkan oleh Mira. Ia merasa tak terima telah diperlakukan seperti itu oleh keluarga Azam. Mira bertekad untuk menemui Azam secara diam-diam.Mira kembali masuk kedalam kamarnya. Deru napasnya terdengar kasar, sementara bahunya nampak terlihat naik turun menahan emosi pada mantan kekasihnya.Tut ... tut ... tut...!Suara sambungan telpon yang masih belum diangkat. Satu hingga dua kali Mira mencoba menghubungi Azam masih tidak diangkat.Mira memu
"Kalau memang ada jodohnya, saya sangat setuju jika Mira menikah dengan Ridho yang sudah jelas baik dan dari keluarga yang baik," ujar Herman yang membuat Mira memicingkan matanya.Mira yang hendak masuk ke kamar, akhirnya terpanggil untuk mencari tahu apa maksud perkataan pak Herman. Ia mengendap-endap mengintip dari balik tembok.Nampak terlihat pria paruh baya dengan tubuh yang gagah sedang asik mengobrol dengan pak Herman."Sangat disayangkan dengan apa yang terjadi dengan Mira, saya turut prihatin mendengarnya," ucap pria yang masih belum diketahui namanya. Mira tertunduk lesu mengingat perbuatan Azam dan juga Ibunya. Ia masih tak habis pikir, bahkan cincin yang dulu pernah disematkan pada jarinya kini akan disematkan pada jemari wanita lain."Tapi ini lebih baik, dari pada harus terjebak dalam permasalahan yang lebih rumit setelah menikah." Perkataan pak Herman diangguki pria tersebut dan juga Mira.Memang lebih baik tidak jadi menikah dengan Azam. Pak Herman orang yang tidak ba
"Loh Ridho," ucap Mira yang terkaget melihat laki-laki dihadpannya.Laki-laki berkulit putih, serta berhidung mancung tersebut, hanya melemparkan senyuman dari bibirnya, membuat Ridho terlihat semakin tampan dan manis."Kalian saling kenal," tanya pak Herman."Kita satu kelas saat SMA," timpal Mira yang diangguki dengan senyuman oleh Ridho."Bagus kalau begitu, jadi lebih memudahkan kalian untuk berkomunikasi satu sama lain," sahut pak Herman."Memang jodoh tak lari kemana," ujar pak Yudi sambil tersenyum.Mira tak menyangka jika orang yang melamarnya adalah teman satu kelas yang paling diidolakan oleh satu sekolahnya. Pasalnya Ridho memang anak yang tampan dan juga pintar.Ridho bahkan terpilih sebagai ketua osis terfavorit dibandingkan ketua osis yang sebelumnya. Hanya saja Ridho memang dikenal sebagai orang yang pendiam dan tidak banyak omong.Saking populer dan tampannya ia saat sekolah, banyak siswa perempuan yang menyatakan perasaannya lebih dulu pada Ridho, tapi entah kenapa Ri
Pov Azam.Azam tak menyangka jika Mira akan datang dengan Ridho. Setelah Mira mempermalukan Azam di warung depan kantornya. Kini Mira kembali membuat ulah dengan datang bersama Ridho.Siapa yang tak kenal Ridho. Setiap wanita ingin menjadi kekasihnya. Tidak hanya tampan dan pintar, ia juga cukup kaya raya. Berniat hati ingin membuat Mira sakit hati dan nangis meraung meminta Azam membatalkan pernikahannya bersama Ayu. Mira malah datang bersama Ridho, dengan balutan baju yang anggun ditambah warna baju yang senada dengan Ridho membuat mereka terlihat makin serasi. Azam menjadi bahan buly di grup reuni SMA.[Pantas saja Mira merelakan Azam, gandengan barunya Ridho.][Dari dulu juga Mira emang cocoknya sama Ridho, cuma keduluan aja sama si Azam][Hebat si Mira, ibarat ditendang dari rumah gubuk. Sekarang malah punya istana dan jadi ratunya][Pake pelet apa si Mira, bisa dapetin Ridho][Istri Azam biasa aja, kirain cantik eh lebih cantikan Mira rupanya]Bukannya mendapat ucapan selamat k
'Semoga keputusanku menerima mas Ridho itu benar,' bantin Mira masih sedikit ragu dengan keputusan yang telah Mira ambil.Mira masih trauma dengan perlakukan Azam padanya. Bersamanya dengan waktu yang cukup lama tak lantas mengenal siapa Azam sebenarnya. Mira masih sakit hati dan kecewa pada Azam yang tiba-tiba menikah dengan perempuan lain setelah membatalkan pernikahannnya. Mira tidak akan pernah melupakan bagaimana Azam dan ibunya menghina keluarga Mira.Derttt, derrtt!Handphone Mira bergetar, gadis ini memang lebih sering menggetarkan hpnya dibanding membuatnya berdering kencang saat ada telpon atau notofikasi whatsapps yang masuk.Mira gegas mengambil benda pipih yang berada tak jauh darinya. Ia membuka layar handphone miliknya agar tahu siapa yang mengirimkan whasapp padanya.Mata Mira membulat sempurna saat mengetahui nama si pengirim pesan padanya."Mas Azam," gumamnya lirih.Ternyata sudah banyak pesan yang dikirimkan pada Mira melalui whatsappnya.[Jahat kamu, Mir. Ternyat
Ridho dan Mira menoleh ke arah suara tersebut."Mas Azam," ucap Mira lirih."Apa yang sudah kalian lakukan di dalam mobil," tanya Azam dengan wajah merah padam."Maksudnya?" tanya Mira dengan wajah yang bingung."Jangan kalian kira aku tak tahu dengan apa yang kalian lakukan di dalam mobil, aku tak menyangka kalau kamu begitu rendahan, Mira.""Jaga bicara anda, pak Azam. Fitnah anda itu lebih buruk dari orang yang telah membunuh saudaranya sendiri." Ridho mengepal lengannya dengan penuh emosi."Fitnah, apa menurutmu yang baru saja aku lihat itu hanya fatamorgana, atau hanya hayalanku saja.""Memang apa yang anda lihat itu, dengar Azam, saya bisa melaporkan anda atas tuduhan pencemaran nama baik. Apa yang anda tuduhkan kepada kami sangat tidak benar." Ancam Ridho yang tak main-main pada Azam."Tak usah meladeninya, Mas. Lebih baik kita masuk saja. Kita cuma buang-buang waktu kalau terus meladeninya disini," ucap Mira yang langsung menarik tangan Ridho masuk ke dalam Mall."Mira, aku be
"Mir ... Mira!" teriak pak Herman memanggil anak perempuannya."Iya pak, kenapa harus teriak begitu. Mira juga dengar kalau Bapak panggil nggak harus teriak seperti itu.""Gimana nggak teriak, masih pagi Bapak sudah dengar ibu-ibu pada ngomongin kamu yang nggak bener.""Ngomongin yang nggak bener, maksudnya gimana pak?" tanya Mira bingung."Katanya ada foto kamu sama Ridho yang nggak pantas dilihat didalam mobil, sudah berani kamu mencoreng dan buat malu muka Bapakmu ini?""Sabar pak, kita dengar dulu penjelasan dari Mira." Bu Sartinah mencoba menenangkan suaminya yang tengah tersulut emosi."Itu fitnah pak, sumpah Mira nggak pernah berbuat yang aneh-aneh. Mira tahu batasan Mira."Herman menghembuskan napas kasar."Siapa orang yang sudah memfitnahmu seperti itu?" tanya pak Suherman geram."Kemungkinan mas Azam, Pak," jawab Mira lirih."Soalnya kemarin sebelum Mira membeli kebutuhan seserahan, Mira ketemu mas Azam di parkiran Mall. Mas Azam nuduh Mira yang tidak-tidak, mas Azam juga ya