Mobil hitam itu melaju tanpa henti menuju persembunyian sementara yang telah dipersiapkan oleh Darius. Di dalam kabin yang sunyi, hanya suara mesin dan hembusan napas berat yang terdengar. Johan bersandar di kursinya, matanya menatap lurus ke depan, pikirannya berputar mencari celah untuk mengatasi ancaman baru yang baru saja mereka ketahui—Ludger Falkenhayn.
Evelyn menatap Gregoire yang masih terikat di kursi belakang. “Katakan padaku satu hal, Gregoire. Kenapa Ludger tertarik dengan perusahaan kami? Apa yang sebenarnya dia inginkan?” Gregoire menyeringai kecil. “Kalian tidak menyadarinya? Perusahaan ini lebih dari sekadar bisnis dagang biasa. Kalian memiliki aset, koneksi, dan informasi yang sangat berharga. Dan Ludger tidak menginginkan itu untuk dirinya sendiri—dia ingin memastikan tidak ada yang bisa menyainginya.” Darius mendengus. “Jadi, jika dia tidak bisa memilikinya, dia akan menghancurkannya?” Gregoire menganMobil melaju dalam keheningan, hanya suara mesin yang terdengar di antara mereka. Sisa pertempuran barusan masih terasa di udara, dan meskipun mereka berhasil lolos, semua orang di dalam mobil tahu bahwa ancaman belum berakhir. Johan duduk diam di kursinya, matanya fokus ke jalanan yang gelap. Gregoire, yang masih terikat di kursi belakang, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Ludger tidak akan berhenti hanya karena kalian mengalahkan beberapa anak buahnya.” Evelyn meliriknya. “Kami tahu itu.” Gregoire menyeringai kecil. “Tapi kalian belum tahu seberapa jauh dia bisa pergi.” Darius yang masih berkonsentrasi mengemudi menoleh sekilas ke kaca spion. “Kalau kau punya sesuatu yang lebih dari sekadar peringatan samar, sebaiknya kau katakan sekarang.” Gregoire mencondongkan tubuhnya ke depan sedikit, meskipun tali di pergelangannya masih mengikat erat. “Kalian pikir Ludger hanya
Asap masih mengepul dari reruntuhan, sementara suara tembakan mulai mereda. Evelyn, Darius, dan Johan berdiri di antara mayat para Hounds yang tergeletak di tanah, memastikan tidak ada yang tersisa. Gregoire, masih dalam keadaan terikat, menyaksikan semuanya dengan tatapan penuh ketakutan dan kekaguman. “Aku harus mengakui… kalian lebih tangguh dari yang kuduga.” Evelyn tidak menanggapi. Matanya masih mengawasi sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya lain. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Jika Hounds sudah menemukan tempat ini, maka Ludger pasti tahu.” Darius mengangguk, memasukkan peluru baru ke dalam senjatanya. “Kemana kita pergi sekarang?” Johan memandangi tubuh-tubuh yang tergeletak di tanah sebelum menjawab, suaranya dingin dan penuh kepastian. “Kita tidak lari. Kita serang balik.” Gregoire terkekeh. “Itu terdengar seperti bunuh diri.” Johan berbalik menatapnya, matanya tajam. “Ludg
Di dalam persembunyian sementara, Johan, Evelyn, Darius, dan Gregoire duduk mengelilingi meja yang penuh dengan peta dan dokumen. Cahaya lampu redup menerangi wajah mereka yang serius. Gregoire menunjuk sebuah titik di peta. “Inilah fasilitas Ludger di perbatasan Varestia. Tempat ini tidak hanya menjadi pusat komando, tapi juga gudang penyimpanan senjata dan dokumen penting.” Evelyn menyilangkan tangan. “Berapa banyak penjaga?” Gregoire berpikir sejenak. “Minimal dua lusin, mungkin lebih. Mereka bukan sekadar prajurit bayaran biasa. Sebagian dari mereka adalah mantan tentara dan agen bayangan yang bekerja di bawah Ludger selama bertahun-tahun.” Darius menghela napas. “Jadi kita berhadapan dengan pasukan elit.” Sebelum Johan sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka, dan seorang pria dengan postur tegap memasuki ruangan bersama beberapa anak buahnya. “Maaf terla
Johan dan timnya menyelinap melewati lorong-lorong sempit fasilitas. Setiap langkah mereka terukur, setiap napas mereka dijaga agar tidak menimbulkan suara. Mereka tahu bahwa di balik dinding-dinding ini, Ludger dan anak buahnya sedang menunggu tanpa menyadari bahaya yang mengintai. Gregoire, yang paling mengenal tata letak fasilitas ini, memberi isyarat untuk berhenti di sebuah persimpangan. “Di depan ada ruang pusat kendali. Jika kita bisa menguasainya, kita bisa memutus komunikasi mereka dan mengendalikan sistem keamanan.” Johan menatap Evelyn. “Kita serang cepat dan efisien. Tidak boleh ada yang lolos.” Evelyn mengangguk, begitu pula anggota tim lainnya. Dengan gerakan serempak, mereka bergerak maju. Saat mereka hampir mencapai pintu pusat kendali, seorang penjaga keluar dari ruangan dengan secangkir kopi di tangan. Matanya membelalak melihat Johan dan yang lainnya. Sebelum sempat bersuara, Johan bergerak lebih cepat. Ia menebas
Hector Wolfe melesat dengan kecepatan mengejutkan untuk tubuh sebesar itu. Tinju raksasanya melayang ke arah Johan dengan kekuatan menghancurkan. Johan menghindar ke samping tepat waktu, merasakan hembusan angin dari pukulan itu yang hampir mengenainya. BRAK! Dinding di belakang Johan retak akibat pukulan Hector. Lelaki itu menyeringai. “Kau cepat, tapi aku lebih kuat.” Johan tidak menjawab. Ia tetap tenang, matanya tajam menganalisis setiap gerakan lawannya. Hector menyerang lagi, kali ini dengan kombinasi pukulan cepat. Johan menangkis satu, menghindari dua, lalu membalas dengan tendangan lurus ke perut Hector. Namun, tubuh besar itu hanya bergeming, seolah tak merasakan dampaknya. Sebagai balasan, Hector mengayunkan sikunya ke arah kepala Johan. Johan menunduk, tetapi Hector sudah mengantisipasi dan mengayunkan lututnya ke arah dada Johan. DUG! Johan terdorong ke belaka
Mereka terus berlari melewati lorong-lorong sempit, menghindari patroli pasukan Ludger yang mulai menyebar di seluruh kota. Angin laut semakin terasa, pertanda bahwa pantai sudah dekat. Gregoire terengah-engah. “Berapa jauh lagi?” Darius melirik ke arah ujung gang. “Kurang dari seratus meter. Kita hampir sampai.” Tiba-tiba, suara peluit nyaring terdengar di belakang mereka, diikuti suara teriakan. “Mereka di sana! Tangkap mereka!” Sebuah anak panah melesat dari kejauhan, nyaris mengenai kepala Evelyn. Ia dengan sigap menunduk, lalu segera berlindung di balik peti kayu. Johan menghela napas. “Sepertinya mereka tidak akan membiarkan kita pergi dengan mudah.” Dari kegelapan, enam penjaga bersenjata lengkap muncul, menghalangi jalan keluar mereka menuju pantai. Salah satu dari mereka melangkah maju—tubuhnya besar, mengenakan armor hitam dengan emblem khas pasukan elit Ludger.
Kapal kecil mereka terus melaju menerjang ombak, mencoba kabur dari kejaran kapal perang Ludger yang jauh lebih besar. Kabut yang menyelimuti lautan memberi mereka sedikit keuntungan, tetapi mereka tahu itu hanya masalah waktu sebelum musuh menemukan cara untuk menyusul. Evelyn berdiri di buritan kapal, matanya menatap tajam ke arah bayangan hitam kapal perang yang mendekat dari kejauhan. “Mereka tidak akan menyerah begitu saja,” gumamnya. Darius menggertakkan giginya. “Kita butuh sesuatu untuk memperlambat mereka, atau kita tidak akan bisa lolos.” Johan, yang berdiri di sisi kapal dengan tenang, hanya tersenyum tipis. “Tenang saja. Mereka tidak akan bisa menangkap kita secepat itu.” Tiba-tiba, terdengar suara keras dari arah kapal perang Ludger—suara meriam ditembakkan! BOOM! Sebuah peluru meriam menghantam air tidak jauh dari kapal mereka, menyebabkan ombak besar mengguncang kapal kecil itu. Gregoire hampir terjatuh, tetapi Darius dengan sigap menariknya kembali. “Kita tidak
Malam masih pekat ketika Johan berdiri di atas bukit, mengamati pergerakan pasukan lawan di bawahnya. Angin dingin bertiup kencang, membuat jubahnya berkibar. Dari kejauhan, Evelyn dan Darius sudah berhasil membawa Gregoire menuju pantai. Namun, Johan masih punya urusan yang harus diselesaikan. Di bawah sana, sisa pasukan musuh, termasuk para petarung terbaik dari Keluarga Moreau, bersiap mengejarnya. Beberapa dari mereka adalah veteran pertempuran, tetapi wajah mereka menunjukkan sedikit ketakutan. Mereka tahu siapa yang mereka hadapi. Johan tersenyum tipis. "Sudah lama sejak aku terakhir kali benar-benar bertarung... Mari kita lihat apakah kalian bisa bertahan lebih dari sepuluh menit." Seorang pria besar bertubuh kekar maju dari barisan musuh. Armor hitamnya berkilat di bawah cahaya bulan. Gerard Moreau, salah satu petarung terkuat di keluarganya, menatap Johan dengan ekspresi serius. "Johan... Kau mungkin kuat, tapi kau sendirian. Kami ada puluhan di sini. Serahkan dirimu, da
Kubah energi di tengah kota Granz terus berkedip, menciptakan riak gelombang yang menyelimuti sebagian besar wilayah inti kota. Kilatan cahaya biru yang menguar dari struktur itu menunjukkan bahwa ini bukan sekadar penghalang biasa. Evelyn mengamati dari kejauhan dengan ekspresi tegang. "Kau mengenali ini, Darius?" Darius mengangguk, rahangnya mengeras. "Ini bukan sembarang teknologi pertahanan. Ini adalah Kubah Omega—sistem perlindungan tingkat tinggi yang dikembangkan Wilhelm. Biasanya hanya digunakan untuk melindungi fasilitas militer paling penting atau… sesuatu yang sangat berbahaya." Johan masih berdiri di dekat Frederick Wilhelm yang terbaring lemah di tanah. Matanya menatap lurus ke arah kota, menilai situasi dengan tenang. Frederick tertawa kecil meski kesakitan. "Apa kau tahu, Johan… dari semua keluarga yang ingin menyingkirkanmu, Wilhelm-lah yang membencimu sejak awal." Johan menoleh ke arahnya, ekspresinya tetap dingin. "Dan kenapa begitu?" Frederick menyeringai, dar
BZZZT! Dengungan listrik memenuhi udara saat robot-robot tempur Wilhelm mulai bergerak. Mata merah mereka bersinar ganas, menargetkan Johan dan pasukannya dengan senjata otomatis yang terpasang di lengan mereka. Klik! Klik! Klik! Laras senjata mereka berputar cepat, mengeluarkan suara ancaman. Dor! Dor! Dor! Dalam sekejap, hujan peluru ditembakkan dari berbagai arah. Peluru-peluru itu meluncur dengan kecepatan tinggi, menerjang ke arah Johan dan pasukannya. Evelyn dan Darius langsung berlindung di balik reruntuhan dermaga. Anak buah Johan bergerak cepat mencari tempat berlindung, sementara beberapa orang yang kurang beruntung terkena tembakan dan tumbang di tempat. Namun, di tengah hujan peluru itu, Johan tidak bergerak sedikit pun. Ia berdiri tegap, matanya menatap lurus ke depan. Frederick Wilhelm menyeringai. "Kali ini, kau tidak bisa sekadar mengandalkan kecepatanmu, Johan." Tapi senyuman Frederick langsung pudar ketika melihat sesuatu yang aneh. Swish! Swish! Johan ha
Kapal patroli Wilhelm yang tersisa berusaha mundur dengan kecepatan penuh, tetapi Johan tidak memberi mereka kesempatan. Darius mengendalikan kapal dengan lincah, menyalip satu kapal musuh yang berusaha kabur. "Kalau mereka berhasil melapor ke Granz, kita akan berhadapan dengan lebih banyak pasukan!" Evelyn tidak membuang waktu. Dengan sniper di tangannya, ia mengamati kapal musuh dan memilih target dengan cepat. Dor! Peluru menembus kepala kapten kapal musuh, menyebabkan kapal itu kehilangan kendali dan meluncur ke arah bebatuan di tepi laut. Brak! Kapal itu hancur, sementara para kru berteriak panik sebelum terjun ke laut. Johan, yang masih berada di atas kapal patroli pertama yang telah ia kuasai, mengangkat pedangnya dan menunjuk ke kapal terakhir yang masih tersisa. "Habisi mereka," ujarnya dingin. Anak buahnya yang berada di kapal mereka sendiri segera mengangkat senjata dan menembak tanpa ampun. —BOOM! Ledakan terjadi di kapal terakhir Wilhelm, api membumbung tinggi. Da
Angin dingin menerpa wajah Johan saat ia berdiri di dek kapal, menatap cakrawala yang perlahan menampakkan kota Granz, tempat Keluarga Wilhelm berkuasa. Kota itu besar, dengan pelabuhan yang selalu sibuk, menandakan perannya sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar di Astvaria. Namun, di balik gemerlapnya, Johan tahu ada kegelapan yang bersembunyi. Darius mendekat dengan ekspresi serius. "Kita hampir sampai. Informasi dari tim bayangan mengatakan bahwa Wilhelm telah memperketat keamanan sejak kita mengambil alih Varestia. Mereka pasti tahu kita datang." Evelyn menyesap tehnya dengan tenang. "Mereka bisa memperketat keamanan sesuka mereka. Pada akhirnya, itu hanya akan menunda yang tak terhindarkan." Johan hanya tersenyum tipis. "Mereka boleh bersiap. Tapi mereka tidak akan bisa menghindari kehancuran jika mereka telah menyimpang terlalu jauh." Di sisi lain kota, di dalam sebuah vila mewah, Erich Wilhelm, kepala Keluarga Wilhelm, menatap laporan dari anak buahnya dengan ekspre
Langit malam di Varestia yang seharusnya tenang mendadak diwarnai letusan senjata dan suara bentrokan senjata tajam. Johan dan timnya baru saja bersiap meninggalkan kota ketika serangan mendadak terjadi. Dari atap-atap bangunan dan gang-gang sempit, sosok-sosok berpakaian hitam muncul, mengepung mereka dalam diam. Evelyn, yang berjalan di samping Johan, langsung merasakan keanehan. "Kita disergap," bisiknya tajam. Johan mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada pasukannya untuk tetap tenang. Matanya menyapu ke sekeliling, memperhatikan musuh yang muncul satu per satu dari kegelapan. Kemudian, langkah-langkah berat terdengar mendekat. Dari bayangan, seorang pria berambut panjang keperakan dengan jubah hitam mewah berjalan dengan angkuh. Di belakangnya, puluhan prajurit berpakaian serupa berbaris rapi. Pria itu menatap Johan dengan ekspresi mencemooh. "Johan… sudah lama sekali," katanya dengan nada rendah yang sarat kebencian. Johan mengenali suara itu seketika. Matanya menyipit
Malam telah larut ketika kapal Johan merapat di sebuah dermaga rahasia di luar kota Varestia. Sejumlah pria bersenjata sudah menunggu di sana—mereka adalah anak buah Johan yang telah lebih dulu menyusup ke dalam jaringan bisnis Keluarga Moreau. Seorang pria berpakaian gelap mendekat dan memberi hormat kepada Johan. “Tuan, kami sudah menyiapkan semuanya. Moreau tidak punya tempat untuk lari.” Johan mengangguk pelan. “Bagaimana dengan aset mereka?” Pria itu tersenyum tipis. “Sudah berada di bawah kendali kita. Senjata, jalur distribusi, dan sebagian besar pasukan bayaran mereka sekarang bekerja untuk kita atau telah dimusnahkan.” Darius bersiul kagum. “Kau benar-benar tidak memberi mereka kesempatan bernapas.” Johan menatap kota yang mulai sunyi dari atas bukit kecil dekat pelabuhan. “Moreau telah menghancurkan terlalu banyak orang. Mereka memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri. Kita bukan hanya mengambil alih aset mereka, kita membersihkan sampah yang men
Malam di pantai Varestia semakin kelam. Ombak menghantam batuan di sepanjang pesisir, seakan menggema ketegangan yang melingkupi medan pertempuran. Di kejauhan, Johan dan Lucien masih bertarung sengit, kilatan senjata mereka beradu di bawah cahaya bulan. Sementara itu, Evelyn dan Darius berdiri di dekat kapal kecil, napas mereka masih memburu setelah pertempuran sebelumnya. Tubuh Gregoire tergeletak tak bernyawa di pasir, darahnya terserap oleh tanah yang dingin. Peluru yang menembus dadanya telah mengakhiri permainan politiknya lebih cepat dari yang diharapkan. Evelyn menatap tubuh Gregoire dengan tatapan kosong, tetapi hanya sebentar. Kini, fokusnya tertuju pada Johan yang masih bertarung dengan Lucien, pemimpin pasukan elite musuh yang terkenal kejam dan tak kenal ampun. Lucien melompat mundur, mengangkat pedangnya dengan kedua tangan. “Johan, kau selalu jadi batu sandungan. Tapi malam ini, semuanya akan berakhir!” Johan hanya tersenyum kecil. “Kau sudah mengatakannya berkali-k
Gregoire menghela napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. Matanya menatap laut yang bergelombang, seakan mencari ketenangan sebelum mengungkap rahasia besar yang ia simpan. "Kesepakatan Akhir... bukan hanya tentang perdagangan atau aliansi. Ini tentang mengubah keseimbangan dunia." Evelyn menyipitkan mata. "Jelaskan." Gregoire menatapnya sejenak sebelum melanjutkan. "Keluarga Moreau dan sekutu mereka tidak hanya ingin memperkuat posisi mereka di dunia perdagangan dan politik. Mereka ingin menggulingkan enam keluarga kuno dan mengambil alih seluruh tatanan lama." Johan yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Mereka sudah terlalu berani." Gregoire tersenyum sinis. "Mereka tidak sekadar berani. Mereka sudah siap." Darius melangkah maju. "Apa maksudmu?" Gregoire menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan nada berat, "Mereka telah mengumpulkan pasukan bayangan selama bertahun-tahun. Orang-orang yang bahkan keluarga kuno pun tidak sadari keberadaannya. Pembunuh, tenta
Malam masih pekat ketika Johan berdiri di atas bukit, mengamati pergerakan pasukan lawan di bawahnya. Angin dingin bertiup kencang, membuat jubahnya berkibar. Dari kejauhan, Evelyn dan Darius sudah berhasil membawa Gregoire menuju pantai. Namun, Johan masih punya urusan yang harus diselesaikan. Di bawah sana, sisa pasukan musuh, termasuk para petarung terbaik dari Keluarga Moreau, bersiap mengejarnya. Beberapa dari mereka adalah veteran pertempuran, tetapi wajah mereka menunjukkan sedikit ketakutan. Mereka tahu siapa yang mereka hadapi. Johan tersenyum tipis. "Sudah lama sejak aku terakhir kali benar-benar bertarung... Mari kita lihat apakah kalian bisa bertahan lebih dari sepuluh menit." Seorang pria besar bertubuh kekar maju dari barisan musuh. Armor hitamnya berkilat di bawah cahaya bulan. Gerard Moreau, salah satu petarung terkuat di keluarganya, menatap Johan dengan ekspresi serius. "Johan... Kau mungkin kuat, tapi kau sendirian. Kami ada puluhan di sini. Serahkan dirimu, da