Evelyn dan Darius berdiri di depan pintu besar yang tampak kokoh. Di baliknya, suara percakapan terdengar semakin jelas. Mereka saling bertukar pandang sebelum Darius mengangguk pelan. Dengan satu tarikan napas, Evelyn mendorong pintu itu hingga terbuka. Di dalam, ruangan luas dengan lampu gantung redup menyambut mereka. Gregoire Levant berdiri di tengah, dikelilingi oleh empat pria bersenjata. Di sampingnya, seorang pria tinggi dengan jubah hitam—kemungkinan tangan kanan Keluarga Moreau—menyipitkan mata saat melihat mereka masuk. “Evelyn Voss,” suara Gregoire terdengar tenang, seolah sudah memperkirakan kedatangan mereka. “Aku tahu kau akan datang.” Evelyn hanya menyeringai. “Sayangnya, aku tidak datang untuk berbasa-basi.” Gregoire memberi isyarat, dan keempat pria bersenjata segera bergerak. Pertarungan pun dimulai. Salah satu pria menyerang Evelyn dengan tinju keras, tetapi ia menundu
Johan berdiri dengan tenang, menghadapi pria berjubah hitam yang kini mulai merendahkan tubuhnya dalam posisi bertarung. Matanya penuh kebencian, tetapi Johan hanya tersenyum tipis, seolah melihat lawannya sebagai hiburan semata. “Kau pikir bisa menghentikanku begitu saja, Johan?” pria itu menyeringai. “Aku telah berlatih bertahun-tahun untuk mengalahkanmu.” Johan tertawa kecil. “Kalau begitu, tunjukkan.” Pertarungan pun dimulai. Pria berjubah hitam melesat maju, pisaunya berkilat di bawah cahaya lampu redup. Ia menyerang dengan kecepatan tinggi, menusuk dan menebas dengan presisi yang mematikan. Tetapi Johan menghindar dengan mudah. Ia bergerak ringan, seperti bayangan, setiap gerakan lawannya ditepis atau dielakkan tanpa usaha berarti. Setiap kali pria itu menyerang, Johan hanya berputar atau mundur selangkah, seolah sedang menari di tengah medan perang. Waktu berlalu, d
Lorong rahasia telah tertutup, menyisakan keheningan yang menggantung di antara mereka. Evelyn menatap alat pelacak kecil yang berkelip di tangan Johan, matanya menyipit penuh perhitungan. “Seberapa jauh dia bisa pergi?” tanya Darius, masih mengatur napas setelah pertarungan sengit tadi. Johan melirik layar kecil di alat komunikasinya. “Gregoire bergerak cepat, tapi dia masih di dalam radius kita. Jika kita bertindak sekarang, kita bisa menangkapnya sebelum dia mencapai tempat aman.” Evelyn mengangguk. “Kalau begitu, kita tidak punya waktu untuk berlama-lama.” Tanpa ragu, mereka bertiga segera keluar dari vila, bergerak dalam kegelapan malam. Jalanan Varestia yang sepi menyambut mereka dengan udara dingin dan samar-samar suara air menetes dari atap bangunan tua. Johan mengamati sinyal pelacak yang terus berkedip di alatnya. “Dia menuju ke arah dermaga. Sepertinya dia punya jalan keluar dari sana.” Evelyn mendengus. “Tentu s
Perahu motor meluncur tanpa suara mendekati pulau, ombak kecil menghantam lambungnya dengan lembut. Dari kejauhan, cahaya samar terlihat di antara pepohonan lebat, menandakan adanya aktivitas di pulau itu. Johan memperlambat laju perahu, lalu memberi isyarat pada Evelyn dan Darius untuk bersiap. Mereka mengenakan pakaian gelap agar lebih sulit terlihat dalam kegelapan malam. “Dari sini kita jalan kaki,” bisik Johan sambil menambatkan perahu di sisi pulau yang tersembunyi dari pandangan utama. Mereka bertiga turun dengan sigap, menyelinap melalui pasir lembab menuju vegetasi lebat. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling mereka, menciptakan bayangan yang sempurna untuk bergerak tanpa terdeteksi. Darius merendahkan tubuhnya, mengamati jejak kaki di tanah. “Ada sekitar empat atau lima orang yang baru saja lewat sini.” Evelyn mengangguk. “Gregoire pasti tidak sendirian. Jika ini benar-benar markasnya, dia p
Evelyn, Johan, dan Darius menerobos ke lantai atas, napas mereka tetap stabil meski adrenalin mengalir deras. Setiap langkah mereka diiringi ketegangan yang memenuhi udara. Di ujung koridor, sebuah pintu ganda besar berdiri kokoh. Itu pasti tempat Gregoire bersembunyi. Darius merapat ke sisi pintu, memasang telinganya. “Ada suara langkah kaki. Setidaknya tiga orang di dalam.” Evelyn mengangguk, lalu menoleh ke Johan. “Bagaimana menurutmu?” Johan hanya tersenyum tipis. “Kita masuk dan buat mereka menyesali semuanya.” Tanpa membuang waktu, Johan mengangkat kakinya dan menendang pintu dengan kekuatan penuh. Pintu itu terbuka dengan keras, memperlihatkan ruangan luas dengan jendela menghadap ke laut. Di tengah ruangan, Gregoire Levant berdiri dengan jas mahalnya yang tetap rapi, sementara dua anak buahnya sudah bersiap dengan senjata terangkat. Gregoire tersenyum, sama sekali tak terkejut. “Tepat waktu. Aku tahu kalia
Perahu motor mereka bergetar pelan saat gelombang semakin kuat. Johan, Evelyn, dan Darius berdiri menatap kapal besar yang perlahan muncul dari balik kabut. Siluetnya gelap, tanpa tanda pengenal yang jelas. Darius mengaktifkan teropongnya dan mengamati kapal itu dengan cermat. “Tidak ada bendera. Tidak ada nomor lambung. Ini bukan kapal biasa.” Evelyn menggertakkan giginya. “Seseorang tahu kita ada di sini.” Gregoire tertawa pelan, meskipun kedua tangannya masih terikat erat. “Tepat sekali. Dan sekarang, kalian hanya punya dua pilihan: menyerah atau tenggelam.” Johan hanya menatapnya sebentar sebelum beralih ke Evelyn dan Darius. “Aku lebih suka pilihan ketiga.” Darius menaikkan alisnya. “Dan itu?” Johan tersenyum tajam. “Kita hancurkan mereka sebelum mereka sadar apa yang terjadi.” Tiba-tiba, suara dengungan rendah terdengar dari kejauhan. Beberapa detik kemudian, cahaya
Angin laut berhembus kencang saat Johan berdiri di atas perahu yang kini telah ia kuasai. Asap dari ledakan dan suara ombak yang menghantam lambung kapal menjadi latar belakang yang sempurna untuk satu hal: perburuan dimulai. Kapal musuh, yang sebelumnya mengejar mereka dengan kepercayaan diri penuh, kini mulai berbalik arah, mencoba melarikan diri ke dalam kabut tebal. Namun, Johan hanya menyeringai. “Mereka pikir bisa kabur begitu saja?” gumamnya sambil meraih kemudi perahu. Dengan satu gerakan cepat, ia memutar tuas gas hingga ke batas maksimum. Mesin meraung, dan perahu melesat membelah ombak menuju kapal utama musuh. Di atas kapal besar itu, para anak buah Moreau tampak panik. Beberapa dari mereka berteriak memerintahkan persiapan pertahanan, sementara yang lain mulai mengarahkan senjata ke perahu Johan. Peluru pertama melesat, menghantam air di sekitarnya. Namun, Johan tetap tenang. Dengan satu tangan di kemudi, i
Johan bergerak cepat menuju ruang kapten, tubuhnya tetap waspada. Di kejauhan, suara baling-baling helikopter mulai berputar, menandakan Moreau sudah bersiap untuk kabur. Saat ia sampai di tangga menuju dek atas, dua penjaga muncul, masing-masing membawa senapan serbu. DOR! DOR! Johan berguling ke samping, berlindung di balik peti kayu besar sebelum membalas tembakan dengan akurat. DOR! DOR! Salah satu pria langsung terjatuh, peluru Johan menembus dadanya. Pria kedua mencoba berlindung, tetapi Johan sudah lebih cepat. Ia melompat keluar dari perlindungan dan menembakkan peluru tepat ke lutut lawannya. Pria itu menjerit, jatuh berlutut, tetapi Johan tidak memberinya kesempatan. Dengan langkah tenang, ia mendekat dan melepaskan satu tembakan ke kepala. Selesai. Tanpa membuang waktu, Johan melangkah ke dek atas. Helikopter kini sudah menyala penuh, baling-bali
Pertarungan di dalam klub Abyss meledak seperti badai yang tak terbendung. Suara tembakan bercampur dengan dentingan logam, teriakan, dan amukan para petarung bayaran Falken yang kini satu per satu tumbang di hadapan Evelyn dan Darius. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, perhatian semua orang tertuju pada satu titik—pertarungan antara Johan dan Vladimir. Johan menghindari ayunan brutal dari palu besar Vladimir, lalu membalas dengan tendangan keras ke arah rusuk. Vladimir terguncang tapi tetap berdiri, tertawa gila. “Ayolah! Tunjukkan kau bukan hanya simbol keadilan bodoh!” Namun tepat sebelum Johan menyerang kembali, suara berdesing terdengar dari atas—dan atap klub tiba-tiba runtuh sebagian. Semua orang berhenti. Debu dan reruntuhan jatuh, dan dari lubang yang terbuka… muncul sosok bertudung gelap, dengan lambang Seekor Serigala Bersayap di punggungnya. Evelyn menegang. “Itu… bukan lambang Falken.” Darius segera menarik pistolnya. “Itu... lambang keluarga Nacht.” Johan tak bergemi
Malam menjelang di Zeigrad, namun kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon berkelap-kelip di distrik hitam, tempat hukum bergantung pada siapa yang memegang lebih banyak peluru. Klub malam Abyss berdiri di tengahnya, mewah dan menjulang, menjadi jantung kehidupan gelap kota. Tepat pukul dua dini hari, sebuah mobil lapis baja berhenti beberapa blok dari klub. Johan melangkah keluar dengan Darius dan Evelyn di belakangnya. Pakaian mereka hitam, menyatu dengan malam, tetapi aura Johan tetap terpancar—dingin, tajam, dan penuh amarah yang terpendam. “Menurut laporan, lantai bawah tanah klub itu dipakai Vladimir sebagai ruang pertemuan dan penyiksaan,” ujar Darius sambil menunjukkan denah digital. Evelyn menambahkan, “Keamanan di dalam dijaga oleh unit elit Falken. Petarung jalanan, tentara bayaran, dan mesin tempur modifikasi.” Johan hanya mengangguk. “Bagus. Aku ingin melihat siapa saja yang cukup bodoh untuk melindungi Vladimir.” Mereka berjalan melewati lorong semp
Zeigrad, ibu kota Astvaria, adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Di balik megahnya gedung-gedung pemerintahan dan cahaya lampu istana malam hari, jaringan kekuasaan dan pengaruh bekerja seperti nadi yang tak terlihat. Di sanalah keluarga-keluarga terkuat—Castello, Falken, Nacht, dan Voss—menanamkan cengkeramannya paling dalam. Namun, sejak kabar tentang kejatuhan keluarga Ludger dan Rangga tersebar secara diam-diam, ketegangan mulai terasa. Terutama bagi keluarga Castello dan Falken, yang selama ini merasa kebal terhadap ancaman. Di salah satu ruang bawah tanah kastil Castello, Lady Selene Castello duduk bersandar, membaca laporan intel dari agen rahasia mereka. “Johan sebentar lagi akan tiba di Zeigrad.” Matanya menyipit. "Jadi anak itu akhirnya menantang kami secara langsung?" Di sisinya, salah satu penasihat keluarga menjawab pelan. “Dan dia tidak datang sendirian. Perusahaannya, Arthura Trade & Co, telah mengirimkan tim penyusup ke distrik perdagangan. Mereka diam
Zeigrad. Jantung kekuasaan Astvaria. Kota dengan menara perak menjulang dan lorong-lorong kelam yang penuh konspirasi. Saat malam turun, cahaya lampu neon menciptakan siluet tajam di balik kaca-kaca gedung pemerintahan dan markas keluarga bangsawan. Di salah satu distrik kelas atas yang dijaga ketat, Keluarga Castello sedang mengadakan perjamuan. Para pejabat, bangsawan, dan pengusaha asing terlihat tertawa dan bersulang, seolah tidak ada perubahan apa pun di dunia luar. Tapi di bawah tanah, jauh dari hingar-bingar pesta, bayangan mulai bergerak. Salah satu agen Arthura Trade & Co menyusup ke dalam jaringan intel keluarga Falken. Mereka menyampaikan laporan melalui jalur komunikasi rahasia ke Johan yang masih berada di Riefenstadt. “Johan,” suara Evelyn terdengar dari alat komunikasi. “Kita dapat akses. Salah satu penjaga arsip keluarga Falken bersedia bicara. Tapi kita harus segera kirim tim penyusup ke Zeigrad.” Johan menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Beberapa titi
Api dan baja menghujani laut. Gelombang tinggi berubah menjadi merah saat dua armada raksasa saling bertabrakan di Teluk Treius. Kapal-kapal meledak satu per satu, serpihan kayu dan baja beterbangan di udara. Namun di tengah semua itu, dua sosok berdiri tenang di jantung pertempuran: Johan dan Sebastian Ludger. Arthura Prime menabrak sisi kapal utama Ludger, menciptakan gemuruh keras yang mengguncang seluruh dek. Anak buah Johan menyerbu ke kapal lawan lewat jembatan baja yang diturunkan. Johan sendiri melompat lebih dulu. Tubuhnya mendarat tepat di depan Sebastian. Sebastian menarik pedangnya yang bersinar biru, terbuat dari logam laut dalam. “Akhirnya kau datang juga.” Johan memasang sarung tangan perangnya. “Aku tidak suka membuang waktu.” “Begitu juga aku.” Tanpa aba-aba, duel pun dimulai. Pedang Sebastian berputar cepat, memotong angin dan baja. Tapi Johan membaca gerakannya dengan dingin, menangkis dan melawan balik dengan pukulan-pukulan berat yang membuat gelad
Pagi menyelimuti kota Levantine dengan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada lagi suara siaran propaganda dari istana keluarga Levant, tak ada lagi rapat rahasia dengan para pejabat bayangan. Kota itu kini dalam kendali penuh Johan dan pasukannya. Di sebuah ruangan taktis di pusat administrasi, Johan berdiri diam menghadap jendela, memperhatikan matahari yang terbit perlahan. Peta besar Astvaria terhampar di belakangnya, merah pada setiap nama keluarga yang telah tumbang. Evelyn melangkah masuk membawa dokumen. “Auren sudah dipindahkan ke sel isolasi. Pasukan keluarga Levant yang tersisa sudah menyerah. Tak ada perlawanan berarti.” Johan menoleh sedikit. “Penjabat tuan muda?” “Selene Levant,” jawab Evelyn. “Sepupu jauh Gregoire. Latar belakangnya diplomatik, tidak ambisius, dan—sejauh ini—tidak terlibat dalam skema politik jahat keluarga Levant.” Darius ikut menimpali, “Kami juga mengkonfirmasi bahwa jaringan luar negeri Gregoire telah runtuh. Koneksi
Dari atas menara observasi Kota Levantine, Johan berdiri bersama Evelyn dan Darius, mengamati hiruk pikuk ibu kota politik itu. Meski kota itu tampak tenang, Johan tahu, di balik ketenangan itu tersembunyi kekuatan yang berbahaya—kekuatan Keluarga Levant yang kini dipimpin oleh Auren. Darius menatap ke arah kantor pusat keluarga. “Kita yakin Auren akan muncul?" Johan mengangguk pelan. “Dia bukan seperti Gregoire. Dia lebih licik. Tapi dia pasti sedang menunggu. Mereka yang terlalu percaya pada bayang-bayang, biasanya lupa kalau bayangan bisa ditelan kegelapan.” Evelyn menambahkan dengan dingin, “Kita perlu pukul pusat pengaruh mereka. Bukan hanya fisik. Kita harus potong akar jaringan politik mereka.” Johan menyeringai kecil. “Sudah aku kirim orang ke tiga negara yang pernah tunduk pada Levant. Di Lusitania, Indrasia, dan Hollstein. Mereka akan buka kembali luka yang ditanam keluarga Levant selama ini.” Sementara itu, di kedalaman markas rahasia keluarga Levant, Auren membac
Malam mulai turun saat Johan tiba di markas intel Arthura yang tersembunyi di sudut kota Drakenfeld. Di sana, Darius telah menunggu bersama Evelyn dan beberapa agen kepercayaannya. "Ini laporan terakhir," ucap Darius sambil menyerahkan dokumen. "Setelah kekalahan keluarga Rangga, hanya tersisa enam keluarga dari 12 Teratas. Tapi ini bukan kemenangan mutlak—mereka yang tersisa jauh lebih kuat… dan lebih berbahaya." Evelyn menyela, "Terutama Keluarga Levant. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, tapi jejak mereka ada di mana-mana—dari parlemen negara tetangga sampai dalam tubuh pemerintahan Astvaria sendiri." Johan membuka berkas itu dan melihat foto lama Gregoire Levant, tuan muda dari keluarga tersebut. Meski pria itu telah tewas di Varestia, bayang-bayang kekuasaan Levant masih terasa. Pasalnya, Gregoire bukan satu-satunya yang berperan. Di balik kematiannya, masih ada para tangan kanan, boneka politik, dan jaringan kekuasaan yang tersebar di berbagai wilayah. "Mereka
Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat, tetapi Johan tetap berdiri dengan tenang di hadapan Tristan Rangga dan Rendra Rangga. Keduanya memimpin keluarga yang terkenal dengan pasukan bayangan dan pengawal elit Astvaria. Tristan akhirnya bersandar di kursinya, menghela napas perlahan sebelum berbicara. "Johan, kau datang untuk memastikan kesetiaan keluargaku, tapi aku ingin tahu satu hal lebih dulu." Johan mengangguk, menunggu pertanyaan yang akan diajukan. Tristan menatap matanya dalam-dalam. "Apa yang akan kau lakukan jika aku menolak tunduk padamu? Jika aku memutuskan bahwa Keluarga Rangga tetap berdiri sendiri, tidak berpihak pada siapa pun?" Johan tersenyum kecil. "Aku tidak meminta kalian tunduk. Aku hanya meminta kalian memilih. Apakah kalian tetap berpegang pada tugas kalian untuk melindungi negara, ataukah kalian akan menjadi bagian dari mereka yang melupakan kewajibannya?" Rendra, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami bukan pengkhianat, Joha