Share

Part 2

"Mir, dari tadi kok nasinya belum dimakan," ujar bu Sartinah pada anaknya.

Mira menggelengkan keplanya "Belum lapar bu." Mira masih meringkuk diatas tempat tidurnya.

"Masa belum lapar, dari pagi kamu belum makan apa-apa. Nanti asam lambungmu naik." Mira masih bergeming dengan posisinya.

"Ya sudah kalau memang belum lapar, tapi nanti dimakan ya nak."

Bu Sartinah melihat raut wajah putrinya yang masih sendu. Nampaknya Mira masih belum bisa menerima yang terjadi saat ini. Wajarlah jika memang masih ada luka dihatinya. Mira dan Azam sudah cukup lama menjalin hubungan, memang tak semudah itu menerima kenyataan.

"Cincin tunangan dan semua seserahan sudah dikumpulkan bu?" tanya pak Herman pada istrinya yang sedang asik melipat pakaian yang sudah kering dijemur.

"Sudah pak."

"Bagus lah, biar nanti pak Gimin yang antarkan ke rumah bu Nurma. Pokoknya jangan sampai ada yang tidak dikembalikan, Bapak sudah tak mau berurusan lagi dengan mereka."

"Iya Pak ... Pak, Mira dari tadi pagi belum mau makan."

"Loh, memangnya kenapa?" tanya pak Herman bingung. Nampak ke khawatiran dari raut wajahnya.

"Nggak tahu, kalau Ibu tanya jawabnya belum lapar. Ibu jadi khawatir Pak." Pak Herman menganggukan kepalanya, ia cukup mengerti dengan situasinya.

"Nggak perlu khawatir, Mira akan baik-baik saja. Biar Bapak yang ngomong sama Mira bu." Herman mencoba menenangkan istrinya meski sebenarnya ia juga khawatir dengan kondisi Mira, pak Herman berjalan menuju kamar anaknya.

Sebenarnya hati pak Herman cukup khawatir dengan kondisi putrinya, namun ia tak mau menampkan ke khawairan pada keluarganya.

"Nak, kenapa belum dimakan nasinya atau mau makan yang lain?" tanya Herman yang mendekati anaknya diatas tempat tidur.

"Nggak usah Pak, Mira belum lapar." Herman menganggukkan kepalanya.

"Nggak apa-apa jika memang belum lapar, tapi kalau untuk menyiksa diri sendiri Bapak tidak setuju." Mira mulai terisak dengan tangis yang tertahan.

pak Herman menghembuskan napas kasar.

"Dengarlah nak, Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui," ucap pak Herman mencoba mengingatkan Mira.

Mira semakin terisak dalam tangisnya. "Maafin Mira Pak," Suara Mira terdengar lirih dalam isak tangisnya, ia berusaha menyambar tangan Bapaknya dan langsung menciumi punggung dan telapak tangan pak Herman.

"Iya, Bapak juga minta maaf ya nak. Semoga kelak kamu mendapatkan jodoh yang baik," ujar pak Herman. "Aamiin." Perkataan pak Herman langsung diaminkan oleh Mira dan bu Sartinah yang berjalan masuk ke dalam kamar menghampiri Mira dan juga pak Herman.

"Pak, di depan sudah ada pak Gimin."

"Tolong, minta menunggu sebentar bu," pinta pak Herman yang masih mencoba menenangkan anak gadisnya. Bu Sartinah mengangguk kemudian pergi menghilang dibalik pintu kamar.

"Pak Gimin, mau mengembalikan semua barang-barang dari mas Azam, ya pak," tanya Mira dengan suara lirih.

"Iya, Bapak ke depan dulu. Kamu lekas makan, kasihan lambungmu itu dibiarkan kosong terus." Pak Herman gegas berjalan menemui pak Gimin yang sedang bebenah.

Barang-barang sudah di kemas dengan baik ke atas mobil. Bu Sartinah sekali lagi mengecek semua barang-barang yang akan dikembalikan pada keluarga Azam.

"Sudah semua bu?" tanya pak Herman pada bu Sartinah.

"Sudah pak, tapi cicin ini biar dibawa sama pak Gimin ya, nanti setelah sampai bisa langsung diserahkan saja sama bu Nurma."

"Iya, baiknya memang begitu."

Pak Gimin bersiap-siap berangkat mengantar barang ke rumah bu Nurma.

"Saya pamit berangkat dulu biar tidak terlalu sore," pamit Pak Gimin pada pak Herman dan bu Sartinah.

"Iya, pak. Saya minta tolong dikembalikan semua barang tersebut pada bu Nurma," ucap pak Herman tegas.

"Iya, pak. Assalamuaalaikum," sahut pak Gimin kemudian menghidupkan mobilnya melaju meninggalkan rumah pak Herman.

"Walaikumsalam," ucap pak Herman dan bu Nurma berbarengan.

***

"Permisi bu saya mau mengembalikan barang-barang dari pak Herman."

"Sebentar saya cek dulu, barangnya ada yang kurang atau tidak," ucap bu Nurma ketus.

Ia berjalan mendekati mobil yang dibawa pak Gimin. bu Nurma mengecek semua barang tidak terlewatkan satupun.

"Cincinnya, mana pak?" tanya bu Nurma sedikit meninggikan suaranya.

"Ini bu, cincinnya saya bawa." Pak Gimin menyerahkan sebuah kotak perhiasan berisi cincin pada bu Nurma.

Dengan sigap wanita paruh baya tersebut mengambilnya dari tangan pak Gimin. Bu Nurma membuka kotak tersebut lalu memeriksanya. Saat dirasa semua sudah lengkap ia memanggil art di rumahnya.

"Mba Rus, tolong bantu masukan semua barang ini ke dalam rumah. Ingat hati-hati, kalau sudah selesai semua barangnya bungkus kembali dengan rapih untuk seserahan ke bu Lilis."

Pak Gimin melongo dengan perkataan bu Nurma. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar tidaklah salah. Tak lama setelah bu Nurma memanggil Art di rumahnya keluar mba Rus untuk membantu pak Gimin.

karena rasa penasarannya pak Gimin memberanikan diri untuk bertanya pada mba Rus yang tengah membantunya mengeluarkan semua barang seserahan dari dalam mobil.

"Mba, tadi saya dengar barang-barang ini mau di kemas lagi untuk seserahan untuk bu Lilis, apa mas Azam akan melangsungkan lamaran lagi?" tanya pak Gimin dengan sangat hati-hati agar tak salah bicara.

"Hmmm ...!" Nampak keraguan pada wajah mba Rus saat akan menjawab pertanyaan pak Gimin.

"Iya, Ibu bilang, mas Azam akan melamar mba Ayu anaknya bu Lilis. Semua barang seserahan ini akan dikemas untuk acara lamaran nanti."

Pak Gimin kaget bukan kepalang mendengar penjelasan mba Rus.

"Memang kapan acaranya Mba?" tanya pak Gimin lagi.

"Kurang tahu, sudahlah pak jangan banyak tanya lagi, nanti saya bisa kena semprot sama bu Nurma."

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status