Angin laut berhembus kencang saat Johan berdiri di atas perahu yang kini telah ia kuasai. Asap dari ledakan dan suara ombak yang menghantam lambung kapal menjadi latar belakang yang sempurna untuk satu hal: perburuan dimulai.
Kapal musuh, yang sebelumnya mengejar mereka dengan kepercayaan diri penuh, kini mulai berbalik arah, mencoba melarikan diri ke dalam kabut tebal. Namun, Johan hanya menyeringai. “Mereka pikir bisa kabur begitu saja?” gumamnya sambil meraih kemudi perahu. Dengan satu gerakan cepat, ia memutar tuas gas hingga ke batas maksimum. Mesin meraung, dan perahu melesat membelah ombak menuju kapal utama musuh. Di atas kapal besar itu, para anak buah Moreau tampak panik. Beberapa dari mereka berteriak memerintahkan persiapan pertahanan, sementara yang lain mulai mengarahkan senjata ke perahu Johan. Peluru pertama melesat, menghantam air di sekitarnya. Namun, Johan tetap tenang. Dengan satu tangan di kemudi, iJohan bergerak cepat menuju ruang kapten, tubuhnya tetap waspada. Di kejauhan, suara baling-baling helikopter mulai berputar, menandakan Moreau sudah bersiap untuk kabur. Saat ia sampai di tangga menuju dek atas, dua penjaga muncul, masing-masing membawa senapan serbu. DOR! DOR! Johan berguling ke samping, berlindung di balik peti kayu besar sebelum membalas tembakan dengan akurat. DOR! DOR! Salah satu pria langsung terjatuh, peluru Johan menembus dadanya. Pria kedua mencoba berlindung, tetapi Johan sudah lebih cepat. Ia melompat keluar dari perlindungan dan menembakkan peluru tepat ke lutut lawannya. Pria itu menjerit, jatuh berlutut, tetapi Johan tidak memberinya kesempatan. Dengan langkah tenang, ia mendekat dan melepaskan satu tembakan ke kepala. Selesai. Tanpa membuang waktu, Johan melangkah ke dek atas. Helikopter kini sudah menyala penuh, baling-bali
Johan berdiri di atas dek kapal yang kini penuh dengan tubuh tak bernyawa dan serpihan sisa pertempuran. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit, tetapi pikirannya tetap tajam. Ia baru saja menghabisi musuh terakhirnya, dan kini hanya ada satu hal yang harus dilakukan—keluar dari tempat ini sebelum bala bantuan Moreau datang. Suara alat komunikasinya kembali berbunyi. "Johan, kau masih di sana? Kami hampir sampai di titik pertemuan." Suara Evelyn terdengar tegas namun sedikit khawatir. Johan menekan tombol di alat komunikasi. "Aku masih di kapal. Tidak ada ancaman lagi di sini. Kalian di mana?" "Kami sudah mendekati pantai. Ada dermaga tua sekitar 500 meter dari posisimu. Bisa kau sampai ke sana?" Johan menatap ke arah laut, melihat ombak yang berkilauan di bawah sinar bulan. Kapal ini sudah tidak bisa digunakan lagi. Mesin utama hancur akibat ledakan sebelumnya, dan dari kejauhan, ia bisa melihat b
Mobil hitam itu melaju tanpa henti menuju persembunyian sementara yang telah dipersiapkan oleh Darius. Di dalam kabin yang sunyi, hanya suara mesin dan hembusan napas berat yang terdengar. Johan bersandar di kursinya, matanya menatap lurus ke depan, pikirannya berputar mencari celah untuk mengatasi ancaman baru yang baru saja mereka ketahui—Ludger Falkenhayn. Evelyn menatap Gregoire yang masih terikat di kursi belakang. “Katakan padaku satu hal, Gregoire. Kenapa Ludger tertarik dengan perusahaan kami? Apa yang sebenarnya dia inginkan?” Gregoire menyeringai kecil. “Kalian tidak menyadarinya? Perusahaan ini lebih dari sekadar bisnis dagang biasa. Kalian memiliki aset, koneksi, dan informasi yang sangat berharga. Dan Ludger tidak menginginkan itu untuk dirinya sendiri—dia ingin memastikan tidak ada yang bisa menyainginya.” Darius mendengus. “Jadi, jika dia tidak bisa memilikinya, dia akan menghancurkannya?” Gregoire mengan
Mobil melaju dalam keheningan, hanya suara mesin yang terdengar di antara mereka. Sisa pertempuran barusan masih terasa di udara, dan meskipun mereka berhasil lolos, semua orang di dalam mobil tahu bahwa ancaman belum berakhir. Johan duduk diam di kursinya, matanya fokus ke jalanan yang gelap. Gregoire, yang masih terikat di kursi belakang, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Ludger tidak akan berhenti hanya karena kalian mengalahkan beberapa anak buahnya.” Evelyn meliriknya. “Kami tahu itu.” Gregoire menyeringai kecil. “Tapi kalian belum tahu seberapa jauh dia bisa pergi.” Darius yang masih berkonsentrasi mengemudi menoleh sekilas ke kaca spion. “Kalau kau punya sesuatu yang lebih dari sekadar peringatan samar, sebaiknya kau katakan sekarang.” Gregoire mencondongkan tubuhnya ke depan sedikit, meskipun tali di pergelangannya masih mengikat erat. “Kalian pikir Ludger hanya
Asap masih mengepul dari reruntuhan, sementara suara tembakan mulai mereda. Evelyn, Darius, dan Johan berdiri di antara mayat para Hounds yang tergeletak di tanah, memastikan tidak ada yang tersisa. Gregoire, masih dalam keadaan terikat, menyaksikan semuanya dengan tatapan penuh ketakutan dan kekaguman. “Aku harus mengakui… kalian lebih tangguh dari yang kuduga.” Evelyn tidak menanggapi. Matanya masih mengawasi sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya lain. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Jika Hounds sudah menemukan tempat ini, maka Ludger pasti tahu.” Darius mengangguk, memasukkan peluru baru ke dalam senjatanya. “Kemana kita pergi sekarang?” Johan memandangi tubuh-tubuh yang tergeletak di tanah sebelum menjawab, suaranya dingin dan penuh kepastian. “Kita tidak lari. Kita serang balik.” Gregoire terkekeh. “Itu terdengar seperti bunuh diri.” Johan berbalik menatapnya, matanya tajam. “Ludg
Di dalam persembunyian sementara, Johan, Evelyn, Darius, dan Gregoire duduk mengelilingi meja yang penuh dengan peta dan dokumen. Cahaya lampu redup menerangi wajah mereka yang serius. Gregoire menunjuk sebuah titik di peta. “Inilah fasilitas Ludger di perbatasan Varestia. Tempat ini tidak hanya menjadi pusat komando, tapi juga gudang penyimpanan senjata dan dokumen penting.” Evelyn menyilangkan tangan. “Berapa banyak penjaga?” Gregoire berpikir sejenak. “Minimal dua lusin, mungkin lebih. Mereka bukan sekadar prajurit bayaran biasa. Sebagian dari mereka adalah mantan tentara dan agen bayangan yang bekerja di bawah Ludger selama bertahun-tahun.” Darius menghela napas. “Jadi kita berhadapan dengan pasukan elit.” Sebelum Johan sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka, dan seorang pria dengan postur tegap memasuki ruangan bersama beberapa anak buahnya. “Maaf terla
Johan dan timnya menyelinap melewati lorong-lorong sempit fasilitas. Setiap langkah mereka terukur, setiap napas mereka dijaga agar tidak menimbulkan suara. Mereka tahu bahwa di balik dinding-dinding ini, Ludger dan anak buahnya sedang menunggu tanpa menyadari bahaya yang mengintai. Gregoire, yang paling mengenal tata letak fasilitas ini, memberi isyarat untuk berhenti di sebuah persimpangan. “Di depan ada ruang pusat kendali. Jika kita bisa menguasainya, kita bisa memutus komunikasi mereka dan mengendalikan sistem keamanan.” Johan menatap Evelyn. “Kita serang cepat dan efisien. Tidak boleh ada yang lolos.” Evelyn mengangguk, begitu pula anggota tim lainnya. Dengan gerakan serempak, mereka bergerak maju. Saat mereka hampir mencapai pintu pusat kendali, seorang penjaga keluar dari ruangan dengan secangkir kopi di tangan. Matanya membelalak melihat Johan dan yang lainnya. Sebelum sempat bersuara, Johan bergerak lebih cepat. Ia menebas
Hector Wolfe melesat dengan kecepatan mengejutkan untuk tubuh sebesar itu. Tinju raksasanya melayang ke arah Johan dengan kekuatan menghancurkan. Johan menghindar ke samping tepat waktu, merasakan hembusan angin dari pukulan itu yang hampir mengenainya. BRAK! Dinding di belakang Johan retak akibat pukulan Hector. Lelaki itu menyeringai. “Kau cepat, tapi aku lebih kuat.” Johan tidak menjawab. Ia tetap tenang, matanya tajam menganalisis setiap gerakan lawannya. Hector menyerang lagi, kali ini dengan kombinasi pukulan cepat. Johan menangkis satu, menghindari dua, lalu membalas dengan tendangan lurus ke perut Hector. Namun, tubuh besar itu hanya bergeming, seolah tak merasakan dampaknya. Sebagai balasan, Hector mengayunkan sikunya ke arah kepala Johan. Johan menunduk, tetapi Hector sudah mengantisipasi dan mengayunkan lututnya ke arah dada Johan. DUG! Johan terdorong ke belaka
Hari itu, Eisenwald menjadi pusat perhatian seluruh Astvaria. Bursa saham yang biasanya stabil kini bergejolak liar. Para investor panik setelah membaca berita tentang kemungkinan krisis finansial yang mengancam perusahaan-perusahaan di bawah kendali Keluarga Albrecht. Di dalam gedung megah Albrecht Financial Group, Leon Albrecht berdiri di depan jendela kantornya yang luas. Matanya menatap ke kejauhan, namun pikirannya penuh dengan kemarahan. "Siapa yang berani mengguncang pasarku seperti ini?" suaranya terdengar dingin. Asisten pribadinya, Friedrich Hahn, melangkah masuk dengan wajah serius. "Tuan Muda, kami telah melacak sumber pergerakan saham yang tidak biasa ini. Tampaknya beberapa investor besar mulai menarik dana mereka secara tiba-tiba." Leon berbalik, matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan. "Investor mana saja?" Friedrich membuka tablet di tangannya dan membacakan lapora
Velmoria kini berada dalam kendali Johan. Keluarga Hohenberg telah tumbang, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang langsung diisi oleh Arthura Trade & Co. Dengan jatuhnya keluarga ini, pengaruh jahat mereka dalam politik dan ekonomi mulai terkikis. Namun, Johan belum selesai. Di dalam sebuah ruang pertemuan rahasia di bekas markas Hohenberg, Johan berdiri di depan sebuah peta besar Astvaria yang penuh dengan tanda dan catatan. Evelyn, Darius, dan beberapa orang kepercayaannya duduk di sekeliling meja. "Hohenberg sudah lenyap," Evelyn membuka pembicaraan. "Siapa target kita berikutnya?" Johan menatap ke arah barat, kota Eisenwald, tempat markas Keluarga Albrecht. "Albrecht," ujar Johan dengan nada datar namun penuh makna. Darius bersiul pelan. "Jadi, kita akan menargetkan sumber keuangan mereka?" Evelyn menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Mereka bukan pejuang seperti Wilhelm a
Udara malam di Velmoria masih terasa tegang setelah pertempuran singkat di dalam markas Hohenberg. Johan, Evelyn, dan Darius bergerak cepat melalui gang-gang gelap, menghindari patroli yang mulai menyebar ke seluruh kota. "Dimana titik pertemuan?" tanya Evelyn sambil tetap waspada. "Di distrik industri," jawab Darius. "Rangga dan anak buahnya sudah menunggu di sana." Johan tetap diam, matanya tajam mengamati setiap sudut jalan. Ia tahu pertempuran ini belum selesai. Pemburuan Dimulai Tak lama kemudian, sirene berbunyi di seluruh Velmoria. Hohenberg telah menyadari bahwa ada penyusup, dan mereka tidak akan membiarkan Johan serta timnya pergi begitu saja. "Darius, seberapa penting informasi yang kita ambil?" tanya Johan sambil tetap berjalan. Darius tersenyum sinis. "Cukup untuk menjatuhkan beberapa cabang bisnis Hohenberg dan mengungkap operasi kotor mereka di Astvaria."
Kabut tipis menyelimuti kota Velmoria saat fajar mulai menyingsing. Kota ini adalah pusat informasi dan mata-mata Astvaria, dipenuhi oleh agen rahasia, tentara bayaran, dan para penguasa bayangan yang setia pada Keluarga Hohenberg. Jika ada satu tempat di mana informasi bisa menjadi senjata mematikan, itu adalah di sini. Johan dan timnya sudah memasuki kota dengan cara yang paling aman—melalui jaringan bawah tanah. Sejak beberapa waktu lalu, anak buahnya telah menyusup ke dalam Velmoria, mempersiapkan jalur aman dan mengamati pergerakan musuh. Darius membuka sebuah peta kecil dan menunjukkannya pada Johan. "Kita punya beberapa tempat yang bisa kita gunakan sebagai titik aman. Tapi ingat, Hohenberg punya mata-mata di mana-mana. Kita harus bergerak dengan sangat hati-hati." Johan mengangguk. "Target pertama kita adalah pusat intelijen mereka. Jika kita bisa melumpuhkan sistem komunikasi mereka, kita bisa mengendalikan informasi di kota i
Johan berdiri di atas balkon gedung utama di Granz, menatap ke arah cakrawala yang jauh. Kota Velmoria yang dikuasai Keluarga Hohenberg sudah mulai mengalami guncangan akibat serangkaian sabotase yang diperintahkan olehnya. Tapi ini baru awal. Darius berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. "Johan, aku sudah lama ingin bertanya," katanya, suaranya serius. "Kenapa kau begitu gigih ingin menghancurkan kejahatan dalam 12 Keluarga Teratas dan juga 6 Keluarga Kuno?" Johan tetap diam beberapa saat, lalu berbicara tanpa menoleh. "Karena mereka adalah akar dari kegelapan di Astvaria." Darius mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?" Johan menutup matanya sejenak, mengingat masa lalu yang tidak pernah bisa ia lupakan. Luka Lama dan Pengkhianatan Dulu, Astvaria adalah negara yang lebih kuat dan bersatu, tetapi kekuatan itu hanya bertahan di permukaan. Di balik layar, 12 Keluarga Teratas da
Granz telah jatuh ke tangan Johan dan sekutunya. Keluarga Wilhelm telah kehilangan pengaruh mereka, dan sisa-sisa loyalis mereka tersebar tanpa arah. Namun, pekerjaan Johan belum selesai. Malam itu, Johan berdiri di balai kota Granz, tempat para pemimpin dan komandan Wilhelm yang tersisa dikumpulkan. Mereka semua berlutut di lantai, tangan terikat, wajah mereka penuh ketakutan. Di sisi lain ruangan, Frederick Wilhelm duduk tenang, menatap mereka dengan ekspresi kosong. Ini adalah keluarganya sendiri—orang-orang yang pernah mendukungnya sebelum akhirnya mengkhianatinya. Sidang Singkat, Hukuman Cepat Johan melangkah maju, menatap para tahanan dengan dingin. "Aku tidak akan membuang waktu kalian," katanya. "Granz kini ada di bawah kendaliku. Dan kalian semua memiliki dua pilihan." Ruangan sunyi. Para tahanan menahan napas. "Pilihan pertama," Johan melanjutkan, "adalah bergabu
Malam di Kota Granz tak lagi tenang. Johan dan pasukannya tidak bisa langsung bergerak ke kota lain sebelum memastikan bahwa Granz benar-benar bersih dari sisa-sisa perlawanan Keluarga Wilhelm. Di dalam markas Wilhelm yang kini telah menjadi pusat operasi, Frederick Wilhelm duduk dengan ekspresi serius. Ia telah bersumpah setia kepada Johan setelah kekalahan keluarganya, tapi ia tahu tidak semua orang di bawah Wilhelm akan melakukan hal yang sama. Evelyn memasuki ruangan dengan langkah cepat. "Johan, laporan dari intelijen kita. Masih ada tiga kelompok militan yang aktif di dalam kota. Mereka terdiri dari mantan loyalis Wilhelm yang menolak tunduk dan beberapa pedagang yang ingin mempertahankan kepentingan mereka." Johan mengambil laporan itu dan membacanya sekilas. "Di mana mereka?" Darius, yang berdiri di dekat jendela, menjawab. "Yang pertama bersembunyi di distrik industri. Mereka mengendalikan sebagian jalur distri
Frederick Wilhelm terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah melihat bagaimana Johan merobohkan Kriegsturm dalam waktu kurang dari satu menit. Mecha kebanggaan keluarga Wilhelm, hancur begitu saja. Sementara itu, Johan berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin. Pilihannya jelas: hidup atau mati. Evelyn dan Darius berdiri di belakang Johan, mengamati situasi dengan waspada. Para pasukan Wilhelm yang masih hidup di sekitar mereka pun mulai goyah. Beberapa sudah menjatuhkan senjata mereka. Frederick menggertakkan giginya. "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja, Johan?" Johan tidak menjawab. Ia hanya menatap Frederick dengan ekspresi yang sulit ditebak. Frederick tertawa miris. "Kau memang monster… Aku bisa mengerti kenapa keluargamu sendiri ingin menyingkirkanmu." Mata Johan sedikit menyipit. Namun, ia tetap diam, menunggu jawaban. Frederick melirik ke arah reruntuha
Kubah energi di tengah kota Granz terus berkedip, menciptakan riak gelombang yang menyelimuti sebagian besar wilayah inti kota. Kilatan cahaya biru yang menguar dari struktur itu menunjukkan bahwa ini bukan sekadar penghalang biasa. Evelyn mengamati dari kejauhan dengan ekspresi tegang. "Kau mengenali ini, Darius?" Darius mengangguk, rahangnya mengeras. "Ini bukan sembarang teknologi pertahanan. Ini adalah Kubah Omega—sistem perlindungan tingkat tinggi yang dikembangkan Wilhelm. Biasanya hanya digunakan untuk melindungi fasilitas militer paling penting atau… sesuatu yang sangat berbahaya." Johan masih berdiri di dekat Frederick Wilhelm yang terbaring lemah di tanah. Matanya menatap lurus ke arah kota, menilai situasi dengan tenang. Frederick tertawa kecil meski kesakitan. "Apa kau tahu, Johan… dari semua keluarga yang ingin menyingkirkanmu, Wilhelm-lah yang membencimu sejak awal." Johan menoleh ke arahnya, ekspresinya tetap dingin. "Dan kenapa begitu?" Frederick menyeringai, dar