Evelyn, Johan, dan Darius menerobos ke lantai atas, napas mereka tetap stabil meski adrenalin mengalir deras. Setiap langkah mereka diiringi ketegangan yang memenuhi udara.
Di ujung koridor, sebuah pintu ganda besar berdiri kokoh. Itu pasti tempat Gregoire bersembunyi. Darius merapat ke sisi pintu, memasang telinganya. “Ada suara langkah kaki. Setidaknya tiga orang di dalam.” Evelyn mengangguk, lalu menoleh ke Johan. “Bagaimana menurutmu?” Johan hanya tersenyum tipis. “Kita masuk dan buat mereka menyesali semuanya.” Tanpa membuang waktu, Johan mengangkat kakinya dan menendang pintu dengan kekuatan penuh. Pintu itu terbuka dengan keras, memperlihatkan ruangan luas dengan jendela menghadap ke laut. Di tengah ruangan, Gregoire Levant berdiri dengan jas mahalnya yang tetap rapi, sementara dua anak buahnya sudah bersiap dengan senjata terangkat. Gregoire tersenyum, sama sekali tak terkejut. “Tepat waktu. Aku tahu kaliaPerahu motor mereka bergetar pelan saat gelombang semakin kuat. Johan, Evelyn, dan Darius berdiri menatap kapal besar yang perlahan muncul dari balik kabut. Siluetnya gelap, tanpa tanda pengenal yang jelas. Darius mengaktifkan teropongnya dan mengamati kapal itu dengan cermat. “Tidak ada bendera. Tidak ada nomor lambung. Ini bukan kapal biasa.” Evelyn menggertakkan giginya. “Seseorang tahu kita ada di sini.” Gregoire tertawa pelan, meskipun kedua tangannya masih terikat erat. “Tepat sekali. Dan sekarang, kalian hanya punya dua pilihan: menyerah atau tenggelam.” Johan hanya menatapnya sebentar sebelum beralih ke Evelyn dan Darius. “Aku lebih suka pilihan ketiga.” Darius menaikkan alisnya. “Dan itu?” Johan tersenyum tajam. “Kita hancurkan mereka sebelum mereka sadar apa yang terjadi.” Tiba-tiba, suara dengungan rendah terdengar dari kejauhan. Beberapa detik kemudian, cahaya
Angin laut berhembus kencang saat Johan berdiri di atas perahu yang kini telah ia kuasai. Asap dari ledakan dan suara ombak yang menghantam lambung kapal menjadi latar belakang yang sempurna untuk satu hal: perburuan dimulai. Kapal musuh, yang sebelumnya mengejar mereka dengan kepercayaan diri penuh, kini mulai berbalik arah, mencoba melarikan diri ke dalam kabut tebal. Namun, Johan hanya menyeringai. “Mereka pikir bisa kabur begitu saja?” gumamnya sambil meraih kemudi perahu. Dengan satu gerakan cepat, ia memutar tuas gas hingga ke batas maksimum. Mesin meraung, dan perahu melesat membelah ombak menuju kapal utama musuh. Di atas kapal besar itu, para anak buah Moreau tampak panik. Beberapa dari mereka berteriak memerintahkan persiapan pertahanan, sementara yang lain mulai mengarahkan senjata ke perahu Johan. Peluru pertama melesat, menghantam air di sekitarnya. Namun, Johan tetap tenang. Dengan satu tangan di kemudi, i
Johan bergerak cepat menuju ruang kapten, tubuhnya tetap waspada. Di kejauhan, suara baling-baling helikopter mulai berputar, menandakan Moreau sudah bersiap untuk kabur. Saat ia sampai di tangga menuju dek atas, dua penjaga muncul, masing-masing membawa senapan serbu. DOR! DOR! Johan berguling ke samping, berlindung di balik peti kayu besar sebelum membalas tembakan dengan akurat. DOR! DOR! Salah satu pria langsung terjatuh, peluru Johan menembus dadanya. Pria kedua mencoba berlindung, tetapi Johan sudah lebih cepat. Ia melompat keluar dari perlindungan dan menembakkan peluru tepat ke lutut lawannya. Pria itu menjerit, jatuh berlutut, tetapi Johan tidak memberinya kesempatan. Dengan langkah tenang, ia mendekat dan melepaskan satu tembakan ke kepala. Selesai. Tanpa membuang waktu, Johan melangkah ke dek atas. Helikopter kini sudah menyala penuh, baling-bali
Johan berdiri di atas dek kapal yang kini penuh dengan tubuh tak bernyawa dan serpihan sisa pertempuran. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit, tetapi pikirannya tetap tajam. Ia baru saja menghabisi musuh terakhirnya, dan kini hanya ada satu hal yang harus dilakukan—keluar dari tempat ini sebelum bala bantuan Moreau datang. Suara alat komunikasinya kembali berbunyi. "Johan, kau masih di sana? Kami hampir sampai di titik pertemuan." Suara Evelyn terdengar tegas namun sedikit khawatir. Johan menekan tombol di alat komunikasi. "Aku masih di kapal. Tidak ada ancaman lagi di sini. Kalian di mana?" "Kami sudah mendekati pantai. Ada dermaga tua sekitar 500 meter dari posisimu. Bisa kau sampai ke sana?" Johan menatap ke arah laut, melihat ombak yang berkilauan di bawah sinar bulan. Kapal ini sudah tidak bisa digunakan lagi. Mesin utama hancur akibat ledakan sebelumnya, dan dari kejauhan, ia bisa melihat b
Mobil hitam itu melaju tanpa henti menuju persembunyian sementara yang telah dipersiapkan oleh Darius. Di dalam kabin yang sunyi, hanya suara mesin dan hembusan napas berat yang terdengar. Johan bersandar di kursinya, matanya menatap lurus ke depan, pikirannya berputar mencari celah untuk mengatasi ancaman baru yang baru saja mereka ketahui—Ludger Falkenhayn. Evelyn menatap Gregoire yang masih terikat di kursi belakang. “Katakan padaku satu hal, Gregoire. Kenapa Ludger tertarik dengan perusahaan kami? Apa yang sebenarnya dia inginkan?” Gregoire menyeringai kecil. “Kalian tidak menyadarinya? Perusahaan ini lebih dari sekadar bisnis dagang biasa. Kalian memiliki aset, koneksi, dan informasi yang sangat berharga. Dan Ludger tidak menginginkan itu untuk dirinya sendiri—dia ingin memastikan tidak ada yang bisa menyainginya.” Darius mendengus. “Jadi, jika dia tidak bisa memilikinya, dia akan menghancurkannya?” Gregoire mengan
Mobil melaju dalam keheningan, hanya suara mesin yang terdengar di antara mereka. Sisa pertempuran barusan masih terasa di udara, dan meskipun mereka berhasil lolos, semua orang di dalam mobil tahu bahwa ancaman belum berakhir. Johan duduk diam di kursinya, matanya fokus ke jalanan yang gelap. Gregoire, yang masih terikat di kursi belakang, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Ludger tidak akan berhenti hanya karena kalian mengalahkan beberapa anak buahnya.” Evelyn meliriknya. “Kami tahu itu.” Gregoire menyeringai kecil. “Tapi kalian belum tahu seberapa jauh dia bisa pergi.” Darius yang masih berkonsentrasi mengemudi menoleh sekilas ke kaca spion. “Kalau kau punya sesuatu yang lebih dari sekadar peringatan samar, sebaiknya kau katakan sekarang.” Gregoire mencondongkan tubuhnya ke depan sedikit, meskipun tali di pergelangannya masih mengikat erat. “Kalian pikir Ludger hanya
Asap masih mengepul dari reruntuhan, sementara suara tembakan mulai mereda. Evelyn, Darius, dan Johan berdiri di antara mayat para Hounds yang tergeletak di tanah, memastikan tidak ada yang tersisa. Gregoire, masih dalam keadaan terikat, menyaksikan semuanya dengan tatapan penuh ketakutan dan kekaguman. “Aku harus mengakui… kalian lebih tangguh dari yang kuduga.” Evelyn tidak menanggapi. Matanya masih mengawasi sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya lain. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Jika Hounds sudah menemukan tempat ini, maka Ludger pasti tahu.” Darius mengangguk, memasukkan peluru baru ke dalam senjatanya. “Kemana kita pergi sekarang?” Johan memandangi tubuh-tubuh yang tergeletak di tanah sebelum menjawab, suaranya dingin dan penuh kepastian. “Kita tidak lari. Kita serang balik.” Gregoire terkekeh. “Itu terdengar seperti bunuh diri.” Johan berbalik menatapnya, matanya tajam. “Ludg
Di dalam persembunyian sementara, Johan, Evelyn, Darius, dan Gregoire duduk mengelilingi meja yang penuh dengan peta dan dokumen. Cahaya lampu redup menerangi wajah mereka yang serius. Gregoire menunjuk sebuah titik di peta. “Inilah fasilitas Ludger di perbatasan Varestia. Tempat ini tidak hanya menjadi pusat komando, tapi juga gudang penyimpanan senjata dan dokumen penting.” Evelyn menyilangkan tangan. “Berapa banyak penjaga?” Gregoire berpikir sejenak. “Minimal dua lusin, mungkin lebih. Mereka bukan sekadar prajurit bayaran biasa. Sebagian dari mereka adalah mantan tentara dan agen bayangan yang bekerja di bawah Ludger selama bertahun-tahun.” Darius menghela napas. “Jadi kita berhadapan dengan pasukan elit.” Sebelum Johan sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka, dan seorang pria dengan postur tegap memasuki ruangan bersama beberapa anak buahnya. “Maaf terla
Pertarungan di dalam klub Abyss meledak seperti badai yang tak terbendung. Suara tembakan bercampur dengan dentingan logam, teriakan, dan amukan para petarung bayaran Falken yang kini satu per satu tumbang di hadapan Evelyn dan Darius. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, perhatian semua orang tertuju pada satu titik—pertarungan antara Johan dan Vladimir. Johan menghindari ayunan brutal dari palu besar Vladimir, lalu membalas dengan tendangan keras ke arah rusuk. Vladimir terguncang tapi tetap berdiri, tertawa gila. “Ayolah! Tunjukkan kau bukan hanya simbol keadilan bodoh!” Namun tepat sebelum Johan menyerang kembali, suara berdesing terdengar dari atas—dan atap klub tiba-tiba runtuh sebagian. Semua orang berhenti. Debu dan reruntuhan jatuh, dan dari lubang yang terbuka… muncul sosok bertudung gelap, dengan lambang Seekor Serigala Bersayap di punggungnya. Evelyn menegang. “Itu… bukan lambang Falken.” Darius segera menarik pistolnya. “Itu... lambang keluarga Nacht.” Johan tak bergemi
Malam menjelang di Zeigrad, namun kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon berkelap-kelip di distrik hitam, tempat hukum bergantung pada siapa yang memegang lebih banyak peluru. Klub malam Abyss berdiri di tengahnya, mewah dan menjulang, menjadi jantung kehidupan gelap kota. Tepat pukul dua dini hari, sebuah mobil lapis baja berhenti beberapa blok dari klub. Johan melangkah keluar dengan Darius dan Evelyn di belakangnya. Pakaian mereka hitam, menyatu dengan malam, tetapi aura Johan tetap terpancar—dingin, tajam, dan penuh amarah yang terpendam. “Menurut laporan, lantai bawah tanah klub itu dipakai Vladimir sebagai ruang pertemuan dan penyiksaan,” ujar Darius sambil menunjukkan denah digital. Evelyn menambahkan, “Keamanan di dalam dijaga oleh unit elit Falken. Petarung jalanan, tentara bayaran, dan mesin tempur modifikasi.” Johan hanya mengangguk. “Bagus. Aku ingin melihat siapa saja yang cukup bodoh untuk melindungi Vladimir.” Mereka berjalan melewati lorong semp
Zeigrad, ibu kota Astvaria, adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Di balik megahnya gedung-gedung pemerintahan dan cahaya lampu istana malam hari, jaringan kekuasaan dan pengaruh bekerja seperti nadi yang tak terlihat. Di sanalah keluarga-keluarga terkuat—Castello, Falken, Nacht, dan Voss—menanamkan cengkeramannya paling dalam. Namun, sejak kabar tentang kejatuhan keluarga Ludger dan Rangga tersebar secara diam-diam, ketegangan mulai terasa. Terutama bagi keluarga Castello dan Falken, yang selama ini merasa kebal terhadap ancaman. Di salah satu ruang bawah tanah kastil Castello, Lady Selene Castello duduk bersandar, membaca laporan intel dari agen rahasia mereka. “Johan sebentar lagi akan tiba di Zeigrad.” Matanya menyipit. "Jadi anak itu akhirnya menantang kami secara langsung?" Di sisinya, salah satu penasihat keluarga menjawab pelan. “Dan dia tidak datang sendirian. Perusahaannya, Arthura Trade & Co, telah mengirimkan tim penyusup ke distrik perdagangan. Mereka diam
Zeigrad. Jantung kekuasaan Astvaria. Kota dengan menara perak menjulang dan lorong-lorong kelam yang penuh konspirasi. Saat malam turun, cahaya lampu neon menciptakan siluet tajam di balik kaca-kaca gedung pemerintahan dan markas keluarga bangsawan. Di salah satu distrik kelas atas yang dijaga ketat, Keluarga Castello sedang mengadakan perjamuan. Para pejabat, bangsawan, dan pengusaha asing terlihat tertawa dan bersulang, seolah tidak ada perubahan apa pun di dunia luar. Tapi di bawah tanah, jauh dari hingar-bingar pesta, bayangan mulai bergerak. Salah satu agen Arthura Trade & Co menyusup ke dalam jaringan intel keluarga Falken. Mereka menyampaikan laporan melalui jalur komunikasi rahasia ke Johan yang masih berada di Riefenstadt. “Johan,” suara Evelyn terdengar dari alat komunikasi. “Kita dapat akses. Salah satu penjaga arsip keluarga Falken bersedia bicara. Tapi kita harus segera kirim tim penyusup ke Zeigrad.” Johan menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Beberapa titi
Api dan baja menghujani laut. Gelombang tinggi berubah menjadi merah saat dua armada raksasa saling bertabrakan di Teluk Treius. Kapal-kapal meledak satu per satu, serpihan kayu dan baja beterbangan di udara. Namun di tengah semua itu, dua sosok berdiri tenang di jantung pertempuran: Johan dan Sebastian Ludger. Arthura Prime menabrak sisi kapal utama Ludger, menciptakan gemuruh keras yang mengguncang seluruh dek. Anak buah Johan menyerbu ke kapal lawan lewat jembatan baja yang diturunkan. Johan sendiri melompat lebih dulu. Tubuhnya mendarat tepat di depan Sebastian. Sebastian menarik pedangnya yang bersinar biru, terbuat dari logam laut dalam. “Akhirnya kau datang juga.” Johan memasang sarung tangan perangnya. “Aku tidak suka membuang waktu.” “Begitu juga aku.” Tanpa aba-aba, duel pun dimulai. Pedang Sebastian berputar cepat, memotong angin dan baja. Tapi Johan membaca gerakannya dengan dingin, menangkis dan melawan balik dengan pukulan-pukulan berat yang membuat gelad
Pagi menyelimuti kota Levantine dengan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada lagi suara siaran propaganda dari istana keluarga Levant, tak ada lagi rapat rahasia dengan para pejabat bayangan. Kota itu kini dalam kendali penuh Johan dan pasukannya. Di sebuah ruangan taktis di pusat administrasi, Johan berdiri diam menghadap jendela, memperhatikan matahari yang terbit perlahan. Peta besar Astvaria terhampar di belakangnya, merah pada setiap nama keluarga yang telah tumbang. Evelyn melangkah masuk membawa dokumen. “Auren sudah dipindahkan ke sel isolasi. Pasukan keluarga Levant yang tersisa sudah menyerah. Tak ada perlawanan berarti.” Johan menoleh sedikit. “Penjabat tuan muda?” “Selene Levant,” jawab Evelyn. “Sepupu jauh Gregoire. Latar belakangnya diplomatik, tidak ambisius, dan—sejauh ini—tidak terlibat dalam skema politik jahat keluarga Levant.” Darius ikut menimpali, “Kami juga mengkonfirmasi bahwa jaringan luar negeri Gregoire telah runtuh. Koneksi
Dari atas menara observasi Kota Levantine, Johan berdiri bersama Evelyn dan Darius, mengamati hiruk pikuk ibu kota politik itu. Meski kota itu tampak tenang, Johan tahu, di balik ketenangan itu tersembunyi kekuatan yang berbahaya—kekuatan Keluarga Levant yang kini dipimpin oleh Auren. Darius menatap ke arah kantor pusat keluarga. “Kita yakin Auren akan muncul?" Johan mengangguk pelan. “Dia bukan seperti Gregoire. Dia lebih licik. Tapi dia pasti sedang menunggu. Mereka yang terlalu percaya pada bayang-bayang, biasanya lupa kalau bayangan bisa ditelan kegelapan.” Evelyn menambahkan dengan dingin, “Kita perlu pukul pusat pengaruh mereka. Bukan hanya fisik. Kita harus potong akar jaringan politik mereka.” Johan menyeringai kecil. “Sudah aku kirim orang ke tiga negara yang pernah tunduk pada Levant. Di Lusitania, Indrasia, dan Hollstein. Mereka akan buka kembali luka yang ditanam keluarga Levant selama ini.” Sementara itu, di kedalaman markas rahasia keluarga Levant, Auren membac
Malam mulai turun saat Johan tiba di markas intel Arthura yang tersembunyi di sudut kota Drakenfeld. Di sana, Darius telah menunggu bersama Evelyn dan beberapa agen kepercayaannya. "Ini laporan terakhir," ucap Darius sambil menyerahkan dokumen. "Setelah kekalahan keluarga Rangga, hanya tersisa enam keluarga dari 12 Teratas. Tapi ini bukan kemenangan mutlak—mereka yang tersisa jauh lebih kuat… dan lebih berbahaya." Evelyn menyela, "Terutama Keluarga Levant. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, tapi jejak mereka ada di mana-mana—dari parlemen negara tetangga sampai dalam tubuh pemerintahan Astvaria sendiri." Johan membuka berkas itu dan melihat foto lama Gregoire Levant, tuan muda dari keluarga tersebut. Meski pria itu telah tewas di Varestia, bayang-bayang kekuasaan Levant masih terasa. Pasalnya, Gregoire bukan satu-satunya yang berperan. Di balik kematiannya, masih ada para tangan kanan, boneka politik, dan jaringan kekuasaan yang tersebar di berbagai wilayah. "Mereka
Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat, tetapi Johan tetap berdiri dengan tenang di hadapan Tristan Rangga dan Rendra Rangga. Keduanya memimpin keluarga yang terkenal dengan pasukan bayangan dan pengawal elit Astvaria. Tristan akhirnya bersandar di kursinya, menghela napas perlahan sebelum berbicara. "Johan, kau datang untuk memastikan kesetiaan keluargaku, tapi aku ingin tahu satu hal lebih dulu." Johan mengangguk, menunggu pertanyaan yang akan diajukan. Tristan menatap matanya dalam-dalam. "Apa yang akan kau lakukan jika aku menolak tunduk padamu? Jika aku memutuskan bahwa Keluarga Rangga tetap berdiri sendiri, tidak berpihak pada siapa pun?" Johan tersenyum kecil. "Aku tidak meminta kalian tunduk. Aku hanya meminta kalian memilih. Apakah kalian tetap berpegang pada tugas kalian untuk melindungi negara, ataukah kalian akan menjadi bagian dari mereka yang melupakan kewajibannya?" Rendra, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami bukan pengkhianat, Joha